“Kak, kamu nggak mau cerita ada kejadian apa kemarin di kontrakan petak?”
“Kejadian apa?” Narendra menghabiskan camilan yang tersisa di atas meja.
“Aku udah bukan anak kecil, ya,” Calya memberengutkan kedua pipinya, “Aku bisa lihat kalau sofa kamu baru dan ada sisa aroma disinfektan yang biasa dipakai sama jasa kebersihan profesional langganan kita. Ngaku aja, deh, Kak!”
“Tidak terjadi apa-apa,” Narendra menghabiskan teh kemudian melambaikan tangan meminta waitress untuk menggantinya dengan teh baru yang masih panas.
“Ayolah, Kak! Masa rahasiaan sama aku, sih? Aku kesal lho, ini!”
Narendra tergelak, “Tidak terjadi apa-apa. Hanya ada beberapa penyusup tapi sudah ditangani oleh Badi. Mereka juga sudah dibereskan oleh tim keamanan kita. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Kak! Itu masalah besar, ya!” Walau berbisik tapi gadis itu menekan s
“Ada apa?”Narendra baru terbangun ketika dia membaca pesan yang dikirimkan oleh kekasihnya. Agnia memintanya untuk segera mengunjungi kontrakan petaknya jika pria itu sudah bangun. Sedetik setelah membaca pesan itu, Narendra sudah berada di kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian tergesa mengenakan kaos dan celana pendek selutut. Hanya dengan beralaskan sandal jepit pria itu berkunjung ke kontrakan petak kekasihnya.“Kamu udah bangun?” Agnia malah balas menjawab sambil tersenyum lebar, “Kirain masih entaran bangunnya.”“Kamu pikir aku bisa tidur lagi atau setidaknya bermalas-malasan setelah membaca pesan yang kamu kirimkan?”Tawa renyah gadis itu seketika pecah, “Maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu khawatir atau panik.”“Lalu?” Narendra duduk di salah satu kursi makan milik Agnia.“Kirain kamu bakalan bangun agak siang. Aku takut mie buatanku udah membengkak
“Wah, wah, akhirnya…tuan muda super sibuk sampai juga di sini.”Rajasena yang sedang bersantai di halaman belakang rumahnya bersama Masyha, sang istri, dan Elena, anak bungsunya yang baru berusia lima tahun, langsung berdiri dan menyambut kedatangan Narendra.“Tuan muda apa?” Narendra terkekeh sambil balas memeluk kakak tertuanya, “Bertiga aja? Allen mana?”“Wah, keajaiban, nih, kamu bisa ingat nama keponakan,” Masyha ikut berdiri kemudian bergantian memeluk adik iparnya, “Udah di-briefing sama Abimana?”Narendra tertawa malu mendengar ucapan Masyha, “Kalian nggak jetlag? Baru sampai kemarin, bukan?”“Allen masih di Zurich. Katanya mau ke Interlaken karena kemarin bareng aku nggak bisa ke mana-mana.”“Sendirian?” Narendra masih tidak percaya kakaknya mengizinkan anak pertamanya berlibur seorang diri. Walau dia tahu keponak
Bang Ucok berjalan menyusuri koridor berdinding panel kayu kualitas terbaik. Pria itu yakin sehelai panel kayu itu seharga rumah berukur kecil di ibukota. Sesekali panel kayu akan berganti dengan lukisan karya para maestro. Bang Ucok tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait lukisan tetapi dia yakin berduit saja tidak cukup untuk memiliki lukisan-lukisan itu.Sambil terus berjalan mengikuti pegawai lounge ini, Bang Ucok semakin yakin kalau orang yang akan ditemuinya nanti jauh dari kata orang biasa. Lokasi pertemuan yang dipilih pria itu merupakan salah satu lounge mewah yang dikhususkan hanya untuk para anggotanya. Tidak sembarang orang dapat menjadi anggota lounge ini. Uang saja tidak cukup. Kekuasaa, uang dan koneksi. Hanya mereka yang memiliki ketiga hal itu yang dapat menjadi anggotanya.Pria berbadan besar itu tak habis pikir. Bagaimana seorang Rendra dapat mengenal seseorang dengan posisi sehebat ini?Dan … siapa yang
“Kenapa sekaget itu, Bang?”Bang Ucok tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah tetangga kontrakan petaknya, Narendra. Tetapi entah bagaimana pria itu terlihat sangat berbeda. Bukan karena pria itu"mengenakan kemeja putih yang hanya dengan sekali lihat Bang Ucok tahu kalau harganya tidak masuk akal sanking mahalnya dipadu dengan celana bahan yang licin sempurna tanpa kerut yang menodai kesempurnannya.“Bang?” Narendra terkekeh, “Apa aku terlihat begitu berbeda?” dengan santai dia berbalik ke arah pria tua yang masih membersihkan pisau cukurnya, “Aku aku terlihat sangat berbeda?”Pria tua itu hanya tertawa kecil, “Tentu saja tidak. Saya hanya merapikan sedikit rambut Anda dan mencukur saja. Mungkin teman Anda bisa melihat yang tidak terlihat?”Selorohan pria tua itu membuat Narendra dan Abimana tergelak bersama.“Terima kasih untuk bantuk
“Macam mana dengan Agnia?”Bang Ucok bertanya setelah mereka berpindah ruangan dan Abimana berpamitan. Tangan kanan Narendra itu memiliki janji lain mengingat ini akhir pekan. Sekarang mereka duduk di salah satu ruang santai yang ada di lounge mewah itu. Sama seperti ruangan lain, sayup-sayup terdengar lantunan music jazz klasik yang berpadu sempurna dengan furnitur mahal yang mengisi setiap sudut ruangan.“Bagaimana apanya?” Narendra balik bertanya sambil menikmati red wine kesukaannya.“Tak serius kau sama dia?”Narendra menghela napas panjang, “Tentu saja aku serius dengan dia, Bang.”“Kau cuma penasaran jadi orang biasa. Setelah hilang rasa penasaran kau itu pastilah kau balik ke kehidupan kau yang sebenarnya. Terus Agnia macam mana?”“Aku tidak pernah berkompromi dengan rencanaku,” pria itu menatap cairan berwarna merah pekat di gelasnya, “Se
"Bagaimana rasanya menggunakan uang hasil pengkhianatan?"Sumitra yang baru saja memasuki penthouse terbarunya seketika terperanjat ketika mendengar sapaan itu. Seharusnya tidak seorang pun tahu penthouse ini. Dia baru membelinya dan hanya memberi tahukan selingkuhannya karena ini merupakan sarang cinta mereka."Siapa?!" Teriakan pertama ketika dia sudah berhasil menenangkan diri. Tidak hanya berteriak, tangannya segera meraih sebuah patung kayu terdekat untuk dijadikan senjata.Pria misterius yang tidak dapat dilihatnya secara jelas karena tertutup bayangan itu terkekeh geli seakan mendengar sesuatu yang sangat lucu."Siapa kamu?! Jawab atau aku panggil security!" Sumitra kembali berteriak kali ini sambil mengacungkan patung kayu ke arah pria misterius itu."Kenapa saya harus menjawab kalau Anda sendiri tidak menjawab pertanyaan saya?"Pria paruh baya yang masih terlihat bugar itu bergidik menyadari gaya bicara pria misterius tersebut cukup
"Kenapa Anda bisa sebodoh itu?" Narendra kembali bertanya setelah mengantungi nama yang menyuruh Sumatri menugaskan beberapa bodyguard terbaik perusahaan keamanan Widjaja Group untuk mengawasi Asija dan anak-anaknya. Termasuk Narendra."Saya pikir...Pak Bira..jadi tentu saja..bukan masalah.""Tidak mungkin Anda senaif itu, Sumitra. Ayolah, sudah berapa tahun Anda berkecimpung di dunia ini?""Ma-maaf tapi..." lidahnya kelu,"Pak Bira...Pak Bira bilang hanya akan mengawasi saja..""Bagaimana Anda bisa mempercayai hal itu?""Saya.." dia menelan ludah untuk kesekian kali, "Saya tidak tahu. Saya hanya menugaskan saja. Setelah itu Pak Bira yang langsung berkomunikasi dengan mereka. Saya tidak tahu apa-apa.""Tidak mungkin Anda tidak tahu apa-apa," seringaian itu kembali, "Apa Anda terlalu lelah memuaskan birahi selingkuhan Anda hingga tidak sadar kalau anak buah terbaik Anda tidak melaporkan apa pun kepada Anda?""Ti-tidak..bukan begitu, Pak
"Ke kontrakan, Bos?" Badi yang duduk di depan sedikit berpaling menatap Narendra yang duduk di jok tengah mobil mewah keluaran Jerman miliknya."Ke penthouse saja," pria itu menjawab pelan, "Aku sedang tidak ingin berhadapan dengan siapa pun. Moodku sedang tidak baik-baik saja.""Baik," menyadari suasana hati Narendra yang jauh dari kata baik-baik saja, Badi memilih untuk diam dan membiarkan majikannya menikmati suasana malam ibukota.Narendra menghembuskan napas panjang. Hari ini sangat melelahkan. Terlalu melelahkan sehingga dia bahkan tidak memiliki sisa tenaga untuk merayakan kemenangan kecil. Meski begitu, kepalanya tidak berhenti memikirkan rencana dan strategi berikutnya yang harus dilakukan.Sejak tadi dia fokus memproses informasi tambahan yang baru didapatkan dari Sumatri. Tidak banyak tetapi beberapa informasi itu seperti keping puzzle yang melengkapi dugaannya terhadap rencana adik ayahnya. Sekali lagi, dia kembali dikejutkan dengan kenyataan