"Ke kontrakan, Bos?" Badi yang duduk di depan sedikit berpaling menatap Narendra yang duduk di jok tengah mobil mewah keluaran Jerman miliknya.
"Ke penthouse saja," pria itu menjawab pelan, "Aku sedang tidak ingin berhadapan dengan siapa pun. Moodku sedang tidak baik-baik saja."
"Baik," menyadari suasana hati Narendra yang jauh dari kata baik-baik saja, Badi memilih untuk diam dan membiarkan majikannya menikmati suasana malam ibukota.
Narendra menghembuskan napas panjang. Hari ini sangat melelahkan. Terlalu melelahkan sehingga dia bahkan tidak memiliki sisa tenaga untuk merayakan kemenangan kecil. Meski begitu, kepalanya tidak berhenti memikirkan rencana dan strategi berikutnya yang harus dilakukan.
Sejak tadi dia fokus memproses informasi tambahan yang baru didapatkan dari Sumatri. Tidak banyak tetapi beberapa informasi itu seperti keping puzzle yang melengkapi dugaannya terhadap rencana adik ayahnya. Sekali lagi, dia kembali dikejutkan dengan kenyataan
Abimana berulang kali melirik ke arah sepupunya. Sejak tadi dia ingin mengucapkan sesuatu tetapi dibatalkannya di detik terakhir. Dia ragu karena ekspresi Narendra yang terlihat begitu dingin.Dia berusaha mengingat kapan terakhir kali dia melihat Narendra seperti ini. Rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu. Hanya masalah super besar yang mampu mengeluar ekspresi ini di wajah sepupunya. Tanpa bertanya Abimana tahu kalau sesuatu sudah terjadi."Tentang Papa?" Dengan banyak pertimbangan dia akhirnya memilih untuk buka suara."Hm? Apa?" Narendra tidak mendengar apa ditanyakan oleh sepupunya karena tenggelam dalam pikirannya sendiri."Lo kayak gini karena Papa?" Abimana menggigit hamburgernya."Sebagian," pria itu berusaha untuk tersenyum, "Sebagian lagi karena kamu.""Gue? Kenapa? Gue bikin salah? Urusan pekerjaan atau personal?" Sambil bertanya pria itu membersihkan saos yang menempel di jemarinya.Narendra menghela napas panjang, "Aku
"Dra, kamu di mana?" Suara Bimasakti langsung terdengar setelah Narendra menerima panggilan telepon dari kakak keduanya."Di penthouse aku. Tumben Kakak meneleponku selarut ini. Ada masalah?""Penthouse lo yang biasa, kan? Gue ke situ. Lo tunggu. Eh, ada siapa aja?""Cuma aku, Abimana dan Badi. Ada apa?""Nanti gue ceritain. Sekarang gue ke situ dulu."Narendra menatap bingung ponselnya ketika Bimasakti langsung memutuskan sambungan telepon tanpa memberi waktu baginya untuk berucap apapun."Kenapa Bi?" Abimana terlihat penasaran walau dia berusaha untuk terlihat tidak acuh."Kak Bimasakti. Aku juga tidak tahu ada apa. Kita tunggu saja. Katanya dia akan segera ke sini.""Perlu bangunkan Badi?"Abimana bertanya karena seingatnya ketika dia sampai di penthouse sepupunya, Narendra meminta Badi untuk berisitirahat dan tidak perlu menunggu mereka. Selain karena apa yang mereka bicarakan cukup sensitif dan privat juga karena Na
"Kalian sedang apa?"Nyaris pukul sembilan pagi ketika dia sampai di kontrakan petak. Ketika dia sedang membuka kunci pintu kontrakan petaknya, gelak tawa dari kontrakan Agnia menarik perhatiannya. Pria itu langsung mencabut kunci kontrakan petak sebelum menghampiri tetangganya itu.Narendra tidak langsung menyapa. Dia memperhatikan adik dan kekasihnya yang sedang asyik berbagi tawa di ruang tengah kontrakan Agnia. Ruang tengah terlihat berantakan dengan pakaian yang menumpuk di sana dan di sini. Ada sebuah koper yang terbuka. Sepertinya Agnia sedang sibuk berkemas untuk keluar kota."Kakak udah pulang?" Calya yang pertama kali menjawab pertanyaannya."Baru saja," Narendra menguap sambil berjalan masuk ke kontrakan petak Agnia."Calya buka salon dan aku pelanggan pertamanya," Agnia menjawab pelan karena saat ini wajahnya penuh dengan masker."Habis aku bosan! Kak Agnia dari pagi sibuk packing. Kakak nggak ada. Ya, udah, aku ajak Kak Agnia bu
Agnia tidur cukup lama. Dia terbangun menjelang siang dan Narendra sudah kembali ke kontrakannya. Merasa tidak enak, dia segera menemui kekasihnya. Kebetulan ketika Narendra sedang asyik bersantai di ruang tengah sambil menonton dan mengerjakan sesuatu du laptopnya. Pemandangan yang sangat familiar baginya."Sayang, maafin. AKu tadi ketiduran," dia berujar dengan penuh rasa bersalah."Hm?" Narendra mengalihkan pandangan dari layar laptop dan langsung tersenyum ke arah Agnia, "Sini. Kamu sudah bangun? Nyenyak tidurnya?"Gadis itu langsung duduk di samping Narendra yang seketika menutup laptopnya, "Nyenyak banget. Bangun-bangun kamu udah nggak ada dan Calya asyik dengan HPnya. Nggak tahu lagi ngobrol sama siapa.""Bagus kalau kamu nyenyak," Narendra tersenyum, "Sudah selesai berkemas?"Agnia menggelengkan kepala, "Belum. Bangun-bangun aku langsung ke sini. Nggak enak aku karena ketiduran padahal kamu mungkin mau ngobrol sama aku atau apa.""Ti
"Tidak ada yang ketinggalan?" Narendra bertanya ketika Agnia dan Calya keluar dari kontrakan petak gadis itu."Udah semua. Lagian aku bukannya mau ke mana. Kalau ada yang ketinggalan aku bisa beli di sana," Agnia tersenyum untuk menenangkan."Tahu, nih! Kak Rendra kayak Kak Agnia mau ke mana aja," gadis itu memeluk lengan kekasih kakaknya, "Kak, kalau Kak Rendra nggak boleh ke lokasi, aku boleh, kan? Dua minggu itu lama, lho, Kak!""Kamu boleh. Yang nggak boleh cuma Rendra karena bisa-bisa aku kehilangan fokus kalau tahu dia ada di lokasi."Ucapan Agnia ditingkahi dengan gelak tawa Narendra dan Calya."Sarapan dulu," Narendra tersenyum, "Aku sudah membelikan bubur untuk kita sarapan.""Bubur ayam?" Calya tersenyum lebar, "Aku mau! Yang di perempatan itu bukan, ya?"Agnia tertawa, "Kamu itu kayak udah lama tinggal di sini, deh.""Kalau urusan makanan enak Calya nggak ada lawan," gadis itu memamerkan senyum penuh kebanggaan, "Lag
Pagi itu lobby gedung Widjaja Group terlihat serupa dengan hari-hari sebelumnya. Para pegawai berdatangan dengan harapan hari ini seluruh pekerjaan mereka akan berjalan dengan lancar. Sebagian besar membawa tumbler berisi kopi, senjata utama untuk melawan kantuk di pagi hari, sementara yang lain membawa tas kain berisi bekal makanan. Kerumunan terlihat di depan sepuluh lift yang tersedia walau tidak sampai mengular. Nyaris tidak ada yang berbeda dengan kemarin.Ketenangan itu seketika berubah ketika bisik-bisik mulai terdengar saat sebuah mobil Mercesdes-Benz S Class memasuki pelataran gedung. Seluruh pegawai Widjaja Group tahu siapa pemilik mobil itu. Seorang petinggi yang sosoknya begitu misterius bagi sebagian mereka karena pria itu sangat jarang menunjukan diri di gedung Widjaja Group terlebih beberapa bulan terakhir.Seakan tidak memedulikan perhatian dari seluruh mata yang saat ini berada di lobby, Sabdra Narendra Widjaja turun dari mobilnya. Penampilan pria itu
"Gue tanya buat terakhir kali," Rajasena menatap lurus ke arah Narendra yang duduk di seberangnya, "Lo yakin sama rencana ini?"Narendra balas menatap dan kemudian menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan, "Aku yakin. Aku sudah mengkalkulasi setiap langkah.""Lo masih terlalu baik, Dra. Ini nggak kayak lo biasanya. Ngapain kita ngasih kesempatan Bira buat nyesal?""Ya, gue juga mempertanyakan itu," Abimana ikut urun suara, "Setelah pembicaraan malam itu, gue yakin kalau bokap gue nggak akan menyesal sama rencananya ini. Tindakan lo percuma.""Percuma atau tidaknya akan kita ketahui nanti. Yang jelas aku tidak ingin kita menyesal," Narendra tersenyum tipis, "Kita tidak perlu merendahkan diri dengan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Bira. Benar?"Keempat orang lainnya memberi jawaban dengan menganggukkan beberapa kali."Lakukan rencana ini. Jika Bira menunjukkan penyesalan, kita lanjutkan dengan plan A. Tapi jika tidak maka kita
"Tumben kamu ke kantor. Uang pemberian papamu kurang? Atau kamu bikin masalah dengan teman kencan semalammu?" Ucapan itu terdengar seiring dengan langkah berderap Bira memasuki ruang kerja Narendra. "Pertanyaan itu seharusnya diajukan untuk diri Om sendiri," Narendra dengan santainya menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan melemparkan tatapan merendahkan ke arah Bira. Abimana yang langsung memahami peran yang harus dilakukannya langsung berusaha menenangkan sang ayah kemudian berbisik, "Pa, jangan cari masalah. Ingat rencana Papa." Bira terkesiap sebelum tersenyum dan menepuk pipi anak semata wayangnya dengan lembut, "Kamu memang dapat Papa andalkan." "Hati-hati, Narendra bisa curiga." Mendengar ucapan Abimana, tepukan pelan penuh sayang itu dengan cepat berubah menjadi tamparan, "Dasar tidak tahu diri! Berani kamu menghalangi Papa?! Jangan karena dia atasan kamu terus kamu belain, ya!" "Aku tidak membela Narendra, Pa," Abimana men