“Wah, wah, akhirnya…tuan muda super sibuk sampai juga di sini.”
Rajasena yang sedang bersantai di halaman belakang rumahnya bersama Masyha, sang istri, dan Elena, anak bungsunya yang baru berusia lima tahun, langsung berdiri dan menyambut kedatangan Narendra.
“Tuan muda apa?” Narendra terkekeh sambil balas memeluk kakak tertuanya, “Bertiga aja? Allen mana?”
“Wah, keajaiban, nih, kamu bisa ingat nama keponakan,” Masyha ikut berdiri kemudian bergantian memeluk adik iparnya, “Udah di-briefing sama Abimana?”
Narendra tertawa malu mendengar ucapan Masyha, “Kalian nggak jetlag? Baru sampai kemarin, bukan?”
“Allen masih di Zurich. Katanya mau ke Interlaken karena kemarin bareng aku nggak bisa ke mana-mana.”
“Sendirian?” Narendra masih tidak percaya kakaknya mengizinkan anak pertamanya berlibur seorang diri. Walau dia tahu keponak
Bang Ucok berjalan menyusuri koridor berdinding panel kayu kualitas terbaik. Pria itu yakin sehelai panel kayu itu seharga rumah berukur kecil di ibukota. Sesekali panel kayu akan berganti dengan lukisan karya para maestro. Bang Ucok tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait lukisan tetapi dia yakin berduit saja tidak cukup untuk memiliki lukisan-lukisan itu.Sambil terus berjalan mengikuti pegawai lounge ini, Bang Ucok semakin yakin kalau orang yang akan ditemuinya nanti jauh dari kata orang biasa. Lokasi pertemuan yang dipilih pria itu merupakan salah satu lounge mewah yang dikhususkan hanya untuk para anggotanya. Tidak sembarang orang dapat menjadi anggota lounge ini. Uang saja tidak cukup. Kekuasaa, uang dan koneksi. Hanya mereka yang memiliki ketiga hal itu yang dapat menjadi anggotanya.Pria berbadan besar itu tak habis pikir. Bagaimana seorang Rendra dapat mengenal seseorang dengan posisi sehebat ini?Dan … siapa yang
“Kenapa sekaget itu, Bang?”Bang Ucok tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah tetangga kontrakan petaknya, Narendra. Tetapi entah bagaimana pria itu terlihat sangat berbeda. Bukan karena pria itu"mengenakan kemeja putih yang hanya dengan sekali lihat Bang Ucok tahu kalau harganya tidak masuk akal sanking mahalnya dipadu dengan celana bahan yang licin sempurna tanpa kerut yang menodai kesempurnannya.“Bang?” Narendra terkekeh, “Apa aku terlihat begitu berbeda?” dengan santai dia berbalik ke arah pria tua yang masih membersihkan pisau cukurnya, “Aku aku terlihat sangat berbeda?”Pria tua itu hanya tertawa kecil, “Tentu saja tidak. Saya hanya merapikan sedikit rambut Anda dan mencukur saja. Mungkin teman Anda bisa melihat yang tidak terlihat?”Selorohan pria tua itu membuat Narendra dan Abimana tergelak bersama.“Terima kasih untuk bantuk
“Macam mana dengan Agnia?”Bang Ucok bertanya setelah mereka berpindah ruangan dan Abimana berpamitan. Tangan kanan Narendra itu memiliki janji lain mengingat ini akhir pekan. Sekarang mereka duduk di salah satu ruang santai yang ada di lounge mewah itu. Sama seperti ruangan lain, sayup-sayup terdengar lantunan music jazz klasik yang berpadu sempurna dengan furnitur mahal yang mengisi setiap sudut ruangan.“Bagaimana apanya?” Narendra balik bertanya sambil menikmati red wine kesukaannya.“Tak serius kau sama dia?”Narendra menghela napas panjang, “Tentu saja aku serius dengan dia, Bang.”“Kau cuma penasaran jadi orang biasa. Setelah hilang rasa penasaran kau itu pastilah kau balik ke kehidupan kau yang sebenarnya. Terus Agnia macam mana?”“Aku tidak pernah berkompromi dengan rencanaku,” pria itu menatap cairan berwarna merah pekat di gelasnya, “Se
"Bagaimana rasanya menggunakan uang hasil pengkhianatan?"Sumitra yang baru saja memasuki penthouse terbarunya seketika terperanjat ketika mendengar sapaan itu. Seharusnya tidak seorang pun tahu penthouse ini. Dia baru membelinya dan hanya memberi tahukan selingkuhannya karena ini merupakan sarang cinta mereka."Siapa?!" Teriakan pertama ketika dia sudah berhasil menenangkan diri. Tidak hanya berteriak, tangannya segera meraih sebuah patung kayu terdekat untuk dijadikan senjata.Pria misterius yang tidak dapat dilihatnya secara jelas karena tertutup bayangan itu terkekeh geli seakan mendengar sesuatu yang sangat lucu."Siapa kamu?! Jawab atau aku panggil security!" Sumitra kembali berteriak kali ini sambil mengacungkan patung kayu ke arah pria misterius itu."Kenapa saya harus menjawab kalau Anda sendiri tidak menjawab pertanyaan saya?"Pria paruh baya yang masih terlihat bugar itu bergidik menyadari gaya bicara pria misterius tersebut cukup
"Kenapa Anda bisa sebodoh itu?" Narendra kembali bertanya setelah mengantungi nama yang menyuruh Sumatri menugaskan beberapa bodyguard terbaik perusahaan keamanan Widjaja Group untuk mengawasi Asija dan anak-anaknya. Termasuk Narendra."Saya pikir...Pak Bira..jadi tentu saja..bukan masalah.""Tidak mungkin Anda senaif itu, Sumitra. Ayolah, sudah berapa tahun Anda berkecimpung di dunia ini?""Ma-maaf tapi..." lidahnya kelu,"Pak Bira...Pak Bira bilang hanya akan mengawasi saja..""Bagaimana Anda bisa mempercayai hal itu?""Saya.." dia menelan ludah untuk kesekian kali, "Saya tidak tahu. Saya hanya menugaskan saja. Setelah itu Pak Bira yang langsung berkomunikasi dengan mereka. Saya tidak tahu apa-apa.""Tidak mungkin Anda tidak tahu apa-apa," seringaian itu kembali, "Apa Anda terlalu lelah memuaskan birahi selingkuhan Anda hingga tidak sadar kalau anak buah terbaik Anda tidak melaporkan apa pun kepada Anda?""Ti-tidak..bukan begitu, Pak
"Ke kontrakan, Bos?" Badi yang duduk di depan sedikit berpaling menatap Narendra yang duduk di jok tengah mobil mewah keluaran Jerman miliknya."Ke penthouse saja," pria itu menjawab pelan, "Aku sedang tidak ingin berhadapan dengan siapa pun. Moodku sedang tidak baik-baik saja.""Baik," menyadari suasana hati Narendra yang jauh dari kata baik-baik saja, Badi memilih untuk diam dan membiarkan majikannya menikmati suasana malam ibukota.Narendra menghembuskan napas panjang. Hari ini sangat melelahkan. Terlalu melelahkan sehingga dia bahkan tidak memiliki sisa tenaga untuk merayakan kemenangan kecil. Meski begitu, kepalanya tidak berhenti memikirkan rencana dan strategi berikutnya yang harus dilakukan.Sejak tadi dia fokus memproses informasi tambahan yang baru didapatkan dari Sumatri. Tidak banyak tetapi beberapa informasi itu seperti keping puzzle yang melengkapi dugaannya terhadap rencana adik ayahnya. Sekali lagi, dia kembali dikejutkan dengan kenyataan
Abimana berulang kali melirik ke arah sepupunya. Sejak tadi dia ingin mengucapkan sesuatu tetapi dibatalkannya di detik terakhir. Dia ragu karena ekspresi Narendra yang terlihat begitu dingin.Dia berusaha mengingat kapan terakhir kali dia melihat Narendra seperti ini. Rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu. Hanya masalah super besar yang mampu mengeluar ekspresi ini di wajah sepupunya. Tanpa bertanya Abimana tahu kalau sesuatu sudah terjadi."Tentang Papa?" Dengan banyak pertimbangan dia akhirnya memilih untuk buka suara."Hm? Apa?" Narendra tidak mendengar apa ditanyakan oleh sepupunya karena tenggelam dalam pikirannya sendiri."Lo kayak gini karena Papa?" Abimana menggigit hamburgernya."Sebagian," pria itu berusaha untuk tersenyum, "Sebagian lagi karena kamu.""Gue? Kenapa? Gue bikin salah? Urusan pekerjaan atau personal?" Sambil bertanya pria itu membersihkan saos yang menempel di jemarinya.Narendra menghela napas panjang, "Aku
"Dra, kamu di mana?" Suara Bimasakti langsung terdengar setelah Narendra menerima panggilan telepon dari kakak keduanya."Di penthouse aku. Tumben Kakak meneleponku selarut ini. Ada masalah?""Penthouse lo yang biasa, kan? Gue ke situ. Lo tunggu. Eh, ada siapa aja?""Cuma aku, Abimana dan Badi. Ada apa?""Nanti gue ceritain. Sekarang gue ke situ dulu."Narendra menatap bingung ponselnya ketika Bimasakti langsung memutuskan sambungan telepon tanpa memberi waktu baginya untuk berucap apapun."Kenapa Bi?" Abimana terlihat penasaran walau dia berusaha untuk terlihat tidak acuh."Kak Bimasakti. Aku juga tidak tahu ada apa. Kita tunggu saja. Katanya dia akan segera ke sini.""Perlu bangunkan Badi?"Abimana bertanya karena seingatnya ketika dia sampai di penthouse sepupunya, Narendra meminta Badi untuk berisitirahat dan tidak perlu menunggu mereka. Selain karena apa yang mereka bicarakan cukup sensitif dan privat juga karena Na
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan