Bang Ucok berjalan menyusuri koridor berdinding panel kayu kualitas terbaik. Pria itu yakin sehelai panel kayu itu seharga rumah berukur kecil di ibukota. Sesekali panel kayu akan berganti dengan lukisan karya para maestro. Bang Ucok tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait lukisan tetapi dia yakin berduit saja tidak cukup untuk memiliki lukisan-lukisan itu.
Sambil terus berjalan mengikuti pegawai lounge ini, Bang Ucok semakin yakin kalau orang yang akan ditemuinya nanti jauh dari kata orang biasa. Lokasi pertemuan yang dipilih pria itu merupakan salah satu lounge mewah yang dikhususkan hanya untuk para anggotanya. Tidak sembarang orang dapat menjadi anggota lounge ini. Uang saja tidak cukup. Kekuasaa, uang dan koneksi. Hanya mereka yang memiliki ketiga hal itu yang dapat menjadi anggotanya.
Pria berbadan besar itu tak habis pikir. Bagaimana seorang Rendra dapat mengenal seseorang dengan posisi sehebat ini?
Dan … siapa yang
“Kenapa sekaget itu, Bang?”Bang Ucok tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah tetangga kontrakan petaknya, Narendra. Tetapi entah bagaimana pria itu terlihat sangat berbeda. Bukan karena pria itu"mengenakan kemeja putih yang hanya dengan sekali lihat Bang Ucok tahu kalau harganya tidak masuk akal sanking mahalnya dipadu dengan celana bahan yang licin sempurna tanpa kerut yang menodai kesempurnannya.“Bang?” Narendra terkekeh, “Apa aku terlihat begitu berbeda?” dengan santai dia berbalik ke arah pria tua yang masih membersihkan pisau cukurnya, “Aku aku terlihat sangat berbeda?”Pria tua itu hanya tertawa kecil, “Tentu saja tidak. Saya hanya merapikan sedikit rambut Anda dan mencukur saja. Mungkin teman Anda bisa melihat yang tidak terlihat?”Selorohan pria tua itu membuat Narendra dan Abimana tergelak bersama.“Terima kasih untuk bantuk
“Macam mana dengan Agnia?”Bang Ucok bertanya setelah mereka berpindah ruangan dan Abimana berpamitan. Tangan kanan Narendra itu memiliki janji lain mengingat ini akhir pekan. Sekarang mereka duduk di salah satu ruang santai yang ada di lounge mewah itu. Sama seperti ruangan lain, sayup-sayup terdengar lantunan music jazz klasik yang berpadu sempurna dengan furnitur mahal yang mengisi setiap sudut ruangan.“Bagaimana apanya?” Narendra balik bertanya sambil menikmati red wine kesukaannya.“Tak serius kau sama dia?”Narendra menghela napas panjang, “Tentu saja aku serius dengan dia, Bang.”“Kau cuma penasaran jadi orang biasa. Setelah hilang rasa penasaran kau itu pastilah kau balik ke kehidupan kau yang sebenarnya. Terus Agnia macam mana?”“Aku tidak pernah berkompromi dengan rencanaku,” pria itu menatap cairan berwarna merah pekat di gelasnya, “Se
"Bagaimana rasanya menggunakan uang hasil pengkhianatan?"Sumitra yang baru saja memasuki penthouse terbarunya seketika terperanjat ketika mendengar sapaan itu. Seharusnya tidak seorang pun tahu penthouse ini. Dia baru membelinya dan hanya memberi tahukan selingkuhannya karena ini merupakan sarang cinta mereka."Siapa?!" Teriakan pertama ketika dia sudah berhasil menenangkan diri. Tidak hanya berteriak, tangannya segera meraih sebuah patung kayu terdekat untuk dijadikan senjata.Pria misterius yang tidak dapat dilihatnya secara jelas karena tertutup bayangan itu terkekeh geli seakan mendengar sesuatu yang sangat lucu."Siapa kamu?! Jawab atau aku panggil security!" Sumitra kembali berteriak kali ini sambil mengacungkan patung kayu ke arah pria misterius itu."Kenapa saya harus menjawab kalau Anda sendiri tidak menjawab pertanyaan saya?"Pria paruh baya yang masih terlihat bugar itu bergidik menyadari gaya bicara pria misterius tersebut cukup
"Kenapa Anda bisa sebodoh itu?" Narendra kembali bertanya setelah mengantungi nama yang menyuruh Sumatri menugaskan beberapa bodyguard terbaik perusahaan keamanan Widjaja Group untuk mengawasi Asija dan anak-anaknya. Termasuk Narendra."Saya pikir...Pak Bira..jadi tentu saja..bukan masalah.""Tidak mungkin Anda senaif itu, Sumitra. Ayolah, sudah berapa tahun Anda berkecimpung di dunia ini?""Ma-maaf tapi..." lidahnya kelu,"Pak Bira...Pak Bira bilang hanya akan mengawasi saja..""Bagaimana Anda bisa mempercayai hal itu?""Saya.." dia menelan ludah untuk kesekian kali, "Saya tidak tahu. Saya hanya menugaskan saja. Setelah itu Pak Bira yang langsung berkomunikasi dengan mereka. Saya tidak tahu apa-apa.""Tidak mungkin Anda tidak tahu apa-apa," seringaian itu kembali, "Apa Anda terlalu lelah memuaskan birahi selingkuhan Anda hingga tidak sadar kalau anak buah terbaik Anda tidak melaporkan apa pun kepada Anda?""Ti-tidak..bukan begitu, Pak
"Ke kontrakan, Bos?" Badi yang duduk di depan sedikit berpaling menatap Narendra yang duduk di jok tengah mobil mewah keluaran Jerman miliknya."Ke penthouse saja," pria itu menjawab pelan, "Aku sedang tidak ingin berhadapan dengan siapa pun. Moodku sedang tidak baik-baik saja.""Baik," menyadari suasana hati Narendra yang jauh dari kata baik-baik saja, Badi memilih untuk diam dan membiarkan majikannya menikmati suasana malam ibukota.Narendra menghembuskan napas panjang. Hari ini sangat melelahkan. Terlalu melelahkan sehingga dia bahkan tidak memiliki sisa tenaga untuk merayakan kemenangan kecil. Meski begitu, kepalanya tidak berhenti memikirkan rencana dan strategi berikutnya yang harus dilakukan.Sejak tadi dia fokus memproses informasi tambahan yang baru didapatkan dari Sumatri. Tidak banyak tetapi beberapa informasi itu seperti keping puzzle yang melengkapi dugaannya terhadap rencana adik ayahnya. Sekali lagi, dia kembali dikejutkan dengan kenyataan
Abimana berulang kali melirik ke arah sepupunya. Sejak tadi dia ingin mengucapkan sesuatu tetapi dibatalkannya di detik terakhir. Dia ragu karena ekspresi Narendra yang terlihat begitu dingin.Dia berusaha mengingat kapan terakhir kali dia melihat Narendra seperti ini. Rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu. Hanya masalah super besar yang mampu mengeluar ekspresi ini di wajah sepupunya. Tanpa bertanya Abimana tahu kalau sesuatu sudah terjadi."Tentang Papa?" Dengan banyak pertimbangan dia akhirnya memilih untuk buka suara."Hm? Apa?" Narendra tidak mendengar apa ditanyakan oleh sepupunya karena tenggelam dalam pikirannya sendiri."Lo kayak gini karena Papa?" Abimana menggigit hamburgernya."Sebagian," pria itu berusaha untuk tersenyum, "Sebagian lagi karena kamu.""Gue? Kenapa? Gue bikin salah? Urusan pekerjaan atau personal?" Sambil bertanya pria itu membersihkan saos yang menempel di jemarinya.Narendra menghela napas panjang, "Aku
"Dra, kamu di mana?" Suara Bimasakti langsung terdengar setelah Narendra menerima panggilan telepon dari kakak keduanya."Di penthouse aku. Tumben Kakak meneleponku selarut ini. Ada masalah?""Penthouse lo yang biasa, kan? Gue ke situ. Lo tunggu. Eh, ada siapa aja?""Cuma aku, Abimana dan Badi. Ada apa?""Nanti gue ceritain. Sekarang gue ke situ dulu."Narendra menatap bingung ponselnya ketika Bimasakti langsung memutuskan sambungan telepon tanpa memberi waktu baginya untuk berucap apapun."Kenapa Bi?" Abimana terlihat penasaran walau dia berusaha untuk terlihat tidak acuh."Kak Bimasakti. Aku juga tidak tahu ada apa. Kita tunggu saja. Katanya dia akan segera ke sini.""Perlu bangunkan Badi?"Abimana bertanya karena seingatnya ketika dia sampai di penthouse sepupunya, Narendra meminta Badi untuk berisitirahat dan tidak perlu menunggu mereka. Selain karena apa yang mereka bicarakan cukup sensitif dan privat juga karena Na
"Kalian sedang apa?"Nyaris pukul sembilan pagi ketika dia sampai di kontrakan petak. Ketika dia sedang membuka kunci pintu kontrakan petaknya, gelak tawa dari kontrakan Agnia menarik perhatiannya. Pria itu langsung mencabut kunci kontrakan petak sebelum menghampiri tetangganya itu.Narendra tidak langsung menyapa. Dia memperhatikan adik dan kekasihnya yang sedang asyik berbagi tawa di ruang tengah kontrakan Agnia. Ruang tengah terlihat berantakan dengan pakaian yang menumpuk di sana dan di sini. Ada sebuah koper yang terbuka. Sepertinya Agnia sedang sibuk berkemas untuk keluar kota."Kakak udah pulang?" Calya yang pertama kali menjawab pertanyaannya."Baru saja," Narendra menguap sambil berjalan masuk ke kontrakan petak Agnia."Calya buka salon dan aku pelanggan pertamanya," Agnia menjawab pelan karena saat ini wajahnya penuh dengan masker."Habis aku bosan! Kak Agnia dari pagi sibuk packing. Kakak nggak ada. Ya, udah, aku ajak Kak Agnia bu