Home / Urban / Ternyata Kaya Tujuh Turunan / Gagal Kenalan, Tetangga Bertindak

Share

Gagal Kenalan, Tetangga Bertindak

“Jadi,” Bang Ucok tidak menunggu Narendra menjawab pertanyaannya, “Kubilang sama kalian, he, dengar baik-baik kalian berdua,” lagi, sesendok besar bubur masuk ke mulutnya, “Jangan sampai kalian berdua naksir sama Agnia. Ingat itu, ya?!”

“Memangnya kenapa, Bang?” Badi yang bertanya. Setelah menghabiskan teh tawar dia tidak memiliki hal lain untuk dilakukan selain menyimak percakapan Bang Ucok dengan bosnya.

“Bang Ucok naksir, iya, kan?” Narendra yang kali ini buka suara.

“Jelaslah! Mana ada cowok normal yang nggak naksir sama cewek macam Agnia?” Bang Ucok terbahak, “Nggak cuma cantik muka aja, dia itu juga cantik hatinya.”

“Masa, Bang?” Narendra terlihat semakin tertarik untuk mencari tahu tentang tetangganya.

“Macam mana, nggak percaya pula kau sama aku?!” Bang Ucok membersihkan sudut bibirnya, “Kubilangin, ya, sejak pindah ke sini nggak pernah dia bikin aneh-aneh. Yang ada dia bantu orang-orang sekitar sini. Apalagi anak-anak. Sampai anak kampong sebelah aja suka kali main ke sini kalau ada dia.”

“Jadi nggak boleh naksirnya karena Bang Ucok naksir?” Badi terkekeh, “Nggak bisa gitu, sebagai cowok kita harus bersaing dengan sehat.”

“Aduh, mana ada saingan sehat kalau lawanku kayak si Rendra ini! Baru lihat muka aja udah kalah lah aku,” Bang Ucok tertawa karena lelucon yang dilontarkannya sendiri, “Dia ganteng, lah aku? Genteng?!”

Narendra dan Badi itu tertawa. Ucapan Bang Ucok tidak sepenuhnya benar. Dibandingkan Narendra memang dia kalah tampan. Tapi itu bukan berarti pria itu tidak menarik.

“Tapi aku kayak pernah lihat Agnia, deh. Kayak di mana gitu.”

“Pastilah, Rendra! Jangan bilang kau tak sadar kalau dia itu aktris!” Bang Ucok kembali menikmati bubur ayam.

“Aktris? Masa Aktris tinggal di kontrakan petak kayak gini?” Giliran Badi yang bersuara, “Penonton bayaran kali?”

“Astagaaaa, kalian ini kenapa nggak percayaan sekali?! Dia itu aktris! Aktris baru tapi menurutku cukup bagus, lah! Terakhir dia main di film, aduh, lupa pula aku judulnya. Pokoknya dia lumayan terkenal.”

“Terus kenapa tinggal di sini?”

“Malas dia tinggal di apartemen. Sama denganku,” Bang Ucok menandaskan buburnya, “Di sini ramai, kalau di apartemen mana kenal pula kita sama tetangga apalagi sampai sarapan sama-sama kayak gini.”

“Ada benarnya,” sebelum ini Narendra sudah hidup di apartemen bertahun-tahun. Sejak dia kuliah di London. Tetapi dia dapat dikatakan nyaris tidak mengenal dengan siapa dia berbagi gedung. Jangankan bersosialisasi, bertegur sapa hampir tidak pernah dilakukan saat mereka bertemu. Paling sebatas saling menganggukkan kepala.

“Makanya dia betah di sini. Terus, ya, katanya karir dia itu belum lah stabil. Tak mau dihabiskan duitnya buat sewa apartemen. Mending di kontrakan macam ini aja.”

“Gini, ya, Agnia itu lurus aja anaknya. Tak mau dia disuruh aneh-aneh buat dapatin peran atau apa. Padahal kau tahu sendirilah dunia entertainment macam apa, kan? Mana ada yang bersih di situ.”

Sekali lagi Narendra menyetujui pendapat tetangga itu. Walau dia baru resmi memegang tampuk kepemimpinan Widjaja Entertaiment, tetapi sejak kecil dia sudah mengenal dunia itu. Narendra sudah diajak ayahnya untuk mengikuti berbagai pertemuan bisnis sejak remaja. Dia sudah tidak asing dengan dunia entertainment yang penuh dengan sisi gelap. Terutama bagi para pelaku di depan layar seperti aktris dan aktor.

“Kasihan sebenarnya aku sama Agnia. Tapi ya aku sendiri nggak bisa bantu banyak. Aku ya cuma begini. Apalah kata anak sekarang, budak korporat. Kelihatannya aja keren, kalau kerja pakai dasi tapi tak punya kuasa.”

“Kasihan kenapa, Bang?” Rasa penasaran membuat Narendra sudah sepenuhnya lupa pada perutnya yang keroncongan.

“Agnia itu yatim piatu. Tak ada pula keluarganya. Eh, ini teh siapa? Buatku boleh?”

“Minum aja, Bang,” Narendra menjawab sambil tersenyum sementara Badi pusing karena dia tahu setelah ini dia yang akan kerepotan mencari makanan dan minuman yang sesuai dengan standar Narendra.

Bang Ucok segera menghabiskan setengah gelas, “Ada keluarganya tapi keluarga jauh. Tak peduli sama dia. Dari SMA dia itu sudah sendiri. Semua dia usahakan sendiri.”

“Nah, kebetulan pas SMA adalah pula yang nawarin dia jadi model majalah. Pelan-pelan kebuka jalannya. Dia memang suka akting. Anak teater dulu itu.”

“Kayaknya Bang Ucok tahu banyak tentang Agnia?” Narendra memancing agar Bang Ucok bercerita semakin banyak.

“Namanya juga tetangga. Kalau aku tak lembur dan dia lagi tak ada kerjaan ya kita ngobrol-ngobrol sambil makan martabak. Kau tahu minimarket di depan? Kalau malam ada yang jual martabak. Mantap kali rasanya! Udah pernah kau coba?”

Spontan Narendra menggelengkan kepala. Dia baru satu minggu di sini dan selama ini dia masih meminta salah satu asistennya mengantarkan makanan. Niatnya mulai pagi ini dia akan mencoba makanan yang ada di sekitar kontrakannya. Tetapi baru bertemu dengan bubur ayam saja rasanya ingin dia mengurungkan niatnya.

“Nanti malam kubelikan. Macam mana pula kau udah tinggal lama tak pernah coba itu martabak enak? Tak suka kau martabak?”

“Suka, Bang. Dia suka martabak. Aku juga,” Badi yang menjawab. Dia tidak ingin Narendra mengeluarkan jawaban ajaib. Seratus persen dia yakin kalau bosnya itu tidak pernah menikmati martabak. Kalau pun pernah bentuknya tentu berbeda dengan martabak yang dikenal banyak orang.

“Cocoklah! Kubawakan nanti malam, ya? Makin cocok kalau si Agnia juga ada. Biasa sekalian kenalan kalian, kan? Biar makin serulah kita di sini.”

“Boleh, Bang,” Narendra semangat menjawab. Bukan karena kesempatan mencoba martabak tetapi karena kemungkinan berkenalan dengan Agnia. Sejak tadi malam dia cukup penasaran dengan gadis itu. Setelah mendengar cerita Bang Ucok, semakin dia penasaran.

“Tapi ingat, jangan sampai kalian naksir, ya?!”

“Astaga, Bang, masih juga dibahas,” Badi menggeleng tidak percaya.

“Bukan karena aku naksir,” Bang Ucok meminum habis tehnya, “Tapi karena aku tak mau dia sampai patah hati. Kalau kulihat-lihat tampang kalian ini bukan tampang cowok baik baik-baik. Apalagi kau, Rendra.”

“Aku cowok baik-baik, Bang! Jangan sembarangan nuduh, ya!”

Sontak tawa Bang Ucok memenuhi kontrakan Narendra.

“Serius kali kau jadi orang. Ya udahlah. Nanti malam kubawakan martabak, ya,” pria itu bangkit dari duduknya, “Makasih buburnya. Kenyang kali aku.”

“Sama-sama, Bang,” Badi yang menjawab, “Jangan lupa martabaknya, ya.”

“Makanan aja kau ini. Dua nanti kubelikan. Cukup?”

“Kurang, Bang. Tiga, lah.”

“Nyesal aku nawarin,” Bang Ucok berujar sambil berjalan keluar, “Kerja dulu aku.”

Sepeninggalan Bang Ucok, kontrakan petak Narendra kembali sepi. Badi sibuk menonton TV yang menayangkan acara tidak jelas sementara Narenda asyik dengan ponselnya. Bukan tanpa alasan, Narendra yang semakin penasaran tentang Agnia segera menghubungi Abimana dan meminta sepupunya untuk mencari tahu semua tentang Agnia.

Jatuh cintakah dia? Mungkin.

Yang pasti Narendra penasaran.

Comments (15)
goodnovel comment avatar
Edison
makanan ala barat dan indo lain bro harga murah lagi
goodnovel comment avatar
Lili muliana
ktemu jodoh kyknya
goodnovel comment avatar
Yaman HDPE
ceritax menarik lanjutttt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status