“Jadi,” Bang Ucok tidak menunggu Narendra menjawab pertanyaannya, “Kubilang sama kalian, he, dengar baik-baik kalian berdua,” lagi, sesendok besar bubur masuk ke mulutnya, “Jangan sampai kalian berdua naksir sama Agnia. Ingat itu, ya?!”
“Memangnya kenapa, Bang?” Badi yang bertanya. Setelah menghabiskan teh tawar dia tidak memiliki hal lain untuk dilakukan selain menyimak percakapan Bang Ucok dengan bosnya.
“Bang Ucok naksir, iya, kan?” Narendra yang kali ini buka suara.
“Jelaslah! Mana ada cowok normal yang nggak naksir sama cewek macam Agnia?” Bang Ucok terbahak, “Nggak cuma cantik muka aja, dia itu juga cantik hatinya.”
“Masa, Bang?” Narendra terlihat semakin tertarik untuk mencari tahu tentang tetangganya.
“Macam mana, nggak percaya pula kau sama aku?!” Bang Ucok membersihkan sudut bibirnya, “Kubilangin, ya, sejak pindah ke sini nggak pernah dia bikin aneh-aneh. Yang ada dia bantu orang-orang sekitar sini. Apalagi anak-anak. Sampai anak kampong sebelah aja suka kali main ke sini kalau ada dia.”
“Jadi nggak boleh naksirnya karena Bang Ucok naksir?” Badi terkekeh, “Nggak bisa gitu, sebagai cowok kita harus bersaing dengan sehat.”
“Aduh, mana ada saingan sehat kalau lawanku kayak si Rendra ini! Baru lihat muka aja udah kalah lah aku,” Bang Ucok tertawa karena lelucon yang dilontarkannya sendiri, “Dia ganteng, lah aku? Genteng?!”
Narendra dan Badi itu tertawa. Ucapan Bang Ucok tidak sepenuhnya benar. Dibandingkan Narendra memang dia kalah tampan. Tapi itu bukan berarti pria itu tidak menarik.
“Tapi aku kayak pernah lihat Agnia, deh. Kayak di mana gitu.”
“Pastilah, Rendra! Jangan bilang kau tak sadar kalau dia itu aktris!” Bang Ucok kembali menikmati bubur ayam.
“Aktris? Masa Aktris tinggal di kontrakan petak kayak gini?” Giliran Badi yang bersuara, “Penonton bayaran kali?”
“Astagaaaa, kalian ini kenapa nggak percayaan sekali?! Dia itu aktris! Aktris baru tapi menurutku cukup bagus, lah! Terakhir dia main di film, aduh, lupa pula aku judulnya. Pokoknya dia lumayan terkenal.”
“Terus kenapa tinggal di sini?”
“Malas dia tinggal di apartemen. Sama denganku,” Bang Ucok menandaskan buburnya, “Di sini ramai, kalau di apartemen mana kenal pula kita sama tetangga apalagi sampai sarapan sama-sama kayak gini.”
“Ada benarnya,” sebelum ini Narendra sudah hidup di apartemen bertahun-tahun. Sejak dia kuliah di London. Tetapi dia dapat dikatakan nyaris tidak mengenal dengan siapa dia berbagi gedung. Jangankan bersosialisasi, bertegur sapa hampir tidak pernah dilakukan saat mereka bertemu. Paling sebatas saling menganggukkan kepala.
“Makanya dia betah di sini. Terus, ya, katanya karir dia itu belum lah stabil. Tak mau dihabiskan duitnya buat sewa apartemen. Mending di kontrakan macam ini aja.”
“Gini, ya, Agnia itu lurus aja anaknya. Tak mau dia disuruh aneh-aneh buat dapatin peran atau apa. Padahal kau tahu sendirilah dunia entertainment macam apa, kan? Mana ada yang bersih di situ.”
Sekali lagi Narendra menyetujui pendapat tetangga itu. Walau dia baru resmi memegang tampuk kepemimpinan Widjaja Entertaiment, tetapi sejak kecil dia sudah mengenal dunia itu. Narendra sudah diajak ayahnya untuk mengikuti berbagai pertemuan bisnis sejak remaja. Dia sudah tidak asing dengan dunia entertainment yang penuh dengan sisi gelap. Terutama bagi para pelaku di depan layar seperti aktris dan aktor.
“Kasihan sebenarnya aku sama Agnia. Tapi ya aku sendiri nggak bisa bantu banyak. Aku ya cuma begini. Apalah kata anak sekarang, budak korporat. Kelihatannya aja keren, kalau kerja pakai dasi tapi tak punya kuasa.”
“Kasihan kenapa, Bang?” Rasa penasaran membuat Narendra sudah sepenuhnya lupa pada perutnya yang keroncongan.
“Agnia itu yatim piatu. Tak ada pula keluarganya. Eh, ini teh siapa? Buatku boleh?”
“Minum aja, Bang,” Narendra menjawab sambil tersenyum sementara Badi pusing karena dia tahu setelah ini dia yang akan kerepotan mencari makanan dan minuman yang sesuai dengan standar Narendra.
Bang Ucok segera menghabiskan setengah gelas, “Ada keluarganya tapi keluarga jauh. Tak peduli sama dia. Dari SMA dia itu sudah sendiri. Semua dia usahakan sendiri.”
“Nah, kebetulan pas SMA adalah pula yang nawarin dia jadi model majalah. Pelan-pelan kebuka jalannya. Dia memang suka akting. Anak teater dulu itu.”
“Kayaknya Bang Ucok tahu banyak tentang Agnia?” Narendra memancing agar Bang Ucok bercerita semakin banyak.
“Namanya juga tetangga. Kalau aku tak lembur dan dia lagi tak ada kerjaan ya kita ngobrol-ngobrol sambil makan martabak. Kau tahu minimarket di depan? Kalau malam ada yang jual martabak. Mantap kali rasanya! Udah pernah kau coba?”
Spontan Narendra menggelengkan kepala. Dia baru satu minggu di sini dan selama ini dia masih meminta salah satu asistennya mengantarkan makanan. Niatnya mulai pagi ini dia akan mencoba makanan yang ada di sekitar kontrakannya. Tetapi baru bertemu dengan bubur ayam saja rasanya ingin dia mengurungkan niatnya.
“Nanti malam kubelikan. Macam mana pula kau udah tinggal lama tak pernah coba itu martabak enak? Tak suka kau martabak?”
“Suka, Bang. Dia suka martabak. Aku juga,” Badi yang menjawab. Dia tidak ingin Narendra mengeluarkan jawaban ajaib. Seratus persen dia yakin kalau bosnya itu tidak pernah menikmati martabak. Kalau pun pernah bentuknya tentu berbeda dengan martabak yang dikenal banyak orang.
“Cocoklah! Kubawakan nanti malam, ya? Makin cocok kalau si Agnia juga ada. Biasa sekalian kenalan kalian, kan? Biar makin serulah kita di sini.”
“Boleh, Bang,” Narendra semangat menjawab. Bukan karena kesempatan mencoba martabak tetapi karena kemungkinan berkenalan dengan Agnia. Sejak tadi malam dia cukup penasaran dengan gadis itu. Setelah mendengar cerita Bang Ucok, semakin dia penasaran.
“Tapi ingat, jangan sampai kalian naksir, ya?!”
“Astaga, Bang, masih juga dibahas,” Badi menggeleng tidak percaya.
“Bukan karena aku naksir,” Bang Ucok meminum habis tehnya, “Tapi karena aku tak mau dia sampai patah hati. Kalau kulihat-lihat tampang kalian ini bukan tampang cowok baik baik-baik. Apalagi kau, Rendra.”
“Aku cowok baik-baik, Bang! Jangan sembarangan nuduh, ya!”
Sontak tawa Bang Ucok memenuhi kontrakan Narendra.
“Serius kali kau jadi orang. Ya udahlah. Nanti malam kubawakan martabak, ya,” pria itu bangkit dari duduknya, “Makasih buburnya. Kenyang kali aku.”
“Sama-sama, Bang,” Badi yang menjawab, “Jangan lupa martabaknya, ya.”
“Makanan aja kau ini. Dua nanti kubelikan. Cukup?”
“Kurang, Bang. Tiga, lah.”
“Nyesal aku nawarin,” Bang Ucok berujar sambil berjalan keluar, “Kerja dulu aku.”
Sepeninggalan Bang Ucok, kontrakan petak Narendra kembali sepi. Badi sibuk menonton TV yang menayangkan acara tidak jelas sementara Narenda asyik dengan ponselnya. Bukan tanpa alasan, Narendra yang semakin penasaran tentang Agnia segera menghubungi Abimana dan meminta sepupunya untuk mencari tahu semua tentang Agnia.
Jatuh cintakah dia? Mungkin.
Yang pasti Narendra penasaran.
Jika Narendra dibesarkan untuk menjadi seorang pemimpin, maka Abimana dibesarkan untuk menjadi seorang tangan kanan yang sempurna. Pria itu hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam untuk mengumpulkan seluruh informasi tentang Agnia dan mengirimkannya kepada Narendra. Dalam dokumen sepuluh halaman itu Narendra dapat menemukan semua yang ingin diketahuinya. Mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan sampai pekerjaan yang pernah ditekuni oleh gadis itu. “Samahita Agnia,” Narenda mengucap nama gadis itu lembut. Sangat lembut hingga nyaris terdengar seperti bisikan, “Nama yang manis. Cocok dengan orangnya.” Narenda melanjutkan melahap dokumen tersebut sambil bersantai di sofa ditemani secangkir kopi yang rasanya tidak seperti kopi. Terlalu encer dan terlalu manis. Tapi dia tidak ingin menyusahkan Badi lebih jauh hingga memilih untuk tidak mengeluarkan komentar apapun. “Enak kopinya, Bos?” Badi yang merasa aneh melihat Narendra yang tidak ber
Setelah melewati perjalanan yang melelahkan akhirnya Narendra dan Badi sampai di salah satu mal di pusat ibukota. Mal ini terkenal dengan prestige-nya karena hampir seluruh gerai yang ada di sini merupakan luxury brand. Perjalanan ini melelahkan bukan karena letak mal ini jauh dari kontrakan petak mereka melainkan karena Narendra yang tidak berhenti mengeluarkan komentar ajaib.Sejak melihat mobil taksi daring yang menjemput mereka Narendra sudah berkomentar. Terbiasa dengan mobil berukuran besar selama tinggal di Boston, dia cukup kaget melihat low cost green car yang berukuran kecil. Bukan komentar buruk melainkan ketertarikan karena ini pertama kalinya dia menaikinya.Di sepanjang perjalanan, pria itu juga tidak berhenti berceloteh. Persis seperti anak kecil yang senang diajak jalan-jalan oleh orang tuanya di akhir pekan. Badi dengan sabar menjawab semua pertanyaan dan mendengarkan komentar bos yang harus dijaganya sejak beberapa tahun lal
“Lo masih lama?” Narendra terdengar menuntut.“Udah di depan. Lagi mau valet, kenapa?” Abimana menjawab sambil turun dan menyerahkan kunci mobil pada petugas valet, “Kelaperan?”“Buruan. Gue tunggu di The Tailor,” dia tidak mempedulikan candaan yang dilontarkan sepupunya, “Lo bawa pesanan gue?”“Bawa. Buat apaan? Tumben banget lo minta cash. Udah nyerah dan mau balik jadi Pak Sabda?”“Nanti juga lo tahu,” tanpa menunggu jawaban Abimana dia memutus sambungan telepon. Narendra tidak perlu menunggu lama. Tidak sampai lima menit Abimana sudah keluar dari lift. Penampilan pria itu khas penampilan para eksekutif muda yang hilir mudik di distrik bisnis ibukota. Suits dari salah satu rumah mode dipadu kemeja beraroma duit, ini istilah Badi untuk barang mewah dengan harga tidak masuk akal, dipadu sepatu kulit yang meneriakan salah satu brand
“Aku capek!” Keluhan itu keluar dari mulut Narendra ketika mereka turun dari taksi daring di depan gang kontrakan petak.Selesai fitting dan makan siang, Abimana merayu Narendra untuk ke kantor dengan janji makan malam. Narendra, yang masih tidak habis pikir dengan harga makan di sekitar kontrakan petaknya, memilih untuk setuju dengan tawaran Abimana. Sesampai di kantor, Narendra segera berhadapan dengan berbagai pekerjaan yang mengalir tanpa henti. Abimana benar-benar memanfataan keberadaan Narendra di kantor dengan baik.Pekerjaan itu baru berhenti pukul tujuh dan berganti dengan makan malam yang dipesan Abimana dari salah satu restoran kesukaan sepupunya. Makanan itu berhasil membungkam Narendra yang sebelumnya sudah siap dengan berbagai keluhan.“Kalau aku kenyang, Bos,” Badi tertawa, “Enak banget memang nemenin Bos sama Pak Abi.”“Kamu enak, makan doang. Aku?” Narendra bersungut kesal, “H
“Pesta martabak?” Agnia berdiri di ambang pintu kontrakan petak Narendra sambil tertawa kecil, “Aku boleh ikutan?”Rasa lelah yang sedang tadi menggelayuti Agnia seketika lenyap ketika tetangga kontrakan petaknya menyapa. Hari ini cukup melelahkan untuknya. Dia pikir jadwalnya akan brakhir cepat. Hanya dia jadwal, mencoba riasan untuk salah satu pemotretan dan reading untuk film terbarunya, tetapi dia salah.Proses reading memakan waktu berjam-jam. Bukan kesalahannya melainkan karena kesalahan memilih pemeran utama. Aktris itu sama sekali tidak mampu berakting sama sekali. Ini baru reading entah apa yang akan terjadi saat proses syuting nanti.“Boleh, lah! Ini sengaja udah kubelikan martabak telur. Dari tadi kujaga dari dua orang ini. Kalau nggak bisa-bisa udah habis sama mereka.”“Enak aja,” Badi menikmati potongan martabak keju terakhir, “Kita nggak bakalan ngabisin, paling
Grrookkk…NGROOOOKKK…..NGROOK…ssshhhhh….ggrroookkkk…..NGROOOKK!!“Siapa?!” Narendra terbangun karena suara dengkuran yang semakin lama semakin kuat. Dengan bingung dia melihat sekeliling. Butuh dua menit sebelum dia benar-benar sadar dan ingat mengapa dia tidur di sofa bukan di kamarnya serta mengapa Bang Ucok dan Badi terlelap di atas karpet dengan posisi saling memeluk.Semalam, setelah menghabiskan tiga kotak martabak mereka asyik berbagi cerita dan bercanda tanpa mengindahkan waktu yang terus berjalan. Sudah lewat tengah malam ketika Agnia pamit dan kembali ke kontrakan petaknya. Gadis itu ingin mandi dan beristirahat. Tanpa Agnia keseruan masih tidak berkurang. Narendra dan Badi capek terpingkal mendengar berbagai pengalaman hidup Bang Ucok. Sesekali Badi akan menimpali dan ikut bercerita sementara Narendra memilih untuk menjadi pendengar saja.Keseruan itu berakhir dengan mereka bertiga tertidur di rua
Narendra berkonsentrsi penuh. Bukan pada sepiring nasi uduk yang tersaji di depannya tetapi dia fokus memperhatikan Agnia yang sibuk melahap sarapannya. Gadis itu terlihat tidak terganggu dengan situasi sekitar yang cukup berisik karena jalan di samping warung ini mulai ramai. Narendra senang memperhatikan Agnia makan. Gadis itu terlihat sangat menikmati makanannya dan tidak peduli kalau itu membuatnya terlihat jelek atau tidak sempurna.“Kenapa nggak makan?” Agnia bertanya sambil sibuk mengunyah, “Nggak bakalan sakit perut.”“Ini baru mau makan,” Narendra mengalihkan perhatian dan berusaha menebak apa yang ada di piringnya.Ketika Agnia bertanya, karena bingung Narendra menjawab untuk menyamakan pesanannya dengan gadis itu. Akibatnya sekarang dia clueless menatap piringnya. Oke, dia tahu kalau ini nasi uduk dan telur dadar tapi lauk lain yang memenuhi piring tidak dikenalnya.“Eer…ini apa?”
UHUK!Narendra yang sedang menikmati nasi uduknya tersedak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh teman sarapannya pagi ini.“Eh, kenapa, kenapa?” Agnia panik dan segera mengusap punggung Narendra sambil mengulurkan teh hangat, “Kenapa, sih? Duh, nggak kenapa-kenapa, kan?”Narendra menggeleng sambil berusaha mengatur napasnya, “Sorry.”“Kenapa juga minta maaf,” Agnia masih terus mengusap punggung Narendra, “Minum dulu.”“I-iya,” pria itu menyesap teh hangat, “Sorry, nggak tahu, nih, kenapa.”Agnia tertawa kecil, “Bukan kaget karena kemakan jengkol, kan?”“Nggak, nggak,” Narendra kembali menyesap teh, “Tadi kamu nanya apa?”“Nanya apa?” Agnia menatap bingung, “Oh! Aku tanya pekerjaan kamu. Kepo banget, ya?”“Kepo itu apa?” Narendra menghabiskan seten