Beranda / Urban / Ternyata Kaya Tujuh Turunan / Bubur Ayam Sepuluh Ribu

Share

Bubur Ayam Sepuluh Ribu

“Bos,” Badi menyapa Narendra yang sedang santai di sofa kontrakan petaknya, “Pesanannya, nih.”

“Bubur?” Narenda segera menegakkan punggung.

“Iya, sama teh tawar,” bodyguard itu menjawab sambil berjalan ke dapur dan bersiap memindahkan bubur ayam ke mangkuk.

“Teh tawar?” Dia mengernyit bingung, “Apa hubungannya bubur sama teh tawar?”

“Di sini kalau beli bubur ayam biasanya dikasih teh tawar hangat, Bos. Gratis.”

“Gitu? Memangnya makan bubur pakai teh?” Sepertinya sejak tinggal di kontrakan petak ini kecerdasan Narendra menurun drastis.

“Ya nggak, Bos. Tapi habis makan seret, kan? Ya minumnya teh tawar.”

“Oh gitu,” pria berkaos itu menggaruk tengkuknya, “Buburnya mana? Udah laper banget. Mana tadi malam …” tanpa sadar dia terus menyerocos menceritakan kejadian token listrik yang terus berbunyi dan kebingungannya. Sesekali ceritanya akan terpotong karena Badi tidak mampu menahan tawanya.

Badi sudah menjadi bodyguard anak bungsu keluarga Widjaja selama beberapa tahun sehingga mereka cukup dekat. Jika ada orang lain Badi akan bersikap profesional. Tetapi jika mereka hanya berdua atau bersama keluarga Widjaja maka mereka terlihat seperti dua orang teman.

“Sialan. Puas banget, ya, ketawanya,” Narendra bersungut kesal.

“Maaf, maaf,” Badi berusaha meredakan tawa, “Salah aku juga nggak ngajarin isi token.”

“Iya! Memang salah kamu!” Narendra masih terlihat kesal, “Malu banget sama cewek sebelah!”

Badi terkekeh, “Tapi paling nggak jadi bisa kenalan sama cewek, kan, Bos?”

“Kenalan dari mana?! Itu pintu pas banget nutup depan muka aku. Sedikit lagi kena muka, deh, kayaknya.”

“Tapi cantik, Bos? Katanya, sih, cewek di sebelah cantik. Cuma aku belum pernah ketemu langsung, sih. Cuma dengar-dengar aja.”

“Jangan ditanya! Sama tunangan si Ardi, eh, tahu, kan? Yang kemarin di kantor?” Melihat anggukan Badi, Narendra melanjutkan kalimatnya, “Kayak bumi sama langit! Jelas cewek sebelah langitnya! Cantik banget padahal nggak make up-an dan cuma pakai daster.”

“Kenalan, dong, Bos. Masa Bos yang terkenal doyan nyicip cewek nggak berani buat kenalan doang?” Badi tidak serius, hanya sekadar menggoda.

“Bukan nggak berani, Cuma takut kalau terlalu dikejar dia malah illfeel. Kan, bahaya,” Narendra menatap bingung mangkuk yang baru saja diletakkan Badi di depannya, “Ini apa?”

“Bubur ayam. Tadi Bos pesen, kan?”

Dia memainkan bubur ayam itu dengan sendok, “Ini…bubur?”

“Iya. Ada yang salah, Bos?”

“Itu…” Narendra masih memainkan sendok, “Biasanya bubur sama condiment-nya dipisah di mangkuk-mangkuk kecil, kan? Kuahnya juga jernih nggak keruh kayak gini. Terus ini topping-nya apa?”

“Astaga…” Badu menepuk dahi, “Bos, kalau bubur ayam, ya, gitu di sini.”

“Seriusan? Kamu bukannya lagi ngerjain aku?” Narendra menatap curiga. Dia ingat dia pernah mengerjai Badu ketika bodyguard-nya pertama kali mencoba cheese founde saat mereka menghabiskan musim dingin di Swiss. Bisa saja saat ini Badi ingin membalasnya, kan?

“Nggak mungkin aku berani ngerjain Bos,” Badi mengambil Styrofoam berisi bubur miliknya, “Sama, kan?”

Dengan seksama Narendra memperhatikan bubur yang ada di mangkuk kemudian membandingkan dengan milik Badi. Walau tidak sama, kedua bubur itu terlihat sama. Bubur, suwiran ayam, cakwe, kacang kedelai, dan kuah keruh berwarna kuning. Meski demikian dia masih tidak dapat menerima kalau ini adalah bubur. Bubur yang dikenal Narendra disajikan di mangkuk keramik cina. Bubur masih panas dan berasap, seluruh condiment terlihat segar dan begitu menggoda untuk segera dicicipi. Kuahnya juga jernih dengan aroma yang akan membuat perut siapapun mendadak berbunyi.

“Sama,” dia menjawab ragu.

“Bos, kalau yang namanya bubur ayam orang kayak saya itu ya kayak gini. Mau Bos cari ke mana juga bentukannya bakal kayak gini. Jangan dibandingin sama yang biasa Bos makan. Harganya aja beda banget.”

“Ini berapa? Seratus ribu?” Lagi, Narendra merasa seperti tersedot ke dunia yang tidak dikenalnya. Ini bukan pertama kali dia kebingungan seperti sekarang.

Ketika pertama kali Badi membawanya ke kontrakan petak ini, Badi harus menjelaskan sampai mulutnya berbusa kalau kontrakan petak ini dapat disebut rumah. Kontrakan petak yang sekarang ditempati tidak lebih besar dari kamar kucing kesayangan Mama di rumah utama Widjaja. Bagaimana dia bisa menerima kenyataan itu?!

Akhirnya Badi memutuskan untuk mengantarkan Narendra berkeliling. Pria itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kalau kontrakan petak itu memang rumah. Bahkan ada beberapa kontrakan petak yang ditempati oleh sebuah keluarga dengan dua anak kecil. Seumur hidup, ini pertama kalinya Narendra menyadari kehidupan orang biasa begitu berbeda dengan hidup yang dikenalnya.

“Seratus ribu dapat sepuluh bungkus, Bos,” Badi lelah menunggu Narendra dan memutuskan untuk sarapan tanpa menunggu bosnya mulai makan.

“Sepuluh ribu?!” Narendra harus menahan diri agar tidak berteriak.

Bagaimana mungkin ada makanan seharga sepuluh ribu? Bubur yang biasa dimakannya harganya berkali lipat lebih mahal. Bahkan secangkir kopi yang biasa dinikmati, bukan, sebotol air mineral yang biasa diminumnya saja lebih mahal dari sepuluh ribu.

“Iya. Sepuluh ribu,” Badi terlihat lahap menyantap buburnya, “Jangan kaget, Bos. Memang harganya segitu, Mahal yang dekat stasiun bisa delapan ribu.”

“Delapan..wait?! WHAT?! Eight thousand? For sure?! Kamu pasti bercanda!” Narendra menolak untuk percaya.

Badi terbahak, “Kaget, Bos?”

Dia segera mengangguk. Semua ini terlalu mengejutkan, “Aku nggak pernah tahu kalau delapan ribu bisa dapat makanan.”

“Kapan-kapan aku ajakin makan di warteg. Biar Bos lebih kaget lagi,” Badi masih menyantap bubur ayamnya sambil tergelak.

“Warteg itu apa?” Narenda bertanya sambil menatap bubur ayam di hadapannya. Kepalanya penuh dengan pertanyaan apakah dia harus memakannya atau tidak. Setengah dirinya tidak yakin kalau dia harus mempertaruhkan hidupnya dengan menghabiskan semangkuk bubur dengan harga tidak masuk akal. Tetapi separuh lagi berulang kali mengingatkan dirinya kalau dia lapar. Sangat lapar.

“Tempat makan,” sang bodyguard menjawab singkat.

“Restoran yang namanya Warteg?”

“Bukan restoran. Warteg itu…”

“Bentar, bentar,” Narendra menyambar mangkuk bubur kemudian berjalan ke pintu kontrakan petaknya, “Bang Ucok!”

Pria yang baru saja keluar dari kontrakannya itu menatap bingung. Butuh beberapa detik sebelum dia ingat siapa Narendra, penghuni baru kontrakan di sebelahnya.

“Oy tetangga,” Bang Ucok memamerkan senyum ramahnya, “Macam mana, betah kau?”

“Betah, Bang,” Narendra balas tersenyum, “Bang Ucok pulang pagi? Kerja apa memangnya, Bang?”

“Kerjaanku itu ngitungin uang orang,” tawanya menggelegar, “Lembur semalam. Kau nggak kerja?”

“Belum, Bang,” berusaha untuk tidak memancing kecurigaan, Narendra menjawab sesingkat mungkin, “Oh iya, Bang Ucok udah sarapan? Kebetulan temen aku beli buburnya kelebihan. Kalau belum buat Bang Ucok aja.”

“Pas kali aku belum sarapan ini. Baru aja mau jalan,” dia mengunci pintu kontrakannya, “Kata Mamakku di kampung, nggak boleh lah kita tolak rejeki. Aku makan di tempat kau aja, ya?”

“Oh, boleh, Bang,” Narendra bergeser memberi ruang bagi Bang Ucok untuk masuk, “Tapi masih kosong kontrakanku, Bang. Belum sempat ngisi apa-apa.”

“Nggak apa-apa itu. Sibuk, kan, kau?” Pria berbadan besar itu tutup  di samping Badi, “Eh, Kau yang kontrakan depan itu, kan? Di sini juga kau rupanya.”

“Iya, Bang,” Badi menghabiskan buburnya, “Aku pindah ke sini nggak lama setelah Bang Ucok.”

“Iya, ingatlah aku itu. Aku ingat siapa aja yang masuk ke sini,” dia menerima mangkuk bubur, “Habis kau masuk, si Agnia yang masuk, terus baru kau. Eh iya, siapa nama kau?”

“Rendra, Bang,” Narendra menjawab sigap.

“Macam nama penyair itu? Bisa kau bikin puisi?” Bang Ucok mulai menikmati buburnya dan dari ekspresinya Narendra dapat menebak kalau citarasa bubur itu cukup enak.

“Nggak bisa, Bang. Dulu pernah nyoba buat nembak cewek malah ditolak,” Tidak sepenuhnya benar. Ini hanya ceritanya rekaannya. Dia memang pernah membuat puisi tetapi bukan untuk seorang wanita, “Agnia itu yang tinggal di sebelah, Bang?”

“Iya. Udah kenalan kau?”

“Belum, tapi semalam dia bantuin aku ngisi token.”

“Memang baik anaknya. Kau tahu, dia itu aktris,” kembali satu suapan besar masuk ke mulut Bang Ucok.

“Pantas cantik, ya, Bang.”

Bang Ucok menghentikan kunyahannya kemudian menatap Narendra serius, “Naksir pula kau?”

Pertanyaan itu membuat Narendra menelan ludah. 

Komen (15)
goodnovel comment avatar
Lili muliana
ada kocaknya nih
goodnovel comment avatar
4 Syuk
ßsssssstttt
goodnovel comment avatar
BertusRuanus
penulisnya lebay ....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status