Jika Narendra dibesarkan untuk menjadi seorang pemimpin, maka Abimana dibesarkan untuk menjadi seorang tangan kanan yang sempurna. Pria itu hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam untuk mengumpulkan seluruh informasi tentang Agnia dan mengirimkannya kepada Narendra.
Dalam dokumen sepuluh halaman itu Narendra dapat menemukan semua yang ingin diketahuinya. Mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan sampai pekerjaan yang pernah ditekuni oleh gadis itu.
“Samahita Agnia,” Narenda mengucap nama gadis itu lembut. Sangat lembut hingga nyaris terdengar seperti bisikan, “Nama yang manis. Cocok dengan orangnya.”
Narenda melanjutkan melahap dokumen tersebut sambil bersantai di sofa ditemani secangkir kopi yang rasanya tidak seperti kopi. Terlalu encer dan terlalu manis. Tapi dia tidak ingin menyusahkan Badi lebih jauh hingga memilih untuk tidak mengeluarkan komentar apapun.
“Enak kopinya, Bos?” Badi yang merasa aneh melihat Narendra yang tidak berkomentar.
“Hm,” hanya gumaman tidak jelas. Pria itu sedang fokus membaca dokumennya.
Cerita hidup Agnia begitu menarik sekaligus penuh tanda tanya besar. Ternyata ibunya merupakan seorang aktris besar pada zamannya. Sayang hidupnya berakhir tragis. Sementara ayahnya..tidak ada keterangan. Narendra seketika mengernyit bingung. Bagaimana mungkin Abimana mengirimkan data yang tidak lengkap?
Kasar, Narendra menggulir layar ponsel. Berusaha membaca cepat semua data yang ada. Baru di halaman terakhir dia menemukan jawabannya.
Ayah tidak diketahui dengan pasti. Kemungkinan besar merupakan anak dari seorang sutradara yang sempat digosipkan dekat dengan Sang Ibu pada masa kejayaannya tetapi tidak pernah ada komfirmasi. Jika kamu penasaran, aku akan minta tim kita untuk menyelidiki.
Setelah membaca potongan informasi itu, Narendra kembali menggulirkan layar ponsel dan melanjutkan membaca informasi tentang Agnia. Ibunya meninggal, diduga karena bunuh diri, saat Agnia berusia 12 tahun. Karena tidak ada keluarga dari ibunya yang bersedia menampung, gadis itu terpaksa tinggal di panti asuhan. Cukup dari namanya, Naredra tahu kalau itu merupakan salah satu panti asuhan yang dikelola dengan menggunakan dana CSR perusahaan keluarganya.
Agnia tinggal di sana sampai dia lulus SMA, setelah itu dia hidup mandiri. Memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, Agnia sudah mencoba berbagai pekerjaan untuk tetap bertahan hidup. Mulai dari menjadi kasir toko sampai menjadi SPG berbagai brand dan di berbagai event. Tidak hanya itu, ternyata sejak SMA dia sudah bergabung dengan salah satu kelompok teater besar di kota ini.
“Hm, apa dia seberbakat ibunya?” Narendra tanpa sadar berujar penasaran.
“Siapa?” Badi yang asyik menonton tayangan infotaiment segera berpaling menatap Narendra.
“Bukan siapa-siapa,” tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel Narendra menjawab.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Narendra kembali tenggelam dalam dokumen itu. Sejauh ini dia dapat menyimpulkan kalau Agnia cukup berbakat. Tawaran film yang didapatnya menjanjikan dan sebagian besar berakhir dengan sukses. Bahkan proyek film indie yang diterimanya berhasil sampai meraih penghargaan di festival film luar negeri. Cukup aneh mengapa sampai sekarang dia belum mendapatkan tawaran sebagai pemeran utama.
Ada yang salah. Tapi apa?
Insting bisnis Narendra sedikit terganggu. Seharusnya dengan track record yang dimilikinya, Agnia seharusnya sudah mendapatkan tawaran sebagai pemeran utama. Tidak lagi sekadang pemeran figuran.
“Bos, Agnia yang tadi diomongin Bang Ucok itu yang ini?” Badi yang baru saja kembali menatap layar TV bertanya.
“Siapa?” Masih tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.
“Lihat dulu makanya, Bos,” bodyguard itu berujar kesal, “Keburu ganti berita, ini.”
“Iya, iya,” sambil bersungut Narendra mengalihkan pandangan ke layar TV. Sungutan itu dengan cepat berubah menjadi ketertarikan. Wajah Agnia mengisi hampir seluruh layar TV.
Badi yang melihat reaksi bosnya hanya berkomentar cepat, “Bener, ya? Kalau bener pantes aja Bos kayak kesambet.”
“Diam. Aku mau dengerin beritanya.”
“Nyesal aku kasih tahu,” Badi terkekeh sebelum kembali memperhatikan layar TV dan ikut mengagumi kecantikan Samahita Agnia.
Ternyata itu berita lama saat Agnia menghadiri acara premier film yang sempat dibicarakan Bang Ucok. Gadis itu terlihat sangat menawan dengan gaun merah memeluk tubuhnya sempurna. Pilihan yang tepat karena gaun itu menonjolkan bagian tubuh yang tepat. Riasannya tidak terlalu berlebihan kecuali lipstick warna merah menyala senada dengan gaun yang dikenakan. Ketika berfoto dengan seluruh pemeran, orang awam sekalipun dapat melihat kalau Agnia yang paling bersinar malam itu. Bahkan aura Sang pemeran utama tidak berhasil meredupkannya.
Berita tidak lama. Hanya dua menit. Tetapi cukup panjang untuk mempertebal rasa penasaran Narendra.
“Kalau bener itu cewek sebelah, pepet terus, Bos,” Badi berkomentar tepat ketika Narendra kembali fokus dengan ponselnya.
“Di, siap-siap.”
“Siap-siap ngapain, Bos? Beneran mau dipepet? Gimana caranya?”
Narendra memutar bola mata, “Siap-siap kita jalan. Aku janjian sama Abi di restoran biasa.”
“Oalaaah,” dia mematikan TV, “Pakai taksi online?”
“Iya. Kita nggak bawa mobil, kan?” Narendra menekan speed dial untuk menelepon sepupunya.
“Kali aja Bos mau nyobain naik angkot atau MRT,” tanpa takut dia menggoda bosnya. Walau bosnya bilang ingin mencoba kehidupan orang biasa tetapi sampai sekarang dia tidak sampai hati untuk mengajak bosnya menggunakan angkutan umum.
“Kapan-kapan,” Narendra menjawab singkat sebelum mulai berbicara dengan Abimana yang baru menerima panggilannya, “Bi, lunch di tempat biasa?”
“Tumben. Lo sepenasaran itu sama cewek ini?”
“Nggak usah dibahas. Bisa? Atau lo udah ada janji lunch sama tunangan lo? Lunch-nya diganti dinner aja. Kalau dinner, kan, bisa sampai besok.”
“Bener, lo penasaran banget. Kalau nggak, nggak bakalan lo ngalihin pembicaraan.”
“Sial. Bisa nggak? Tinggal jawab aja susah bener.”
“Bisa,” terdengar suara keyboard ditekan, “Tapi nggak pas jam 12, ya? Masih ada yang harus gue kerjain.”
“Sok sibuk banget, sih, lo?” Narendra berjalan ke kamar untuk mengganti pakaiannya.
“Siapa yang bikin gue sibuk? Harusnya ini kerjaan lo.”
“Ampuun,” Narendra tertawa tanpa rasa bersalah, “Ya udah. Di tempat biasa?”
“Iya. Sekalian lo juga harus beli baju buat ulang tahun pernikahan orang tua lo. Nggak lupa, kan?”
“Iya, iya, bawel lo sama aja dengan Kak Raja,” Narendra walau sudah berusia nyaris 30 tahun tetapi di hadapan saudara-saudaranya dia selalu menjadi si bungsu yang manja.
“Bagus. Paling nggak kerjaan gue agak berkurang. Nanti lo tinggal ke butik biasa, bilang mau fitting.”
“Siap, Abimana! Lo selalu bikin hidup gue jadi lebih mudah.”
“Kalau ada maunya aja,” Abimana berpura-pura kesal, “Nanti gue bawain tambahan data tentang cewek lo.”
“See you, Sepupu!” Narendra memutus sambungan telepon dengan riang.
Setelah melewati perjalanan yang melelahkan akhirnya Narendra dan Badi sampai di salah satu mal di pusat ibukota. Mal ini terkenal dengan prestige-nya karena hampir seluruh gerai yang ada di sini merupakan luxury brand. Perjalanan ini melelahkan bukan karena letak mal ini jauh dari kontrakan petak mereka melainkan karena Narendra yang tidak berhenti mengeluarkan komentar ajaib.Sejak melihat mobil taksi daring yang menjemput mereka Narendra sudah berkomentar. Terbiasa dengan mobil berukuran besar selama tinggal di Boston, dia cukup kaget melihat low cost green car yang berukuran kecil. Bukan komentar buruk melainkan ketertarikan karena ini pertama kalinya dia menaikinya.Di sepanjang perjalanan, pria itu juga tidak berhenti berceloteh. Persis seperti anak kecil yang senang diajak jalan-jalan oleh orang tuanya di akhir pekan. Badi dengan sabar menjawab semua pertanyaan dan mendengarkan komentar bos yang harus dijaganya sejak beberapa tahun lal
“Lo masih lama?” Narendra terdengar menuntut.“Udah di depan. Lagi mau valet, kenapa?” Abimana menjawab sambil turun dan menyerahkan kunci mobil pada petugas valet, “Kelaperan?”“Buruan. Gue tunggu di The Tailor,” dia tidak mempedulikan candaan yang dilontarkan sepupunya, “Lo bawa pesanan gue?”“Bawa. Buat apaan? Tumben banget lo minta cash. Udah nyerah dan mau balik jadi Pak Sabda?”“Nanti juga lo tahu,” tanpa menunggu jawaban Abimana dia memutus sambungan telepon. Narendra tidak perlu menunggu lama. Tidak sampai lima menit Abimana sudah keluar dari lift. Penampilan pria itu khas penampilan para eksekutif muda yang hilir mudik di distrik bisnis ibukota. Suits dari salah satu rumah mode dipadu kemeja beraroma duit, ini istilah Badi untuk barang mewah dengan harga tidak masuk akal, dipadu sepatu kulit yang meneriakan salah satu brand
“Aku capek!” Keluhan itu keluar dari mulut Narendra ketika mereka turun dari taksi daring di depan gang kontrakan petak.Selesai fitting dan makan siang, Abimana merayu Narendra untuk ke kantor dengan janji makan malam. Narendra, yang masih tidak habis pikir dengan harga makan di sekitar kontrakan petaknya, memilih untuk setuju dengan tawaran Abimana. Sesampai di kantor, Narendra segera berhadapan dengan berbagai pekerjaan yang mengalir tanpa henti. Abimana benar-benar memanfataan keberadaan Narendra di kantor dengan baik.Pekerjaan itu baru berhenti pukul tujuh dan berganti dengan makan malam yang dipesan Abimana dari salah satu restoran kesukaan sepupunya. Makanan itu berhasil membungkam Narendra yang sebelumnya sudah siap dengan berbagai keluhan.“Kalau aku kenyang, Bos,” Badi tertawa, “Enak banget memang nemenin Bos sama Pak Abi.”“Kamu enak, makan doang. Aku?” Narendra bersungut kesal, “H
“Pesta martabak?” Agnia berdiri di ambang pintu kontrakan petak Narendra sambil tertawa kecil, “Aku boleh ikutan?”Rasa lelah yang sedang tadi menggelayuti Agnia seketika lenyap ketika tetangga kontrakan petaknya menyapa. Hari ini cukup melelahkan untuknya. Dia pikir jadwalnya akan brakhir cepat. Hanya dia jadwal, mencoba riasan untuk salah satu pemotretan dan reading untuk film terbarunya, tetapi dia salah.Proses reading memakan waktu berjam-jam. Bukan kesalahannya melainkan karena kesalahan memilih pemeran utama. Aktris itu sama sekali tidak mampu berakting sama sekali. Ini baru reading entah apa yang akan terjadi saat proses syuting nanti.“Boleh, lah! Ini sengaja udah kubelikan martabak telur. Dari tadi kujaga dari dua orang ini. Kalau nggak bisa-bisa udah habis sama mereka.”“Enak aja,” Badi menikmati potongan martabak keju terakhir, “Kita nggak bakalan ngabisin, paling
Grrookkk…NGROOOOKKK…..NGROOK…ssshhhhh….ggrroookkkk…..NGROOOKK!!“Siapa?!” Narendra terbangun karena suara dengkuran yang semakin lama semakin kuat. Dengan bingung dia melihat sekeliling. Butuh dua menit sebelum dia benar-benar sadar dan ingat mengapa dia tidur di sofa bukan di kamarnya serta mengapa Bang Ucok dan Badi terlelap di atas karpet dengan posisi saling memeluk.Semalam, setelah menghabiskan tiga kotak martabak mereka asyik berbagi cerita dan bercanda tanpa mengindahkan waktu yang terus berjalan. Sudah lewat tengah malam ketika Agnia pamit dan kembali ke kontrakan petaknya. Gadis itu ingin mandi dan beristirahat. Tanpa Agnia keseruan masih tidak berkurang. Narendra dan Badi capek terpingkal mendengar berbagai pengalaman hidup Bang Ucok. Sesekali Badi akan menimpali dan ikut bercerita sementara Narendra memilih untuk menjadi pendengar saja.Keseruan itu berakhir dengan mereka bertiga tertidur di rua
Narendra berkonsentrsi penuh. Bukan pada sepiring nasi uduk yang tersaji di depannya tetapi dia fokus memperhatikan Agnia yang sibuk melahap sarapannya. Gadis itu terlihat tidak terganggu dengan situasi sekitar yang cukup berisik karena jalan di samping warung ini mulai ramai. Narendra senang memperhatikan Agnia makan. Gadis itu terlihat sangat menikmati makanannya dan tidak peduli kalau itu membuatnya terlihat jelek atau tidak sempurna.“Kenapa nggak makan?” Agnia bertanya sambil sibuk mengunyah, “Nggak bakalan sakit perut.”“Ini baru mau makan,” Narendra mengalihkan perhatian dan berusaha menebak apa yang ada di piringnya.Ketika Agnia bertanya, karena bingung Narendra menjawab untuk menyamakan pesanannya dengan gadis itu. Akibatnya sekarang dia clueless menatap piringnya. Oke, dia tahu kalau ini nasi uduk dan telur dadar tapi lauk lain yang memenuhi piring tidak dikenalnya.“Eer…ini apa?”
UHUK!Narendra yang sedang menikmati nasi uduknya tersedak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh teman sarapannya pagi ini.“Eh, kenapa, kenapa?” Agnia panik dan segera mengusap punggung Narendra sambil mengulurkan teh hangat, “Kenapa, sih? Duh, nggak kenapa-kenapa, kan?”Narendra menggeleng sambil berusaha mengatur napasnya, “Sorry.”“Kenapa juga minta maaf,” Agnia masih terus mengusap punggung Narendra, “Minum dulu.”“I-iya,” pria itu menyesap teh hangat, “Sorry, nggak tahu, nih, kenapa.”Agnia tertawa kecil, “Bukan kaget karena kemakan jengkol, kan?”“Nggak, nggak,” Narendra kembali menyesap teh, “Tadi kamu nanya apa?”“Nanya apa?” Agnia menatap bingung, “Oh! Aku tanya pekerjaan kamu. Kepo banget, ya?”“Kepo itu apa?” Narendra menghabiskan seten
“Bos, ini nasi uduk Mpok Wati?”Narendra berjalan keluar kamar setelah mandi dan berganti pakaian dengan kaos dan celana pendek, “Iya. Kok tahu?”“Hapal, Bos. Kan, sering sarapan di situ,” Badi dengan lahap menikmati nasi uduknya, “Bang Ucok bilang makasih. Dia buru-buru karena harus kerja.”“Di, kamu bosan nggak?”Badi yang sedang lahap mendadak berhenti makan, “Bos, jangan bilang kalau udah bosan. Katanya mau hidup gini selama tiga bulan?”“Aku nanya,” Narendra duduk di sofa, “Aku nanya kamu bosan nggak? Soalnya kamu cuma nemenin aku gini? Doing nothing almost everyday.”“Sebenarnya ini mau ke mana omongannya?” Badi kembali makan, “Nggak usah basa-basi. Nggak cocok, Bos!”“Sial!” Narendra melempar tisu bekas yang ditemukan di sofa ke arah Badi, “Ya nggak ke mana-mana. Cuma kepiki