Setelah melewati perjalanan yang melelahkan akhirnya Narendra dan Badi sampai di salah satu mal di pusat ibukota. Mal ini terkenal dengan prestige-nya karena hampir seluruh gerai yang ada di sini merupakan luxury brand. Perjalanan ini melelahkan bukan karena letak mal ini jauh dari kontrakan petak mereka melainkan karena Narendra yang tidak berhenti mengeluarkan komentar ajaib.
Sejak melihat mobil taksi daring yang menjemput mereka Narendra sudah berkomentar. Terbiasa dengan mobil berukuran besar selama tinggal di Boston, dia cukup kaget melihat low cost green car yang berukuran kecil. Bukan komentar buruk melainkan ketertarikan karena ini pertama kalinya dia menaikinya.
Di sepanjang perjalanan, pria itu juga tidak berhenti berceloteh. Persis seperti anak kecil yang senang diajak jalan-jalan oleh orang tuanya di akhir pekan. Badi dengan sabar menjawab semua pertanyaan dan mendengarkan komentar bos yang harus dijaganya sejak beberapa tahun lalu.
Ketika pertama kali ditugaskan untuk menjaga Narendra, dia berpikir akan menghadapi seorang tuan muda yang angkuh dan dingin. Dugaan yang sepenuhnya salah. Narendra yang hanya berbeda beberapa tahun darinya itu serupa dengan mahasiswa lain di kampusnya. Pria itu selalu penuh semangat, ramah pada siapa saja dan memanfaatkan semua fasilitas dan kemudahan dari keluarganya dengan sebaik mungkin.
Pria itu memang penuh priviledge dan dia menyadarinya itu dengan baik.
Begitu menjejakan kaki di lobi mal, Narendra seakan berubah menjadi sosok yang berbeda. Tidak ada lagi anak kecil yang sibuk berceloteh. Dia kembali menjelma menjadi seorang pria yang penuh dengan kepercayaan diri. Walau hanya mengenakan kaos putih dan jeans auranya tidak kalah dengan pengunjung lain yang mengenakan pakaian dari berbagai luxury brand.
“Langsung ke restoran yang biasa?” Badi bertanya. Bukan karena lapar tapi hanya sekadar penasaran.
“Nggak. Abi nyuruh aku fitting buat acara ulang tahun pernikahan Papa,” pria itu memutar mata malas, “Ngapain coba ngerayain tiap tahun? Kayak kurang kerjaan aja.”
“Tapi makanannya enak, Bos”
Spontan Narendra tertawa. Badi sudah sering mencicipi berbagai makanan enak. Apa yang dia makan biasanya juga dinikmati oleh bodyguard-nya. Tapi sampai sekarang pria itu selalu bersemangat setiap ada kesempatan makan gratis. Kata Badi kebiasaan itu sudah menempel di dirinya. Mau semampu apa pun dia, makanan gratis selalu jadi yang terbaik.
“Iya, sih,” Narendra memilih untuk menggunakan lift. Tidak ada rencana untuk window shopping apalagi belanja. Dia meninggalkan tiga teman baiknya – Visa, Mastercard, dan American Express – di rumah ketika memutuskan untuk mencoba kehidupan menjadi orang biasa. Saat ini hanya ada satu kartu debit di tangannya.
Segera setelah pintu lift terbuka, Narendra keluar diikuti Badi. Dia masih ingat letak tailor yang biasa digunakan oleh keluarganya. Sejak kecil entah sudah berapa kali dia mengunjungi tailor itu. Pemiliknya bahkan cukup akrab dengannya. Tapi itu dulu sebelum dia sekolah di London.
“Maaf, Anda ingin mencari apa?” Seorang pramuniaga dengan cepat menyapa Narendra yang baru melangkah masuk.
Pria itu mengernyit mendengar nada suara pramuniaga itu. Ramah tetapi terselip sinis dengan tatapan yang seakan merendahkan. Bahkan dengan berani pramuniaga itu memperhatikan penampilan Narendra dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Narendra hanya mengenakan kaos dan jeans dengan rambut berantakan dan kacamata membingkai wajahnya. Orang yang tidak begitu dekat dengannya mungkin tidak akan mengenalinya dengan penampilannya saat ini.
“Suits,” Narendra mengedarkan pandangan, “Sepupu aku nyuruh fitting.”
“Sepertinya Anda salah toko, Pak,” masih ramah tetapi dengan senyuman mengejek menghias wajah pramuniaga tersebut.
“Oh ya? Ini The Tailor, kan?”
“Pramuniaga itu mengangguk, “Tetapi pelanggan kami dari kalangan VVIP, Pak.”
“Terus masalahnya apa? Saya pelanggan dan mau fitting,” Narendra berujar dingin. Dia mulai terpancing karena perlakuan pramuniaga tersebut sangat menyebalkan.
“Kalau Bapak pelanggan kami, kami pasti akan mengenali Anda,” jawaban yang terlontar dari mulut pramuniaga itu semakin memperparah suasana hati Narendra, “Selain itu, maaf, dari penampilan Anda kelihatannya Anda tidak mungkin mampu membayar harga suits di sini. The Tailor hanya memberikan yang terbaik untuk pelanggannya dan itu tidak murah.”
“Gitu?” Narendra mengangkat sebelah alis dan membalas tatapan merendahkan Si pramuniaga, “Jadi karena penampilan saya, Anda pikir saya tidak mampu?”
“Bukan begitu, Pak,” Badi yang sudah berdiri di samping Narendra cukup menyiutkan nyari Si pramuniaga, “Tetapi kami tidak mengenali Anda.”
“Saya Sabda Narendra Widjaja. Masih nggak kenal?” Nada suaranya tidak hanya dingin tetapi mengintimidasi lawan bicara.
Pramuniaga itu terkesiap mendengar nama yang diucapkan oleh Narendra. Dengan cepat dia mengetuk beberapa kali layar tablet dalam genggamannya. Berusaha mencari data tentang Sabda Narendra Widjaja secepat mungkin. Setelah mendapatkan data yang dicari baru Si pramuniaga dapat bernapas lega. Foto anggota keluarga Widjaja itu jauh berbeda dengan pria yang ada di depannya.
“Kebohongan tidak akan membuat Anda dilayani. Silakan keluar atau saya panggil keamanan,” tegas pramuniaga itu berucap.
“Kamu ngusir saya?!”
“Lo masih lama?” Narendra terdengar menuntut.“Udah di depan. Lagi mau valet, kenapa?” Abimana menjawab sambil turun dan menyerahkan kunci mobil pada petugas valet, “Kelaperan?”“Buruan. Gue tunggu di The Tailor,” dia tidak mempedulikan candaan yang dilontarkan sepupunya, “Lo bawa pesanan gue?”“Bawa. Buat apaan? Tumben banget lo minta cash. Udah nyerah dan mau balik jadi Pak Sabda?”“Nanti juga lo tahu,” tanpa menunggu jawaban Abimana dia memutus sambungan telepon. Narendra tidak perlu menunggu lama. Tidak sampai lima menit Abimana sudah keluar dari lift. Penampilan pria itu khas penampilan para eksekutif muda yang hilir mudik di distrik bisnis ibukota. Suits dari salah satu rumah mode dipadu kemeja beraroma duit, ini istilah Badi untuk barang mewah dengan harga tidak masuk akal, dipadu sepatu kulit yang meneriakan salah satu brand
“Aku capek!” Keluhan itu keluar dari mulut Narendra ketika mereka turun dari taksi daring di depan gang kontrakan petak.Selesai fitting dan makan siang, Abimana merayu Narendra untuk ke kantor dengan janji makan malam. Narendra, yang masih tidak habis pikir dengan harga makan di sekitar kontrakan petaknya, memilih untuk setuju dengan tawaran Abimana. Sesampai di kantor, Narendra segera berhadapan dengan berbagai pekerjaan yang mengalir tanpa henti. Abimana benar-benar memanfataan keberadaan Narendra di kantor dengan baik.Pekerjaan itu baru berhenti pukul tujuh dan berganti dengan makan malam yang dipesan Abimana dari salah satu restoran kesukaan sepupunya. Makanan itu berhasil membungkam Narendra yang sebelumnya sudah siap dengan berbagai keluhan.“Kalau aku kenyang, Bos,” Badi tertawa, “Enak banget memang nemenin Bos sama Pak Abi.”“Kamu enak, makan doang. Aku?” Narendra bersungut kesal, “H
“Pesta martabak?” Agnia berdiri di ambang pintu kontrakan petak Narendra sambil tertawa kecil, “Aku boleh ikutan?”Rasa lelah yang sedang tadi menggelayuti Agnia seketika lenyap ketika tetangga kontrakan petaknya menyapa. Hari ini cukup melelahkan untuknya. Dia pikir jadwalnya akan brakhir cepat. Hanya dia jadwal, mencoba riasan untuk salah satu pemotretan dan reading untuk film terbarunya, tetapi dia salah.Proses reading memakan waktu berjam-jam. Bukan kesalahannya melainkan karena kesalahan memilih pemeran utama. Aktris itu sama sekali tidak mampu berakting sama sekali. Ini baru reading entah apa yang akan terjadi saat proses syuting nanti.“Boleh, lah! Ini sengaja udah kubelikan martabak telur. Dari tadi kujaga dari dua orang ini. Kalau nggak bisa-bisa udah habis sama mereka.”“Enak aja,” Badi menikmati potongan martabak keju terakhir, “Kita nggak bakalan ngabisin, paling
Grrookkk…NGROOOOKKK…..NGROOK…ssshhhhh….ggrroookkkk…..NGROOOKK!!“Siapa?!” Narendra terbangun karena suara dengkuran yang semakin lama semakin kuat. Dengan bingung dia melihat sekeliling. Butuh dua menit sebelum dia benar-benar sadar dan ingat mengapa dia tidur di sofa bukan di kamarnya serta mengapa Bang Ucok dan Badi terlelap di atas karpet dengan posisi saling memeluk.Semalam, setelah menghabiskan tiga kotak martabak mereka asyik berbagi cerita dan bercanda tanpa mengindahkan waktu yang terus berjalan. Sudah lewat tengah malam ketika Agnia pamit dan kembali ke kontrakan petaknya. Gadis itu ingin mandi dan beristirahat. Tanpa Agnia keseruan masih tidak berkurang. Narendra dan Badi capek terpingkal mendengar berbagai pengalaman hidup Bang Ucok. Sesekali Badi akan menimpali dan ikut bercerita sementara Narendra memilih untuk menjadi pendengar saja.Keseruan itu berakhir dengan mereka bertiga tertidur di rua
Narendra berkonsentrsi penuh. Bukan pada sepiring nasi uduk yang tersaji di depannya tetapi dia fokus memperhatikan Agnia yang sibuk melahap sarapannya. Gadis itu terlihat tidak terganggu dengan situasi sekitar yang cukup berisik karena jalan di samping warung ini mulai ramai. Narendra senang memperhatikan Agnia makan. Gadis itu terlihat sangat menikmati makanannya dan tidak peduli kalau itu membuatnya terlihat jelek atau tidak sempurna.“Kenapa nggak makan?” Agnia bertanya sambil sibuk mengunyah, “Nggak bakalan sakit perut.”“Ini baru mau makan,” Narendra mengalihkan perhatian dan berusaha menebak apa yang ada di piringnya.Ketika Agnia bertanya, karena bingung Narendra menjawab untuk menyamakan pesanannya dengan gadis itu. Akibatnya sekarang dia clueless menatap piringnya. Oke, dia tahu kalau ini nasi uduk dan telur dadar tapi lauk lain yang memenuhi piring tidak dikenalnya.“Eer…ini apa?”
UHUK!Narendra yang sedang menikmati nasi uduknya tersedak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh teman sarapannya pagi ini.“Eh, kenapa, kenapa?” Agnia panik dan segera mengusap punggung Narendra sambil mengulurkan teh hangat, “Kenapa, sih? Duh, nggak kenapa-kenapa, kan?”Narendra menggeleng sambil berusaha mengatur napasnya, “Sorry.”“Kenapa juga minta maaf,” Agnia masih terus mengusap punggung Narendra, “Minum dulu.”“I-iya,” pria itu menyesap teh hangat, “Sorry, nggak tahu, nih, kenapa.”Agnia tertawa kecil, “Bukan kaget karena kemakan jengkol, kan?”“Nggak, nggak,” Narendra kembali menyesap teh, “Tadi kamu nanya apa?”“Nanya apa?” Agnia menatap bingung, “Oh! Aku tanya pekerjaan kamu. Kepo banget, ya?”“Kepo itu apa?” Narendra menghabiskan seten
“Bos, ini nasi uduk Mpok Wati?”Narendra berjalan keluar kamar setelah mandi dan berganti pakaian dengan kaos dan celana pendek, “Iya. Kok tahu?”“Hapal, Bos. Kan, sering sarapan di situ,” Badi dengan lahap menikmati nasi uduknya, “Bang Ucok bilang makasih. Dia buru-buru karena harus kerja.”“Di, kamu bosan nggak?”Badi yang sedang lahap mendadak berhenti makan, “Bos, jangan bilang kalau udah bosan. Katanya mau hidup gini selama tiga bulan?”“Aku nanya,” Narendra duduk di sofa, “Aku nanya kamu bosan nggak? Soalnya kamu cuma nemenin aku gini? Doing nothing almost everyday.”“Sebenarnya ini mau ke mana omongannya?” Badi kembali makan, “Nggak usah basa-basi. Nggak cocok, Bos!”“Sial!” Narendra melempar tisu bekas yang ditemukan di sofa ke arah Badi, “Ya nggak ke mana-mana. Cuma kepiki
Sejak jogging dengan Agnia, Narendra kembali rutin jogging walau tidak selalu ditemani gadis itu. Beberapa kali dia tersasar hingga membutuhkan bantuan Maps untuk kembali ke kontrakannya. Jalanan kampung kota di sekitar kontrakan petak terasa sama di matanya. Penduduk sekitar juga mulai menyapa setiap kali berpapasan dengannya.Abang Ganteng. Julukan yang didapat dari Mpok Wati dan entah bagaimana diikuti oleh penjual dan tetangga sekitar. Daripada sibuk menyebutkan nama, Narendra memilih untuk membiarkan mereka menggunakan julukan itu. Lagipula julukan itu tidak jelek. Dia cukup suka.Pagi ini selesai jogging dan menghabiskan semangkuk bubur ayam – ya, Narenda sudah tidak sepemilih sebelumnya untuk urusan makan – begitu kembali ke kontrakan petak, dia langsung mandi. Hari ini dia memiliki jadwal penting, menagih janji Badi tentang lowongan pekerjaan untuknya.Baru saja dia keramas air pancuran tiba-tiba mati. Panik karena