Widjaja Group.
Narendra membaca tulisan berwarna keemasan yang menghias bagian depan gedung pencakar langit 77 lantai. Ini bukan pertama kalinya dia mengunjungi gedung yang pernah menjadi gedung tertinggi di negara ini, tetapi baru kali ini dia menyadari kalau aura gedung ini begitu angkuh dan mengintimidasi siapa pun yang melihatnya.
Pelan dia memutar pandangan. Memperhatikan orang yang berlalu lalang di sekitar. Mereka yang menggunakan lanyard dengan logo W dan tulisan Widjaja Group terlihat begitu percaya diri dan penuh kebanggaan. Sementara yang lain menatap gendung ini dengan pandangan iri campur mendamba.
Sebenarnya ini bukan hal yang aneh. Hampir semua penduduk negara ini ingin menjadi bagian dari Widjaja Group. Bayangkan saja, korporasi terbesar di seluruh Asia Tenggara tentu gaji dan fasilitas yang ditawarkan adalah yang terbaik. Bahkan ada anekdot yang mengatakan ID card pegawai Widjaja Group lebih mumpuni dari paspor negara ini.
BYUUUUR!!
Sebuah mobil mewah keluaran terbaru melintas di samping Narendra dan melindas genangan air. Seketika pria itu basah kuyup karena kejadian itu begitu cepat dan dia tidak sempat menghindar. Kemeja putih yang dikenakan berubah warna dengan bercak cokelat di sana-sini.
“Sial,” Narendra berujar kesal sambil berusaha membersihkan sisa air. Matanya tidak lepas memperhatikan mobil mewah keluaran Jerman yang terus melaju memasuki kawasan gedung Widjaja Group tanpa setitik pun perasaan bersalah.
Kalau tidak ingat janji yang dimiliki, ingin rasanya Narendra pulang. Tetapi saat ini dia tidak punya pilihan. Ada hal yang harus diselesaikan. Dia harus menjalankan ini sesuai dengan perjanjian yang sudah disetujuinya.
Tepat ketika kakinya menjejak lobi, seorang petugas keamanan segera mendekati Narendra. Belum sempat petugas berbadan besar itu mengucapkan sepatah kata pun, seorang pria menghampiri sambil tertawa mencemooh.
“Sejak kapan gembel bisa masuk ke gedung ini?” Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada merendahkan begitu kental.
Narendra bergeming. Dia berusaha menggali ingatan tentang siapa pria di hadapannya.
“Gue sengaja ngelindas genangan air buat ngusir gembel kayak lo. Nggak pantes di sini,” pria itu masih terus merendahkan sambil memperhatikan penampilan Narendra dari ujung kepala sampai ujung kaki, “Kemeja putih, celana hitam. Pasti nyari kerjaan, ya? Jadi office boy aja lo nggak pantes di sini.”
“Sayaaang, aku kok malah ditinggal, sih?” Seorang wanita dengan gaun selutut berpotongan dada rendah mendekat kemudian memeluk lengan pria di hadapan Narendra.
Ah, putra keluarga Kesemua dan tunangannya, Narendra akhirnya berhasil mengingat siapa mereka.
“Ada gembel ganggu pemandangan,” Ardi Kesuma berujar pongah, “Bikin mata aku gatel lihatnya. Ini harus dilaporin ke Pak Sabda.”
“Pak Sabda siapa?” dengan kenes Sang tunangan bertanya.
“Babe, kok, bisa kamu lupa? Itu CEO Widjaja Entartaiment. Kita nanti meeting sama dia. Aku udah ngasih data dirinya buat kamu hapalin dari bulan lalu. Gimana, sih?!”
“Lupa,” Sang tunangan bergelayut mesra hingga payudaranya menempel ke lengan Ardi seakan lupa kalau mereka ada di tempat umum.
Ardi baru akan mengucapkan sesuatu ketika sudut matanya menangkap sosok seorang pria, Abimana Widjaja. Salah seorang anggota keluarga Widjaja sekaligus tangan kanan Sabda Widjaja. Dengan cepat Ardi mengulaskan senyum ramah kemudian melambaikan tangan, “Pak Abi!”
Abimana yang sedang sibuk dengan ponsel segera mencari sumber suara. Ketika melihat Narendra dan Ardi, dia segera berjalan mendekati mereka, “Udah datang?”
Entah untuk siapa pertanyaan itu diajukan.
“Udah. Terlalu semangat mengingat ini meeting pertama kita dan langsung ketemu sama Pak Sabda,” Ardi sigap menjawab, “Semoga ini bisa jadi awal untuk kerja sama keluarga Widjaja dan Kesuma, ya”
Abimana hanya membalas dengan senyum profesionalnya. Dia sudah terlalu lama berkecimpung di dunia bisnis untuk tahu karakter asli seseorang. Ardi jelas seorang yang fake dan pengejar keuntungan semata.
“Keamanan gedung ini kurang oke, ya,” Sang Tunangan yang sejak tadi diam tiba-tiba menyeletuk.
“Maaf, keamanan bagaimana maksudnya?” Abimana bertanya sopan.
“Ini, Pak Abi,” Ardi menunjuk Narendra kemudian berujar pongah, “Kalau di K-Group pasti udah langsung diusir.”
“Siapa yang Anda maksud dengan gembel?!” Intonasi Abimana sedikit berubah, “Pria ini,” dia menunjuk Narendra yang sejak tadi hanya memperhatikan mereka dalam diamnya.
“Akan segera keluar,” Narendra tersenyum penuh arti, “Memang bukan tempat saya di sini.”
Abimana berdecak kesal, “Akan saya urus, Anda tenang saja,” dia melempar senyum profesional sebelum menarik Narendra menjauh diirini dengan senyum kepuasan Ardi.
“Pintu keluar di sana, Pak Abi,” Narendra berujar tenang sambil membiarkan Abimana menarik lengannya.
“Gue tahu. Gue lebih kenal gedung ini dibanding lo,” Abimana terus menariknya menuju lift khusus yang hanya boleh digunakan oleh petinggi Widjaja Group dan membutuhkan kartu akses khusus agar lift itu berfungsi. Abimana baru melepaskan tarikannya setelah mereka hanya berdua saja di dalam lift, “Sampah banget itu Si Ardi! Dia tahu nggak, sih, lo siapa?”
“Nggak tahu. Kalau tahu nggak mungkin kelakuannya kayak gitu. Dia ngapain? Pakai bawa tunangannya segala. Mau ngemis ke kita?”
“Ngasih proposal film. Tokoh utamanya ya…tunangannya.”
“Basi!” Narendra tertawa kecil, “Jangan bilang lo nyuruh gue datang hari ini buat meeting sama mereka? Gue nggak mau. Gue datang cuma buat ngecek berkala dan tanda tangan berkas aja.”
“Ck! Sampai kapan, sih, lo mau berhenti main-main, Dra?! Lo itu salah satu penerus Widjaja Group! Udah waktunya lo buat tampil. Tunjukin ke dunia lo itu siapa sebenarnya.”
Narendra kembali tertawa. Sejak dia kembali ke negara ini setelah menyelesaikan pendidikannya di London kemudian Boston dan memutuskan untuk mencoba kehidupan orang biasa selama tiga bulan, pertemuannya dengan Abimana selalu berisikan hal yang sama. Sepupu yang hanya lebih tua beberpaa tahun darinya sejak kecil memang sudah menjadi tangan kanannya. Ke mana pun Narendra pergi, Abimana selalu ikut.
Kecuali ketika Narendra dengan gilanya memutuskan untuk menjadi oran biasa selama tiga bulan.
Seorang Abimana tentu tidak bisa lepas dari kemewahan. Begitu juga dengan Narendra. Tetapi kebosanan membuatnya ingin mencoba. Seperti dugannya menjadi orang biasa penuh dengan tantangan….juga berbagai hal baru.
“terserah, deh. Tapi itu si Ardi mau diapain? Nggak habis pikir lo bisa setenang itu,” pintu lift terbuka, “Awas aja kalau lo lepasin.”
“Bikin miskin,” Narendra menjawab santai. Bagi seorang Widjaja, harga diri adalah segalanya, “Kalau perlu sampai seluruh keluarganya.”
“Roger, Bos,” Abimana terlihat bersemangat, “Gue bakal beresin. Lo tinggal nonton aja.”
Narendra hanya tertawa sambil melambai sebelum memasuki ruangan besar dengan dua dindingnya berupa kaca jendela yang menawarkan pemandangan terbaik ibukota, kantor CEO Widjaja Entertaiment yang berada di lantai 70 gedung Widjaja Group.
Sebuah papan nama dari kayu jati dengan kualitas terbaik berdiri penuh keangkuhan di atas meja bertuliskan namanya, Sabda Narendra Widjaja.
“Akh…” Narendra tidak dapat menahan desah penuh kepuasan ketika menyesap kopi Jamaican Blue Mountain Coffee-nya. Satu-satunya hal yang dirindukan sejak seminggu lalu memutuskan untuk menjadi orang biasa adalah berbagai hal dengan kualitas terbaik yang biasa selalu menemaninya. Hal-hal yang dulu dia pikir biasa tetapi ternyata itu adalah hal yang luar biasa. Kopi ini contohnya. Sekarang dia baru percaya kualitas hampir selalu ditentukan oleh harga. Ketukan pelan di pintu diikuti dengan Rania, salah seorang sekretaris Abimana, memasuki ruangannya, “Permisi, Pak.” “Ya?” Narendra tertawa ketika Rania berusaha menyembunyikan keterkejutakannya melihat penampilan Narendra saat ini, “Sorry, belum sempat ganti baju. Emangnya jelek banget, ya?” “Bukan jelek, Pak. Nggak pantas,” Rania mengulaskan senyum sambil meletakkan sebuah tablet di meja Narendra, “Dari Pak Abimana, katanya ini baru permulaan.” Narendra hanya melirik sekilas layar tab
Tiit… Tiit… Tiit ….TIIIITTTT!!! “Demi Tuhan! Apa lagi ini?!” Narendra bersungut kesal. Dia baru tiba di kontrakan petaknya beberapa menit menjelang pukul 12 malam dan baru saja dia akan tertidur bunyi menyebalkan itu terdengar. “Bunyi apa, sih, itu?!” Dia memaksa diri untuk beringsut dari kenyamanan tempat tidur dan mengecek setiap ruangan dan benda elektronik yang dimilikinya. Tidak ada yang menjadi sumber suara statis menyebalkan itu. Tiit… Tiit… Tiit ….TIIIITTTT!!! Mungkin hanya perasaannya tetapi Narendra merasa kalau intensitas suara itu semakin cepat dan kuat. Narendra hampir membanting TV yang tergantung di dinding ruang tamu merangkap ruang santai dan ruang makan ketika dia menyadari ada satu tempat yang belum diperiksanya. Teras! Tanpa berpikir panjang, Narendra segera keluar dari rumah kemudian memeriksa teras mungil kontrakannya petaknya. Tidak ada alat elektronik di sana, hanya ada sepasang kursi rotan yang sudah ad
“Bos,” Badi menyapa Narendra yang sedang santai di sofa kontrakan petaknya, “Pesanannya, nih.” “Bubur?” Narenda segera menegakkan punggung. “Iya, sama teh tawar,” bodyguard itu menjawab sambil berjalan ke dapur dan bersiap memindahkan bubur ayam ke mangkuk. “Teh tawar?” Dia mengernyit bingung, “Apa hubungannya bubur sama teh tawar?” “Di sini kalau beli bubur ayam biasanya dikasih teh tawar hangat, Bos. Gratis.” “Gitu? Memangnya makan bubur pakai teh?” Sepertinya sejak tinggal di kontrakan petak ini kecerdasan Narendra menurun drastis. “Ya nggak, Bos. Tapi habis makan seret, kan? Ya minumnya teh tawar.” “Oh gitu,” pria berkaos itu menggaruk tengkuknya, “Buburnya mana? Udah laper banget. Mana tadi malam …” tanpa sadar dia terus menyerocos menceritakan kejadian token listrik yang terus berbunyi dan kebingungannya. Sesekali ceritanya akan terpotong karena Badi tidak mampu menahan tawanya. Badi sudah menjadi bod
“Jadi,” Bang Ucok tidak menunggu Narendra menjawab pertanyaannya, “Kubilang sama kalian, he, dengar baik-baik kalian berdua,” lagi, sesendok besar bubur masuk ke mulutnya, “Jangan sampai kalian berdua naksir sama Agnia. Ingat itu, ya?!”“Memangnya kenapa, Bang?” Badi yang bertanya. Setelah menghabiskan teh tawar dia tidak memiliki hal lain untuk dilakukan selain menyimak percakapan Bang Ucok dengan bosnya.“Bang Ucok naksir, iya, kan?” Narendra yang kali ini buka suara.“Jelaslah! Mana ada cowok normal yang nggak naksir sama cewek macam Agnia?” Bang Ucok terbahak, “Nggak cuma cantik muka aja, dia itu juga cantik hatinya.”“Masa, Bang?” Narendra terlihat semakin tertarik untuk mencari tahu tentang tetangganya.“Macam mana, nggak percaya pula kau sama aku?!” Bang Ucok membersihkan sudut bibirnya, “Kubilangin, ya, sejak pindah ke sini ngga
Jika Narendra dibesarkan untuk menjadi seorang pemimpin, maka Abimana dibesarkan untuk menjadi seorang tangan kanan yang sempurna. Pria itu hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam untuk mengumpulkan seluruh informasi tentang Agnia dan mengirimkannya kepada Narendra. Dalam dokumen sepuluh halaman itu Narendra dapat menemukan semua yang ingin diketahuinya. Mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan sampai pekerjaan yang pernah ditekuni oleh gadis itu. “Samahita Agnia,” Narenda mengucap nama gadis itu lembut. Sangat lembut hingga nyaris terdengar seperti bisikan, “Nama yang manis. Cocok dengan orangnya.” Narenda melanjutkan melahap dokumen tersebut sambil bersantai di sofa ditemani secangkir kopi yang rasanya tidak seperti kopi. Terlalu encer dan terlalu manis. Tapi dia tidak ingin menyusahkan Badi lebih jauh hingga memilih untuk tidak mengeluarkan komentar apapun. “Enak kopinya, Bos?” Badi yang merasa aneh melihat Narendra yang tidak ber
Setelah melewati perjalanan yang melelahkan akhirnya Narendra dan Badi sampai di salah satu mal di pusat ibukota. Mal ini terkenal dengan prestige-nya karena hampir seluruh gerai yang ada di sini merupakan luxury brand. Perjalanan ini melelahkan bukan karena letak mal ini jauh dari kontrakan petak mereka melainkan karena Narendra yang tidak berhenti mengeluarkan komentar ajaib.Sejak melihat mobil taksi daring yang menjemput mereka Narendra sudah berkomentar. Terbiasa dengan mobil berukuran besar selama tinggal di Boston, dia cukup kaget melihat low cost green car yang berukuran kecil. Bukan komentar buruk melainkan ketertarikan karena ini pertama kalinya dia menaikinya.Di sepanjang perjalanan, pria itu juga tidak berhenti berceloteh. Persis seperti anak kecil yang senang diajak jalan-jalan oleh orang tuanya di akhir pekan. Badi dengan sabar menjawab semua pertanyaan dan mendengarkan komentar bos yang harus dijaganya sejak beberapa tahun lal
“Lo masih lama?” Narendra terdengar menuntut.“Udah di depan. Lagi mau valet, kenapa?” Abimana menjawab sambil turun dan menyerahkan kunci mobil pada petugas valet, “Kelaperan?”“Buruan. Gue tunggu di The Tailor,” dia tidak mempedulikan candaan yang dilontarkan sepupunya, “Lo bawa pesanan gue?”“Bawa. Buat apaan? Tumben banget lo minta cash. Udah nyerah dan mau balik jadi Pak Sabda?”“Nanti juga lo tahu,” tanpa menunggu jawaban Abimana dia memutus sambungan telepon. Narendra tidak perlu menunggu lama. Tidak sampai lima menit Abimana sudah keluar dari lift. Penampilan pria itu khas penampilan para eksekutif muda yang hilir mudik di distrik bisnis ibukota. Suits dari salah satu rumah mode dipadu kemeja beraroma duit, ini istilah Badi untuk barang mewah dengan harga tidak masuk akal, dipadu sepatu kulit yang meneriakan salah satu brand
“Aku capek!” Keluhan itu keluar dari mulut Narendra ketika mereka turun dari taksi daring di depan gang kontrakan petak.Selesai fitting dan makan siang, Abimana merayu Narendra untuk ke kantor dengan janji makan malam. Narendra, yang masih tidak habis pikir dengan harga makan di sekitar kontrakan petaknya, memilih untuk setuju dengan tawaran Abimana. Sesampai di kantor, Narendra segera berhadapan dengan berbagai pekerjaan yang mengalir tanpa henti. Abimana benar-benar memanfataan keberadaan Narendra di kantor dengan baik.Pekerjaan itu baru berhenti pukul tujuh dan berganti dengan makan malam yang dipesan Abimana dari salah satu restoran kesukaan sepupunya. Makanan itu berhasil membungkam Narendra yang sebelumnya sudah siap dengan berbagai keluhan.“Kalau aku kenyang, Bos,” Badi tertawa, “Enak banget memang nemenin Bos sama Pak Abi.”“Kamu enak, makan doang. Aku?” Narendra bersungut kesal, “H
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan