Seperti yang diucapkan oleh Agnia, tidak memakan waktu lama untuk wanita itu berganti pakaian. Untuk pemotretan individual gadis itu diharuskan mengenakan mididress berwarna hijau dengan aksen merah. Hanya dengan satu lirikan semua orang akan tahu itu keluargan salah satu rumah mode terkenal dunia.
“Aku duluan,” Agnia menepuk bahu Luna ramah kemudian mengobrol sebentar dengan para staf sebelum berjalan ke studio bersama Narendra.
“Aneh nggak?”
“Penampilan kamu?”
Agnia mengangguk, “Walau udah biasa dapat konsep yang aneh-aneh tetap aja aku nggak terbiasa. Kayak ini, konsepnya nyatuin innocent dan sensual, nggak masuk akal, kan? Itu kayak dua sifat yang bertolak belakang. Tapi yaa…model bisa apa?”
Dengan rambut yang ditata dengan dua ikatan yang dibuat bergelombang, penampilan Agnia saat ini merupakan perpaduan keluguan remaja dan kedewasaan seorang gadis muda. Menggemaska
“Aku terima telepon dulu,” Narendra menutup pintu setelah Agnia mengangguk.Pria itu bergegas menjauh dari ruang rias sebelum menerima panggilan dari sepupunya. Dia tidak ingin ada yang mencuri dengar atau tidak sengaja mendengar dan menghancurkan penyamarannya.“Kenapa, Bi?” Narendra tidak merasa perlu berbasa-basi dengan tangan kanannya.“Dari pada lo pacaran mending ke atas. Meeting atau ngapain.”“Memangnya ada yang urgent?”“Nggak ada,” Abimana menjawab santai, “Tapi mumpung lo di kantor. Tinggal naik, Ndra. Gue udah bantuin lo tadi pagi, sekarang giliran lo bantuin gue.”“Bantuin apa?”“Bantuin ngeringanin kerjaan gue yang banyak gara-gara ide gila lo. Udah, buruan ke sini atau gue bakalan nyuruh orang biar sekalian aja itu Agnia tahu!”“Sial. Jago banget, ya, urusan ancam-mengancam.”Abiman
“Mana cowok tadi?” Itu pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Leon ketika sesi foto berakhir. Agnia yang sedang mengobrol dengan staf sambil mengembalikan beberapa properi yang menempel pada tubuhnya selama pemotretan langsung mencari sosok Narendra. Pria itu masih belum terlihat. Ke mana dia? “Kenapa kamu peduli?” Agnia berujar ketus. Dia sama sekali tidak berusaha menutupinya. Selama pemotretan, fotografer itu beberapa kali seakan mencuri kesempatan untuk menyentuhnya. Leon sengaja menyentuh punggungnya lalu mengusapnya halus hingga menghadirkan desir tidak nyaman dalam diri Agnia. Pria itu juga mengelus lengannya yang telanjang bahkan paha dengan beralasan memperbaiki pose Agnia. Tapi gadis itu tidak sepolos itu. Dia tahu kalau Leon sengaja melakukannya. Beberapa kali dia berusaha mengelak atau menepik tangan fotografer itu tetapi yang didapat hanya tawa sinis dan sentuhan yang lebih parah setelahnya. Sekuat tenaga dia
Narendra menyelinap ke ruang rias. Perih melihat Agnia terduduk lemas. Gadis itu seakan kehilangan jiwanya. Hal itu wajar mengingat apa yang terjadi beberapa saat lalu. Tidak ada yang akan baik-baik saja jika mengalami hal semenyeramkan itu. Dia baru akan menyeruak maju ketika Puspa menyadari kehadirannya. Hanya dengan satu lirikan, wanita itu tahu kalau Narendra ingin mereka semua keluar. Dengan cepat dan efisein Puspa berhasil meminta semua orang di ruangan itu untuk keluar tanpa menimbulkan banyak pertanyaan. “Hei,” Narendra menggantu kalimatnya. Dia bingung apa yang harus diucapkannya, “Better?” Akhirnya hanya kalimat singkat itu yang keluar dari mulutnya. Ini pertama kali dia menghadapi hal seperti ini. Didikan selama bertahun-tahun untuk menjadi seorang pemimpin perusahaan tidak membuatnya siap menghadapi situasi seperti ini. Agnia mengangguk pelan. “Are you sure?” Entah kenapa pertanyaan itu melompat keluar dari bibirn
“Masih kuat?” Agnia bertanya sambil berusaha menahan tawa.Setelah menghabiskan semangkuk bakso, gadis itu memperhatikan teman makannya yang kepedasan tetapi masih berusaha untuk menghabiskan bakso pesanannya. Butiran keringat memenuhi kening Narendra. Mulutnya tidak berhenti mendesah kepedasan.Kondisi Narendra jauh dari kata lucu tetapi di mata Agnia berbeda. Lucu rasanya melihat pria yang tadi begitu tegas saat menolongnya sekarang kepedasan. Konyol karena walau tahu baksonya terlalu pedas, pria itu masih berusaha menghabiskannya.“Masih,” Narendra menjawab di sela desahan dan mengipasi wajah dengan tangan.“Lagian ngapain coba kamu nambahin sambel sebanyak itu?”“Enak,” dia menjawab singkat sambil menyuapkan bakso ke mulutnya.Narendra berbohong. Dia tidak menyukai makanan yang terlalu pedas sampai membuat lidahnya mati rasa seperti sekarang. Dia melakukan ini demi Agnia. Sejak tadi gadis i
“Sial!” Leon membanting tas dengan asal ke jok di sampingnya.“Sial! Sial! Sial!” Dia lanjut memukul kemudi mobil dengan kedua tangannya.Darahnya mendidih mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Sial! Dia tidak pernah menduga kalau akan ada yang berani mengadukan kelakuannya. Selama ini dia berpikir kalau dia bermain cantik. Walau terkadang memaksa tapi dia melakukan sebaik itu hingga para model itu tidak merasa berada di bawah paksaan. Tetapi sepertinya dia salah.“SIAL!” Dia berteriak tanpa peduli kalau dia tidak sendirian di basement gedung Widjaja Group.“Si Agnia itu juga! Dia pikir dia siapa? Model juga bukan! Beruntung aja dia dipakai terus sama LOOK dan GLAM! Harusnya dia itu berterima kasih sama gue! Siapa yang bikin fotonya bagus?! GUE! Sial banget itu cewek!”“Pasti dia yang ngelaporan! Sampai semua job gue di majalah Widjaja Group diberhentiin lagi! Gue sumpahin
Sesampai di kontrakan petak, Narendra kembali memastikan Agnia baik-baik saja dan menunggu hingga gadis itu masuk ke kontrakan petaknya sebelum dia memasukan motor dan bersiap untuk bersih-bersih.Setelah menggantung jaket dan menyimpan kunci, pria itu ke dapur untuk mengambil air minum dan mengecek apa yang dimilikinya untuk makan malam. Melihat tidak ada yang dapat dimakan, dengan cekatan dia menghubungi Badi, meminta untuk dibelikan makan malam. Dia tidak memiliki rencana untuk keluar lagi.Hari yang melelahkan. Tidak hanya untuk Agnia tetapi juga baginya. Dia menyelesaikan banyak pekerjaan, Kesal karena dokumen yang diberikan bawahannya jauh dari standar yang diterapkannya. Ditutup perseteruan dengan fotografer tidak penting itu. Lengkap.Sambil menunggu balasan Badi, dia menelepon tangan kanannya.“Ya, Dra? Udah kangen aja lo sama gue?” Abimana menerima panggilannya dengan riang.“Kampret,” mau tidak mau Narendra tertaw
“Macam mana hasilnya?” Bang Ucok yang duduk di teras kontrakan petak Narendra langsung berdiri melihat motor Narendra memasuki halaman.“Iya, gimana? Langsung ada hasilnya?” Agnia yang sepertinya baru pulang juga ikut bertanya penasaran.Narendra tertawa kecil dari balik helmnya. Tidak langsung menjawab, pria itu memarkirkan motornya dengan rapi, mematikan mesin kemudian turun setelah Badi dan melepaskan helm yang dikenakannya. Setelah menyimpan helm di rak, dia duduk di dinding depan teras yang tidak terlalu tinggi.“Belum ada hasilnya,” dia melepaskan sepatu dan kaos kaki.“Katanya tiga hari lagi dikabarin, “ Badi duduk di samping Bang Ucok.“Hah! Lama kali! Tak bisa langsun saja begitu?!”Agnia tertawa kecil, “Kan, ada prosesnya. Kalau disuruh tunggu tiga kali ya udah, kita tunggu aja. Lagian tiga hari, kan, nggak lama.”“Kamu udah balik? Bagaimana hari i
“Aku pinjam itu motor kau sebentar, ya?” Bang Ucok mengembalikan ponsel Agnia, “Pesta martabak lagi kita malam ini. Lapar kata kau tadi, iya, kan?”“Lapar, Bang,” Narendra memberikan kunci motor, “Tapi aku nitip makanan lain, boleh?”“Bos mau makan apa?” Badi langsung berdiri, “Bang, sama aku perginya, ya? Tapi Abang yang nyetir. Aku nggak bisa nyetir motor.”“Macam mana pula laki tak bisa bawa motor!” Bang Ucok terbelalak kaget.“Bisa, Bang. Cuma pernah tabrakan jadi trauma.”“Halah, tak ada itu trauma-trauma. Kapan-kapan kuajarin kau. Jamin bisa!” Bang Ucok menghampiri motor, “Kalian berdua, awas kalau aneh-aneh,” pria itu menunjuk Narendra dan Agnia bergantian.“Aneh-aneh gimana, sih, Bang?” Agnia tertawa geli, “Habis ini paling aku mau mandi dulu. Gerah banget seharian di luar.”“Sam