Beberapa jam telah berlalu, Dira sedang membereskan semua barang-barangnya. "Em, Nadira?" "Ya?" sahutnya tanpa menoleh. "Sekarang kamu tolong setrika baju saya, ya?" Nadira langsung mendongak, menatap An dengan kening berkerut. "Nyetrika?" "Kenapa?" "Saya ... Saya gak bisa, Pak." "Kenapa gak bisa? Ada keperluan lain?" "Em, maksud saya ... Saya gak bisa nyetrika, Pak," ucap Dira sambil cengengesan. "Gak bisa? Jadi kamu harus belajar mulai sekarang." "Tapi, Pak--" "Saya gak mau dengar keluhan lagi." Dira mengerucutkan bibir, kemudian menghentakkan kakinya yang di bawah meja. "Pak! Saya ini asisten dosen, tapi kenapa di luar kampus juga harus kerja ini itu?" tanyanya mulai protes. An menyatukan jari-jari kedua tangannya di atas meja sambil memajukan badan, kedua matanya menatap Dira dengan tegas. "Siapa yang bilang kamu asisten dosen?" Dira gelagapan. "Terus?" "Kamu ... Asisten pri ba di saya." "Apa?" An menyunggingkan bibir melihat respon
Nadira memakan banyak es krim dengan berbagai rasa. Ia yang kesal merasa sudah dipermainkan oleh pria itu sengaja mengada-ngada, meminta ini itu untuk memoroti uangnya. An menatap Dira dengan senyuman terpaksa, telunjuknya menggaruk pelipis melihat bungkus es krim yang sudah berserakan di tanah. "Nadira?""Hm?""Kamu ... Gak takut gemuk?" Nadira langsung mendelik. "Kenapa?""Kamu terlalu banyak makan es krim sekarang.""Aku gak peduli, bukannya gemuk itu lebih menggemaskan?" tanya Dira sambil tersenyum dan menarik turunkan alisnya. An tertegun, walaupun mungkin Dira melakukannya tanpa alasan tertentu, namun tetap saja mampu membuat An salah tingkah. "Bapak gak suka cewek gemuk?" "Em ... tergantung. Suka atau nggak itu gak bisa diputuskan.""Tinggal jawab, belibet banget." "Mungkin bisa dibilang ... kurang suka." "Oke!" Nadira malah semakin cepat menghabiskan es krim di tangannya, kemudian membuka es krim selanjutnya. An melotot. "Nadira, kamu ... " "Denger Bapak gak suka cew
Sepanjang jalan Nadira uring-uringan, apa-apa yang ia temui langsung ditendang. "Kenapa ya, cowok itu bebas banget hidupnya? Udah nikah, tapi masih bisa ketemuan sama banyak cewek, pake dandan habis-habisan lagi. Sedangkan istrinya gak tahu ada di mana. Genit! Ganjen! Sok cakep!" "Sedangkan gue, cewek, ketahuan ngomongin cowok lain sambil ketawa-ketawa bahagia langsung ditegur sama nyokap gara-gara sudah punya suami. Haish! Kenapa hidup gini bener? Apa sebesar ini perbedaan antara cewek sama cowok? Dasar cowok gak tahu diri! Pantes banyak cewek yang menderita di muka bumi ini. Mungkin mentang-mentang punya wujud kaya Arjuna kalian, ya? Hah, apa untuk sekarang gue harus bersyukur punya suami limited edition yang pastinya gak bakal banyak tingkah dan gaya?""Arghh! Nyebelin!" Setelah puas mengeluarkan unek-uneknya, Nadira melambaikan tangan pada tukang ojek yang ia temui.***"Baru pulang, Nak?" "Gimana lesnya? Lancar?"Nadira lagi-lagi melihat gelagat aneh dari kedua orang tuanya.
"Anand? Dira? Dira kenapa, Nak?" tanya Melati panik. "Nanti saja nanya nya. Ayo bawa Dira ke kamar," ucap Abram. Anand membawa Nadira ke lantai atas, di mana kamar perempuan itu berada. Pria itu langsung menutupi tubuh istrinya dengan selimut. "Dira kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Melati lagi. "Nadira mabuk, Ma." "Mabuk lagi? Kenapa bisa? Tadi dia pamit keluar sama temen-temennya. Mama kira ... " Anand memejam beberapa saat. "Maaf, Ma, Pa, saya tidak bisa menjaga Nadira." Melati dan Abram kompak menggeleng. "Jangan salahkan diri kamu, Nak. Nadira memang seperti ini dari dulu, hanya saja setelah menikah memang ini pertama kalinya dia mabuk lagi."Anand menatap Nadira yang masih terlelap dengan tatapan bersalah. Dadanya naik turun seiring dengan nafasnya yang masih terengah-engah. "Ini salah Anand, Pa. Apa anand harus mengakhiri semuanya?" Abram dan Melati saling tatap. "Kelulusan tinggal dua bulan lagi, Nak, menurut papa lebih baik jangan sekarang. Bantu Nadira untuk mengal
"P-pak, Bapak yakin mau makan di sini?" "Kenapa tidak? Kamu juga, kenapa makanannya malah diobrak-abrik begitu?" Nadira menatap siomay di depannya. Ia cengengesan seketika. Triana dan Yasmin yang baru muncul di pintu masuk kantin langsung mematung di tempat melihat pemandangan itu. "Yas, ini gimana?" "Kita nyari meja lain dong. Masa iya mau satu meja sama pak An." "Oke-oke." Triana dan Yasmin bejalan dengan tegak. "Na! Yas! Sini!" teriak Nadira saat melihat kedua temannya. Namun, kedua temannya itu malah cengengesan. "Lo duduk di sana aja, Ra, kita di sini. Kali-kali kita makan tanpa Lo," celetuk Yasmin.Nadira langsung membelalak mendengar ucapan asal tersebut. Gadis itu sudah bangkit dari kursi hendak menghampiri teman-temannya, namun Anand menahan tangannya dan memaksa Dira kembali duduk."Siapa yang melewatkan sarapan saya?" Nadira mengerucutkan bibir. "Saya." "Jadi sekarang temani saya makan. Diam!" Nadira memejam sambil menarik nafas. Tiba-tiba pikiran jahil muncul d
Tok tok tok!"Masuk!" Nadira melongokan kepalanya terlebih dulu sebelum benar-benar masuk. Terlihat An sedang begitu fokus dengan pekerjaannya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" "Duduk dulu." Nadira duduk di kursi dengan santai, tak menyadari kalau kini ada bom waktu yang siap meledak untuknya. "Tolong belikan saya obat diare." "Bapak diare?" An melirik dengan sengit."Oh, iya, ya. Gara-gara tadi, ya?" Dira cengengesan. "Ini uangnya. Kamu harus kembali dalam waktu 10 menit." "Sepuluh menit? Pak, warung kan--""Dimulai dari sekarang." Nadira berdecak, semua omelannya terpaksa harus ia pendam terlebih dulu dan segera berlari keluar dari ruangan. Bagaikan sedang dikejar anjing, Nadira berlari terbirit-birit hingga berkali-kali hampir menabrak orang. Brak! Nadira menyimpan obat di atas meja An. Nafas gadis itu tersengal-sengal, tangannya memegangi dada yang terasa sesak. "Terlambat dua menit." "Cuma dua menit, yang penting sekarang obatnya sudah ada, kan? Bapak bisa minum se
"Siapa bilang saya suka sama kamu?" tanya An di tengah-tengah kegugupan. Berdebat dengan Nadira ternyata bukanlah ide bagus.Nadira mendengkus. "Siapa bilang? Gak perlu ada yang bilang aku bisa lihat sendiri dari cara Bapak memperlakukan aku. Tapi maaf, aku gak suka sama tipe cowok yang gak setia kaya Bapak. Dan bener, aku udah nikah, dan aku lebih bersyukur punya suami yang pendiam dan gak banyak tingkah kaya Bapak. Jangan harap aku akan berpaling hanya karena wujud Bapak yang lebih bagus dari suamiku. Bapak pikir good looking hal pokok yang membuat perempuan bahagia? Bapak salah! Walaupun suamiku gak ganteng, tapi dia lembut dan penyayang, dan itu cukup membuatku hidup tenang. Gak pernah perhitungan apalagi curang!""Nadira, kamu mengagumi siapa sebenarnya?" "Ya jelas suami aku. Masa Bapak?" An berdecak kesal. Ingin sekali merutuki nasib pernikahannya yang berbelit-belit seperti ini. "Nadira, suami kamu itu--""Cukup! Jangan harap Bapak bisa mempengaruhi isi kepalaku dengan menga
"Duar!" "Copot!" Yasmin tertawa melihat raut terkejut di wajah Triana."Yasmiiiiiin!" Triana mengejar temannya, berusaha meraih Yasmin dengan gemas. Begitu dapat, ia memukul temannya itu berkali-kali. "Sakit, Nana! Lo sadis banget sama gue." "Lagian siapa suruh ngagetin gue?" "Eh, Na, gue denger pembicaraan Lo sama pak An tadi."Triana mengerjap, menatap Yasmin dengan mata membelalak. "Lo ... nguping?" Yasmin nyengir lebar. "Astaga Yasmin!" "Awalnya gue mau pergi lagi, tapi denger Lo nyebut pak An kakak gue gak jadi pergi. Hehe." "Asem, Lo!" "Jadi sekarang Lo gak punya alasan lagi buat gak jelasin sama gue kan, Na?" Triana menarik nafas dalam-dalam, kemudian menatap Yasmin yang sedari tadi cengar-cengir menyebalkan."Memang gak ada pilihan lain, atau telinga gue bakal sakit denger rengekan Lo yang gak bakal berenti." "Asiiikk!" ***An menatap ponselnya tanpa berkedip. Deretan pesan yang ia kirimkan tak satu pun yang mendapatkan balasan. Dan keadaan berbanding terbalik den
Sesaat keduanya saling tatap, dan tanpa diduga Anand langsung mendorong Nadira hingga telentang dan segera menarik selimut."Aaaa lepas! Apa yang kamu lakukan Anand? Berhenti! Dasar cabu--""Ssttt!" Anand membekap mulut istrinya. "Kamu ini! Apa gak bisa tenang sedikit? Malu kalau didengar mama atau papa." Beberapa saat keduanya saling tatap dalam cahaya remang-remang tersebut. Gadis itu mengedip degan cepat. "Tenang saja. Oke?" ucap Anand setengah berbisik. Nadira mengangguk patuh. Perlahan-lahan Anand melepaskan bekapan tangannya. Suasana hening seketika, keduanya seolah menggunakan mata untuk mewakili lisan, mencoba saling mengerti isi pikiran dan hati satu sama lain lewat tatapan."Aku mencintaimu, Nadira. Cuma kamu perempuan yang ada di duniaku." Nadira tak sanggup berkata-kata. Lidahnya terasa kelu, dadanya berdegup kencang. Apalagi saat melihat tatapan Anand yang ia rasa semakin berbeda. Penuh damba dan pengharapan akan sesuatu yang selama ini tak pernah ia berikan sebagai
"Shena?" tanya Anand dengan kening mengernyit."Masih pura-pura gak ngerti." Nadira mendengkus.Anand menerawang jauh, mencoba mengingat-ingat kejadian mana yang melibatkan nama itu hingga membuat Nadira semarah ini. Hingga kemudian pria itu berdecak sambil menyandarkan kepala. "Ya ampun, Dira. Sejauh itu pikiran kamu? Aku bahkan sudah lupa kejadian itu. Tapi kamu? Apa kejadian seperti itu sangat penting bagi kamu sampai terus teringat sampai sekarang?" Nadira mencebik. "Lupa ... Lupa! Sama kejadiannya lupa, tapi sama orangnya nggak, kan?""Nadira, Shena itu cuma kenalan aku. Dia ngajak kerja sama buka usaha, tapi aku menolaknya.""Terus?" "Apanya yang terus?" "Ya terus sekarang kalian terlibat apa lagi?" "Ya sekarang gak ada apa-apa. Aku udah gak pernah hubungan lagi sama dia. Dia juga tahu aku sudah menikah.""Bohong!" "Loh, kok?" "Jelas-jelas kemarin juga kamu teleponan sama dia, kan?" "Kemarin? Kapan, Dira?" "Yang kemarin pas di kamar!" "Astaga Diraaa ... Dira!" Anand te
Semua mahasiswa di semester akhir mulai sibuk mempersiapkan diri untuk memasuki sesi pembuatan skripsi. Termasuk Nadira dan teman-temannya. Setiap hari selalu menghabiskan waktu di perpustakaan dengan bermacam-macam buku di atas meja. Jika pun harus nongkrong di tempat lain, buku kini menjadi benda yang wajib ada di tangan mereka."Nadira, pak An nyariin kamu." Nadira menoleh pada Marvel, lalu mengangguk menanggapi informasi yang temannya itu berikan. Namun, dalam benaknya tak ada niatan sama sekali untuk menemui dekannya itu. "Diraaa ... Lo rajin banget akhir-akhir ini. Mendadak tekena virus kutu buku kaya gini," celetuk Yasmin begitu kembali dari warung. Nadira tak menggubris dan tetap fokus pada buku di tangannya. "Ra, ini minum dulu." Nadira menatap minuman dingin yang dibawa Triana. "Makasih, Na. Cuma Lo yang perhatian sungguhan sama gue.""Apa? Dan gue ...? Lo ... Lo menyepelekan kasih sayang gue, Dira. Kejamnya!" ucap Yasmin dengan terisak palsu."Banyak drama Lo!""Tapi ka
Nadira yang baru masuk ke kamar langsung mematung di depan pintu saat mendapati Anand sedang menelepon sambil membelakanginya. Hatinya mendadak bergejolak. Pria itu langsung mematikan panggilan dan berbalik, menoleh ke arah Nadira. "Kenapa langsung dimatiin? Takut gue denger, ya?" tanya Nadira penuh selidik."Sudah selesai." "Masa? Bukannya takut gue ganggu?" Anand mengerutkan kening. "Kamu itu kenapa? Curiga? Tadi tuh cuma--""Udah-udah! Gak usah repot-repot ngejelasin. Gue gak peduli!" jerit Nadira sambil menutup kedua telinga. Anand menghela nafas. "Mereka sudah pulang?" tanyanya mengalihkan topik.Nadira mendelik acuh. "Apa urusannya sama kamu?" "Kamu mengurung suamimu seharian di sini dan sibuk dengan mereka. Bahkan kamu tidak datang melihat keadaanku sekalipun, apa aku ingin sesuatu, atau butuh sesuatu. Benar-benar gak peduli." Anand merajuk.Nadira mengangkat kedua alisnya dengan acuh dan dengan santai berjalan menuju lemari. "Kamu dengar aku, kan?" "Hah ... Siapa juga y
"Tatap mata gue, Ra. Jawab, apa yang Lo sembunyiin di kamar Lo dari kita?"Nadira yang mulai mengerti langsung melepaskan kedua tangan Yasmin dari pundaknya, kemudian memalingkan wajah ke arah lain. Namun lagi-lagi Yasmin memegang kedua pundak Nadira dan memaksa Dira menghadap ke arahnya. "Jawab, Ra!"Nadira berdecak sambil memejam. "Gak ada apa-apa, suer!" "Boong, Lu!" "Serius, Yas!" "Ya udah kalo gitu, gue mau ke kamar Lo." "Eeeetttt!" Nadira menarik Yasmin yang sudah berjalan menuju pintu. "Nah, kan? Lo takut, kan, kita ke kamar Lo?" "Y-yaa ... Tapi ... Gue gak maksud nyembunyiin apa-apa dari kalian. Gue cuma belum siap aja, oke? Nanti juga kalian pasti tahu." "Apakah itu?" selidik Yasmin masih tak menyerah. Triana yang sedari tadi tak ikut ribut mulai mempunyai dugaan. Ada kemungkinan memang benar yang tadi sempat ia lihat di balkon kamar Nadira itu memang kakak sepupunya, yang tak lain adalah suaminya Nadira. Semula Triana mengira itu hanyalah bayangan karena hanya melih
"Aaaaaa! Semuanya gara-gara Lo, Nana! Gue jadi basah kuyup gini!" "Lo yang narik gue, ya! Harusnya gue yang marah.""Udah-udah, kalian ini ... Pantes banget deh kalo jadi adek kakak," celetuk Nadira sambil terkekeh. Triana dan Yasmin saling tatap dengan sama-sama berwajah masam. Seolah ada hantaran energi tak kasat mata yang membentang di antara kedua pasang mata itu. "Udah sini naik ganti baju, pake baju gue dulu deh, ya?" Triana dan Yasmin saling berebut naik lebih dulu. Yasmin sudah naik dua tangga, tetapi kemudian Triana menariknya sampai tercebur lagi. Yasmin mencak-mencak dan menarik hendak menarik Triana, namun temannya itu naik dengan cepat hingga berhasil menginjakkan kaki di atas. Triana dan Yasmin sedang memeras pakaiannya masing-masing. "Belakangnya belum, tuh, masih netes-netes," ucap Triana. Yasmin memutar kepala ke belakang, dan saat tangannya hendak memeras baju bagian belakangnya, Triana mengambil posisi dan memeras baju Yasmin tersebut. "Gue dong tolong," uca
Nadira melengos dengan wajah semakin masam. Anand mencoba membalikkan badan Nadira, namun dengan cepat perempuan itu menepis tangannya. "Jangan ngambek, dong, kan ini aku mau ganti. Sekalian sama kompensasi, jadi dua kali." "Siapa juga yang mau, hah!" "Loh? Yakin gak mau?" "Gak usah kegeeran." "Aku pikir kamu tadi berharap aku melakukannya." "S-siapa bilang?" "Aku, kan?" "Kamu salah.""Oh, salah, ya? Terus maunya apa?"Merasakan ada yang menggerayangi pinggangnya, Nadira menegang seketika. Ia sampai menahan nafas saat tangan itu berhasil melilit tubuhnya bersamaan dengan rasa hangat yang terasa di punggungnya. Nadira memejam, tak berani melihat bayangannya di cermin. "Nadira? Itu Yasmin sama Triana sudah datang." Dengan cepat Nadira mendorong Anand menjauh dan melepaskan diri."Iya, Ma. Suruh tunggu sebentar!" Ia menatap penampilannya di cermin sambil menyeka wajahnya yang mendadak berkeringat. Dengan tergesa ia berjalan menuju pintu. Namun sebelum memutar gagang pintu, Na
"Maafkan sikap Nadira, ya? Kadang-kadang dia memang suka kelewatan.""Tidak apa-apa, Ma. Ini lebih baik daripada Nadira membenci Anand.""Tapi ... Lebih baik kalau Nadira sedang tidak bisa diajak bicara jangan diganggu dulu, Nak. Mama gak tega lihat kamu. Wajah kamu sampai begitu." "Anggap saja ini sebagai tanda penerimaan. Ya kan, Pa?" Abram yang sedang makan langsung mengangguk menanggapi pertanyaan menantunya. Kemudian pria paruh baya itu mengacungkan satu jempolnya. "Hah, Papa ini.""Memang gak mudah naklukin Nadira, Ma. Tentu Anand harus berjuang keras untuk meluluhkan hatinya. Ya, kan, Nak?" Kini Anand yang mengangguk. "Ya sudah, terserah kalian saja. Mama mau panggil Nadira dulu biar makan bareng." Setelah melihat Melati menjauh, Abram membisikan sesuatu pada menantunya. "Nak, Nadira itu memang keras kepala dan susah sekali dibujuk. Tapi papa yakin, dia tidak akan bisa menolak kamu. Percaya sama papa."Anand tersenyum. "Siap, Pa." "Papa tahu, sedikit banyaknya Nadira it
Begitu mobil tiba di halaman rumah, Dira langsung turun dan berlari ke dalam. "Dira tunggu!" Perempuan itu tak mendengarkan dan terus berlari menaiki tangga. "Ada apa, Nak?" tanya Abram menghampiri menantunya. "Gimana, Nak? Nadira sudah diberitahu?" Kini giliran Melati yang bertanya."Sudah, Ma," ucap Anand tersenyum menatap kedua mertuanya. "Terus Nadira kenapa lari-lari?" tanya Melati lagi."Mungkin dia masih syok, Ma." Abram dan Melati kompak mengangguk. "Itu wajah kamu kenapa?" Anand memegang wajahnya, kemudian teringat dengan kejadian beberapa saat lalu. Ia terkekeh."Pasti Nadira yang melakukannya." Anand hanya tersenyum."Kamu mau bicara sama Nadira, Nak? Masuk saja ke kamarnya." Abram memberi usul. "Atau ... mau memberinya waktu sendiri dulu?" "Sepertinya tidak perlu memberi waktu lagi, Pa, lebih cepat lebih baik. Walaupun mungkin luka-luka ini akan bertambah." Anand terkekeh mengatakannya, sedangkan Melati meringis ngilu. Abram tertawa, kemudian menepuk pundak mena