"A-apa yang mau Bapak lakukan?" "Menghukum mu," ucap An serupa bisikan, membuat sekujur tubuh Nadira merinding ketakutan. Tok tok tok! Nadira terperanjat, An menjauh dan merapikan bajunya. Gadis itu pun mengusap dada merasa lega. "Kamu tunggu di sana," ucap An menunjuk kursi. Nadira mendelik sinis. Melihat pria itu membuka pintu, Nadira pun dengan segera mencari celah untuk melarikan diri. "Permisi," ucap Dira sambil berjongkok melewati An dan Bu Rahayu, lalu kemudian berlari secepat mungkin dari tempat itu.Bu Rahayu masih mematung menatap kepergian Dira, lalu perlahan menoleh pada An dengan raut penuh tanya. "D-dia ... " An memejam sambil menarik nafas dalam-dalam. ***Dira berhenti berlari begitu tiba di perpustakaan. Baginya saat ini hanya tempat itu yang selamat dan aman baginya. "Haduh, gue berasa jadi buronan gini."Nadira menelepon Yasmin. "Yas, kalian lagi di mana? Gue di perpustakaan nih. Kalo mau ke sini tolong sekalian beliin gue minuman dingin, ya! Cepetaaan!"
"Nadira, buatkan saya kopi!" "Nadira, tolong bereskan meja saya!" "Nadira, tolong print ini." "Nadira ...""Nadira ...""Aaaarrgghhh! Heuheuheu. Lutut gue, kaki gue, sakit semua gara-gara naik turun tangga terus." Nadira menangis konyol di taman, sedangkan Yasmin dan Triana hanya bisa menyaksikan dengan putus asa. "Kenapa harus gue coba, Yas? Na? Dari sekian ratus mahasiswa di sini, kenapa dia milih gue buat jadi sekretaris konyolnya. Kenapa bukan Lo? Atau Lo?" Dira menunjuk temannya satu persatu. Yasmin memajukan bibirnya, menatap Nadira dengan iba kemudian mendekat. "Sabar, Ra." "Gue gak bisa sabar ngadepin dia, Yas! Dosen itu ... Nye be liin!" geram Nadira sambil menatap tangannya yang ia remas-remas sendiri. "Tapi gimana lagi? Bahkan orang tua Lo sendiri juga gak bisa ngeluarin Lo dari situasi kaya gini, Ra.""Gue juga gak habis pikir, gak tahu apa yang laki-laki itu katakan sama nyokap gue sampai Mama tiba-tiba saja berubah jadi berpihak sama dia. Apa yang dia lakuin sama
"Kamu habis dari mana?" tanya An begitu Dira datang ke ruangannya. "Saya dari toilet, Pak." "Oh." An kembali fokus pada laptopnya.Dira, gadis itu sejak resmi jadi asisten An, selalu duduk di kursi yang terletak di tepi ruangan. Diam-diam An memperhatikan Dira yang terus cemberut, ia pun mendapatkan ide dan memainkan ponselnya. [Nadira?]An melihat perubahan raut wajah Nadira setelah melihat pesan masuk dari suaminya. Perlahan gadis itu mengangkat wajah menatap ke arahnya, An segera kembali menatap laptop. Kemudian An melihat Dira mengetik balasan. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. [Ya?][Lagi apa?]Nadira mengerutkan kening, menatap pesan itu beberapa saat. Hatinya bertanya-tanya, tak biasanya suaminya itu basa-basi seperti ini. [Lagi di kampus.][Saya ganggu?][Nggak. Ada apa?][Nggak, cuma kangen saja.] "Ish!" Dira berdecak kesal, An menutup bibirnya yang menahan tawa. [Kangen? Gak salah?][Kenapa salah? Apa salahnya kangen sama istri sendiri?]Nadira memutar bol
An terkejut saat tiba di parkiran, terlihat Nadira masih ada di sana berdiri tepat di samping mobilnya. An kembali melangkah."Kamu ... kenapa belum pulang?" Dira menarik nafas, tangan yang semula terlipat di dada kini menunjukan layar ponsel pada An. "Ini apa maksudnya, Pak?" "Apanya yang apa?" "Bapak bilang les-nya di rumah Bapak? Jam 7 pagi?" "Apa yang salah dengan itu?" "Yang bener aja dong, Pak! Jam 7, apa gak kepagian? Sebenarnya saya ini mau les atau mau jadi art?""Dua-duanya juga boleh." "Haish!" Dira kehilangan kata-kata, ingin memaki tapi tak berani lagi. "Pak, saya mohon jangan bercanda," ucap Dira dengan mengiba sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Nadira," ucap An dengan nada lembut. Sesaat gadis itu terpaku, sedikit terpengaruh saat namanya disebut sebegitu lembut oleh pria berwajah tampan itu. "Begini, saya tinggal sendiri, saya tidak pernah punya waktu untuk membuat sarapan. Jadi saya minta besok kamu sekalian buatkan saya sarapan lagi seperti ta
"Tunggu, maksud kamu ... Barang itu? Barang apa?" "Pura-pura gak tahu!" Dira mencebik. "Saya benar-benar tidak tahu.""Selain baju, Bapak beliin saya apa lagi waktu itu? Jawab jujur, Pak!" "Rok?""Terus?" "Dalaman?" tanya An dengan nada pelan."Aaaa!" Dira refleks memukulkan tasnya ke arah pria di sampingnya itu. "Itu ngaku! Dasar me sum!" pekiknya sambil terus memukul An tanpa ampun, mengabaikan ucapan pria itu yang terus meminta Dira berhenti. Tiba-tiba tas tersebut tak bisa ditarik lagi, Dira membuka mata dan mendapati An memegang tasnya. Sesaat tatapan mereka bertemu. "Nadira, jangan marah, dengarkan saya dulu. Pertama, waktu itu saya takut semua pakaian kamu basah, saya hanya mengkhawatirkan kamu. Kedua, bukan saya yang memilih benda itu, saya hanya bilang sama pegawainya pesan baju gadis sekitar usia 21 tahun, tinggi badan segini, berat badan sekitar segini, satu set lengkap! Hanya itu." Nadira menatap An dengan ekspresi yang tak bisa diartikan. "J-jadi ... " "Seperti i
[Saya sudah sampai.] Tak lama setelah centang biru, pintu depan rumah di depan Dira terbuka. An muncul dengan pakaian casual yang lebih santai. Bajunya yang berlengan pendek membuat tangan kekarnya terpampang nyata. Dira yang baru melihat pertama kalinya langsung terpana, dosennya itu terlihat lebih gagah dan segar dengan penampilan seperti ini. "Ayo masuk," ucapnya setelah membukakan pagar. Nadira tak langsung masuk, ia mengedarkan pandang di tempat semula. "Pak, apa gak ada tempat lain yang lebih ... nyaman?" An mengerutkan kening. "Nyaman? Menurut kamu rumah saya kurang nyaman?" "B-bukan gitu, Pak. Tapi ... Ya gak enak aja kalo kita cuma berdua di dalam sana." "Nggak di dalam, kok, di sana saja." An menunjuk sebuah meja bundar dengan empat kursi di halaman rumah sebelah samping. Meja itu berada di tengah-tengah tanaman hias serta kolam ikan yang juga dihias sedemikian rupa. Bagian atasnya yang ditutupi lapisan bening membuat cahaya sang surya tetap dapat menembus, t
Beberapa jam telah berlalu, Dira sedang membereskan semua barang-barangnya. "Em, Nadira?" "Ya?" sahutnya tanpa menoleh. "Sekarang kamu tolong setrika baju saya, ya?" Nadira langsung mendongak, menatap An dengan kening berkerut. "Nyetrika?" "Kenapa?" "Saya ... Saya gak bisa, Pak." "Kenapa gak bisa? Ada keperluan lain?" "Em, maksud saya ... Saya gak bisa nyetrika, Pak," ucap Dira sambil cengengesan. "Gak bisa? Jadi kamu harus belajar mulai sekarang." "Tapi, Pak--" "Saya gak mau dengar keluhan lagi." Dira mengerucutkan bibir, kemudian menghentakkan kakinya yang di bawah meja. "Pak! Saya ini asisten dosen, tapi kenapa di luar kampus juga harus kerja ini itu?" tanyanya mulai protes. An menyatukan jari-jari kedua tangannya di atas meja sambil memajukan badan, kedua matanya menatap Dira dengan tegas. "Siapa yang bilang kamu asisten dosen?" Dira gelagapan. "Terus?" "Kamu ... Asisten pri ba di saya." "Apa?" An menyunggingkan bibir melihat respon
Nadira memakan banyak es krim dengan berbagai rasa. Ia yang kesal merasa sudah dipermainkan oleh pria itu sengaja mengada-ngada, meminta ini itu untuk memoroti uangnya. An menatap Dira dengan senyuman terpaksa, telunjuknya menggaruk pelipis melihat bungkus es krim yang sudah berserakan di tanah. "Nadira?""Hm?""Kamu ... Gak takut gemuk?" Nadira langsung mendelik. "Kenapa?""Kamu terlalu banyak makan es krim sekarang.""Aku gak peduli, bukannya gemuk itu lebih menggemaskan?" tanya Dira sambil tersenyum dan menarik turunkan alisnya. An tertegun, walaupun mungkin Dira melakukannya tanpa alasan tertentu, namun tetap saja mampu membuat An salah tingkah. "Bapak gak suka cewek gemuk?" "Em ... tergantung. Suka atau nggak itu gak bisa diputuskan.""Tinggal jawab, belibet banget." "Mungkin bisa dibilang ... kurang suka." "Oke!" Nadira malah semakin cepat menghabiskan es krim di tangannya, kemudian membuka es krim selanjutnya. An melotot. "Nadira, kamu ... " "Denger Bapak gak suka cew
Nadira benar-benar mematung, bahkan ia sampai lupa caranya berkedip. Perlahan ia duduk dengan wajah masih menyimpan keterkejutan hebat. An sengaja mengangkat panggilan itu. "Halo?" Suara pria itu benar-benar terdengar dari ponsel Nadira. Merasa sudah cukup, Anand mematikan panggilan dan berjalan mendekat, berlutut di depan Nadira sambil memegang tangan perempuan itu yang terasa dingin. "Maaf, aku gak bermaksud menipumu ataupun berbohong. Semuanya mengalir begitu saja. Bermula sejak pertemuan pertama kita di kampus, aku terkejut karena kamu tak mengenalku, padahal menurut pengakuanmu dalam chat, kamu sudah melihat fotoku." Nadira masih tak mampu berbicara. Ia hanya terdiam menatap tanah dengan nafas memburu. "Nadira? Kamu baik-baik saja, kan?" Nadira masih bergeming, pikirannya masih berkeliaran menyusuri setiap kejadian demi kejadian yang berkaitan dengan Anand ataupun An selama ini. Akalnya mulai mengakui jika semuanya memang masuk akal, hanya saja ... egonya menolak. Semua ya
[Kamu harus sembuh dulu, nanti aku akan datang.]Nadira menatap pesan dari suaminya tanpa kedip. "Ada apa, Sayang?" tanya Melati."Ma, apa penyakitku menular? Kenapa Anand hanya akan datang kalau aku sembuh?" "Bukan seperti itu, Nak, mungkin ... Memang Anand sekarang memang belum bisa datang. Kamu jangan berpikiran buruk sama Anand. Bukan kah kamu bilang mau berubah? Mau mulai menerimanya sebagai suami?" Nadira mengangguk pelan. "Kalau begitu, kamu harus semangat untuk sembuh biar bisa ketemu sama suami kamu." Nadira tersenyum.Di tempat lain, Anand sedang menatap foto Nadira yang sedang mengerjakan tugas. Ia mengambil fotonya diam-diam saat sedang les. Anand menggeser foto itu, hingga yang terpampang di layar kini foto Nadira yang sedang menyibakkan rambut karena kegerahan. An tersenyum melihatnya, walaupun diambil secara diam-diam dan tersembunyi, tapi hasil potretannya sangat indah. "Sayang, Mas kangen. Cepet sembuh. Dan ... Maaf." Anand mengecup layar ponselnya sendiri, mat
"Duar!" "Copot!" Yasmin tertawa melihat raut terkejut di wajah Triana."Yasmiiiiiin!" Triana mengejar temannya, berusaha meraih Yasmin dengan gemas. Begitu dapat, ia memukul temannya itu berkali-kali. "Sakit, Nana! Lo sadis banget sama gue." "Lagian siapa suruh ngagetin gue?" "Eh, Na, gue denger pembicaraan Lo sama pak An tadi."Triana mengerjap, menatap Yasmin dengan mata membelalak. "Lo ... nguping?" Yasmin nyengir lebar. "Astaga Yasmin!" "Awalnya gue mau pergi lagi, tapi denger Lo nyebut pak An kakak gue gak jadi pergi. Hehe." "Asem, Lo!" "Jadi sekarang Lo gak punya alasan lagi buat gak jelasin sama gue kan, Na?" Triana menarik nafas dalam-dalam, kemudian menatap Yasmin yang sedari tadi cengar-cengir menyebalkan."Memang gak ada pilihan lain, atau telinga gue bakal sakit denger rengekan Lo yang gak bakal berenti." "Asiiikk!" ***An menatap ponselnya tanpa berkedip. Deretan pesan yang ia kirimkan tak satu pun yang mendapatkan balasan. Dan keadaan berbanding terbalik den
"Siapa bilang saya suka sama kamu?" tanya An di tengah-tengah kegugupan. Berdebat dengan Nadira ternyata bukanlah ide bagus.Nadira mendengkus. "Siapa bilang? Gak perlu ada yang bilang aku bisa lihat sendiri dari cara Bapak memperlakukan aku. Tapi maaf, aku gak suka sama tipe cowok yang gak setia kaya Bapak. Dan bener, aku udah nikah, dan aku lebih bersyukur punya suami yang pendiam dan gak banyak tingkah kaya Bapak. Jangan harap aku akan berpaling hanya karena wujud Bapak yang lebih bagus dari suamiku. Bapak pikir good looking hal pokok yang membuat perempuan bahagia? Bapak salah! Walaupun suamiku gak ganteng, tapi dia lembut dan penyayang, dan itu cukup membuatku hidup tenang. Gak pernah perhitungan apalagi curang!""Nadira, kamu mengagumi siapa sebenarnya?" "Ya jelas suami aku. Masa Bapak?" An berdecak kesal. Ingin sekali merutuki nasib pernikahannya yang berbelit-belit seperti ini. "Nadira, suami kamu itu--""Cukup! Jangan harap Bapak bisa mempengaruhi isi kepalaku dengan menga
Tok tok tok!"Masuk!" Nadira melongokan kepalanya terlebih dulu sebelum benar-benar masuk. Terlihat An sedang begitu fokus dengan pekerjaannya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" "Duduk dulu." Nadira duduk di kursi dengan santai, tak menyadari kalau kini ada bom waktu yang siap meledak untuknya. "Tolong belikan saya obat diare." "Bapak diare?" An melirik dengan sengit."Oh, iya, ya. Gara-gara tadi, ya?" Dira cengengesan. "Ini uangnya. Kamu harus kembali dalam waktu 10 menit." "Sepuluh menit? Pak, warung kan--""Dimulai dari sekarang." Nadira berdecak, semua omelannya terpaksa harus ia pendam terlebih dulu dan segera berlari keluar dari ruangan. Bagaikan sedang dikejar anjing, Nadira berlari terbirit-birit hingga berkali-kali hampir menabrak orang. Brak! Nadira menyimpan obat di atas meja An. Nafas gadis itu tersengal-sengal, tangannya memegangi dada yang terasa sesak. "Terlambat dua menit." "Cuma dua menit, yang penting sekarang obatnya sudah ada, kan? Bapak bisa minum se
"P-pak, Bapak yakin mau makan di sini?" "Kenapa tidak? Kamu juga, kenapa makanannya malah diobrak-abrik begitu?" Nadira menatap siomay di depannya. Ia cengengesan seketika. Triana dan Yasmin yang baru muncul di pintu masuk kantin langsung mematung di tempat melihat pemandangan itu. "Yas, ini gimana?" "Kita nyari meja lain dong. Masa iya mau satu meja sama pak An." "Oke-oke." Triana dan Yasmin bejalan dengan tegak. "Na! Yas! Sini!" teriak Nadira saat melihat kedua temannya. Namun, kedua temannya itu malah cengengesan. "Lo duduk di sana aja, Ra, kita di sini. Kali-kali kita makan tanpa Lo," celetuk Yasmin.Nadira langsung membelalak mendengar ucapan asal tersebut. Gadis itu sudah bangkit dari kursi hendak menghampiri teman-temannya, namun Anand menahan tangannya dan memaksa Dira kembali duduk."Siapa yang melewatkan sarapan saya?" Nadira mengerucutkan bibir. "Saya." "Jadi sekarang temani saya makan. Diam!" Nadira memejam sambil menarik nafas. Tiba-tiba pikiran jahil muncul d
"Anand? Dira? Dira kenapa, Nak?" tanya Melati panik. "Nanti saja nanya nya. Ayo bawa Dira ke kamar," ucap Abram. Anand membawa Nadira ke lantai atas, di mana kamar perempuan itu berada. Pria itu langsung menutupi tubuh istrinya dengan selimut. "Dira kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Melati lagi. "Nadira mabuk, Ma." "Mabuk lagi? Kenapa bisa? Tadi dia pamit keluar sama temen-temennya. Mama kira ... " Anand memejam beberapa saat. "Maaf, Ma, Pa, saya tidak bisa menjaga Nadira." Melati dan Abram kompak menggeleng. "Jangan salahkan diri kamu, Nak. Nadira memang seperti ini dari dulu, hanya saja setelah menikah memang ini pertama kalinya dia mabuk lagi."Anand menatap Nadira yang masih terlelap dengan tatapan bersalah. Dadanya naik turun seiring dengan nafasnya yang masih terengah-engah. "Ini salah Anand, Pa. Apa anand harus mengakhiri semuanya?" Abram dan Melati saling tatap. "Kelulusan tinggal dua bulan lagi, Nak, menurut papa lebih baik jangan sekarang. Bantu Nadira untuk mengal
Sepanjang jalan Nadira uring-uringan, apa-apa yang ia temui langsung ditendang. "Kenapa ya, cowok itu bebas banget hidupnya? Udah nikah, tapi masih bisa ketemuan sama banyak cewek, pake dandan habis-habisan lagi. Sedangkan istrinya gak tahu ada di mana. Genit! Ganjen! Sok cakep!" "Sedangkan gue, cewek, ketahuan ngomongin cowok lain sambil ketawa-ketawa bahagia langsung ditegur sama nyokap gara-gara sudah punya suami. Haish! Kenapa hidup gini bener? Apa sebesar ini perbedaan antara cewek sama cowok? Dasar cowok gak tahu diri! Pantes banyak cewek yang menderita di muka bumi ini. Mungkin mentang-mentang punya wujud kaya Arjuna kalian, ya? Hah, apa untuk sekarang gue harus bersyukur punya suami limited edition yang pastinya gak bakal banyak tingkah dan gaya?""Arghh! Nyebelin!" Setelah puas mengeluarkan unek-uneknya, Nadira melambaikan tangan pada tukang ojek yang ia temui.***"Baru pulang, Nak?" "Gimana lesnya? Lancar?"Nadira lagi-lagi melihat gelagat aneh dari kedua orang tuanya.
Nadira memakan banyak es krim dengan berbagai rasa. Ia yang kesal merasa sudah dipermainkan oleh pria itu sengaja mengada-ngada, meminta ini itu untuk memoroti uangnya. An menatap Dira dengan senyuman terpaksa, telunjuknya menggaruk pelipis melihat bungkus es krim yang sudah berserakan di tanah. "Nadira?""Hm?""Kamu ... Gak takut gemuk?" Nadira langsung mendelik. "Kenapa?""Kamu terlalu banyak makan es krim sekarang.""Aku gak peduli, bukannya gemuk itu lebih menggemaskan?" tanya Dira sambil tersenyum dan menarik turunkan alisnya. An tertegun, walaupun mungkin Dira melakukannya tanpa alasan tertentu, namun tetap saja mampu membuat An salah tingkah. "Bapak gak suka cewek gemuk?" "Em ... tergantung. Suka atau nggak itu gak bisa diputuskan.""Tinggal jawab, belibet banget." "Mungkin bisa dibilang ... kurang suka." "Oke!" Nadira malah semakin cepat menghabiskan es krim di tangannya, kemudian membuka es krim selanjutnya. An melotot. "Nadira, kamu ... " "Denger Bapak gak suka cew