"Hachi!" "Hachi!" "Duh, gimana ceritanya Lo bisa berakhir kaya gini, Ra?" tanya Triana. Pagi-pagi sekali kedua sahabatnya itu langsung meluncur ke rumah Nadira setelah semalam mendapat kabar bahwa Nadira kurang enak badan. Mereka membawa sarapan dan buah-buahan, layaknya sahabat yang normal."Gak usah berlebihan deh kalian," ucap Nadira sambil mengusap hidungnya. "Bukan berlebihan, Ra, tapi kita merasa bersalah juga kemarin ninggalin Lo sendiri, kan," ucap Yasmin."Tenang-tenang, gue gak bener-bener sendiri, kok, kemarin." Yasmin dan Triana saling lirik. "Terus sama siapa?" "Eh, gue mau cerita, tapi kalian jangan heboh dulu, ya?" ucap Nadira setengah berbisik, membuat kedua temannya kompak mendekat. "Apaan tuh?" "Kemarin pak An nemenin gue tau." "Pak An? Yang bener, Lo?" ucap Yasmin menolak percaya, berbeda dengan Triana yang terkesan lebih tenang. "Ya gak tahu sengaja nemenin atau cuma kebetulan. Kemarin gue ketiduran di perpustakaan, pas gue bangun pak An udah di deket gue
"Huh! Huh!" Gadis itu mengeluarkan nafas dari mulut dengan cepat sambil mengipasi wajahnya sendiri. Tangannya terangkat menyentuh dada, yang mana di dalam sana ada sesuatu yang menggedor-gedor seolah minta keluar dari tempat persembunyiannya. "Aduh," keluh Nadira sambil memegang dadanya yang masih berdebar keras."Gak! Gak boleh gini, sebagai cewek cantik dan sejuta pesona gue harus bisa tahan harga. Gue gak boleh dengan mudah jatuh ke tangan cowok mana pun. Dari dulu, gue terkenal paling sulit ditaklukin sama cowok seganteng apapun dia. Masa sekarang kemampuan gue merosot gitu aja? Ya, gue harus bisa menganggap semua itu cuma halusinasi gue doang," celotehnya pada diri sendiri."Sayang?" Nadira menoleh pada Melati yang sedang berdiri di ambang pintu kamar anaknya dengan raut yang tak bisa dibaca. "Ya, Ma? Masuk aja." Melati mendekat perlahan, kemudian duduk di kursi rias yang ia seret ke dekat tempat tidur. Melihat raut serius di wajah mama nya, mau tak mau Nadira tegang seketika
[Ini siapa?][Memangnya ada berapa orang yang ngasih kamu tugas?][Oh!]Anand mengerutkan kening membaca dua huruf tersebut. [Pertanyaan saya belum kamu balas.][Saya baik. Bapak tenang saja, tugas yang Bapak kasih saya jamin sesuai deadline akan sudah ada di depan Bapak.][Bagus. Nanti kalau sudah selesai langsung kirim saja ke nomor ini dalam bentuk file, tidak usah diprint.][Oh, baik, Pak.]***Senin pagi, Nadira berjalan menuju ruang dekan dengan bersungut-sungut. Pasalnya setelah ia berhasil mengirim dalam bentuk file ke nomor Pak An tadi malam, tiba-tiba saja dosen itu menyuruh Nadira mencetak semuanya."Dasar dosen gak jelas! Gak ikhlas banget kayanya kalo lihat gue santai-santai dikit."Tak lama ia pun tiba di depan pintu ruang dekan sambil memegang laporan yang baru saja selesai dicetak. Setelah mengetuk pintu, ia masuk dan menyerahkan laporan itu.Pak An membolak-balik halaman laporan tersebut tanpa ekspresi. Nadira berdiri tenang, ketegangan dan ketakutan yang semula sela
[Jangan lupa sarapan saya besok.]"D-dia ini kenapa, sih?" gerutu Nadira setelah membaca pesan tersebut.[Pak, cukup. Saya sedang tidak berminat mendengar candaan Bapak.][Loh, kok candaan? Saya serius.][Bukannya tentang asisten itu cuma bercanda?] Perasaan Nadira sudah tak enak saat menanyakannya.[Siapa bilang?]Nadira lantas menarik nafas dalam-dalam. [Oke, kalau begitu saya katakan sekarang, saya tidak mau jadi asisten Bapak.][Tapi sayangnya saya gak ngasih kamu pilihan. Dan satu lagi, saya mau sarapannya kamu sendiri yang buat.][Bapak ngidam?][Anggap saja begitu.]Nadira menganga. "I-ini ... Dia ... Aaaaaa!" Nadira mengacak rambutnya."Ada apa, Dira?" tanya Melati. Ia langsung melotot saat melihat penampilan anaknya yang acak-acakan."Mammaaaaa ..." rengek Nadira sambil memeluk Melati."Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?""Aku terlibat masalah yang rumit banget, Ma ... " "Masalah apa?"Nadila tak menjawab dan malah terus merengek."Apa ... ada hubungannya sama Anand?""Nggak ada
"Dira!" Yasmin dan Triana melambaikan tangan, dengan cepat Nadira pun mendekat. "Pak An bener-bener, ya, cuma perkara dia senyum doang aja pagi ini sekampus langsung gempar. Tapi emang senyumnya bikin gak tahan ...," ucap Yasmin sambil melehoy. Nadira menyunggingkan bibir. "Lo dan kalian semua bakal patah hati berjamaah setelah tahu dia senyum gara-gara gue," celetuk Dira membuat Yasmin dan orang-orang di dekatnya menoleh. "Ha? Maksud Lo apa, Ra?" tanya Yasmin, yang lain pun ikut heboh mendekat dan menanyakan hal yang sama."Bentar-bentar! Sabar!" ucap Nadira."Maksud kamu apa, Ra?""Apa bener pak An senyum pagi ini itu gara-gara kamu?" "Kok bisa, Ra?" Berbagai pertanyaan berbeda terus berjejalan memenuhi telinga Nadira. Mood untuk jadi pusat perhatian pagi ini pun ambyar seketika, berganti dengan syok dan panik karena yang terjadi benar-benar di luar dugaannya. Nadira pun berjongkok di tengah-tengah kerumunan, dan melarikan diri lewat bawah. Ia berlari kencang menuju lantai dua
"A-apa yang mau Bapak lakukan?" "Menghukum mu," ucap An serupa bisikan, membuat sekujur tubuh Nadira merinding ketakutan. Tok tok tok! Nadira terperanjat, An menjauh dan merapikan bajunya. Gadis itu pun mengusap dada merasa lega. "Kamu tunggu di sana," ucap An menunjuk kursi. Nadira mendelik sinis. Melihat pria itu membuka pintu, Nadira pun dengan segera mencari celah untuk melarikan diri. "Permisi," ucap Dira sambil berjongkok melewati An dan Bu Rahayu, lalu kemudian berlari secepat mungkin dari tempat itu.Bu Rahayu masih mematung menatap kepergian Dira, lalu perlahan menoleh pada An dengan raut penuh tanya. "D-dia ... " An memejam sambil menarik nafas dalam-dalam. ***Dira berhenti berlari begitu tiba di perpustakaan. Baginya saat ini hanya tempat itu yang selamat dan aman baginya. "Haduh, gue berasa jadi buronan gini."Nadira menelepon Yasmin. "Yas, kalian lagi di mana? Gue di perpustakaan nih. Kalo mau ke sini tolong sekalian beliin gue minuman dingin, ya! Cepetaaan!"
"Nadira, buatkan saya kopi!" "Nadira, tolong bereskan meja saya!" "Nadira, tolong print ini." "Nadira ...""Nadira ...""Aaaarrgghhh! Heuheuheu. Lutut gue, kaki gue, sakit semua gara-gara naik turun tangga terus." Nadira menangis konyol di taman, sedangkan Yasmin dan Triana hanya bisa menyaksikan dengan putus asa. "Kenapa harus gue coba, Yas? Na? Dari sekian ratus mahasiswa di sini, kenapa dia milih gue buat jadi sekretaris konyolnya. Kenapa bukan Lo? Atau Lo?" Dira menunjuk temannya satu persatu. Yasmin memajukan bibirnya, menatap Nadira dengan iba kemudian mendekat. "Sabar, Ra." "Gue gak bisa sabar ngadepin dia, Yas! Dosen itu ... Nye be liin!" geram Nadira sambil menatap tangannya yang ia remas-remas sendiri. "Tapi gimana lagi? Bahkan orang tua Lo sendiri juga gak bisa ngeluarin Lo dari situasi kaya gini, Ra.""Gue juga gak habis pikir, gak tahu apa yang laki-laki itu katakan sama nyokap gue sampai Mama tiba-tiba saja berubah jadi berpihak sama dia. Apa yang dia lakuin sama
"Kamu habis dari mana?" tanya An begitu Dira datang ke ruangannya. "Saya dari toilet, Pak." "Oh." An kembali fokus pada laptopnya.Dira, gadis itu sejak resmi jadi asisten An, selalu duduk di kursi yang terletak di tepi ruangan. Diam-diam An memperhatikan Dira yang terus cemberut, ia pun mendapatkan ide dan memainkan ponselnya. [Nadira?]An melihat perubahan raut wajah Nadira setelah melihat pesan masuk dari suaminya. Perlahan gadis itu mengangkat wajah menatap ke arahnya, An segera kembali menatap laptop. Kemudian An melihat Dira mengetik balasan. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. [Ya?][Lagi apa?]Nadira mengerutkan kening, menatap pesan itu beberapa saat. Hatinya bertanya-tanya, tak biasanya suaminya itu basa-basi seperti ini. [Lagi di kampus.][Saya ganggu?][Nggak. Ada apa?][Nggak, cuma kangen saja.] "Ish!" Dira berdecak kesal, An menutup bibirnya yang menahan tawa. [Kangen? Gak salah?][Kenapa salah? Apa salahnya kangen sama istri sendiri?]Nadira memutar bol
Nadira benar-benar mematung, bahkan ia sampai lupa caranya berkedip. Perlahan ia duduk dengan wajah masih menyimpan keterkejutan hebat. An sengaja mengangkat panggilan itu. "Halo?" Suara pria itu benar-benar terdengar dari ponsel Nadira. Merasa sudah cukup, Anand mematikan panggilan dan berjalan mendekat, berlutut di depan Nadira sambil memegang tangan perempuan itu yang terasa dingin. "Maaf, aku gak bermaksud menipumu ataupun berbohong. Semuanya mengalir begitu saja. Bermula sejak pertemuan pertama kita di kampus, aku terkejut karena kamu tak mengenalku, padahal menurut pengakuanmu dalam chat, kamu sudah melihat fotoku." Nadira masih tak mampu berbicara. Ia hanya terdiam menatap tanah dengan nafas memburu. "Nadira? Kamu baik-baik saja, kan?" Nadira masih bergeming, pikirannya masih berkeliaran menyusuri setiap kejadian demi kejadian yang berkaitan dengan Anand ataupun An selama ini. Akalnya mulai mengakui jika semuanya memang masuk akal, hanya saja ... egonya menolak. Semua ya
[Kamu harus sembuh dulu, nanti aku akan datang.]Nadira menatap pesan dari suaminya tanpa kedip. "Ada apa, Sayang?" tanya Melati."Ma, apa penyakitku menular? Kenapa Anand hanya akan datang kalau aku sembuh?" "Bukan seperti itu, Nak, mungkin ... Memang Anand sekarang memang belum bisa datang. Kamu jangan berpikiran buruk sama Anand. Bukan kah kamu bilang mau berubah? Mau mulai menerimanya sebagai suami?" Nadira mengangguk pelan. "Kalau begitu, kamu harus semangat untuk sembuh biar bisa ketemu sama suami kamu." Nadira tersenyum.Di tempat lain, Anand sedang menatap foto Nadira yang sedang mengerjakan tugas. Ia mengambil fotonya diam-diam saat sedang les. Anand menggeser foto itu, hingga yang terpampang di layar kini foto Nadira yang sedang menyibakkan rambut karena kegerahan. An tersenyum melihatnya, walaupun diambil secara diam-diam dan tersembunyi, tapi hasil potretannya sangat indah. "Sayang, Mas kangen. Cepet sembuh. Dan ... Maaf." Anand mengecup layar ponselnya sendiri, mat
"Duar!" "Copot!" Yasmin tertawa melihat raut terkejut di wajah Triana."Yasmiiiiiin!" Triana mengejar temannya, berusaha meraih Yasmin dengan gemas. Begitu dapat, ia memukul temannya itu berkali-kali. "Sakit, Nana! Lo sadis banget sama gue." "Lagian siapa suruh ngagetin gue?" "Eh, Na, gue denger pembicaraan Lo sama pak An tadi."Triana mengerjap, menatap Yasmin dengan mata membelalak. "Lo ... nguping?" Yasmin nyengir lebar. "Astaga Yasmin!" "Awalnya gue mau pergi lagi, tapi denger Lo nyebut pak An kakak gue gak jadi pergi. Hehe." "Asem, Lo!" "Jadi sekarang Lo gak punya alasan lagi buat gak jelasin sama gue kan, Na?" Triana menarik nafas dalam-dalam, kemudian menatap Yasmin yang sedari tadi cengar-cengir menyebalkan."Memang gak ada pilihan lain, atau telinga gue bakal sakit denger rengekan Lo yang gak bakal berenti." "Asiiikk!" ***An menatap ponselnya tanpa berkedip. Deretan pesan yang ia kirimkan tak satu pun yang mendapatkan balasan. Dan keadaan berbanding terbalik den
"Siapa bilang saya suka sama kamu?" tanya An di tengah-tengah kegugupan. Berdebat dengan Nadira ternyata bukanlah ide bagus.Nadira mendengkus. "Siapa bilang? Gak perlu ada yang bilang aku bisa lihat sendiri dari cara Bapak memperlakukan aku. Tapi maaf, aku gak suka sama tipe cowok yang gak setia kaya Bapak. Dan bener, aku udah nikah, dan aku lebih bersyukur punya suami yang pendiam dan gak banyak tingkah kaya Bapak. Jangan harap aku akan berpaling hanya karena wujud Bapak yang lebih bagus dari suamiku. Bapak pikir good looking hal pokok yang membuat perempuan bahagia? Bapak salah! Walaupun suamiku gak ganteng, tapi dia lembut dan penyayang, dan itu cukup membuatku hidup tenang. Gak pernah perhitungan apalagi curang!""Nadira, kamu mengagumi siapa sebenarnya?" "Ya jelas suami aku. Masa Bapak?" An berdecak kesal. Ingin sekali merutuki nasib pernikahannya yang berbelit-belit seperti ini. "Nadira, suami kamu itu--""Cukup! Jangan harap Bapak bisa mempengaruhi isi kepalaku dengan menga
Tok tok tok!"Masuk!" Nadira melongokan kepalanya terlebih dulu sebelum benar-benar masuk. Terlihat An sedang begitu fokus dengan pekerjaannya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" "Duduk dulu." Nadira duduk di kursi dengan santai, tak menyadari kalau kini ada bom waktu yang siap meledak untuknya. "Tolong belikan saya obat diare." "Bapak diare?" An melirik dengan sengit."Oh, iya, ya. Gara-gara tadi, ya?" Dira cengengesan. "Ini uangnya. Kamu harus kembali dalam waktu 10 menit." "Sepuluh menit? Pak, warung kan--""Dimulai dari sekarang." Nadira berdecak, semua omelannya terpaksa harus ia pendam terlebih dulu dan segera berlari keluar dari ruangan. Bagaikan sedang dikejar anjing, Nadira berlari terbirit-birit hingga berkali-kali hampir menabrak orang. Brak! Nadira menyimpan obat di atas meja An. Nafas gadis itu tersengal-sengal, tangannya memegangi dada yang terasa sesak. "Terlambat dua menit." "Cuma dua menit, yang penting sekarang obatnya sudah ada, kan? Bapak bisa minum se
"P-pak, Bapak yakin mau makan di sini?" "Kenapa tidak? Kamu juga, kenapa makanannya malah diobrak-abrik begitu?" Nadira menatap siomay di depannya. Ia cengengesan seketika. Triana dan Yasmin yang baru muncul di pintu masuk kantin langsung mematung di tempat melihat pemandangan itu. "Yas, ini gimana?" "Kita nyari meja lain dong. Masa iya mau satu meja sama pak An." "Oke-oke." Triana dan Yasmin bejalan dengan tegak. "Na! Yas! Sini!" teriak Nadira saat melihat kedua temannya. Namun, kedua temannya itu malah cengengesan. "Lo duduk di sana aja, Ra, kita di sini. Kali-kali kita makan tanpa Lo," celetuk Yasmin.Nadira langsung membelalak mendengar ucapan asal tersebut. Gadis itu sudah bangkit dari kursi hendak menghampiri teman-temannya, namun Anand menahan tangannya dan memaksa Dira kembali duduk."Siapa yang melewatkan sarapan saya?" Nadira mengerucutkan bibir. "Saya." "Jadi sekarang temani saya makan. Diam!" Nadira memejam sambil menarik nafas. Tiba-tiba pikiran jahil muncul d
"Anand? Dira? Dira kenapa, Nak?" tanya Melati panik. "Nanti saja nanya nya. Ayo bawa Dira ke kamar," ucap Abram. Anand membawa Nadira ke lantai atas, di mana kamar perempuan itu berada. Pria itu langsung menutupi tubuh istrinya dengan selimut. "Dira kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Melati lagi. "Nadira mabuk, Ma." "Mabuk lagi? Kenapa bisa? Tadi dia pamit keluar sama temen-temennya. Mama kira ... " Anand memejam beberapa saat. "Maaf, Ma, Pa, saya tidak bisa menjaga Nadira." Melati dan Abram kompak menggeleng. "Jangan salahkan diri kamu, Nak. Nadira memang seperti ini dari dulu, hanya saja setelah menikah memang ini pertama kalinya dia mabuk lagi."Anand menatap Nadira yang masih terlelap dengan tatapan bersalah. Dadanya naik turun seiring dengan nafasnya yang masih terengah-engah. "Ini salah Anand, Pa. Apa anand harus mengakhiri semuanya?" Abram dan Melati saling tatap. "Kelulusan tinggal dua bulan lagi, Nak, menurut papa lebih baik jangan sekarang. Bantu Nadira untuk mengal
Sepanjang jalan Nadira uring-uringan, apa-apa yang ia temui langsung ditendang. "Kenapa ya, cowok itu bebas banget hidupnya? Udah nikah, tapi masih bisa ketemuan sama banyak cewek, pake dandan habis-habisan lagi. Sedangkan istrinya gak tahu ada di mana. Genit! Ganjen! Sok cakep!" "Sedangkan gue, cewek, ketahuan ngomongin cowok lain sambil ketawa-ketawa bahagia langsung ditegur sama nyokap gara-gara sudah punya suami. Haish! Kenapa hidup gini bener? Apa sebesar ini perbedaan antara cewek sama cowok? Dasar cowok gak tahu diri! Pantes banyak cewek yang menderita di muka bumi ini. Mungkin mentang-mentang punya wujud kaya Arjuna kalian, ya? Hah, apa untuk sekarang gue harus bersyukur punya suami limited edition yang pastinya gak bakal banyak tingkah dan gaya?""Arghh! Nyebelin!" Setelah puas mengeluarkan unek-uneknya, Nadira melambaikan tangan pada tukang ojek yang ia temui.***"Baru pulang, Nak?" "Gimana lesnya? Lancar?"Nadira lagi-lagi melihat gelagat aneh dari kedua orang tuanya.
Nadira memakan banyak es krim dengan berbagai rasa. Ia yang kesal merasa sudah dipermainkan oleh pria itu sengaja mengada-ngada, meminta ini itu untuk memoroti uangnya. An menatap Dira dengan senyuman terpaksa, telunjuknya menggaruk pelipis melihat bungkus es krim yang sudah berserakan di tanah. "Nadira?""Hm?""Kamu ... Gak takut gemuk?" Nadira langsung mendelik. "Kenapa?""Kamu terlalu banyak makan es krim sekarang.""Aku gak peduli, bukannya gemuk itu lebih menggemaskan?" tanya Dira sambil tersenyum dan menarik turunkan alisnya. An tertegun, walaupun mungkin Dira melakukannya tanpa alasan tertentu, namun tetap saja mampu membuat An salah tingkah. "Bapak gak suka cewek gemuk?" "Em ... tergantung. Suka atau nggak itu gak bisa diputuskan.""Tinggal jawab, belibet banget." "Mungkin bisa dibilang ... kurang suka." "Oke!" Nadira malah semakin cepat menghabiskan es krim di tangannya, kemudian membuka es krim selanjutnya. An melotot. "Nadira, kamu ... " "Denger Bapak gak suka cew