"Pulang yuk, Ra? Nanti lanjutin lagi di rumah." "Aduh, nanggung banget. Bentar lagi," sahut Nadira tanpa mengalihkan tatapan dari laptop.Yasmin menghela nafas. "Ini udah sore, Ra, takut hujan juga.""Masa hujan? Ini masih musim panas. Lo pulang duluan aja.""Tapi--""Lo tahu sendiri, Yas, gimana gue kalo udah didesak sama tugas kaya gini. Udah, Lo pulang duluan gak papa, gue bisa pesen taksi nanti." "Bener gak papa?" "Hm." Yasmin meraih tasnya. "Beneran?" Nadira berdecak. "Lo kira gue penakut, apa?""Iya deh iya gue pulang. Hati-hati, ya!" "Hmm!" Anand, pria yang duduk di bangku paling belakang perlahan menurunkan buku yang menutupi wajahnya. Ia memicingkan mata melihat Nadira yang masih terpaku di tempat yang sama sedari tadi. Awalnya ia mengira Nadira benar-benar pemalas dan manja seperti yang dikatakan papa mertuanya, tetapi begitu mendapatkan tugas segunung dengan deadline yang sudah ditentukan ia tak menyangka gadis itu bisa berubah seketika. Samar-samar suara guntur ter
Nadira tak menyahut. Gadis itu menggigit bibir, rasa dingin yang menyeruak ke dalam tubuhnya semakin tak bisa ia tahan lagi. Anand lagi-lagi menoleh. "Sudah, pulang sama saya." Nadira tak merespon.Anand menarik tangan Nadira yang sedingin es. Gadis itu langsung menepis. Namun Anand yang terkejut langsung kembali memegang kedua tangan Nadira dengan panik. "Kamu kedinginan, ayo cepat pulang." "Hujannya belum reda," ucapnya sudah tak seceria tadi. "Tunggu di sini!" ucap Anand. Ia berlari untuk mengambil jasnya yang ia tinggal beberapa hari lalu di ruang dekan. Dengan cepat ia kembali, dan mendapati Nadira sudah meringkuk di dekat tembok. Anand memakaikan jasnya ke belakang tubuh gadis itu, kemudian mengajaknya berdiri. "Ikut saya," ucapnya sambil menarik tangan Nadira. Namun gadis itu bergeming. "Ke mana?" "Ke ruangan yang lebih hangat " Nadira tetap mematung. "Ayo!" "Gak mau. Saya mau pulang." "Kamu jangan khawatir, saya tidak akan macam-macam.""Gak mau." "Hujan masih der
"Hachi!" "Hachi!" "Duh, gimana ceritanya Lo bisa berakhir kaya gini, Ra?" tanya Triana. Pagi-pagi sekali kedua sahabatnya itu langsung meluncur ke rumah Nadira setelah semalam mendapat kabar bahwa Nadira kurang enak badan. Mereka membawa sarapan dan buah-buahan, layaknya sahabat yang normal."Gak usah berlebihan deh kalian," ucap Nadira sambil mengusap hidungnya. "Bukan berlebihan, Ra, tapi kita merasa bersalah juga kemarin ninggalin Lo sendiri, kan," ucap Yasmin."Tenang-tenang, gue gak bener-bener sendiri, kok, kemarin." Yasmin dan Triana saling lirik. "Terus sama siapa?" "Eh, gue mau cerita, tapi kalian jangan heboh dulu, ya?" ucap Nadira setengah berbisik, membuat kedua temannya kompak mendekat. "Apaan tuh?" "Kemarin pak An nemenin gue tau." "Pak An? Yang bener, Lo?" ucap Yasmin menolak percaya, berbeda dengan Triana yang terkesan lebih tenang. "Ya gak tahu sengaja nemenin atau cuma kebetulan. Kemarin gue ketiduran di perpustakaan, pas gue bangun pak An udah di deket gue
"Huh! Huh!" Gadis itu mengeluarkan nafas dari mulut dengan cepat sambil mengipasi wajahnya sendiri. Tangannya terangkat menyentuh dada, yang mana di dalam sana ada sesuatu yang menggedor-gedor seolah minta keluar dari tempat persembunyiannya. "Aduh," keluh Nadira sambil memegang dadanya yang masih berdebar keras."Gak! Gak boleh gini, sebagai cewek cantik dan sejuta pesona gue harus bisa tahan harga. Gue gak boleh dengan mudah jatuh ke tangan cowok mana pun. Dari dulu, gue terkenal paling sulit ditaklukin sama cowok seganteng apapun dia. Masa sekarang kemampuan gue merosot gitu aja? Ya, gue harus bisa menganggap semua itu cuma halusinasi gue doang," celotehnya pada diri sendiri."Sayang?" Nadira menoleh pada Melati yang sedang berdiri di ambang pintu kamar anaknya dengan raut yang tak bisa dibaca. "Ya, Ma? Masuk aja." Melati mendekat perlahan, kemudian duduk di kursi rias yang ia seret ke dekat tempat tidur. Melihat raut serius di wajah mama nya, mau tak mau Nadira tegang seketika
[Ini siapa?][Memangnya ada berapa orang yang ngasih kamu tugas?][Oh!]Anand mengerutkan kening membaca dua huruf tersebut. [Pertanyaan saya belum kamu balas.][Saya baik. Bapak tenang saja, tugas yang Bapak kasih saya jamin sesuai deadline akan sudah ada di depan Bapak.][Bagus. Nanti kalau sudah selesai langsung kirim saja ke nomor ini dalam bentuk file, tidak usah diprint.][Oh, baik, Pak.]***Senin pagi, Nadira berjalan menuju ruang dekan dengan bersungut-sungut. Pasalnya setelah ia berhasil mengirim dalam bentuk file ke nomor Pak An tadi malam, tiba-tiba saja dosen itu menyuruh Nadira mencetak semuanya."Dasar dosen gak jelas! Gak ikhlas banget kayanya kalo lihat gue santai-santai dikit."Tak lama ia pun tiba di depan pintu ruang dekan sambil memegang laporan yang baru saja selesai dicetak. Setelah mengetuk pintu, ia masuk dan menyerahkan laporan itu.Pak An membolak-balik halaman laporan tersebut tanpa ekspresi. Nadira berdiri tenang, ketegangan dan ketakutan yang semula sela
[Jangan lupa sarapan saya besok.]"D-dia ini kenapa, sih?" gerutu Nadira setelah membaca pesan tersebut.[Pak, cukup. Saya sedang tidak berminat mendengar candaan Bapak.][Loh, kok candaan? Saya serius.][Bukannya tentang asisten itu cuma bercanda?] Perasaan Nadira sudah tak enak saat menanyakannya.[Siapa bilang?]Nadira lantas menarik nafas dalam-dalam. [Oke, kalau begitu saya katakan sekarang, saya tidak mau jadi asisten Bapak.][Tapi sayangnya saya gak ngasih kamu pilihan. Dan satu lagi, saya mau sarapannya kamu sendiri yang buat.][Bapak ngidam?][Anggap saja begitu.]Nadira menganga. "I-ini ... Dia ... Aaaaaa!" Nadira mengacak rambutnya."Ada apa, Dira?" tanya Melati. Ia langsung melotot saat melihat penampilan anaknya yang acak-acakan."Mammaaaaa ..." rengek Nadira sambil memeluk Melati."Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?""Aku terlibat masalah yang rumit banget, Ma ... " "Masalah apa?"Nadila tak menjawab dan malah terus merengek."Apa ... ada hubungannya sama Anand?""Nggak ada
"Dira!" Yasmin dan Triana melambaikan tangan, dengan cepat Nadira pun mendekat. "Pak An bener-bener, ya, cuma perkara dia senyum doang aja pagi ini sekampus langsung gempar. Tapi emang senyumnya bikin gak tahan ...," ucap Yasmin sambil melehoy. Nadira menyunggingkan bibir. "Lo dan kalian semua bakal patah hati berjamaah setelah tahu dia senyum gara-gara gue," celetuk Dira membuat Yasmin dan orang-orang di dekatnya menoleh. "Ha? Maksud Lo apa, Ra?" tanya Yasmin, yang lain pun ikut heboh mendekat dan menanyakan hal yang sama."Bentar-bentar! Sabar!" ucap Nadira."Maksud kamu apa, Ra?""Apa bener pak An senyum pagi ini itu gara-gara kamu?" "Kok bisa, Ra?" Berbagai pertanyaan berbeda terus berjejalan memenuhi telinga Nadira. Mood untuk jadi pusat perhatian pagi ini pun ambyar seketika, berganti dengan syok dan panik karena yang terjadi benar-benar di luar dugaannya. Nadira pun berjongkok di tengah-tengah kerumunan, dan melarikan diri lewat bawah. Ia berlari kencang menuju lantai dua
"A-apa yang mau Bapak lakukan?" "Menghukum mu," ucap An serupa bisikan, membuat sekujur tubuh Nadira merinding ketakutan. Tok tok tok! Nadira terperanjat, An menjauh dan merapikan bajunya. Gadis itu pun mengusap dada merasa lega. "Kamu tunggu di sana," ucap An menunjuk kursi. Nadira mendelik sinis. Melihat pria itu membuka pintu, Nadira pun dengan segera mencari celah untuk melarikan diri. "Permisi," ucap Dira sambil berjongkok melewati An dan Bu Rahayu, lalu kemudian berlari secepat mungkin dari tempat itu.Bu Rahayu masih mematung menatap kepergian Dira, lalu perlahan menoleh pada An dengan raut penuh tanya. "D-dia ... " An memejam sambil menarik nafas dalam-dalam. ***Dira berhenti berlari begitu tiba di perpustakaan. Baginya saat ini hanya tempat itu yang selamat dan aman baginya. "Haduh, gue berasa jadi buronan gini."Nadira menelepon Yasmin. "Yas, kalian lagi di mana? Gue di perpustakaan nih. Kalo mau ke sini tolong sekalian beliin gue minuman dingin, ya! Cepetaaan!"
"Kamu habis dari mana?" tanya An begitu Dira datang ke ruangannya. "Saya dari toilet, Pak." "Oh." An kembali fokus pada laptopnya.Dira, gadis itu sejak resmi jadi asisten An, selalu duduk di kursi yang terletak di tepi ruangan. Diam-diam An memperhatikan Dira yang terus cemberut, ia pun mendapatkan ide dan memainkan ponselnya. [Nadira?]An melihat perubahan raut wajah Nadira setelah melihat pesan masuk dari suaminya. Perlahan gadis itu mengangkat wajah menatap ke arahnya, An segera kembali menatap laptop. Kemudian An melihat Dira mengetik balasan. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. [Ya?][Lagi apa?]Nadira mengerutkan kening, menatap pesan itu beberapa saat. Hatinya bertanya-tanya, tak biasanya suaminya itu basa-basi seperti ini. [Lagi di kampus.][Saya ganggu?][Nggak. Ada apa?][Nggak, cuma kangen saja.] "Ish!" Dira berdecak kesal, An menutup bibirnya yang menahan tawa. [Kangen? Gak salah?][Kenapa salah? Apa salahnya kangen sama istri sendiri?]Nadira memutar bol
"Nadira, buatkan saya kopi!" "Nadira, tolong bereskan meja saya!" "Nadira, tolong print ini." "Nadira ...""Nadira ...""Aaaarrgghhh! Heuheuheu. Lutut gue, kaki gue, sakit semua gara-gara naik turun tangga terus." Nadira menangis konyol di taman, sedangkan Yasmin dan Triana hanya bisa menyaksikan dengan putus asa. "Kenapa harus gue coba, Yas? Na? Dari sekian ratus mahasiswa di sini, kenapa dia milih gue buat jadi sekretaris konyolnya. Kenapa bukan Lo? Atau Lo?" Dira menunjuk temannya satu persatu. Yasmin memajukan bibirnya, menatap Nadira dengan iba kemudian mendekat. "Sabar, Ra." "Gue gak bisa sabar ngadepin dia, Yas! Dosen itu ... Nye be liin!" geram Nadira sambil menatap tangannya yang ia remas-remas sendiri. "Tapi gimana lagi? Bahkan orang tua Lo sendiri juga gak bisa ngeluarin Lo dari situasi kaya gini, Ra.""Gue juga gak habis pikir, gak tahu apa yang laki-laki itu katakan sama nyokap gue sampai Mama tiba-tiba saja berubah jadi berpihak sama dia. Apa yang dia lakuin sama
"A-apa yang mau Bapak lakukan?" "Menghukum mu," ucap An serupa bisikan, membuat sekujur tubuh Nadira merinding ketakutan. Tok tok tok! Nadira terperanjat, An menjauh dan merapikan bajunya. Gadis itu pun mengusap dada merasa lega. "Kamu tunggu di sana," ucap An menunjuk kursi. Nadira mendelik sinis. Melihat pria itu membuka pintu, Nadira pun dengan segera mencari celah untuk melarikan diri. "Permisi," ucap Dira sambil berjongkok melewati An dan Bu Rahayu, lalu kemudian berlari secepat mungkin dari tempat itu.Bu Rahayu masih mematung menatap kepergian Dira, lalu perlahan menoleh pada An dengan raut penuh tanya. "D-dia ... " An memejam sambil menarik nafas dalam-dalam. ***Dira berhenti berlari begitu tiba di perpustakaan. Baginya saat ini hanya tempat itu yang selamat dan aman baginya. "Haduh, gue berasa jadi buronan gini."Nadira menelepon Yasmin. "Yas, kalian lagi di mana? Gue di perpustakaan nih. Kalo mau ke sini tolong sekalian beliin gue minuman dingin, ya! Cepetaaan!"
"Dira!" Yasmin dan Triana melambaikan tangan, dengan cepat Nadira pun mendekat. "Pak An bener-bener, ya, cuma perkara dia senyum doang aja pagi ini sekampus langsung gempar. Tapi emang senyumnya bikin gak tahan ...," ucap Yasmin sambil melehoy. Nadira menyunggingkan bibir. "Lo dan kalian semua bakal patah hati berjamaah setelah tahu dia senyum gara-gara gue," celetuk Dira membuat Yasmin dan orang-orang di dekatnya menoleh. "Ha? Maksud Lo apa, Ra?" tanya Yasmin, yang lain pun ikut heboh mendekat dan menanyakan hal yang sama."Bentar-bentar! Sabar!" ucap Nadira."Maksud kamu apa, Ra?""Apa bener pak An senyum pagi ini itu gara-gara kamu?" "Kok bisa, Ra?" Berbagai pertanyaan berbeda terus berjejalan memenuhi telinga Nadira. Mood untuk jadi pusat perhatian pagi ini pun ambyar seketika, berganti dengan syok dan panik karena yang terjadi benar-benar di luar dugaannya. Nadira pun berjongkok di tengah-tengah kerumunan, dan melarikan diri lewat bawah. Ia berlari kencang menuju lantai dua
[Jangan lupa sarapan saya besok.]"D-dia ini kenapa, sih?" gerutu Nadira setelah membaca pesan tersebut.[Pak, cukup. Saya sedang tidak berminat mendengar candaan Bapak.][Loh, kok candaan? Saya serius.][Bukannya tentang asisten itu cuma bercanda?] Perasaan Nadira sudah tak enak saat menanyakannya.[Siapa bilang?]Nadira lantas menarik nafas dalam-dalam. [Oke, kalau begitu saya katakan sekarang, saya tidak mau jadi asisten Bapak.][Tapi sayangnya saya gak ngasih kamu pilihan. Dan satu lagi, saya mau sarapannya kamu sendiri yang buat.][Bapak ngidam?][Anggap saja begitu.]Nadira menganga. "I-ini ... Dia ... Aaaaaa!" Nadira mengacak rambutnya."Ada apa, Dira?" tanya Melati. Ia langsung melotot saat melihat penampilan anaknya yang acak-acakan."Mammaaaaa ..." rengek Nadira sambil memeluk Melati."Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?""Aku terlibat masalah yang rumit banget, Ma ... " "Masalah apa?"Nadila tak menjawab dan malah terus merengek."Apa ... ada hubungannya sama Anand?""Nggak ada
[Ini siapa?][Memangnya ada berapa orang yang ngasih kamu tugas?][Oh!]Anand mengerutkan kening membaca dua huruf tersebut. [Pertanyaan saya belum kamu balas.][Saya baik. Bapak tenang saja, tugas yang Bapak kasih saya jamin sesuai deadline akan sudah ada di depan Bapak.][Bagus. Nanti kalau sudah selesai langsung kirim saja ke nomor ini dalam bentuk file, tidak usah diprint.][Oh, baik, Pak.]***Senin pagi, Nadira berjalan menuju ruang dekan dengan bersungut-sungut. Pasalnya setelah ia berhasil mengirim dalam bentuk file ke nomor Pak An tadi malam, tiba-tiba saja dosen itu menyuruh Nadira mencetak semuanya."Dasar dosen gak jelas! Gak ikhlas banget kayanya kalo lihat gue santai-santai dikit."Tak lama ia pun tiba di depan pintu ruang dekan sambil memegang laporan yang baru saja selesai dicetak. Setelah mengetuk pintu, ia masuk dan menyerahkan laporan itu.Pak An membolak-balik halaman laporan tersebut tanpa ekspresi. Nadira berdiri tenang, ketegangan dan ketakutan yang semula sela
"Huh! Huh!" Gadis itu mengeluarkan nafas dari mulut dengan cepat sambil mengipasi wajahnya sendiri. Tangannya terangkat menyentuh dada, yang mana di dalam sana ada sesuatu yang menggedor-gedor seolah minta keluar dari tempat persembunyiannya. "Aduh," keluh Nadira sambil memegang dadanya yang masih berdebar keras."Gak! Gak boleh gini, sebagai cewek cantik dan sejuta pesona gue harus bisa tahan harga. Gue gak boleh dengan mudah jatuh ke tangan cowok mana pun. Dari dulu, gue terkenal paling sulit ditaklukin sama cowok seganteng apapun dia. Masa sekarang kemampuan gue merosot gitu aja? Ya, gue harus bisa menganggap semua itu cuma halusinasi gue doang," celotehnya pada diri sendiri."Sayang?" Nadira menoleh pada Melati yang sedang berdiri di ambang pintu kamar anaknya dengan raut yang tak bisa dibaca. "Ya, Ma? Masuk aja." Melati mendekat perlahan, kemudian duduk di kursi rias yang ia seret ke dekat tempat tidur. Melihat raut serius di wajah mama nya, mau tak mau Nadira tegang seketika
"Hachi!" "Hachi!" "Duh, gimana ceritanya Lo bisa berakhir kaya gini, Ra?" tanya Triana. Pagi-pagi sekali kedua sahabatnya itu langsung meluncur ke rumah Nadira setelah semalam mendapat kabar bahwa Nadira kurang enak badan. Mereka membawa sarapan dan buah-buahan, layaknya sahabat yang normal."Gak usah berlebihan deh kalian," ucap Nadira sambil mengusap hidungnya. "Bukan berlebihan, Ra, tapi kita merasa bersalah juga kemarin ninggalin Lo sendiri, kan," ucap Yasmin."Tenang-tenang, gue gak bener-bener sendiri, kok, kemarin." Yasmin dan Triana saling lirik. "Terus sama siapa?" "Eh, gue mau cerita, tapi kalian jangan heboh dulu, ya?" ucap Nadira setengah berbisik, membuat kedua temannya kompak mendekat. "Apaan tuh?" "Kemarin pak An nemenin gue tau." "Pak An? Yang bener, Lo?" ucap Yasmin menolak percaya, berbeda dengan Triana yang terkesan lebih tenang. "Ya gak tahu sengaja nemenin atau cuma kebetulan. Kemarin gue ketiduran di perpustakaan, pas gue bangun pak An udah di deket gue
Nadira tak menyahut. Gadis itu menggigit bibir, rasa dingin yang menyeruak ke dalam tubuhnya semakin tak bisa ia tahan lagi. Anand lagi-lagi menoleh. "Sudah, pulang sama saya." Nadira tak merespon.Anand menarik tangan Nadira yang sedingin es. Gadis itu langsung menepis. Namun Anand yang terkejut langsung kembali memegang kedua tangan Nadira dengan panik. "Kamu kedinginan, ayo cepat pulang." "Hujannya belum reda," ucapnya sudah tak seceria tadi. "Tunggu di sini!" ucap Anand. Ia berlari untuk mengambil jasnya yang ia tinggal beberapa hari lalu di ruang dekan. Dengan cepat ia kembali, dan mendapati Nadira sudah meringkuk di dekat tembok. Anand memakaikan jasnya ke belakang tubuh gadis itu, kemudian mengajaknya berdiri. "Ikut saya," ucapnya sambil menarik tangan Nadira. Namun gadis itu bergeming. "Ke mana?" "Ke ruangan yang lebih hangat " Nadira tetap mematung. "Ayo!" "Gak mau. Saya mau pulang." "Kamu jangan khawatir, saya tidak akan macam-macam.""Gak mau." "Hujan masih der