"Oh! Begini ternyata kelakuan menantu pertama keluarga Haji Marzuki? Kau mencoreng nama baik keluarga kami!" teriak Ummi Rahma dengan mata melotot.
Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa yang aku lakukan hingga bisa dituduh mencoreng nama baik keluarga?"Sedang diberi teguran begini masih bisa kau melakukan maksiat?!" tambah wanita itu semakin menggebu-gebu."Ummi!" sentak Abi.Namun seperti biasa, suara Abi tak pernah masuk ke telinga istrinya.Kepala Bang Bara terangkat. Pria itu cepat-cepat duduk tegak begitu menyadari kehadiran keluarga majikannya."Lihat itu, Hafiz! Sudah Ummi bilang, istrimu ini ada main dengan Bara!""Astaghfirullah Ummi," lirihku. Tak menyangka, fitnah seperti itu keluar dari mulut wanita yang pernah ku hormati sebagai mertua dan istri dari seorang pendiri pondok besar.Bang Bara yang duduk tegak di kursinya jelas jadi bingung. Baru saja membuka mata telah ditodong yang tidak-tidak."I-ini ada apa, ya?""Tidak ada apa-apa. Ini hanya salah faham," jawab Abi cepat."Salah faham apanya?! Kita sudah melihat dengan mata sendiri, tangan Maysa di kepalanya Bara. Mengelusnya dengan mesra.""Cukup sudah, Ummi!" sentak Abi sekali lagi. Namun kali ini, wajah Abi tampak memerah. Belum pernah laki-laki bijaksana itu terlihat begitu marah, apalagi terhadap Ummi.Ummi terdiam, mulutnya terkatup rapat, persis seperti saat Bang Hafiz membantah perintah nya kemarin.Matanya menatapku tajam, serasa mampu menusuk sampai ke hati. Kebenciannya padaku pasti semakin bertambah. Dua kali sudah orang-orang yang tunduk padanya membantah karena aku."Cepat Hafiz, bawa ibumu pulang. Biar Abi dan Bara yang menunggui Maysarah."Mata ini melirik laki-laki yang aku harapkan menemani dan menjaga saat ini. Wajahnya terlihat dingin. Tanpa sepatah kata ia berbalik dan pergi.Aku menghela nafas. Lagi-lagi menyesakkan dan perih. Kenapa kisah ku dengannya begitu menyedihkan?**Keadaan ku sudah membaik. Segera ku minta pulang agar bisa melihat Nina. Takut akan kehilangan satu-satunya harapan hidupku saat ini. Jangan sampai putri kecilku diracuni pikirannya untuk membenci ibunya sendiri. Bukannya berburuk sangka. Tak menutup kemungkinan hal itu akan dilakukan Ummi Rahma.Sementara hasil pemeriksaanku masih belum diberikan Dokter. Aku tak mau menunggu. Hasil itu masih bisa diambil esok atau lusa.Seperti yang ku duga, Nina sedang bermain dengan Nabila dan Ummi di ruang tengah.Aku segera mendekat."Nina... Mama udah pulang, Sayang..." panggilku seraya merentangkan tangan.Alhamdulillah putriku langsung berlari ke dalam dekapan begitu melihat ibunya. Terlihat kerinduan sekaligus tanda tanya di matanya, kemana hilangnya aku sejak semalam. Inilah manfaatnya aku tak pernah mau memberikan Nina di asuh orang lain. Keterikatan kami sangatlah kuat."Mama kemana aja dali cemalam?" tanya malaikat kecilku yang imut dengan bahasa cadel nya. Mulut mungilnya dibuat runcing untuk menunjukkan protes."Mama masuk Rumah Sakit Sayang... Emang nggak ada yang ngasih tau Nina kalo Mama lagi sakit?" tanyaku. Sengaja sembari melirik kedua wanita yang duduk di sofa. Sontak Ummi Rahma membuang muka. Sementara Nabila tampak menunduk."Nggak... Kata Nenek Mama udah pelgi ninggalin Nina."Nah! Prasangka ku tak meleset bukan?Aku meneguk saliva dengan dada yang berdenyut. "Nina harus tau, Mama nggak akan pernah ninggalin Nina sampai kapanpun. Nina harus ingat itu, oke?""Iya Ma... Nina akan ingat!" sambut buah hatiku dengan senyumannya. Senyuman yang selalu membuatku kuat."Hafiz..." Suara Ummi Rahma memanggil, membuat kepalaku seketika terangkat. Aku merindukannya."Malam ini, kamu tidur di kamar Nabila. Tadi malam kamu sudah tidur di kamar Maysarah untuk menemani Nina." Ummi Rahma seolah sengaja memperdengarkan padaku.Bang Hafiz menatapku lekat sembari menjawab."Baik Ummi, Hafiz akan bermalam bersama Nabila."Ucapannya seperti ditujukan padaku.Mata ini segera membetik ke arah lain. Tak kuasa membalas tatapannya, tatapan yang mengandung amarah.Kali ini, apa yang dirasakan hatinya tentangku?**Malam hari tiba. Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan Nina susu.Namun belum sempat kaki ini melangkah ke sana, terdengar suara orang berbincang dengan nada pelan.Tentu saja menarik perhatian. Dan memancing penasaran. Kenapa harus bicara sepelan itu?Kaki ini mengendap pelan ke balik tembok pembatas dapur. Kemudian kepalaku melongok ke dalam. Melihat siapa yang berbincang.Ternyata itu Nabila dengan Ummi Rahma.Ini benar-benar ada sesuatu. Aku harus mendengar apa yang mereka bicarakan."Kau harus berhasil! Atau Ummi akan memulangkanmu ke kampung, mengerti?!""Iya Ummi, Bila nggak akan mengecewakan Ummi, teh ini pasti akan diminum Bang Hafiz," suara lembut Nabila menjawab yakin.Aku segera mengintip. Teh apa yang dimaksudkan? Pasti tehnya tak beres.Nabila mengangkat cangkir berwarna putih dan mengaduk isinya sekali lagi."Ya sudah, cepat berikan sekarang! Ini sudah malam. Jangan sampai reaksinya lama."Ternyata benar. Mereka merencanakan sesuatu terhadap Bang Hafiz. Aku segera menyingkir dari sana, masuk kembali ke dalam kamar dengan botol susu Nina yang masih kosong.Nina masih asik dengan mainannya. Aku akan kembali ke dapur setelah Ummi pergi. Tapi apa sebenarnya yang mereka rencanakan?Mungkinkah itu obat tidur? Atau obat perangsang? Seperti yang telah ku buktikan sendiri, Nabila belum di sentuh oleh Bang Hafiz. Sedangkan Ummi Rahma sangat ingin memiliki cucu laki-laki.Aku menghela napas panjang sambil menatap buah hatiku. Ah, kenapa harus ku pikirkan? Cepat atau lambat, Nabila dan Bang Hafiz pasti akan menjadi suami istri seutuhnya. Tak ada lain yang harus aku pikirkan sekarang ini selain Nina.Di dapur, kini ada Bibi Halimah. Wanita itu langsung menghampiri ku."Non Maysa, tadi Ummi Rahma sama Non Nabila ngapain ya di sini? Bikin teh buat Den Hafiz kok sampai bisik-bisik gitu? Gelagatnya mencurigakan," bisiknya."Maysa juga nggak tau Bi..." jawabku apa adanya sembari melanjutkan membuat susu."Bibi cuma takut Den Hafiz kenapa-kenapa. Ya walaupun nggak mungkin diapa-apain, tapi yang namanya diam-diam itu kan nggak baik."Yang dikatakan Bibi Halimah mengusik kecemasanku. Yang diam-diam memang tak baik. Mereka sama saja dengan menipu Bang Hafiz.Lagipula ini perang. Aku tak akan membiarkan mereka berperang dengan cara yang curang."Bi, boleh nggak Maysa minta tolong Bibi buat ngasih susu ini ke Nina? Maysa harus meriksa sesuatu."Bibi Halimah langsung mengangguk."Iya Non, biar Bibi yang ngasih susunya. Non lakukan saja apa yang perlu dilakukan," jawabnya. Sepertinya ia tau kemana tujuanku saat ini.Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Bang Hafiz pasti sudah masuk ke kamar Nabila dan sedang membaca Alquran. Karena sebelum tidur, lelaki itu terbiasa membaca surat Al-mulk terlebih dulu.Rencananya, aku akan menguping atau mengintip dari lobang kunci. Sampai Nabila menyerahkan teh itu, barulah aku menerobos masuk dan membongkar kebusukannya.Dengan dada yang berdebar, aku menuju ke posisi kamar Nabila yang berada di dekat ruang tengah.Kaki ini berusaha berjalan tanpa suara. Mengendap-endap dengan kepala celingukan. Mengantisipasi kalau-kalau Ummi Rahma keluar dari kamarnya.Lima langkah sebelum mencapai pintu, dadaku semakin berdebar.CEKLEK!Pintu kamar terbuka. Refleks, kaki ini berhenti melangkah. Tampak Nabila yang keluar dari kamarnya. Ah, harusnya aku terus berjalan. Dengan berhenti di sini, tentu akan mengundang curiga.Aku hanya bisa berdiri tanpa bergerak sedikitpun. Berharap Nabila tak melihat ke arahku.Syukurlah gadis itu keluar ke arah yang berlawanan.Ini kesempatanku!Aku harus masuk dan melenyapkan teh itu. Bang Hafiz pasti sedang khusyuk tadarusan, besar kemungkinan ia tak memperdulikan siapa yang masuk.CEKLEKPintu ku buka perlahan. Lalu kepala ini sedikit demi sedikit melongok ke dalam. Kamarnya kosong. Apa Bang Hafiz sebenarnya belum masuk ke kamar ini?Mataku kembali mengitari ruangan. Teh itu terletak di atas meja baca.Kepala ku memeriksa ke belakang. Suasana sepi. Kakiku buru-buru masuk, lalu menghampiri meja.Ku angkat cangkir itu perlahan. Tehnya tak terlihat berbeda. Baunya pun tak ada yang aneh, pikirku, setelah menghidu aromanya.Tapi aku yakin, teh ini sudah diapa-apakan."Sedang apa?"Astaghfirullah!!Jantung ku serasa melompat saking terkejutnya. Suara itu datang dari belakangku. Suara Bang Hafiz.Perlahan tubuh ini berbalik.Sosok yang menghipnotis itu berdiri menjulang tepat di hadapanku."Se-sedang mengambil teh..." jawabku terbata. Mataku sungguh tak berani menatap netra coklat terangnya."Teh? Teh siapa?"Tenggorokan terasa tercekat. Tapi aku harus menjawabnya. Tak boleh menjadi lemah dan harus memberitahunya."I-ini teh dari Nabila. Maysa curiga kalau teh ini udah dicampur sesuatu."Bang Hafiz terdiam sesaat. Aku tak tau bagaimana reaksinya saat ini. Marah? Atau lebih ekstrim, ia jijik melihatku? Pasti aku terlihat seperti pecundang yang sedang berusaha memfitnah saingan.Tiba-tiba Bang Hafiz melangkah ke arah pintu. Ah... Ia meninggalkanku begitu saja. Rasanya lebih menyakitkan. Bagiku, lebih baik ia berteriak marah atau mencaci-maki sekalian, daripada meninggalkan ku dalam diam.Namun dugaan ini salah. Ia malah mengunci pintu dan kembali menghampiri ku.Jantung ini semakin berdebar. Apa yang akan ia lakukan?Bersambung....Tiba-tiba Bang Hafiz melangkah ke arah pintu. Ah... Dia meninggalkanku begitu saja. Rasanya lebih menyakitkan. Bagiku, lebih baik dia berteriak marah atau mencaci-maki sekalian, daripada meninggalkan ku dalam diam.Namun dugaan ini salah. Ia malah mengunci pintu dan kembali menghampiri ku.Jantung ini semakin berdebar. Apa yang akan dilakukannya?"Aku akan meminumnya.""Nggak! Maysa sumpah Bang, Maysa liat Ummi sama Nabila bisik-bisik di dapur membahas teh ini. Bahkan, Maysa dengar Ummi nyuruh Nabila cepat-cepat ngasih teh ini biar cepat ngefek!" sanggahku bersikeras.Bang Hafiz kembali terdiam. Tapi aku masih tak mengerti apa yang dipikirkan laki-laki berekspresi datar dan dingin ini."Aku akan minum setengah untuk membuktikan. Setengahnya harus kamu yang minum.""Lah, kok Maysa harus ikutan?" protesku."Karena aku tak mau mati sendirian.""Lho, kan Maysa nggak bilang ini racun. Maysa curiganya ini obat tidur atau ... obat perangsang..." jawabku, sedikit jengah menyebut obat yang berk
"Kamu kenapa?" suara renyah mengagetkan aku yang sedang menjemur ikan kering kesukaan Abi. Ummi selalu menyetok ikan kering yang banyak dan memberiku tugas menjemurnya seminggu sekali. Aku tak keberatan, karena ini untuk Abi."Kenapa apanya?" tanyaku tanpa perlu melihat siapa yang mengajak bicara."Kenapa sedih?""Oo... Ada yang mati, tapi nggak ada yang mau nguburin.""Oh ya? Kok bisa? Siapa? Orang kampung ini bukan?""Bukan. Di kampung kita nggak ada laut. Mereka pendatang.""Oalah! Kamu ngerjain Abang, ya..." Bang Bara menyeringai. "Maksudnya ikan-ikan ini? Kalau mau dikuburkan ya harus dikafani dulu. Bayangin tuh, kalo ikan teri yang dikafani satu-satu, haha..." Bang Bara terbahak. Membuat bibir ini mengulas senyum."Serius nih, kamu sebenarnya kenapa?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya."Maysa nggak kenapa-kenapa kok, Bang..." Bang Bara melangkah ke seberang terpal tempat ikan-ikan itu tergeletak tak berdaya. Lalu berjongkok dan ikut menjejerkan ikan yang masih bertumpuk."Ma
Ruangan itu adalah tempat khusus untuk hobinya Ummi Rahma, yaitu menenun kain,Jadi buat apa si ustadz menuju ke sana? Membuatku penasaran saja.Tanpa pikir panjang, kaki ini melangkah pelan untuk mengikutinya.Namun baru selangkah terangkat, aku langsung berhenti. Ini bukan urusanku. Aku tak suka mencampuri urusan orang lain. Perlahan aku berbalik, menuju ke dapur untuk membantu pekerjaan Bibi Halimah seperti biasanya. Tapi hati ini tak bisa dipaksa untuk tak peduli. Bagaimana kalau laki-laki itu berniat jahat? Bukankah kemungkaran harus di tegah? Gelagatnya tadi memang mencurigakan. Ia tampak panik saat menabrak ku. Aku kembali berbalik arah. Laki-laki itu telah masuk dan kemudian menutup pintunya. Nah lho! Kenapa harus tutup pintu segala? Apa tak ada Ummi di dalam? Setelah beberapa saat, aku menghampiri pintu itu dan mengintip melalui lubang kunci. Aku menahan nafas, saat teringat sudah dua kali mengendap-endap dan mengintip seperti ini. Rasanya sama sekali tak nyaman, karena
Sayup-sayup suara deburan ombak menyusup ke telingaku. Membuat otak ini aktif kembali untuk menganalisa suara kencang itu. Perlahan kelopak mata terbuka setelah lelap yang teramat nyenyak menenggelamkan kesadaran.Namun mata ini seketika menyipit kembali saat cahaya senja yang merah menerpa netra. Ini sudah sore?Aku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan mata dengan cahaya yang masuk melalui kaca depan mobil. Benar, ini sudah sore. Aku tertidur sampai sore begini? Bagaimana dengan berkas hasil pemeriksaan RS-nya?"Oh, sudah bangun?" Suara Bang Hafiz menyapa dari samping kananku. Kepala ini menoleh cepat. Mataku bertabrakan dengan netra coklat terangnya. Netra yang seindah cahaya senja itu menatap hangat."Ya," jawabku. "Kenapa Abang nggak bangunin Maysa? Kita kan mau ngambil hasil pemeriksaan medis di Rumah Sakit?""Karena kamu tidur terlalu nyenyak. Hasil pemeriksaan itu tidak penting, kamu kan sehat sekarang," jawabnya santai.Entah darimana munculnya emosi. Yang pasti, hat
Begitu masuk ke dalam kamar, aku langsung menuju jendela. Sehelai kerudung berwarna hijau pastel, sengaja ku lampirkan di celah jendela sebagai kode untuk Bang Bara beraksi.Sepuluh menit berlalu. Nina akhirnya tertidur. Aku mulai resah. Bagaimana kalau Bang Bara masih di kamar pribadinya Ummi?Ummi Rahma melirikku sekilas. "Nina sudah pulas. Selimuti dia dan keluar. Masih banyak pekerjaan dapur yang harus dikerjakan. Nabila saja yang baru beradaptasi sudah pintar berinisiatif membuatkan sambal untuk suaminya. Kamu sudah siang begini baru selesai mengurus anak, itupun harus Ummi bantu!" omelnya dengan wajah mengkerut.Aku cuma mengangguk. Ummi tak tau saja kalau sambal yang dibawa menantu kesayangannya itu hasil buatan menantu yang mau diusir.Namun saat ini aku tak berniat menjelaskan. Rasa panik karena takut Bang Bara akan ketahuan benar-benar membuatku tegang.Ayo berfikir Maysa! Pokoknya harus bisa memastikan dulu kalau Bang Bara tak lagi di sana sebelum Ummi kembali ke kamarnya
Jadi Bang Hafiz tak tahu bahwa Ummi Rahma bukan ibu kandungnya? Aku benar-benar membatu. Masih syok mengetahui kebenaran yang mencengangkan ini."Tapi... Masak nggak ada yang tau selain Abi dan Ummi? Warga pasti tau, dong?" ujarku ragu."Kalo warga tau, masak Hafiz yang udah segede ini nggak tau kenyataan itu dari mereka? Mulut warga itu mana mungkin nggak ada yang usil?" bantah Bang Bara. Wah.... Ini semakin misterius! KRETEK! Suara ranting patah karena diinjak terdengar dari arah belakang kami. Aku langsung menoleh. Begitu pula dengan Bang Bara. Namun tak ada siapapun di sana. Hanya ada perdu rumput gajah yang ditanam bapaknya Bang Bara untuk pakan sapi Abi. Tingginya hampir se dada orang dewasa. Bisa saja ada yang bersembunyi di baliknya.Bang Bara segera memeriksa. Menyibak rumput yang tajam itu dengan kedua lengan berototnya. Namun tetap nihil. "Nggak ada siapa-siapa," ujarnya sembari berjalan kembali. Bibirnya tampak meringis melihat lengan yang tergores rumput."Abang ter
Klik.Terdengar suara pintu yang sedang dibuka dari arah belakangku. Seketika tubuh ini menegang kaku."Maysarah! Sedang apa kamu di sini?!" Suara yang sangat ku kenal itu seumpama petir yang menyambar di telingaku.Aku langsung berbalik. Ummi Rahma berdiri menjulang di ambang pintu. Menatapku tajam dengan mata yang menyipit.Habis lah aku hari ini!"Sedang apa kamu di kamar Ummi, Maysa?!" Ummi Rahma mengulangi pertanyaannya, penuh penekanan."Ma-Maysa..." jawabku terbata. Tenggorokan ini tercekat. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja dadaku seperti kehabisan oksigen, sesak.Ummi Rahma menatap ke sekeliling. Memeriksa keadaan kamarnya. Seolah takut salah satu barang berharganya menghilang. Untunglah lemarinya sudah tertutup. "Hafiz!" teriak Ummi sembari tetap mengawasi ku. Aku merasa seperti tikus yang terperangkap kucing di sudut ruangan, tak bisa kemana-mana. Berdiri dengan tubuh panas dingin. Berharap keajaiban datang ataupun kucingnya berubah pikiran."Hafiiiz!" teriak Ummi semakin k
Setelah kepergok kemarin, aku semakin dimusuhi Ummi Rahma. Dan Nabila semakin meninggi dagunya, dong? Yah, begitulah situasi hidup bersama madu. Mau tak mau tetap bersaing.Tapi aku lebih percaya diri. Pasalnya, setelah mencari informasi kesana-kemari, aku yakin kalau Bang Hafiz yang meminta Pak Hasan membantuku. Karena Bik Halimah pun katanya tidak menyuruh suaminya. Dan aku juga sudah memastikan kembali pada Pak Hasan, apa beliau memang tau sendiri kalau aku sedang disidang Ummi Rahma kemarin, atau karena permintaan orang lain?Beliau menjawab sembari tersenyum simpul, katanya tau dari orang lain. Dan orang itu adalah orang sangat peduli padaku. Siapa lagi kalau bukan Bang Hafiz? Tak mungkin Ijah, tak mungkin pula Nabila, dan lebih tak mungkin lagi si Ustad palsu. Idiih... Mengingat perannya yang bermuka dua saja sudah membuat ilfill.Eits, tak sengaja kepikiran, si Ustadz palsu muncul. Ada urusan apa lagi doi masuk ke rumah ini? Aku segera bersembunyi di balik lemari kitab Abi. L
Amanda mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak ada siapa-siapa. "Ssshh..." Suara mendesis kemudian menyusul. Desis kesakitan.Gadis itu mempertajam pendengarannya, suara itu dari arah teras samping Bu Lidia. Dari tempatnya berdiri sekarang, teras kecil itu tak terlihat keseluruhannya karena tertutup dinding. Kaki Amanda melangkah maju perlahan-lahan. Begitu ia berdiri tepat berhadapan dengan teras, matanya menangkap seseorang sedang meringkuk di sudut teras. Orang itu kembali melenguh sakit sembari memegangi pipinya."Bian?" sebut Amanda tak percaya. Sosok itu langsung mendongak kaget."Manda?"mata Bian mengerjap sesaat. Lalu tampak terpana dan tak mengedip sama sekali. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang selama satu pekan ini telah mengisi pikiran dan hatinya. Dan saat ini, yang berdiri di hadapannya adalah Amanda versi khayalannya. Ternyata memang secantik bidadari. Rambutnya yang selama ini tersembunyi bagaikan mahkota berharga yang dilindungi, kini tergerai pan
Tuk! Tembakan kerikil itu kembali menyerang. Melesat ke arah dinding dan nyaris mengenai cermin. Amanda kaget setengah mati. Namun hal itu sama sekali tak mengendurkan nyalinya.Ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu perlahan bangkit dengan tubuh merapat di dinding. Dalam hitungan ketiga, tangan kirinya bergerak cepat untuk membuka kunci jendela. Sementara tangan kanannya menghidupkan senter dan mengarahkannya keluar. BLESS!Cahaya senter menyorot terang, tepat di di wajah pelaku yang sebenarnya."Kakek?!" seru Amanda tak percaya.Ternyata yang menerornya selama ini adalah kakeknya Bian?Tangannya yang bersiap meraih sapu dan menyerang terhenti seketika. "Matikan senternya, mata Kakek silau!" Perintah laki-laki sepuh itu sembari menghalangi cahaya senter dengan tangannya.Amanda mematikan senternya dengan raut bingung. "Kakek? Jadi yang nembakin batu ke kamar Manda selama ini Kakek? Kenapa?""Ya, biar kamu bangun..." jawab si Kakek yang berdiri bungkuk dengan tongkatnya."Maksud Kakek
Menjelang malam, suasana hati Amanda mulai resah. Tali untuk jebakan telah ia siapkan. Hanya ada tali plastik di gudang, semoga bisa menahan kaki pelaku teror itu dengan kuat.Tok Tok... Suara ketukan di jendela kamar membuat Amanda terkejut setengah mati. Siapa yang mengetuk lewat jendela? Jantungnya seketika berdetak kencang. Apa mungkin itu pelakunya? Kenapa mendatanginya sore-sore begini? Amanda berdiri membeku di tempatnya. Matanya menatap ke arah jendela dengan nafas yang tertahan. Takut jika sampai orang itu mengetahui posisinya. Perlahan ia menunduk, lalu merangkak ke balik ranjang. Tok TokSuara ketukan kembali terdengar di jendelanya. Dengan tubuh meringkuk setengah tiarap di lantai, Amanda memberanikan diri untuk bersuara. Bertanya dengan nada selantang-lantangnya, agar orang itu tak mengira dirinya sedang ketakutan."Siapa di luar sana?!"Tak terdengar jawaban apapun. Suasana senyap. Apa orang itu telah pergi? Amanda tetap meringkuk di balik ranjang. Ia tak berani
"Ehm..." Amanda berdeham sambil melirik Bian. Tapi laki-laki itu tetap fokus memeriksa gusi Sisi. "Kejadian tadi pagi, itu sama sekali tidak benar. Aku nggak pernah berfikir untuk merebut suami orang." Kata-kata itu meluncur begitu saja di bibirnya Amanda. Entah kenapa, ia merasa harus memberitahunya. Tangan Bian berhenti bergerak. Kemudian tubuh tegapnya berdiri tegak."Ya, saya percaya. Tapi kamu harus sedikit hati-hati kalau memang istrinya pernah melihat suaminya itu di teras rumah kalian. Kalian semua perempuan, tak ada laki-laki yang menjaga," jawab laki-laki itu. Hati Amanda benar-benar meleleh sekarang. Ternyata walau cuek, Bian tetap perhatian. Tapi memang benar yang dikatakan Bian, ia dan ibunya harus lebih berhati-hati, karena tak ada anggota keluarga laki-laki. Ah... Amanda jadi meng-halu sendiri. Seandainya Bian yang jadi anggota di rumahnya, ia pasti tak akan menolak. Tok Tok...Terdengar sebuah ketukan di pintu ruangan Bian yang terbuka. Kemudian seorang suster b
Di depan jendela kamarnya, Amanda duduk termangu menatap keluar dengan tatapan kosong. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Buku diary yang bertuliskan nama Axel dan Pak Dahlan sebagai orang yang ia curigai telah dicoretnya. Setelah Bu Lidia menceritakan perihal rahasianya kemarin, gadis itu benar-benar bingung. Bukan Axel dan bukan Pak Dahlan. Lalu siapa? Dan kenapa ia sampai diteror begini? Rasanya ia tak pernah berbuat buruk terhadap orang lain. Bukannya sok baik, tapi ia memang jarang bertemu orang-orang, apalagi sampai berbincang dan bergaul. Hh... Kepalanya benar-benar pusing, karena tadi malam pun ia masih dikejutkan oleh tembakan kerikil itu. Hari ini ia harus mengatur rencana untuk menjebak pelakunya.Jika ditaburi beling di bawah jendela, bisa saja tak berpengaruh kalau pelakunya memakai sepatu berhak tebal, dan malah akan membuat orang itu semakin kalap. Begitu pun dengan jepitan tikus atau benda-benda tajam lainnya.Ah... Seandainya ia sejenius anak kecil dalam film Home
Malam menjelang. Amanda mulai was-was. Matanya terus saja menoleh ke arah jendela. Memperhatikan dengan seksama, jika saja ada bayangan di baliknya.Laptop yang telah terbuka sejak tadi sama sekali tak disentuh keyboard-nya. Bagaimana ia bisa berfikir dalam keadaan tegang seperti ini? Kopi yang tadinya ia buat untuk menghilangkan kantuk pun tak tersentuh. Hingga dingin karena diabaikan pemiliknya. Akhirnya Amanda memilih untuk menonton Drakor saja untuk pengalihan rasa takut.Drama Korea yang berjudul cheese in The trap menjadi pilihan. Tapi karakter tokoh cowoknya yang aneh dan memiliki sisi gelap membuat bulu kuduk semakin meremang. Gadis itu cepat-cepat menghentikan film-nya dan memilih untuk mendengarkan musik saja.Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Mata Amanda mulai terasa berat. Tak ada kesibukan dan tak ada asupan kafein, ditambah merdunya alunan musik membuat gadis itu cepat mengantuk. Dan finally ... Amanda terlelap di atas meja kerjanya.TUK! Suara aneh kembali terden
Perlahan tangan Amanda meraba ke sekeliling kasur, dan menemukan sebutir batu kerikil. Batu ini yang telah menembak kepalanya, dan sepertinya begitu juga dengan cermin. Siapa yang telah melakukan ini? Dan dari mana asalnya?Kepala Amanda cepat-cepat menoleh ke arah jendela kamarnya. Jendela kayu dengan model klasik itu memiliki rongga-rongga untuk ventilasi udara. Mungkinkah dari sana? "Akh!" Samar-samar terdengar suara orang yang mengaduh sakit. Sepertinya itu suara laki-laki. Dana asalnya dari teras samping rumah tetangga baru!**Amanda memijit kepalanya yang terasa berdenyut dan mencengkeram. Gara-gara kejadian aneh tadi malam, ia tak bisa memejamkan lagi matanya. Diambilnya buku catatan berkulit merah muda yang biasa dijadikannya buku catatan untuk ide-ide cerita yang tiba-tiba muncul. Namun kali ini ia bukan hendak mencatat ide cerita, tapi orang-orang yang patut dicurigai atas kejadian semalam. Yang pertama Axel. Bisa saja laki-laki itu sengaja menerornya agar tak membocork
Bab 4BRUK!!Kotaknya jebol dan menumpahkan semua isinya. Mata Axel seketika melotot, melihat barangnya berceceran. Tapi, lebih melotot lagi matanya Amanda. Karena ternyata isi kotak itu adalah VCD film biru."Astaghfirullah!" Aih! Amanda sampai menyentuh bibirnya sendiri. Tumben, bukan umpatan yang keluar dari mulutnya. Sementara Axel langsung bergegas mengumpulkan VCD yang tercecer. Tangannya sampai bergetar. Dan raut wajahnya terlihat panik luar biasa.Amanda masih terpaku, hingga kemudian dengan ragu-ragu ia berjongkok untuk membantu. "Nggak perlu!" sentak Axel, membuat gerakan Amanda seketika terhenti. Apalagi melihat wajah laki-laki itu yang menatapnya marah."Apa itu yang jatuh?" tanya Lidia dari dapur. Wajah Axel berubah pucat. Matanya kembali menatap Amanda tajam."Jangan ngomong apapun, oke? Jangan sampai ada yang tau!" ancamnya, sebelum kemudian buru-buru pergi dengan membawa kotaknya. Amanda mengernyit. Bukannya umurnya sudah 29 tahun? Kenapa sikap laki-laki itu seper
Bab 3Amanda melihat ruang tamunya yang tak terlalu luas itu telah dipenuhi orang. Semua laki-laki. Kecuali ibu mereka tentunya. Beliau jadi seperti permaisuri yang dikelilingi pangeran. Atau, seperti desainer bersama para modelnya. Bukan tanpa alasan Amanda jadi membayangkan seperti itu, karena ketiga laki-laki yang kini sedang menatapnya itu tampan semua. Ah.... Hati Amanda jadi ketar-ketir!"Assalamualaikum... Maaf Papa telat," ucap seseorang dengan nada buru-buru dari arah pintu masuk rumahnya. Amanda menoleh. Dan matanya seketika terbelalak.Seorang laki-laki paruh baya berkepala setengah botak dan berkacamata berdiri di ambang pintu dengan nafas memburu.Bukankah... Laki-laki itu yang menyeberang sembarangan tadi pagi? Wajah dengan raut lembut itu masih jelas tercetak dalam ingatannya. "Nggak apa-apa, Pa. Kami juga baru datang bertamu," jawab ibu mereka seraya bangkit dan menyalami laki-laki itu. "Silahkan masuk, Pak! Oh, jadi ini suaminya Ibu Lidia?" sambut Mirna ramah. "I