Hari ini, aku tak lagi peduli. Kalaupun tak lagi menemukan ketenangan di dalam rumah, aku akan mencarinya di luar. Membawa Nina jalan-jalan, membeli makanan dan baju sesuka hati. "Bang, Maysa mau jalan-jalan sama Nina. Tapi nggak punya uang," ujarku dingin. Jangan salahkan aku jika tak ada lagi kehangatan di hati ini. Bang Hafiz yang sedang mencari sesuatu di dalam lemari kaca besar yang berjejer kitab-kitab dan map-map berisi berkas-berkas penting, melirikku sekilas.Sementara itu, si Nabila tanpa Syakieb menatapku tak senang. Jih, peduli amat! Orang minta duit sama suami sendiri kok!"Berapa?" tanya Bang Hafiz singkat.Aku melirik ke arah Nabila yang tampak was-was menanti jawabanku. Hingga timbul ide untuk membuatnya semakin kesal."500 ribu," pintaku tak tanggung-tanggung. Tapi kemudian muncul penyesalan, bagaimana kalau Bang Hafiz menolak? Auto tengsin dong ditertawakan perempuan ini?"Baiklah...." Jawaban irit Bang Hafiz sungguh membuat hati ini lega."Tapi Ummi bilang tadi,
POV NabilaAku menatap layar ponsel ini dengan senyuman puas. Sesaat lagi Bang Hafiz pasti akan menceraikan istri pertamanya. Aku harus memastikan, Maysarah keluar dari rumah ini secepatnya. Agar posisiku terjamin aman.Aku tahu, Ummi Rahma meminangku untuk Bang Hafiz agar bisa memberikan keturunan untuk penerus Pesantren. Tapi, sampai saat ini Bang Hafiz masih belum menyentuhku. Aku takut, Maysarah akan lebih dulu hamil dan melahirkan anak laki-laki. Posisiku di rumah ini bisa terancam!Kenapa Bang Hafiz sama sekali tak tergoda denganku? Padahal setiap malam tidur dengannya, aku selalu memakai pakaian terbuka, dan bahkan pernah ku buka semuanya. Tapi laki-laki itu tak terpengaruh dan malah menatapku muak.Apa mungkin ia lemah sya*wat? Atau memiliki kelainan?Ah, entahlah! Yang pasti, setelah Maysarah pergi. Aku akan lebih mudah mendekati nya."Assalamualaikum," ucap Bang Hafiz begitu masuk ke kamarku. Duh, lihatlah... Betapa tampannya ia. Bagaimana aku tak jatuh hati dan ingin memili
POV Maysarah:Aku menghapus air mata yang terus berlinang di pipi. Benar-benar sudah tak tahan berada di rumah ini. Bang Hafiz bukannya menjadi suami yang melindungiku, tapi malah menambah derita yang ku alami karena Ummi. Apa ia tak tau, menjauhkan ku dari Nina sama saja seperti mengambil jiwaku. Esok pagi, aku akan minta berpisah. Bang Hafiz pasti akan segera mengabulkannya. Biarlah ia hidup dalam kebohongan Ummi Rahma seumur hidupnya. Aku tak lagi peduli. Dengan langkah pasti, aku menuju ke lemari. Mengambil koper, dan memindahkan baju-bajuku dan Nina seberapa muat saja. Aku akan pulang ke rumah kedua orangtuaku. Masalah uang untuk menghidupi Nina insyaallah akan ada jalannya. Insyaallah Allah akan memberikan rizkinya jika aku berusaha. Semoga langkah nekat ku ini dimaafkan oleh-Nya. "Abiiii!!!" Seketika tangan ini berhenti bergerak saat mendengar teriakan Ummi di luar sana. Ada apa lagi ini?"Tolong Sina Abi!"Kak Sina kenapa?"Hafiz! Cepat lah!"Aku langsung bangkit dan ber
"Hai, Maysarah!" What? Itu suara Nabila! Dia di balik pintu kamarku!!Aku merasa tenggorokan ini tercekat seketika. Apa yang akan dilakukan perempuan ini sekarang? "Apa kamu ingin keluar? Buat apa? Aku jadi penasaran," ujarnya dengan suara lembut menghanyutkan itu. Psikopat!"Buka pintunya Nabila!" teriakku. "Hmm... Kamu mau ngapain keluar? Semua orang sudah pergi. Aku juga akan segera pergi. Kenapa kamu masih bertahan di rumah ini?" tanya Nabila. "Itu bukan urusanmu! Sekarang buka pintunya!""Kamu sangat mencintai Bang Hafiz? Laki-laki yang hanya bisa menuruti ibunya itu?"Aku terdiam. Percuma meladeninya. Nabila sepertinya sedang depresi berat. Tapi kenapa bisa ia sampai meracuni Kak Sina?"Kenapa kamu menyakiti Kak Sina? Apa kesalahannya padamu?!" tanyaku dengan nada yang meninggi."Tidak. Tujuanku bukan untuk menyakitinya. Aku hanya ingin bertahan di rumah ini. Mungkin orang lain akan sok suci dengan mengatasnamakan cinta. Tapi aku tak munafik, aku menginginkan harta dan marta
Bab 20"Nabila!" Aku tersentak bangun. Kembali terdengar teriakan di rumah ini. Hh... Tak pernah aman. Aku hanya bisa mengelus dada mendengarnya. Sabar... Esok pagi insyaallah semua akan berakhir.Ku lirik jam dinding, pukul 3 dini hari. Nina masih tidur nyenyak dalam pelukanku. Tadi itu suara Bang Hafiz. Sepertinya ia sengaja pulang untuk memarahi Nabila."Nabila! Di mana kamu?!" teriaknya lagi.Oh, ternyata Nabila telah sadar. Ya sudah pasti dia telah sadar setelah 2 jam berlalu. Lantas kemana perempuan itu sekarang pergi?"Hey! Buat apa kamu di kamar Abi?!"Di kamar Abi? Sedang apa dia di sana? Ah... Aku jadi penasaran. Ini memang sifat buruk yang belum bisa aku rubah. Kepo, dan selalu kepo.Tidak! Aku tak ingin lagi mencampuri urusan rumah ini. Mata ini segera aku pejamkan kembali."Itu apa?! Apa di dalam tas besar itu?!" Suara kencang Bang Hafiz kembali terdengar dan membangkitkan rasa penasaran ini lagi. Ku lirik kembali jam dinding, ini waktunya shalat tahajud, biarlah aku
Bab 21POV HafizAku berdiri mematung di hadapan pintu kamar kami, kamarku bersama 2 perempuan yang paling ku cintai di dunia ini. Maysarah dan putriku Nina.Ku atur nafas sejenak, menghilangkan kedongkolan terhadap Nabila yang kini telah ku serahkan pada Pak Hasan dan Bara untuk dibawa ke kantor Polisi. Maysarah pasti semakin ilfill padaku saat ini. Mungkin dalam pandangannya aku adalah laki-laki pemarah yang tak berperasaan dan selalu tunduk pada ibunya. Yah.... karena memang itulah yang ku tunjukkan selama ini. Aku ingin Maysarah menjauhiku. Biarlah aku mencintainya di tengah jarak yang memisahkan kami. Aku tak bisa melihatnya sakit karena diriku. Tapi dirinya itu candu bagiku. Kehadirannya, wajahnya, aromanya, semua hal yang ada padanya selalu mampu membangkitkan gairahku. Aku ingin menyentuhnya, menyelami kehangatannya, tapi air mata yang ia sembunyikan membuat diri ini merasa menjadi penjahat paling zalim sedunia. Seandainya ia tau, bahwa aku selalu ingin masuk ke kamar ini,
POV Hafiz"Nabila sudah Hafiz serahkan ke Polisi," tegasku.Ummi menghela nafasnya. Lalu menghenyakkan tubuh besarnya di sofa, tepatnya di samping Abi."Hh... Kita yang bersalah di dalam hal ini. Harusnya kita memberinya keringanan asalkan ia mau bertaubat," ujar Ummi kemudian. Aku langsung mengernyit kesal. Bagaimana Ummi bisa berniat meringankan hukuman untuk pembunuh seperti Nabila?"Kenapa saat Nabila yang melakukan kesalahan, Ummi mau memaafkannya? Tapi kenapa tidak untuk Maysarah? Apa karena Maysarah mengetahui sesuatu yang Ummi rahasiakan selama ini?" sentakku dengan emosi yang mulai meluap."Apa maksudmu, Hafiz?" duduk Ummi langsung tegak. Wanita yang selama ini ku pikir adalah ibu kandung ku menatap was-was."Ummi menemukan sebuah video dari lemari Maysarah, bukan?" pancing ku sembari menatap Ummi dengan seksama.Raut wajah Ummi langsung menegang."Video itu Hafiz yang simpan. Hafiz yang menemukannya, bukan Maysarah!""Video apa Hafiz?" Kali ini Abi yang bertanya."Video reka
Aku menatap takjub suami yang kupikir selama ini tak pernah mencintaiku. Ia baru saja turun dari podium diiringi jawaban salam dari para wali santri. Hari ini, laki-laki bertubuh jangkung itu berdiri menggantikan abinya untuk memimpin pesantren. Langkahnya yang panjang bergerak ke arahku dan Nina yang duduk di barisan kursi terdepan. Senyuman yang kharismatik menghiasi bibirnya yang merah muda tak tersentuh nikotin. Ia benar-benar terlihat sempurna, bak pangeran. Dan yang lebih menakjubkan lagi, ternyata laki-laki tampan itu telah jatuh cinta padaku sejak awal ijab-kabul pernikahan kami. Teringat kembali kata-katanya beberapa malam yang lalu, saat aku mengintrogasi perihal perasaannya."Kata Abang kemarin Abang cinta sama Maysa, tapi kenapa waktu ta'aruf Abang maksa Bang Bara yang gantiin?"Bang Hafiz menatapku kaget. "Kok kamu tau? Bara yang ngasih tau ya? Wah, benar-benar Bara ini. Nyari kesempatan dalam kesempitan!""Nggak kok. Maysa denger sendiri waktu Abang ngobrol sama Bang B
Amanda mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak ada siapa-siapa. "Ssshh..." Suara mendesis kemudian menyusul. Desis kesakitan.Gadis itu mempertajam pendengarannya, suara itu dari arah teras samping Bu Lidia. Dari tempatnya berdiri sekarang, teras kecil itu tak terlihat keseluruhannya karena tertutup dinding. Kaki Amanda melangkah maju perlahan-lahan. Begitu ia berdiri tepat berhadapan dengan teras, matanya menangkap seseorang sedang meringkuk di sudut teras. Orang itu kembali melenguh sakit sembari memegangi pipinya."Bian?" sebut Amanda tak percaya. Sosok itu langsung mendongak kaget."Manda?"mata Bian mengerjap sesaat. Lalu tampak terpana dan tak mengedip sama sekali. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang selama satu pekan ini telah mengisi pikiran dan hatinya. Dan saat ini, yang berdiri di hadapannya adalah Amanda versi khayalannya. Ternyata memang secantik bidadari. Rambutnya yang selama ini tersembunyi bagaikan mahkota berharga yang dilindungi, kini tergerai pan
Tuk! Tembakan kerikil itu kembali menyerang. Melesat ke arah dinding dan nyaris mengenai cermin. Amanda kaget setengah mati. Namun hal itu sama sekali tak mengendurkan nyalinya.Ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu perlahan bangkit dengan tubuh merapat di dinding. Dalam hitungan ketiga, tangan kirinya bergerak cepat untuk membuka kunci jendela. Sementara tangan kanannya menghidupkan senter dan mengarahkannya keluar. BLESS!Cahaya senter menyorot terang, tepat di di wajah pelaku yang sebenarnya."Kakek?!" seru Amanda tak percaya.Ternyata yang menerornya selama ini adalah kakeknya Bian?Tangannya yang bersiap meraih sapu dan menyerang terhenti seketika. "Matikan senternya, mata Kakek silau!" Perintah laki-laki sepuh itu sembari menghalangi cahaya senter dengan tangannya.Amanda mematikan senternya dengan raut bingung. "Kakek? Jadi yang nembakin batu ke kamar Manda selama ini Kakek? Kenapa?""Ya, biar kamu bangun..." jawab si Kakek yang berdiri bungkuk dengan tongkatnya."Maksud Kakek
Menjelang malam, suasana hati Amanda mulai resah. Tali untuk jebakan telah ia siapkan. Hanya ada tali plastik di gudang, semoga bisa menahan kaki pelaku teror itu dengan kuat.Tok Tok... Suara ketukan di jendela kamar membuat Amanda terkejut setengah mati. Siapa yang mengetuk lewat jendela? Jantungnya seketika berdetak kencang. Apa mungkin itu pelakunya? Kenapa mendatanginya sore-sore begini? Amanda berdiri membeku di tempatnya. Matanya menatap ke arah jendela dengan nafas yang tertahan. Takut jika sampai orang itu mengetahui posisinya. Perlahan ia menunduk, lalu merangkak ke balik ranjang. Tok TokSuara ketukan kembali terdengar di jendelanya. Dengan tubuh meringkuk setengah tiarap di lantai, Amanda memberanikan diri untuk bersuara. Bertanya dengan nada selantang-lantangnya, agar orang itu tak mengira dirinya sedang ketakutan."Siapa di luar sana?!"Tak terdengar jawaban apapun. Suasana senyap. Apa orang itu telah pergi? Amanda tetap meringkuk di balik ranjang. Ia tak berani
"Ehm..." Amanda berdeham sambil melirik Bian. Tapi laki-laki itu tetap fokus memeriksa gusi Sisi. "Kejadian tadi pagi, itu sama sekali tidak benar. Aku nggak pernah berfikir untuk merebut suami orang." Kata-kata itu meluncur begitu saja di bibirnya Amanda. Entah kenapa, ia merasa harus memberitahunya. Tangan Bian berhenti bergerak. Kemudian tubuh tegapnya berdiri tegak."Ya, saya percaya. Tapi kamu harus sedikit hati-hati kalau memang istrinya pernah melihat suaminya itu di teras rumah kalian. Kalian semua perempuan, tak ada laki-laki yang menjaga," jawab laki-laki itu. Hati Amanda benar-benar meleleh sekarang. Ternyata walau cuek, Bian tetap perhatian. Tapi memang benar yang dikatakan Bian, ia dan ibunya harus lebih berhati-hati, karena tak ada anggota keluarga laki-laki. Ah... Amanda jadi meng-halu sendiri. Seandainya Bian yang jadi anggota di rumahnya, ia pasti tak akan menolak. Tok Tok...Terdengar sebuah ketukan di pintu ruangan Bian yang terbuka. Kemudian seorang suster b
Di depan jendela kamarnya, Amanda duduk termangu menatap keluar dengan tatapan kosong. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Buku diary yang bertuliskan nama Axel dan Pak Dahlan sebagai orang yang ia curigai telah dicoretnya. Setelah Bu Lidia menceritakan perihal rahasianya kemarin, gadis itu benar-benar bingung. Bukan Axel dan bukan Pak Dahlan. Lalu siapa? Dan kenapa ia sampai diteror begini? Rasanya ia tak pernah berbuat buruk terhadap orang lain. Bukannya sok baik, tapi ia memang jarang bertemu orang-orang, apalagi sampai berbincang dan bergaul. Hh... Kepalanya benar-benar pusing, karena tadi malam pun ia masih dikejutkan oleh tembakan kerikil itu. Hari ini ia harus mengatur rencana untuk menjebak pelakunya.Jika ditaburi beling di bawah jendela, bisa saja tak berpengaruh kalau pelakunya memakai sepatu berhak tebal, dan malah akan membuat orang itu semakin kalap. Begitu pun dengan jepitan tikus atau benda-benda tajam lainnya.Ah... Seandainya ia sejenius anak kecil dalam film Home
Malam menjelang. Amanda mulai was-was. Matanya terus saja menoleh ke arah jendela. Memperhatikan dengan seksama, jika saja ada bayangan di baliknya.Laptop yang telah terbuka sejak tadi sama sekali tak disentuh keyboard-nya. Bagaimana ia bisa berfikir dalam keadaan tegang seperti ini? Kopi yang tadinya ia buat untuk menghilangkan kantuk pun tak tersentuh. Hingga dingin karena diabaikan pemiliknya. Akhirnya Amanda memilih untuk menonton Drakor saja untuk pengalihan rasa takut.Drama Korea yang berjudul cheese in The trap menjadi pilihan. Tapi karakter tokoh cowoknya yang aneh dan memiliki sisi gelap membuat bulu kuduk semakin meremang. Gadis itu cepat-cepat menghentikan film-nya dan memilih untuk mendengarkan musik saja.Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Mata Amanda mulai terasa berat. Tak ada kesibukan dan tak ada asupan kafein, ditambah merdunya alunan musik membuat gadis itu cepat mengantuk. Dan finally ... Amanda terlelap di atas meja kerjanya.TUK! Suara aneh kembali terden
Perlahan tangan Amanda meraba ke sekeliling kasur, dan menemukan sebutir batu kerikil. Batu ini yang telah menembak kepalanya, dan sepertinya begitu juga dengan cermin. Siapa yang telah melakukan ini? Dan dari mana asalnya?Kepala Amanda cepat-cepat menoleh ke arah jendela kamarnya. Jendela kayu dengan model klasik itu memiliki rongga-rongga untuk ventilasi udara. Mungkinkah dari sana? "Akh!" Samar-samar terdengar suara orang yang mengaduh sakit. Sepertinya itu suara laki-laki. Dana asalnya dari teras samping rumah tetangga baru!**Amanda memijit kepalanya yang terasa berdenyut dan mencengkeram. Gara-gara kejadian aneh tadi malam, ia tak bisa memejamkan lagi matanya. Diambilnya buku catatan berkulit merah muda yang biasa dijadikannya buku catatan untuk ide-ide cerita yang tiba-tiba muncul. Namun kali ini ia bukan hendak mencatat ide cerita, tapi orang-orang yang patut dicurigai atas kejadian semalam. Yang pertama Axel. Bisa saja laki-laki itu sengaja menerornya agar tak membocork
Bab 4BRUK!!Kotaknya jebol dan menumpahkan semua isinya. Mata Axel seketika melotot, melihat barangnya berceceran. Tapi, lebih melotot lagi matanya Amanda. Karena ternyata isi kotak itu adalah VCD film biru."Astaghfirullah!" Aih! Amanda sampai menyentuh bibirnya sendiri. Tumben, bukan umpatan yang keluar dari mulutnya. Sementara Axel langsung bergegas mengumpulkan VCD yang tercecer. Tangannya sampai bergetar. Dan raut wajahnya terlihat panik luar biasa.Amanda masih terpaku, hingga kemudian dengan ragu-ragu ia berjongkok untuk membantu. "Nggak perlu!" sentak Axel, membuat gerakan Amanda seketika terhenti. Apalagi melihat wajah laki-laki itu yang menatapnya marah."Apa itu yang jatuh?" tanya Lidia dari dapur. Wajah Axel berubah pucat. Matanya kembali menatap Amanda tajam."Jangan ngomong apapun, oke? Jangan sampai ada yang tau!" ancamnya, sebelum kemudian buru-buru pergi dengan membawa kotaknya. Amanda mengernyit. Bukannya umurnya sudah 29 tahun? Kenapa sikap laki-laki itu seper
Bab 3Amanda melihat ruang tamunya yang tak terlalu luas itu telah dipenuhi orang. Semua laki-laki. Kecuali ibu mereka tentunya. Beliau jadi seperti permaisuri yang dikelilingi pangeran. Atau, seperti desainer bersama para modelnya. Bukan tanpa alasan Amanda jadi membayangkan seperti itu, karena ketiga laki-laki yang kini sedang menatapnya itu tampan semua. Ah.... Hati Amanda jadi ketar-ketir!"Assalamualaikum... Maaf Papa telat," ucap seseorang dengan nada buru-buru dari arah pintu masuk rumahnya. Amanda menoleh. Dan matanya seketika terbelalak.Seorang laki-laki paruh baya berkepala setengah botak dan berkacamata berdiri di ambang pintu dengan nafas memburu.Bukankah... Laki-laki itu yang menyeberang sembarangan tadi pagi? Wajah dengan raut lembut itu masih jelas tercetak dalam ingatannya. "Nggak apa-apa, Pa. Kami juga baru datang bertamu," jawab ibu mereka seraya bangkit dan menyalami laki-laki itu. "Silahkan masuk, Pak! Oh, jadi ini suaminya Ibu Lidia?" sambut Mirna ramah. "I