"Kamu kenapa?" suara renyah mengagetkan aku yang sedang menjemur ikan kering kesukaan Abi. Ummi selalu menyetok ikan kering yang banyak dan memberiku tugas menjemurnya seminggu sekali. Aku tak keberatan, karena ini untuk Abi.
"Kenapa apanya?" tanyaku tanpa perlu melihat siapa yang mengajak bicara."Kenapa sedih?""Oo... Ada yang mati, tapi nggak ada yang mau nguburin.""Oh ya? Kok bisa? Siapa? Orang kampung ini bukan?""Bukan. Di kampung kita nggak ada laut. Mereka pendatang.""Oalah! Kamu ngerjain Abang, ya..." Bang Bara menyeringai. "Maksudnya ikan-ikan ini? Kalau mau dikuburkan ya harus dikafani dulu. Bayangin tuh, kalo ikan teri yang dikafani satu-satu, haha..." Bang Bara terbahak. Membuat bibir ini mengulas senyum."Serius nih, kamu sebenarnya kenapa?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya."Maysa nggak kenapa-kenapa kok, Bang..."Bang Bara melangkah ke seberang terpal tempat ikan-ikan itu tergeletak tak berdaya. Lalu berjongkok dan ikut menjejerkan ikan yang masih bertumpuk."Maysa, Abang mau ngegibah, nih... Kamu dengerin ya," ujarnya dengan nada pelan."Nggak ah, Abang yang mau berbuat dosa, kok Maysa yang harus nampung?""Abang cius nih..." Pria itu melempar salah satu ikan teri yang tak berdaya itu ke arahku."Iya, deh..." jawabku sambil menyengir."Kamu tau nggak, ternyata Nabila itu anak yatim-piatu.""Maysa tau...""Tapi kalo masalah hutang orang tuanya kamu nggak tau, kan?" sambungnya tak mau kalah."Lah, mending nggak usah tau, ntar diminta bantu bayar lagi..." jawabku masih asal."Serius dong, Sa!" Kali ini ikan bawal yang berubah jadi ikan terbang dibuatnya."Iya iya... Mungkin karena Ummi Rahma mau bantu anak yatim-piatu yang terlilit hutang.""Yakin kamu Ummi Rahma beneran mau bantu? Bukannya kamu udah pengalaman?"Gerakan tanganku langsung terhenti. Benar juga yang di bilang Bang Bara. Aku sudah pernah mengalaminya.Aku adalah putri semata wayang dari sebuah keluarga yang tak berkecukupan. Dulu Bapak yang sering mengikuti pengajian di pesantren ini, terpaksa berhutang pada Ummi Rahma untuk pengobatan Ibu.Tak lama kemudian, Ummi Rahma melamarku untuk Bang Hafiz. Kami sampai berpikir kalau semua hutang akan di ikhlaskan dengan terhubungnya dua keluarga.Tapi ternyata Ummi Rahma masih menagihnya. Untunglah Bang Hafiz sering memberiku uang pegangan selain jatah belanja. Jadi dengan mudah aku meminta izinnya untuk membantu Bapak dan Ibu membayar hutang.Dengan terikatnya hutang itu, Ummi Rahma dengan mudah menyetir ku. Aku tak bisa menolak semua peraturannya. Bahkan saat ia melarangku pulang kampung di hari lebaran. Aku hanya bisa menelan air mata menahan rindu terhadap orangtua, saat Bang Hafiz menyampaikan titah ibunya.Apa ini memang tujuan Ummi Rahma? Ia sengaja mencari menantu yang tak bisa berkutik?"Apa kamu juga mikirin apa yang Abang pikirkan?""Ya... Kayaknya memang gitu. Tapi ya udah lah... Toh Maysa juga nggak akan lama lagi jadi menantunya." jawabku.Bang Bara langsung mengangkat wajahnya."Maksud kamu?""Nggak, bukan apa-apa," sanggahku cepat. Tak ingin menceritakan masalah rumah tangga terlalu jauh pada orang lain. Walau itu Bang Bara. "Abang sendiri gimana? Sampai kapan mau melajang?"Bang Bara terdiam sesaat, dia tak langsung menjawab.Apa ia tersinggung? Harusnya memang tak baik menanyakan pernikahan pada orang yang hampir menjadi bujang lapuk sepertinya.Bujang lapuk? Ah jadi terkekeh sendiri dalam hati. Bang Bara pasti mengamuk kalau tau ku sebut bujang lapuk."Kamu ngetawain Abang?"Lah? Bukannya tadi aku terkekeh dalam hati?"Abang bukannya mau melajang. Cuma belum tiba waktunya untuk menikah." sanggahnya memberi alasan."Emang ada target waktunya, ya?""Tidak. Tak bisa Abang targetkan." Bang Bara menatapku lekat. "Karena semuanya belum jelas. Dia ... masih jauh dalam jangkauan. Abang cuma ingin selalu siap untuk menjadi tempatnya berteduh. Abang juga ingin tetap siaga jika suatu hari nanti dia butuh teman untuk berlari.""Jadi calon Abang itu atlet lari?" Aku memasang tampang polos. Walau tau kata-kata Bang Bara barusan hanya perumpamaan."Itu kata-kata puitis, Soimah!" Ikan bawal lainnya kembali terbang ke arahku.Aku terbahak sembari menutup mulut dengan lengan. Jangan sampai ikan bawalnya melesat ke mulut ini."Abang mau bawa lari anak orang?" tanyaku setelah puas tertawa."Ya, kalau bisa Abang ingin membawanya lari dan membahagiakannya. Abang cuma sedang menunggu waktu itu," jawabnya nelangsa.**Aku masuk ke dalam dengan pandangan yang gelap. Matahari yang terik di luar, membuat mataku tak bisa beradaptasi di tempat yang kurang cahaya.BUK! Aku menabrak seseorang.Mata ini berusaha melihat dengan jelas. Namun tak perlu lama, aku langsung bisa mengenali dari wangi tubuhnya. Bang Hafiz, berdiri tegak di hadapanku. Ia sama sekali tak bergeser setelah aku menabraknya."Maaf..." ucapku. Lalu berlalu melewatinya.Aku masih tak ingin meladeni. Kisah kami tadi malam sungguh membuat harga diriku hancur.Bukan, bukan karena ia memaksa akibat pengaruh obat perangsang itu. Toh aku langsung rela bersatu dengannya. Tapi masalahnya, aku dipermainkan! Aku dipermalukan.Begitu hasratku menggebu, ia malah meninggalkanku. Ia pergi seolah menyentuhku adalah suatu dosa baginya. Laki-laki yang masih sah suamiku itu bahkan meminta maaf berkali-kali.Aku menangis. Kucoba meyakinkannya bahwa aku juga menginginkan itu. Tapi ia malah berkata, "maaf ... aku tak bisa."Hatiku bagai tersayat. Sampai sekarang masih terasa begitu sakit."Jadi, kamu tak bisa menyapa suami tapi bisa tertawa dengan laki-laki lain?" sinis Bang Hafiz.Ucapan tajamnya membuat langkah ini terhenti. Ia masih bisa mengecam kesalahanku yang sekecil ini, tapi melupakan kejahatannya terhadapku semalam?Aku menarik nafas dalam-dalam. Ya Allah... mata ini terlalu cepat mengembun. Tapi aku tak boleh menangis di depannya. Kaki pun kembali melangkah tanpa menjawab apa-apa. Setengah berlari menuju ke kamar.BUK!Kepala yang tertunduk dan mata yang berkabut membuatku lagi-lagi menabrak orang. Cepat-cepat ku sapu tetes kesedihan yang mengalir dari sudut mata."Maaf... Saya tidak lihat jalan," ucap seorang laki-laki berjubah coklat, yang ku kenal sebagai salah satu ustadz di pesantren ini, yang juga merupakan orang kepercayaan Ummi Rahma.Ada apa laki-laki itu masuk ke sini? Tak biasanya santri laki-laki walau telah jadi ustadz sekalipun bebas keluar masuk rumah inti. Abi melarangnya. Karena rumah, menurut Abi tetap lah tempatnya melindungi istri, anak perempuan dan menantunya dari pandangan yang haram.Aku mengangguk sekilas. Dan laki-laki itupun cepat-cepat berjalan ke ruangan pribadi Ummi. Ruang tempat ia menyimpan barang-barang koleksi, seperti piring antik dan tenunan-tenunan favoritnya.Ruangan itu juga menjadi tempat khusus untuk Ummi menenun kain, hobinya di saat senggang.Jadi buat apa si ustadz masuk ke ruangan itu?Aku penasaran.Tanpa pikir panjang, langsung saja aku mengikutinya.Bersambung....Ruangan itu adalah tempat khusus untuk hobinya Ummi Rahma, yaitu menenun kain,Jadi buat apa si ustadz menuju ke sana? Membuatku penasaran saja.Tanpa pikir panjang, kaki ini melangkah pelan untuk mengikutinya.Namun baru selangkah terangkat, aku langsung berhenti. Ini bukan urusanku. Aku tak suka mencampuri urusan orang lain. Perlahan aku berbalik, menuju ke dapur untuk membantu pekerjaan Bibi Halimah seperti biasanya. Tapi hati ini tak bisa dipaksa untuk tak peduli. Bagaimana kalau laki-laki itu berniat jahat? Bukankah kemungkaran harus di tegah? Gelagatnya tadi memang mencurigakan. Ia tampak panik saat menabrak ku. Aku kembali berbalik arah. Laki-laki itu telah masuk dan kemudian menutup pintunya. Nah lho! Kenapa harus tutup pintu segala? Apa tak ada Ummi di dalam? Setelah beberapa saat, aku menghampiri pintu itu dan mengintip melalui lubang kunci. Aku menahan nafas, saat teringat sudah dua kali mengendap-endap dan mengintip seperti ini. Rasanya sama sekali tak nyaman, karena
Sayup-sayup suara deburan ombak menyusup ke telingaku. Membuat otak ini aktif kembali untuk menganalisa suara kencang itu. Perlahan kelopak mata terbuka setelah lelap yang teramat nyenyak menenggelamkan kesadaran.Namun mata ini seketika menyipit kembali saat cahaya senja yang merah menerpa netra. Ini sudah sore?Aku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan mata dengan cahaya yang masuk melalui kaca depan mobil. Benar, ini sudah sore. Aku tertidur sampai sore begini? Bagaimana dengan berkas hasil pemeriksaan RS-nya?"Oh, sudah bangun?" Suara Bang Hafiz menyapa dari samping kananku. Kepala ini menoleh cepat. Mataku bertabrakan dengan netra coklat terangnya. Netra yang seindah cahaya senja itu menatap hangat."Ya," jawabku. "Kenapa Abang nggak bangunin Maysa? Kita kan mau ngambil hasil pemeriksaan medis di Rumah Sakit?""Karena kamu tidur terlalu nyenyak. Hasil pemeriksaan itu tidak penting, kamu kan sehat sekarang," jawabnya santai.Entah darimana munculnya emosi. Yang pasti, hat
Begitu masuk ke dalam kamar, aku langsung menuju jendela. Sehelai kerudung berwarna hijau pastel, sengaja ku lampirkan di celah jendela sebagai kode untuk Bang Bara beraksi.Sepuluh menit berlalu. Nina akhirnya tertidur. Aku mulai resah. Bagaimana kalau Bang Bara masih di kamar pribadinya Ummi?Ummi Rahma melirikku sekilas. "Nina sudah pulas. Selimuti dia dan keluar. Masih banyak pekerjaan dapur yang harus dikerjakan. Nabila saja yang baru beradaptasi sudah pintar berinisiatif membuatkan sambal untuk suaminya. Kamu sudah siang begini baru selesai mengurus anak, itupun harus Ummi bantu!" omelnya dengan wajah mengkerut.Aku cuma mengangguk. Ummi tak tau saja kalau sambal yang dibawa menantu kesayangannya itu hasil buatan menantu yang mau diusir.Namun saat ini aku tak berniat menjelaskan. Rasa panik karena takut Bang Bara akan ketahuan benar-benar membuatku tegang.Ayo berfikir Maysa! Pokoknya harus bisa memastikan dulu kalau Bang Bara tak lagi di sana sebelum Ummi kembali ke kamarnya
Jadi Bang Hafiz tak tahu bahwa Ummi Rahma bukan ibu kandungnya? Aku benar-benar membatu. Masih syok mengetahui kebenaran yang mencengangkan ini."Tapi... Masak nggak ada yang tau selain Abi dan Ummi? Warga pasti tau, dong?" ujarku ragu."Kalo warga tau, masak Hafiz yang udah segede ini nggak tau kenyataan itu dari mereka? Mulut warga itu mana mungkin nggak ada yang usil?" bantah Bang Bara. Wah.... Ini semakin misterius! KRETEK! Suara ranting patah karena diinjak terdengar dari arah belakang kami. Aku langsung menoleh. Begitu pula dengan Bang Bara. Namun tak ada siapapun di sana. Hanya ada perdu rumput gajah yang ditanam bapaknya Bang Bara untuk pakan sapi Abi. Tingginya hampir se dada orang dewasa. Bisa saja ada yang bersembunyi di baliknya.Bang Bara segera memeriksa. Menyibak rumput yang tajam itu dengan kedua lengan berototnya. Namun tetap nihil. "Nggak ada siapa-siapa," ujarnya sembari berjalan kembali. Bibirnya tampak meringis melihat lengan yang tergores rumput."Abang ter
Klik.Terdengar suara pintu yang sedang dibuka dari arah belakangku. Seketika tubuh ini menegang kaku."Maysarah! Sedang apa kamu di sini?!" Suara yang sangat ku kenal itu seumpama petir yang menyambar di telingaku.Aku langsung berbalik. Ummi Rahma berdiri menjulang di ambang pintu. Menatapku tajam dengan mata yang menyipit.Habis lah aku hari ini!"Sedang apa kamu di kamar Ummi, Maysa?!" Ummi Rahma mengulangi pertanyaannya, penuh penekanan."Ma-Maysa..." jawabku terbata. Tenggorokan ini tercekat. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja dadaku seperti kehabisan oksigen, sesak.Ummi Rahma menatap ke sekeliling. Memeriksa keadaan kamarnya. Seolah takut salah satu barang berharganya menghilang. Untunglah lemarinya sudah tertutup. "Hafiz!" teriak Ummi sembari tetap mengawasi ku. Aku merasa seperti tikus yang terperangkap kucing di sudut ruangan, tak bisa kemana-mana. Berdiri dengan tubuh panas dingin. Berharap keajaiban datang ataupun kucingnya berubah pikiran."Hafiiiz!" teriak Ummi semakin k
Setelah kepergok kemarin, aku semakin dimusuhi Ummi Rahma. Dan Nabila semakin meninggi dagunya, dong? Yah, begitulah situasi hidup bersama madu. Mau tak mau tetap bersaing.Tapi aku lebih percaya diri. Pasalnya, setelah mencari informasi kesana-kemari, aku yakin kalau Bang Hafiz yang meminta Pak Hasan membantuku. Karena Bik Halimah pun katanya tidak menyuruh suaminya. Dan aku juga sudah memastikan kembali pada Pak Hasan, apa beliau memang tau sendiri kalau aku sedang disidang Ummi Rahma kemarin, atau karena permintaan orang lain?Beliau menjawab sembari tersenyum simpul, katanya tau dari orang lain. Dan orang itu adalah orang sangat peduli padaku. Siapa lagi kalau bukan Bang Hafiz? Tak mungkin Ijah, tak mungkin pula Nabila, dan lebih tak mungkin lagi si Ustad palsu. Idiih... Mengingat perannya yang bermuka dua saja sudah membuat ilfill.Eits, tak sengaja kepikiran, si Ustadz palsu muncul. Ada urusan apa lagi doi masuk ke rumah ini? Aku segera bersembunyi di balik lemari kitab Abi. L
Hari ini, aku tak lagi peduli. Kalaupun tak lagi menemukan ketenangan di dalam rumah, aku akan mencarinya di luar. Membawa Nina jalan-jalan, membeli makanan dan baju sesuka hati. "Bang, Maysa mau jalan-jalan sama Nina. Tapi nggak punya uang," ujarku dingin. Jangan salahkan aku jika tak ada lagi kehangatan di hati ini. Bang Hafiz yang sedang mencari sesuatu di dalam lemari kaca besar yang berjejer kitab-kitab dan map-map berisi berkas-berkas penting, melirikku sekilas.Sementara itu, si Nabila tanpa Syakieb menatapku tak senang. Jih, peduli amat! Orang minta duit sama suami sendiri kok!"Berapa?" tanya Bang Hafiz singkat.Aku melirik ke arah Nabila yang tampak was-was menanti jawabanku. Hingga timbul ide untuk membuatnya semakin kesal."500 ribu," pintaku tak tanggung-tanggung. Tapi kemudian muncul penyesalan, bagaimana kalau Bang Hafiz menolak? Auto tengsin dong ditertawakan perempuan ini?"Baiklah...." Jawaban irit Bang Hafiz sungguh membuat hati ini lega."Tapi Ummi bilang tadi,
POV NabilaAku menatap layar ponsel ini dengan senyuman puas. Sesaat lagi Bang Hafiz pasti akan menceraikan istri pertamanya. Aku harus memastikan, Maysarah keluar dari rumah ini secepatnya. Agar posisiku terjamin aman.Aku tahu, Ummi Rahma meminangku untuk Bang Hafiz agar bisa memberikan keturunan untuk penerus Pesantren. Tapi, sampai saat ini Bang Hafiz masih belum menyentuhku. Aku takut, Maysarah akan lebih dulu hamil dan melahirkan anak laki-laki. Posisiku di rumah ini bisa terancam!Kenapa Bang Hafiz sama sekali tak tergoda denganku? Padahal setiap malam tidur dengannya, aku selalu memakai pakaian terbuka, dan bahkan pernah ku buka semuanya. Tapi laki-laki itu tak terpengaruh dan malah menatapku muak.Apa mungkin ia lemah sya*wat? Atau memiliki kelainan?Ah, entahlah! Yang pasti, setelah Maysarah pergi. Aku akan lebih mudah mendekati nya."Assalamualaikum," ucap Bang Hafiz begitu masuk ke kamarku. Duh, lihatlah... Betapa tampannya ia. Bagaimana aku tak jatuh hati dan ingin memili
Amanda mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak ada siapa-siapa. "Ssshh..." Suara mendesis kemudian menyusul. Desis kesakitan.Gadis itu mempertajam pendengarannya, suara itu dari arah teras samping Bu Lidia. Dari tempatnya berdiri sekarang, teras kecil itu tak terlihat keseluruhannya karena tertutup dinding. Kaki Amanda melangkah maju perlahan-lahan. Begitu ia berdiri tepat berhadapan dengan teras, matanya menangkap seseorang sedang meringkuk di sudut teras. Orang itu kembali melenguh sakit sembari memegangi pipinya."Bian?" sebut Amanda tak percaya. Sosok itu langsung mendongak kaget."Manda?"mata Bian mengerjap sesaat. Lalu tampak terpana dan tak mengedip sama sekali. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang selama satu pekan ini telah mengisi pikiran dan hatinya. Dan saat ini, yang berdiri di hadapannya adalah Amanda versi khayalannya. Ternyata memang secantik bidadari. Rambutnya yang selama ini tersembunyi bagaikan mahkota berharga yang dilindungi, kini tergerai pan
Tuk! Tembakan kerikil itu kembali menyerang. Melesat ke arah dinding dan nyaris mengenai cermin. Amanda kaget setengah mati. Namun hal itu sama sekali tak mengendurkan nyalinya.Ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu perlahan bangkit dengan tubuh merapat di dinding. Dalam hitungan ketiga, tangan kirinya bergerak cepat untuk membuka kunci jendela. Sementara tangan kanannya menghidupkan senter dan mengarahkannya keluar. BLESS!Cahaya senter menyorot terang, tepat di di wajah pelaku yang sebenarnya."Kakek?!" seru Amanda tak percaya.Ternyata yang menerornya selama ini adalah kakeknya Bian?Tangannya yang bersiap meraih sapu dan menyerang terhenti seketika. "Matikan senternya, mata Kakek silau!" Perintah laki-laki sepuh itu sembari menghalangi cahaya senter dengan tangannya.Amanda mematikan senternya dengan raut bingung. "Kakek? Jadi yang nembakin batu ke kamar Manda selama ini Kakek? Kenapa?""Ya, biar kamu bangun..." jawab si Kakek yang berdiri bungkuk dengan tongkatnya."Maksud Kakek
Menjelang malam, suasana hati Amanda mulai resah. Tali untuk jebakan telah ia siapkan. Hanya ada tali plastik di gudang, semoga bisa menahan kaki pelaku teror itu dengan kuat.Tok Tok... Suara ketukan di jendela kamar membuat Amanda terkejut setengah mati. Siapa yang mengetuk lewat jendela? Jantungnya seketika berdetak kencang. Apa mungkin itu pelakunya? Kenapa mendatanginya sore-sore begini? Amanda berdiri membeku di tempatnya. Matanya menatap ke arah jendela dengan nafas yang tertahan. Takut jika sampai orang itu mengetahui posisinya. Perlahan ia menunduk, lalu merangkak ke balik ranjang. Tok TokSuara ketukan kembali terdengar di jendelanya. Dengan tubuh meringkuk setengah tiarap di lantai, Amanda memberanikan diri untuk bersuara. Bertanya dengan nada selantang-lantangnya, agar orang itu tak mengira dirinya sedang ketakutan."Siapa di luar sana?!"Tak terdengar jawaban apapun. Suasana senyap. Apa orang itu telah pergi? Amanda tetap meringkuk di balik ranjang. Ia tak berani
"Ehm..." Amanda berdeham sambil melirik Bian. Tapi laki-laki itu tetap fokus memeriksa gusi Sisi. "Kejadian tadi pagi, itu sama sekali tidak benar. Aku nggak pernah berfikir untuk merebut suami orang." Kata-kata itu meluncur begitu saja di bibirnya Amanda. Entah kenapa, ia merasa harus memberitahunya. Tangan Bian berhenti bergerak. Kemudian tubuh tegapnya berdiri tegak."Ya, saya percaya. Tapi kamu harus sedikit hati-hati kalau memang istrinya pernah melihat suaminya itu di teras rumah kalian. Kalian semua perempuan, tak ada laki-laki yang menjaga," jawab laki-laki itu. Hati Amanda benar-benar meleleh sekarang. Ternyata walau cuek, Bian tetap perhatian. Tapi memang benar yang dikatakan Bian, ia dan ibunya harus lebih berhati-hati, karena tak ada anggota keluarga laki-laki. Ah... Amanda jadi meng-halu sendiri. Seandainya Bian yang jadi anggota di rumahnya, ia pasti tak akan menolak. Tok Tok...Terdengar sebuah ketukan di pintu ruangan Bian yang terbuka. Kemudian seorang suster b
Di depan jendela kamarnya, Amanda duduk termangu menatap keluar dengan tatapan kosong. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Buku diary yang bertuliskan nama Axel dan Pak Dahlan sebagai orang yang ia curigai telah dicoretnya. Setelah Bu Lidia menceritakan perihal rahasianya kemarin, gadis itu benar-benar bingung. Bukan Axel dan bukan Pak Dahlan. Lalu siapa? Dan kenapa ia sampai diteror begini? Rasanya ia tak pernah berbuat buruk terhadap orang lain. Bukannya sok baik, tapi ia memang jarang bertemu orang-orang, apalagi sampai berbincang dan bergaul. Hh... Kepalanya benar-benar pusing, karena tadi malam pun ia masih dikejutkan oleh tembakan kerikil itu. Hari ini ia harus mengatur rencana untuk menjebak pelakunya.Jika ditaburi beling di bawah jendela, bisa saja tak berpengaruh kalau pelakunya memakai sepatu berhak tebal, dan malah akan membuat orang itu semakin kalap. Begitu pun dengan jepitan tikus atau benda-benda tajam lainnya.Ah... Seandainya ia sejenius anak kecil dalam film Home
Malam menjelang. Amanda mulai was-was. Matanya terus saja menoleh ke arah jendela. Memperhatikan dengan seksama, jika saja ada bayangan di baliknya.Laptop yang telah terbuka sejak tadi sama sekali tak disentuh keyboard-nya. Bagaimana ia bisa berfikir dalam keadaan tegang seperti ini? Kopi yang tadinya ia buat untuk menghilangkan kantuk pun tak tersentuh. Hingga dingin karena diabaikan pemiliknya. Akhirnya Amanda memilih untuk menonton Drakor saja untuk pengalihan rasa takut.Drama Korea yang berjudul cheese in The trap menjadi pilihan. Tapi karakter tokoh cowoknya yang aneh dan memiliki sisi gelap membuat bulu kuduk semakin meremang. Gadis itu cepat-cepat menghentikan film-nya dan memilih untuk mendengarkan musik saja.Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Mata Amanda mulai terasa berat. Tak ada kesibukan dan tak ada asupan kafein, ditambah merdunya alunan musik membuat gadis itu cepat mengantuk. Dan finally ... Amanda terlelap di atas meja kerjanya.TUK! Suara aneh kembali terden
Perlahan tangan Amanda meraba ke sekeliling kasur, dan menemukan sebutir batu kerikil. Batu ini yang telah menembak kepalanya, dan sepertinya begitu juga dengan cermin. Siapa yang telah melakukan ini? Dan dari mana asalnya?Kepala Amanda cepat-cepat menoleh ke arah jendela kamarnya. Jendela kayu dengan model klasik itu memiliki rongga-rongga untuk ventilasi udara. Mungkinkah dari sana? "Akh!" Samar-samar terdengar suara orang yang mengaduh sakit. Sepertinya itu suara laki-laki. Dana asalnya dari teras samping rumah tetangga baru!**Amanda memijit kepalanya yang terasa berdenyut dan mencengkeram. Gara-gara kejadian aneh tadi malam, ia tak bisa memejamkan lagi matanya. Diambilnya buku catatan berkulit merah muda yang biasa dijadikannya buku catatan untuk ide-ide cerita yang tiba-tiba muncul. Namun kali ini ia bukan hendak mencatat ide cerita, tapi orang-orang yang patut dicurigai atas kejadian semalam. Yang pertama Axel. Bisa saja laki-laki itu sengaja menerornya agar tak membocork
Bab 4BRUK!!Kotaknya jebol dan menumpahkan semua isinya. Mata Axel seketika melotot, melihat barangnya berceceran. Tapi, lebih melotot lagi matanya Amanda. Karena ternyata isi kotak itu adalah VCD film biru."Astaghfirullah!" Aih! Amanda sampai menyentuh bibirnya sendiri. Tumben, bukan umpatan yang keluar dari mulutnya. Sementara Axel langsung bergegas mengumpulkan VCD yang tercecer. Tangannya sampai bergetar. Dan raut wajahnya terlihat panik luar biasa.Amanda masih terpaku, hingga kemudian dengan ragu-ragu ia berjongkok untuk membantu. "Nggak perlu!" sentak Axel, membuat gerakan Amanda seketika terhenti. Apalagi melihat wajah laki-laki itu yang menatapnya marah."Apa itu yang jatuh?" tanya Lidia dari dapur. Wajah Axel berubah pucat. Matanya kembali menatap Amanda tajam."Jangan ngomong apapun, oke? Jangan sampai ada yang tau!" ancamnya, sebelum kemudian buru-buru pergi dengan membawa kotaknya. Amanda mengernyit. Bukannya umurnya sudah 29 tahun? Kenapa sikap laki-laki itu seper
Bab 3Amanda melihat ruang tamunya yang tak terlalu luas itu telah dipenuhi orang. Semua laki-laki. Kecuali ibu mereka tentunya. Beliau jadi seperti permaisuri yang dikelilingi pangeran. Atau, seperti desainer bersama para modelnya. Bukan tanpa alasan Amanda jadi membayangkan seperti itu, karena ketiga laki-laki yang kini sedang menatapnya itu tampan semua. Ah.... Hati Amanda jadi ketar-ketir!"Assalamualaikum... Maaf Papa telat," ucap seseorang dengan nada buru-buru dari arah pintu masuk rumahnya. Amanda menoleh. Dan matanya seketika terbelalak.Seorang laki-laki paruh baya berkepala setengah botak dan berkacamata berdiri di ambang pintu dengan nafas memburu.Bukankah... Laki-laki itu yang menyeberang sembarangan tadi pagi? Wajah dengan raut lembut itu masih jelas tercetak dalam ingatannya. "Nggak apa-apa, Pa. Kami juga baru datang bertamu," jawab ibu mereka seraya bangkit dan menyalami laki-laki itu. "Silahkan masuk, Pak! Oh, jadi ini suaminya Ibu Lidia?" sambut Mirna ramah. "I