“Mulai hari ini jangan menghindar dariku lagi!” ujar Emran.
Widuri hanya diam, menatap dengan tertegun ke arah Emran. Ia bingung, apa maksud ucapan suaminya kali ini. Bukankah biasanya selalu Emran yang menjauh dan tidak mau mendekat ke arahnya. Kenapa kini malah kebalikannya.
“Kamu manis juga kalau dilihat sedekat ini, ya!” Tiba-tiba Emran kembali bersuara dengan senyum terkembang.
Seketika mata Widuri membola penuh seakan siap keluar dari tempatnya. Seumur pernikahannya baru kali ini Widuri mendengar Emran memuji dirinya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Apa Emran benar-benar berubah dan tertarik kepada Widuri?
Widuri gegas mundur teratur, menepis tangan Emran yang masih menyentuh dagunya. Entah warna apa wajahnya kali ini, yang pasti ia sudah menunduk tak berani bertemu dengan mata elang milik pria ganteng di depannya ini.
“Ak--aku ... aku turun dulu.” Suara Widuri terdengar gugup kali ini.
Mendengar
“Hmmppff ... .” Widuri bergumam sambil mendorong dada Emran menjauh.Emran menghargai permintaannya dan sudah mengurai kecupan. Widuri terdiam dan menundukkan kepala dengan napas tersenggal. Ini kali kedua Emran menciumnya dan tanpa izin lebih dulu. Bahkan Widuri tidak diberi tahu apa arti kecupannya kali ini. Apa Emran sedang merindukan Mawar dan dia dijadikan pemain cadangan lagi seperti biasanya?“Apa kamu tidak bisa minta izin dulu sebelum menciumku?” Widuri memberanikan diri bersuara.Emran mengulum senyum sambil menatap Widuri dengan mata nan teduh.“Kenapa harus minta izin? Kamu istriku.”Widuri berdecak dan menggelengkan kepala. Kemudian sudah mengangkat kepala melihat ke arah Emran.“Kamu sedang merindukan Mawar dan sengaja melakukannya denganku sebagai penggantinya, begitu?”Emran sontak menarik napas panjang dan menatap Widuri dengan mata elangnya yang teduh. Memang sikap Emra
“Mas, akhir pekan ini Mama ulang tahun dan seperti biasanya, beliau mengadakan pesta. Apa kamu bisa meluangkan waktumu?” tanya Mawar pagi itu.Mereka berdua sedang sarapan pagi kali ini dan Emran hanya manggut-manggut mendengarnya.“Iya, aku pasti datang. Apa kamu sudah menyiapkan kado untuk Mama?” Emran bertanya.“Eng ... belum, sih. Kamu mau mengantarku untuk membelinya, Mas?”Emran belum sempat menjawab, tapi matanya sudah menoleh ke sosok Widuri yang baru saja turun ke lantai satu. Seperti biasa, Widuri berjalan menuju lemari es mengambil apel dan juga menuang susu. Emran hanya diam memperhatikan. Mawar yang duduk di sebelah Emran ikut terdiam dan sedikit bingung melihat ulah Emran.“Coba kamu ajak Widuri saja, Sayang. Beberapa hari ini aku sibuk banget.” Emran sudah bersuara kembali.Mawar tampak terkejut dengan saran Emran kali ini. Apalagi Widuri, ia tidak tahu kedua orang ini sedang mem
“Mawar?” tanya Emran tanpa suara.Widuri yang duduk di sebelahnya mengangguk dengan kebingungan. Emran menarik napas panjang sambil mengacak rambutnya. Widuri memperhatikan perubahan sikap Emran. Mengapa juga dia terlihat gugup kali ini? Apa dia takut Mawar melihatnya saat mengantar Widuri ke kantor?“Aku sedang keluar makan siang, Mawar. Apa kamu mau tunggu sebentar? Aku sudah perjalanan ke kantor, kok.” Widuri akhirnya menjawab dan mencoba setenang mungkin.[“Ya udah. Aku tunggu di lobby.”] Mawar sudah menutup panggilannya dan Widuri menyimpan ponselnya.Kini Emran melirik ke arah Widuri seakan hendak bertanya. Namun, belum sempat Emran bertanya, Widuri sudah bersuara.“Apa kamu takut ketahuan Mawar saat mengantar aku ke kantor?”Seketika Emran terdiam dan berulang menarik napas panjang. Mata elang pria tampan itu kini melirik ke arah Widuri dengan intens.“Enggak. Aku gak takut.
“Kalian janjian sengaja pakai baju warna yang sama?” tanya Mawar dengan sinis.Widuri dan Emran yang mendengarnya sontak terkejut. Refleks mereka berbarengan melihat baju mereka masing-masing kemudian menggelengkan kepala. Yang makin membuat Mawar kesal adalah mereka secara spontan menjawab secara berbarengan.“ENGGAK!!”Mawar seketika melihat dengan sinis ke arah Emran. Widuri yang duduk di belakang hanya menghela napas panjang sambil terus menggelengkan kepala.“Enggak, Sayang. Aku aja baru tahu kalau Widuri ikut sesaat sebelum berangkat tadi. Kamu tahu sendiri, kan? Jadi mana mungkin aku janjian.” Emran sudah memberi alasan.Mawar segera melihat ke arah Widuri yang diam memperhatikan di bangku belakang.“Aku gak sengaja pakai baju ini. Aku juga gak tahu kalau warnanya sama dengan Emran.” Widuri sudah membela diri.Sejujurnya dia juga sedikit kesal dengan Mawar. Memang apa salahnya jik
“Jadi kamu orang ketiganya?” ujar wanita paruh baya itu dengan sinis.Sontak Mawar terkejut mendengarnya, sementara Widuri hanya diam sambil membalas tatapan wanita paruh baya itu tak kalah sengit. Mawar terlihat gusar, manik matanya tampak berputar seakan sedang mencari seseorang untuk menolongnya. Mungkin dia takut, terjadi sesuatu di antara Widuri dan wanita yang dipanggilnya tante tadi.“Tante ... Tante kok ngomong gitu.” Akhirnya Mawar bersuara. Dia kini melihat ke arah Widuri dengan tatapan tak enak. Bisa jadi dia sedikit sungkan dengan sikap kerabatnya tadi.“Lah ... kan emang bener, Mawar. Jelas-jelas suamimu tidak suka padanya, tapi dia bersikeras saja mempertahankan posisinya. Kenapa juga gak nyerah dan minta cerai? Kok mau-maunya jadi orang ketiga di pernikahanmu. Apa namanya itu gak tahu diri?” Wanita paruh baya itu malah nyerocos panjang lebar menyakitkan telinga.Widuri masih diam di posisinya. Sepertinya
“Apa gak masalah kita pulang duluan, Emran?” tanya Widuri.Mereka sudah di dalam mobil perjalanan menuju pulang dari rumah Tante Karin. Usai menuntaskan kesedihannya dengan berurai air mata tadi, Emran langsung mengajak Widuri pulang. Tentu akan tidak nyaman kalau memaksa Widuri tinggal di sana hingga pesta berakhir.“Gak papa. Aku sudah kirim pesan ke Mawar dan Tante Karin. Aku bilang kamu gak enak badan tadi.” Emran sudah memberi alasan. Widuri hanya diam sambil berulang menganggukkan kepala.Mereka sama-sama terdiam, sibuk dengan benaknya masing-masing. Kemudian Widuri melihat ke arah luar jendela mobil. Ini bukan arah jalan pulang dan dia sangat tahu betul. Widuri menoleh ke arah Emran dan sepertinya Emran refleks juga melihat ke arahnya.“Ini bukan arah jalan pulang, kan? Kita mau ke mana?” Widuri penasaran.Emran mengulum senyum dan kembali melihat lalu lintas di depannya.“Kamu ingat saat aku
“Mama ingin aku menggugat cerai Mas Emran?” tanya Mawar dengan mimik terkejut.Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik duduk di depan Mawar hanya tersenyum sambil mengangguk, membenarkan pertanyaan Mawar.“Iya, Sayang. Mama tidak ingin melihatmu menderita, apa lagi kalau sampai kamu menyakiti wanita lain. Mama tidak mau, Mawar.”Mawar terdiam, menarik napas panjang sambil menatap mamanya dengan sendu. Perlahan tangan Mawar meraih tangan Tante Karin dan menggenggamnya erat.“Ma ... aku sangat mencintai Mas Emran. Aku tidak mau jauh darinya. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Aku rasa Mama tahu tentang keinginanku ini. Aku mohon, biarkan aku meneruskan semuanya, Ma.”Tante Karin hanya membisu sambil menatap Mawar penuh kasih sayang.“Itu artinya mulai sekarang kamu harus bisa berbagi, Mawar. Kamu sendiri yang bilang kalau Emran sudah mulai jatuh cinta pada Widuri. Apa kamu sanggup?”Mawar
Sepanjang perjalanan pulang, Mawar hanya diam membisu. Wajahnya terus dialihkan keluar jendela sibuk menatap pemandangan di luar sana. Emran yang duduk di sebelah hanya diam dan terus fokus menatap jalanan yang mulai gelap.Biasanya kalau Mawar merajuk seperti ini, Emran pasti akan mati-matian membujuknya. Bahkan dia bersedia melakukan apa saja hingga Mawar tersenyum kembali. Namun, kali ini tidak.Selang beberapa saat, mobil mereka sudah tiba di rumah. Emran gegas keluar mobil sementara Mawar keluar dengan lesu. Ia bahkan ogah-ogahan berjalan masuk ke dalam rumah. Sementara Emran terlihat riang berjalan masuk rumah. Wajahnya langsung cerah, secerah mentari pagi di musim semi.Langkah Mawar langsung terhenti saat tiba di ruang tengah. Ia mendapati Widuri sedang duduk di sofa asyik melihat tayangan tv. Senyuman manis terkembang di wajahnya. Raut sawo matangnya juga tampak berseri-seri serupa dengan wajah Emran. Kenapa juga wajah dua insan itu berseri-seri dalam w
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me