Hari yang ditunggu Mawar tiba, pagi ini dia sudah bersiap dan berpamitan ke Widuri. Emran yang akan mengantarnya ke bandara. Rombongan Mawar menunggunya langsung di bandara. Rencananya mereka akan berangkat bersama dua puluh orang.
“Hati-hati di sana, ya!!” pesan Emran sebelum melepas kepergian Mawar.
Mawar tersenyum sambil berulang menganggukkan kepala. Senyum ceria terus tergambar di wajah cantiknya. Dia terlihat sangat gembira kali ini.
“Mas juga jangan nakal, ya!!” seloroh Mawar.
Emran hanya tertawa mendengarnya. Memangnya dia akan bertingkah nakal seperti apa. Toh di rumah sudah ada Widuri juga. Selang beberapa saat, Emran sudah perjalanan pulang menuju rumah. Sampai di rumah, ia melihat Widuri sedang sibuk membereskan piring dan gelas kotor bekas mereka sarapan pagi.
Emran berjalan mendekat dan menghampiri Widuri.
“Apa kamu tidak ada acara dua hari ini, Widuri?” tanya Emran kemudian.
Widuri me
Pukul tujuh malam semua tamu undangan sudah berkumpul di area lobby dan depan hotel. Rencananya akan ada acara pemotongan pita kemudian berlanjut dengan acara ramah tamah di ballroom hotel. Hampir mirip dengan acara launching sebelumnya, semua diawali dengan sambutan, doa dan pemotongan pita lalu berlanjut acara hiburan. “Pak Emran, senang sekali bisa bertemu di sini,” sapa salah seorang pria. Emran langsung tersenyum dan menyambut pria ramah itu. Widuri berasumsi kalau itu juga rekan atau bisa jadi klien Emran. Selama ini, Widuri memang tidak mengenal teman suaminya. Mungkin karena Emran juga tidak mengenalkan pada Widuri. “Anda datang bersama siapa?” Kembali pria ramah itu bersuara, kini sambil melirik ke arah Widuri yang berdiri di sebelah Emran. “Akh ... iya, kenalkan ini istri saya, Pak. Widuri Yasmin.” Sekali lagi Emran memperkenalkan Widuri sebagai istrinya. Widuri langsung tersenyum dan denga
Perlahan Widuri membuka mata, ada sebuah tangan penuh bulu yang sedang melingkar di perutnya. Widuri tersenyum sambil melirik si Pemilik tangan yang terlelap di sebelahnya. Widuri masih ingat apa yang sudah mereka lakukan semalam. Semalam adalah malam pertamanya yang tertunda. Bahkan setelah sekian lama, akhirnya Widuri bisa mendengar tiga kata keramat yang keluar dari bibir Emran. Ternyata cinta memang indah kalau tidak bertepuk sebelah tangan. “Eng ... .” Terdengar lirih gumaman Emran. Sepertinya dia juga sudah terjaga. Widuri menoleh ke arahnya kemudian menjentik hidung bangir Emran dengan gemas. Hanya senyuman yang merespon ulah Widuri sementara mata pria tampan itu masih menempel tak bisa terbuka. Widuri memutar tubuhnya hingga miring dan berhadapan dengan Emran. Hati-hati Widuri mengecup bibir pria tampan itu. Kini perlahan Emran membuka mata dan tersenyum ke arahnya “Kamu gak bangun?” Widuri langsung bertanya. Emran tidak menj
“Iya, Sayang. Oke, aku akan jemput kamu besok. Save flight, ya!!” Emran baru saja mengakhiri panggilannya.Mawar yang melakukan panggilan dan memberitahu kalau dia sudah perjalanan pulang. Mawar juga meminta Emran menjemputnya besok pagi. Kini Emran melihat Widuri tampak sibuk menyiapkan makan malam. Sejak Mawar pergi liburan ke Eropa, Widuri selalu memasak untuk Emran. Ternyata masakan Widuri juga tidak mengecewakan dan hampir mirip dengan masakan Nyonya Sari. Tanpa Emran tahu, memang sengaja Widuri menerapkan resep yang sudah dituliskan mertuanya itu.“Kamu masak pesmol ikan malam ini?” tanya Emran.Mata elang pria itu langsung mengerjap berbinar saat melihat ada pesmol ikan yang tersaji di meja. Nyonya Sari memang memberi semua resep masakan yang merupakan kesukaan Emran kepada Widuri. Kali ini sengaja Widuri memasak makanan yang jarang dimasak oleh Mawar.“Iya. Kamu gak suka?” Widuri bersuara.Emran langsung
“Ya ampun, Mas ... aku seneng banget. Ternyata gak rugi aku ikut. Semuanya benar-benar indah,” celoteh Mawar.Emran sudah menjemputnya di bandara dan sepanjang perjalanan pulang, Mawar terus bercerita. Tentang indahnya kota yang dia datangi, aneka makanan yang enak dan unik lalu tentang bangunan indah di sana. Belum lagi kerapian dan kedisiplinan penduduknya, semua dicermati Mawar.Emran hanya manggut-manggut sambil mendengarkan semua cerita Mawar. Ia senang kalau Mawar menikmati liburannya. Rasanya keputusannya tepat saat tidak memberitahu acara launching hotel tempo hari.“Ngomong-ngomong, aku kamu beliin oleh-oleh, gak?” Emran menginterupsi cerita Mawar.Mawar langsung tersenyum dan menganggukkan kepala. “Iya, semua sudah aku belikan. Kamu, Widuri, Mama, Kak Lani bahkan si Kecil Denzel.”Emran kembali tersenyum sambil menggerakkan kepala.“Sebenarnya kemarin aku juga ingin membelikan oleh-oleh unt
“Kamu pulang jam berapa semalam, Mas?” tanya Mawar.Mawar baru saja bangun dan melihat Emran sudah bersiap. Suami gantengnya itu tampak merapikan baju sambil berdiri di depan cermin. Ia mengenakan baju kerja seperti biasa dan berpenampilan mempesona seperti setiap harinya. Hanya saja kali ini yang menarik perhatian Mawar adalah rambut Emran basah, seperti baru saja keramas.Emran tersenyum, melihat Mawar dari pantulan cermin di depannya.“Jam sebelas. Aku lihat kamu sudah tidur semalam.”Mawar menghela napas panjang sambil menyibak rambutnya. Semalam dia memang sangat lelah dan langsung terlelap begitu kepalanya nempel ke bantal. Padahal semalam dia ingin menghabiskan waktu dengan Emran menuntaskan kerinduannya.“Kok kamu gak bangunin aku, Mas.” Mawar kini mengajukan protes.Emran kembali tersenyum dan berjalan menghampiri Mawar kemudian duduk di sampingnya.“Kamu kelihatan capek gitu. Aku gak
“Tidak hanya nafkah lahir yang harus aku bagi dengan rata, tapi juga nafkah batin, Mawar. Aku rasa kamu tahu itu,” ucap Emran dengan tegas.Mawar hanya diam dan spontan menundukkan kepala. Dia sangat kesal sekaligus marah, tapi dia juga tidak bisa menunjukkan reaksinya ke Emran kali ini. Bukankah sebelum menikah dulu, malah dia yang mengajukan syarat ke Emran agar berlaku adil. Kalau dia menentangnya, ini sama saja seperti menjilat ludah sendiri.“Aku tahu kok, Mas. Maaf ... aku sudah lancang bertanya seperti itu. Lain kali aku tidak akan menanyakannya lagi.”Akhirnya Mawar bersuara meski dengan menundukkan kepala. Emran hanya manggut-manggut melihat reaksinya. Selang beberap saat, Mawar sudah tiba di kantor. Semua rekan kerja menyambut kedatangannya. Apalagi mulai hari ini dia sudah menduduki posisi barunya sebagai kepala cabang di bank tersebut.“Bu, ada email dari pusat!” ujar seorang bawahannya begitu Mawar datang.
“Karena kamu nyuapin Denzel dan belum makan, jadi biar aku kali ini yang nyuapin kamu. Ayo, buka mulutmu, Widuri!!” ucap Emran. Tangan pria tampan itu terus terulur ke arah Widuri dengan sebuah sendok berisi penuh nasi beserta lauknya. Widuri tertegun menatapnya. Hal yang sama juga dilakukan Lani dan Mawar. “Tante, ayo buka mulutnya!! Kayak aku begini.” Denzel menginterupsi lamunan Widuri. Widuri tersenyum dan akhirnya meniru apa yang dilakukan Denzel. Ia membuka mulut dan membiarkan Emran menyuapinya malam ini. Lani yang melihatnya hanya mengulum senyum. Sementara hanya Mawar yang terdiam dan berulang kali memalingkan wajah. Meski ada senyuman di wajah wanita cantik itu, tapi Lani bisa melihat kalau adiknya sedang marah sekaligus cemburu. “Lain kali ke rumah kalau ada aku saja, Kak,” ucap Mawar. Mereka baru saja selesai makan dan sedang berada di ruang tamu. Mawar memang sengaja mengajak kakaknya untuk duduk di ruang tamu. Widuri terlihat sedang di ruang makan bersama Denzel meny
“Kamu bangun jam berapa, Mas? Kok aku gak melihatmu tadi,” tanya Mawar.Mawar langsung bertanya ke Emran yang baru saja keluar dari kamar mandi. Mawar memang baru bangun karena mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Emran keluar dari kamar mandi hanya mengenakan bathrobe dengan rambut yang basah. Usai menghabiskan waktu bersama Widuri sepanjang malam, Emran memang kembali ke kamar kemudian mandi.Ia tidak tahu kalau Mawar terbangun saat jam dua dini hari dan mencarinya yang menghilang ke kamar Widuri. Emran tersenyum dan berjalan menghampiri Mawar yang sedang terbaring di atas kasur.“Aku barusan bangun terus mandi.” Emran malah berkata bohong kali ini.Mawar terdiam dan menganggukkan kepala. Semakin lama, Emran memang semakin berubah. Bahkan suaminya berani berkata bohong padanya. Padahal jelas-jelas semalam Emran menghilang dari kamar dan Mawar sudah memastikan kalau suaminya menyelinap ke kamar Widuri. Namun, mengapa Emra
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me