Seketika Luna dan Fabian mengurai pagutan mereka. Luna langsung terkejut saat melihat Emran dan Widuri sedang berdiri di depan mereka.
“Mas Emran, Mbak Widuri,” desis Luna.
Fabian langsung tersenyum meringis sambil melirik ke arah Emran. Emran hanya menggelengkan kepala. Dia pernah berada di momen seperti ini dan tentu saja bisa merasakan apa yang Fabian rasakan.
“Maaf, kami mengganggu kalian.” Kini Widuri yang bersuara. Wanita manis berhijab itu terlihat gugup.
Sejujurnya dia tidak mau mampir dan menyapa, hanya saja Emran yang terkenal iseng sengaja ingin menyapa.
“Iya, gak papa, Mbak. Alif dan Alisya mana?”
“Mereka ada di rumah. Kami sengaja ingin pacaran kali ini,” sahut Emran.
Luna dan Fabian langsung tersenyum mendengar jawaban Emran. Sementara Widuri hanya menundukkan kepala. Dari dulu, Emran memang selalu begitu dan kadang membuat Widuri tersipu malu.
“Sepertinya hari
“Eng ... itu dari salah satu pasien di sini?” jawab Luna.Fabian terdiam, mata sipitnya semakin mengecil menyidik Luna. Luna hanya membisu dan membalas tatapan Fabian.“Pasienmu? Bukannya pasienmu anak-anak semua? Apa salah satu dari mereka yang mengirim?”Luna gegas mengangguk, meski dia merasa kesal. Kali ini dia terpaksa berbohong lagi.“Iya, aku sudah akrab dengannya. Dia tahu kalau kemarin aku berulang tahun dan mengirim buket bunga itu.” Luna semakin lancar menjawab, meski di dalam hatinya mengumpat.“Begitu. Lalu kenapa suster tadi bilang buket bunganya dari aku. Apa kamu yang bilang?”Luna menghela napas panjang sambil mengangguk.“Iya. Aku hanya tidak mau hal sepele seperti ini menimbulkan rumor. Mereka di sini tahu siapa kamu dan posisimu. Mereka juga tahu status kita. Apa jadinya kalau ada yang melihat aku mendapat kiriman bunga dari orang lain dan bukan kamu?”
“Ivan ... .” Luna berdesis pelan sambil menatap sosok di depannya. Hampir dua bulan, ia tidak mendengar kabar tentang Ivan. Terakhir Ivan bilang kalau dia ada urusan kerjaan di luar kota. Bahkan karena ketidak hadiran Ivan ini membuat Luna menjadi semakin dekat dengan Fabian. “Iya, aku Ivan. Memangnya siapa yang kamu harapkan datang kali ini? Fabian?” Luna terdiam menundukkan kepala dan menghindar tatapan Ivan. Ivan menarik napas panjang kemudian berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Luna mengikuti duduk berhadapan dengannya. Tentu saja Ivan sedikit heran dengan sikap Luna kali ini. Biasanya mereka selalu duduk bersebelahan jika berdua seperti ini. “Apa Fabian sudah berangkat?” tanya Ivan. Luna tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala. “Hmm ... kebetulan sekali.” Ivan bersuara dengan nada dan tatapan menggoda. Sontak Luna mengangkat kepala, mengernyitkan alis sambil menatap Ivan dengan sebal. “Jangan aneh-aneh kamu, Van!!!” Ivan langsung terkekeh mendengar ucapan Luna. “An
“VAN!!!” sentak Luna.Ivan langsung terkekeh mendengar suara Luna. Sementara Emran pria yang sedang berdiri di depan mereka berdua hanya terdiam. Emran tertegun menatap Luna. Ada banyak tanya di mata pekat pria tampan itu dan Luna yakin Emran akan mengajukan banyak pertanyaan padanya nanti.“Maaf, Pak Emran. Dia masih tunangan saya, belum istri,” ralat Ivan.Namun, tetap saja jawaban Ivan masih membuat Luna kesal. Emran hanya manggut-manggut sambil tersenyum sekilas kemudian melirik Luna dengan tajam. Luna hanya diam, ia sengaja tidak mau mendebat kali ini. Ia merasa tidak baik-baik saja malam ini dan ingin segera pulang.Selang beberapa saat, Ivan akhirnya mau berbaik hati mengantar Luna pulang. Setelah sebelumnya, Luna ngotot ingin pulang sendiri.“Kamu terlihat tidak senang, Sayang. Kamu marah dengan sikapku tadi?” tanya Ivan.Luna tidak menjawab hanya melihat Ivan dengan sudut matanya. Ia sangat kesal dengan perkenalan Ivan ke Emran tadi
“Apa semuanya baik-baik saja selama aku gak di rumah, Lun?” tanya Fabian.Dia baru saja datang sore itu dan langsung menjemput Luna di rumah sakit. Kebetulan juga hari ini Luna tidak membawa mobil dan mengiyakan permintaan Fabian. Mereka sedang berada di ruang praktek Luna, pasien terakhir Luna baru saja selesai diperiksa satu jam yang lalu, sehingga mereka kini leluasa berbincang berdua.“Iya, semua baik-baik saja. Oh ya, kamu bilang kita akan pindahan. Kapan?”“Rencananya sih akhir pekan ini. Kamu gak kebagian piket, kan?”Luna tersenyum dan menggeleng. “Enggak, kok. Kalau gitu, aku akan siapkan untuk makanannya.”Fabian mengulum senyum sambil menatap Luna dengan sendu.“Jangan, Lun. Kita pesan saja, aku gak mau kamu capek nantinya. Lagian aku gak ngundang banyak orang, kok. Hanya kerabat dan teman dekat saja.”Luna tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kalau Fabian sudah
“Eng ... tahu tentang apa, ya?” tanya Luna.Dia terlihat bingung dan kini membalas tatapan Emran serta Ivan. Ivan langsung tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa, kok. Pak Emran biasa bercanda denganku. Benar begitu, Pak?” Ivan sebisa mungkin mencairkan suasana.Emran hanya tersenyum masam sambil menatap Ivan dengan kesal. Sementara Dandy dan Fabian hanya mengamati dengan bingung ketiga orang di depannya ini.“Ya sudah, kalau gitu. Ayo, kita makan dulu!!” ajak Luna.Fabian langsung mengangguk dan mengajak Dandy serta Emran masuk lebih dulu. Hanya Ivan yang tidak ikut masuk. Dia berdiri diam sesaat mengamati Luna. Kemudian saat Ivan berjalan mendekatinya, Luna gegas masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Ivan yang kecewa.Sayangnya semua interaksi antara Ivan dan Luna saat itu tertangkap jelas oleh mata Emran. Emran menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Sepertinya akan ada yang m
“Apa maksudmu, Fabian?” gumam Luna.Perlahan Fabian menghela napas sambil mengangkat kepalanya. Kemudian ia memutar tubuh Luna hingga mereka saling berhadapan. Fabian tersenyum menatap Luna dengan lembut. Tanpa diminta, hati Luna berdesir mendapat interaksi seintim ini dari Fabian.“Aku sedang cemburu, Lun. Apa kamu tidak tahu maksud ucapanku tadi?”Luna mengulum senyum sambil menundukkan kepala. Fabian membalas dengan senyuman kemudian perlahan tangannya terulur meraih dagu Luna hingga saling berhadapan.“Aku tidak suka wanitaku dekat dengan pria lain. Meskipun aku yakin kamu dan Emran tidak ada hubungan apa-apa, tapi tetap saja itu membuatku cemburu.”Luna berdecak sambil menggelengkan kepala.“Iya, tentu. Maafkan aku. Kami tadi hanya sekedar berbincang sedikit. Aku janji tidak akan melakukannya lagi jika itu membuatmu cemburu.”Fabian mengulum senyum, mendekatkan wajahnya hingga hidun
“Fabian!!” seru Luna.Ia langsung mendorong tubuh Ivan menjauh. Ivan terkejut dan membuka mata. Ia bergeming di tempatnya sambil menatap Fabian. Perlahan Fabian mendekat melihat dengan marah ke arah Luna dan Ivan. Luna tampak serba salah dan sudah menggeser posisinya dari Ivan.“Fabian ... aku ... tadi ---“Belum sempat Luna menjawab, Ivan sudah menyahut. “Luna kelilipan dan aku membantunya tadi. Jadi kamu jangan salah paham.”Fabian hanya diam, tidak menjawab. Namun, sorot mata sipitnya semakin mengecil melihat dengan dingin ke arah Luna dan Ivan. Ivan menarik napas panjang kemudian menyentuh lembut bahu Fabian.“Aku ke sini hanya untuk memberi undangan ini.” Tiba-tiba Ivan mengeluarkan sebuah undangan dari saku jasnya.Fabian terdiam, mengernyitkan alis membaca undangan yang baru disodorkan Ivan. Rupanya ulah Ivan ini benar-benar sanggup membuat Fabian mengalihkan perhatiannya.“
“Eng ... .” Luna hanya diam tidak menjawab.Sementara Fabian berjalan mendekat ke arahnya dan langsung merengkuh pinggul Luna. Untuk beberapa saat Luna membisu. Dadanya terasa sesak. Dia ragu untuk berkata jujur atau berbohong lagi.“Aku sebenarnya tidak piket akhir pekan ini, hanya saja Dokter Ani baru saja menelepon dan minta ganti jadwal. Aku takut ... kamu marah.” Akhirnya Luna malah mengarang cerita kali ini.Fabian mengulum senyum kemudian telunjuknya sudah berhenti di bibir Luna. Luna membisu, lagi-lagi sikap Fabian yang manis membuat hatinya kebat kebit tak karuan.“Aku gak akan marah, kok. Itu sudah kewajibanmu. Sekarang, kita tidur, yuk!!”Fabian langsung menggandeng tangan Luna dan berjalan masuk ke dalam kamar. Tanpa disadari Fabian ada helaan napas lega baru saja keluar dari bibir Luna. Andai saja Fabian tahu yang sedang dia rasakan dan hadapi. Apa mungkin Fabian bisa memahaminya kali ini?**
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me