“Eng ... .” Luna hanya diam tidak menjawab.
Sementara Fabian berjalan mendekat ke arahnya dan langsung merengkuh pinggul Luna. Untuk beberapa saat Luna membisu. Dadanya terasa sesak. Dia ragu untuk berkata jujur atau berbohong lagi.
“Aku sebenarnya tidak piket akhir pekan ini, hanya saja Dokter Ani baru saja menelepon dan minta ganti jadwal. Aku takut ... kamu marah.” Akhirnya Luna malah mengarang cerita kali ini.
Fabian mengulum senyum kemudian telunjuknya sudah berhenti di bibir Luna. Luna membisu, lagi-lagi sikap Fabian yang manis membuat hatinya kebat kebit tak karuan.
“Aku gak akan marah, kok. Itu sudah kewajibanmu. Sekarang, kita tidur, yuk!!”
Fabian langsung menggandeng tangan Luna dan berjalan masuk ke dalam kamar. Tanpa disadari Fabian ada helaan napas lega baru saja keluar dari bibir Luna. Andai saja Fabian tahu yang sedang dia rasakan dan hadapi. Apa mungkin Fabian bisa memahaminya kali ini?
**<
“Fabian?!! Kamu memanggilku Fabian,” sentak Ivan.Luna terkejut, gegas membuka mata dan memutar tubuhnya. Mata indahnya sontak membola saat melihat sosok Ivan sedang berdiri di depannya.“I—ivan. Kok kamu??”Ivan mendengus kesal sambil menatap Luna penuh amarah.“Jadi kamu berpikir kalau yang sedang memeluk dan mencumbumu tadi Fabian, suamimu??”Luna tidak menjawab dan terlihat sibuk menelan saliva. Dari awal, Luna sudah tahu kalau parfum Fabian dan Ivan beraroma sama. Ia sendiri tidak tahu mengapa mereka mempunyai selera yang sama. Apa itu juga yang membuat mereka menyukai wanita yang sama?“Maaf ... aku ... aku tidak melihatmu, Van.”Ivan terlihat kesal. Padahal dia sudah senang saat melihat sikap Luna tadi. Namun, nyatanya kekasihnya itu sedang membayangkan suaminya.“Jadi benar kamu sudah jatuh cinta padanya?”Luna membisu, tidak menjawab. Ini hari ist
“Van, aku balik dulu. Fabian sudah di mobil,” pamit Luna.Ia langsung menghampiri Ivan untuk berpamitan usai mendapat pesan dari Fabian. Ivan hanya mengangguk dan membiarkan Luna berlalu pergi.Tergesa Luna berjalan menuju parkiran. Ia langsung masuk mobil dan terkejut saat melihat Fabian duduk diam sambil bersandar di bangku pengemudi. Matanya terpejam dan ia sudah memposisikan kursinya setengah berbaring kali ini.Luna langsung mengulurkan tangan ke kening Fabian. Fabian sontak terkejut dan membuka mata.“Badanmu demam. Kenapa tidak bilang dari tadi kalau kamu sakit?” ujar Luna.Fabian tidak menjawab, hanya tersenyum datar.“Lebih baik aku yang mengemudi. Kamu pindah duduknya!!” pinta Luna.Dengan ogah-ogahan, Fabian pindah duduk ke sebelah pengemudi. Sementara Luna kini yang membawa mobil mereka. Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan. Fabian hanya diam memejamkan mata. Sesekali Luna melirik
“Jadi akhirnya kamu minta aku menjemputmu, kan?” ucap Ivan.Pria tampan itu terlihat senang saat Luna menghubunginya tadi. Dia semakin senang saat Luna minta dijemput di rumah sakit sesaat usai diantar Fabian.“Apa Fabian mencurigaimu, Lun? Hingga kamu terpaksa berbohong kalau sedang piket hari ini?” Ivan kembali bersuara dan Luna terlihat kesal mendengarnya.“Enggak. Aku memang ada keperluan ke rumah sakit tadi.” Lagi-lagi Luna juga terpaksa berbohong ke Ivan. Ia tidak mau Ivan besar kepala dan menganggap Luna melakukan kebohongan hanya untuk bertemu dengannya.Ivan hanya manggut-manggut mendengarnya. “Oke. Kita jadi ke tujuan awal?” Ivan mengganti topik pembicaraan.“Iya. Aku sudah reservasi di sana.”Lagi-lagi Ivan mengiyakan pernyataan Luna dengan anggukkan kepala. Hampir dua puluh menit, akhirnya mereka tiba di kafe yang dimaksud. Selang beberapa saat mereka sudah duduk di sala
“Aku ... aku bisa menjelaskannya, Fabian,” ujar Luna.Suaranya terdengar bergetar. Fabian bisa melihat kalau istrinya terlihat gugup dan panik kali ini. Fabian mengangguk sambil tersenyum.“Ya, tentu. Aku sangat butuh penjelasanmu, Lun. Ayo, pulang!!”Fabian langsung menarik tangan Luna dengan keras dan mengajaknya keluar kafe. Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam. Sesekali Luna menarik napas panjang sambil melihat Fabian dengan sudut matanya. Sayangnya, Fabian terlihat acuh kali ini. Matanya terus fokus ke depan dan tak pernah sedikit pun menoleh ke Luna.Hati Luna berkecamuk hebat. Dia sudah membuat dua pria ini terluka. Namun, semua sudah terjadi. Mau tidak mau Luna harus bertanggung jawab dengan semua ulahnya.Pukul dua siang saat mereka berdua tiba di rumah. Fabian langsung membuka pintu mobil untuk Luna dan menarik tangannya dengan kasar. Baru kali ini Luna melihat perlakuan Fabian yang beda dari biasanya. Bisa ja
Luna membuka mata saat sinar mentari menerobos masuk kamarnya melalui celah tirai. Entah berapa lama ia tertidur. Yang pasti kemarin sore, untuk pertama kali Luna melakukan penyatuan dengan Fabian. Suami gantengnya itu sudah membawanya melayang ke langit ketujuh dan membuainya hingga tak berkesudahan.Luna mengulum senyum saat mengintip tubuh polosnya yang tersembunyi di balik selimut. Ada nyeri yang tersisa di sana, tapi banyak bahagia yang menyelimuti hatinya. Kini dia semakin yakin dengan keputusannya kalau hanya Fabian yang dia inginkan.“Kamu sudah bangun?” Tiba-tiba pintu kamar terbuka.Luna menoleh dan melihat Fabian masuk ke dalam kamar sambil membawa sebuah baki. Luna mengulum senyum saat melihat ada roti bakar, telur setengah matang, sepiring buah potong dan susu.“Kamu yang membuatnya?” Luna malah balas bertanya.Fabian tersenyum berjalan mendekat sambil meletakkan baki berisi sarapan pagi itu ke nakas. Selanjutny
“Pak, ini ada beberapa berkas yang perlu ditanda tangani,” ujar seorang wanita paruh baya.Ivan hanya mengangguk sambil melihat sekilas tumpukan berkas di mejanya. Wanita paruh baya itu adalah sekretaris Ivan. Saat ini Ivan sudah aktif kembali ngantor di tempatnya.“Iya, taruh situ saja, Bu. Habis ini saya periksa.” Ivan menjawab dengan lesu. Sesekali ia menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.Wanita paruh baya yang seumuran dengan Bu Ana itu hanya diam melihat Ivan dengan sendu.“Bapak sedang tidak enak badan? Apa perlu saya belikan obat atau apa?”Ivan tersenyum sambil menggelengkan kepala. Bu Hani adalah sekretaris ayahnya dan kini menjadi sekretarisnya. Sejak dulu Bu Hani memang sangat perhatian padanya, bahkan kadang memperlakukan Ivan seperti putranya sendiri.“Gak usah, Bu. Saya baik-baik saja hanya sedikit lelah.”Bu Hani manggut-manggut kemudian sudah pa
“Selamat ulang tahun, Tante,” ucap Ivan.Ia langsung berhambur memeluk Bu Ana dan mengecup pipi wanita paruh baya itu. Bu Ana tersenyum dan membalas perlakuan Ivan.“Terima kasih, Van.”“Oh ya, aku punya hadiah buat Tante.” Ivan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya kemudian menyodorkan ke Bu Ana.Bu Ana terdiam saat melihat sebuah kotak perhiasan terbuat dari bludru berwarna merah maron.“Van, Tante sama sekali tidak mengharapkan seperti ini. Dengan kehadiranmu di sini saja, Tante sudah senang.”Ivan tersenyum dan mengangguk. “Tante itu sudah seperti mamaku. Jadi semua yang kulakukan ini anggap saja sebagai ganti yang aku lakukan pada Mama jika beliau masih hidup.”Bu Ana terharu mendengar penuturan Ivan. Kembali wanita paruh baya itu memeluk Ivan dan mengecup pipinya dengan penuh kasih.“Terima kasih, Van. Tante doakan kamu segera mendapatkan jodoh. Semua ya
“Ugh ... .”Ivan langsung ambruk ke atas kasur begitu ia masuk kamar. Ia sudah mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Matanya terpejam sambil sibuk meliukkan badannya ke kanan kiri menahan sakit. Ivan tidak menduga kalau sakit yang dideritanya hampir tiga tahun ini akan menjadi seperti ini. Apalagi usai dia memutuskan menghentikan konsumsi obat-obatan.“SIALAN!!! Kenapa sakit sekali?” umpat Ivan di sela kesakitannya.Mata pria tampan itu sudah berair menahan sakit. Bukan hanya sakit fisik yang ia rasakan kali ini, tapi juga hatinya yang belum sembuh benar membuat semakin dalam lukanya. Perlahan Ivan bangkit duduk di tepi kasur sambil menyeka air mata.Namun, kenapa juga air matanya seakan tidak mempunyai tombol off. Kini Ivan benar-benar menangis. Ia menunduk dan membiarkan buliran bening di sudut matanya terus luruh. Banyak kesedihan yang ingin dia tumpahkan, tapi dia tidak punya siapa-siapa di sisinya. Semua yang dia cinta seakan menjauh pergi.
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me