“Fabian … ,” desis Luna.
Fabian mengulum senyum sambil menggelengkan kepala melihat ekspresi Luna.
“Kita sudah sampai. Aku sengaja ngebut karena tinggal beberapa meter saja tadi. Memangnya kamu pikir aku akan ngebut terus dan mencelakakan orang kesayanganku, begitu?”
Luna tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Ayo, buruan turun!! Katanya aku suruh nengokin si Kembar.”
Luna memelotot saat mendengar ucapan Fabian. Fabian langsung tersenyum melihat ekspresi Luna.
“Apa mau aku gendong sampai kamar?” Fabian kembali menambahkan kalimatnya.
“Enggak. Aku bisa jalan sendiri. Malu, Fabian.”
Luna buru-buru turun dari mobil. Wajahnya sudah bersemu merah akibat ucapan Fabian tadi. Beberapa hari ini dia memang tidak sempat menikmati kebersamaannya dengan Fabian. Mereka berdua disibukkan dengan kondisi Ivan saat itu. Jadi apa salahnya malam ini mereka nikmati dengan penuh kem
“IVAN!! BANGUN!! BANGUN, IVAN!!!” seru Nina.Namun, tubuh pria tampan itu tetap diam tak bergerak. Nina tidak putus asa. Dia memukul dada Ivan berulang kali, tapi sama sekali tidak ada perubahan. Nina menangis, tubuhnya merosot ke lantai. Bersamaan kedatangan suster dan dokter ke ruangan itu.Suster dan dokter tampak sibuk mencoba membantu Ivan. Sementara Nina hanya diam membisu menatap kosong ke arah Ivan. Dia menyesal tertidur lebih dulu semalam. Nina tidak menyadari kalau semalam adalah saat terakhir Ivan dengannya. Padahal ucapan Ivan dan tingkah lakunya seakan memberi isyarat padanya.Untaian air mata mengalir deras dari sudut mata Nina saat dokter dan para perawat di depannya menggeleng dengan lesu. Kemudian salah satu dari mereka menarik selimut Ivan menutup seluruh tubuhnya.Seketika tubuh Nina lemas bagai tak bertulang. Semua harapan hidupnya berangsur sirna hanya bayangan gelap yang memenuhi otak dan pandangannya. Kebahagiaan seakan
“Bagaimana kandungannya, Dok?” tanya Fabian.Hari ini Luna dan Fabian baru saja tiba di kota tempat tinggalnya. Sengaja Luna dan Fabian langsung memeriksakan kandungannya. Gara-gara sibuk mengurusi Ivan, mereka hampir melupakan kesehatan kandungan Luna.Dokter wanita paruh baya itu mengulum senyum sambil melihat Luna dan Fabian bergantian. Kalau tidak salah usia kandungan Luna sudah masuk trimester kedua.“Keduanya terlihat sehat dan berkembang sesuai usianya. Lalu sepertinya kalian akan mempunyai dua orang putri yang cantik.”Fabian dan Luna langsung terperangah kaget. Mereka tidak menduga akan mengetahui dengan cepat jenis kelamin buah hatinya.“Beneran, Dok?” tanya Fabian.Dokter wanita paruh baya itu tersenyum kemudian sudah menunjuk monitor.“Itu alat genitalnya!!”Fabian dan Luna langsung terdiam dan tertegun memperhatikan layar monitor.“Semoga saja selalu seha
“Dok, tolong istri saya!!!” seru Fabian.Ia berlari masuk ke IGD sambil menggendong Luna. Ada darah yang terus mengalir di kaki Luna. Dua orang suster langsung menyambut Fabian dan membantunya.“Pak Fabian, letakkan Dokter Luna di sini!!” suster tersebut mengenal Fabian dan juga Luna.Usai melihat istrinya terjatuh di kamar mandi, Fabian langsung bergegas menggendong Luna dan membawanya ke rumah sakit. Untung saja hari masih pagi sehingga Fabian tidak terjebak macet dan tiba di rumah sakit dengan cepat.Dokter Risna langsung menghampiri Luna dan memeriksanya. Luna hanya diam sambil terus meringis kesakitan.“Apa yang terjadi? Apa dia jatuh?” tanya Dokter Risna.Fabian mengangguk dengan lesu. “Iya, Dok. Dia terpeleset di kamar mandi.”Dokter Risna menghela napas panjang. “Masih kurang dua minggu HPL-nya. Namun, kalau melihat kondisinya seperti ini. Mau, tidak mau kita harus melakuka
“Apa maksudnya ini, Dok?” tanya Widuri.Ia ikut kaget sekaligus shock saat mendengar kabar mengenai Luna. Fabian hanya diam, menunduk dan tidak bisa berkata sepatah pun.“Memang kita tidak bisa menyelamatkan ketiganya, Dok?” ganti Emran yang bersuara.Wanita paruh baya yang mengenakan baju serba putih itu menarik napas panjang.“Yang saya sampaikan kali ini berdasarkan medis, Tuan, Nyonya. Semoga saja ada keajaiban yang menolong Luna dan kedua putrinya. Namun, untuk mempercepat pertolongan terhadap mereka. Saya butuh keputusan Tuan Fabian kali ini.”Kini Emran, Widuri dan Dokter Risna menoleh ke arah Fabian. Fabian membisu, jakunnya naik turun sambil menelan saliva. Kemudian perlahan bibirnya terbuka.“Selamatkan … selamatkan ibunya saja, Dok!!” pungkas Fabian.Semua yang ada di dalam ruangan itu hanya terdiam. Emran dan Widuri tahu, ini pasti keputusan sulit untuk Fabian. Mau tid
“Enggrr … .”Terdengar suara erangan Luna. Fabian yang tadinya duduk di sofa segera bangkit dan berjalan menghampiri Luna. Perlahan Luna membuka mata dan langsung tersenyum saat melihat Fabian sedang duduk di sebelahnya.“Fabian … ,” desis Luna.Fabian tersenyum, mendekatkan wajah dan mengecup lembut kening Luna.“Makasih, Babe. Kamu benar-benar memberi aku kado terindah. Terima kasih, Luna!!” Fabian mengatakannya dengan mata berkaca. Hampir seharian emosinya terkuras habis dan dia tidak bisa menutupinya sedikit pun.Luna tersenyum, menyentuh wajah Fabian dengan tangannya. Fabian langsung meraih tangan Luna dan mengecup berulang tangan Luna.“Mana putri kita? Aku boleh melihatnya?”Fabian mengangguk. “Tentu, nanti aku minta suster membawa ke sini.”Luna mengangguk sambil tersenyum. Tak lama dua orang suster datang sambil membawa dua putri kecil tersebut.
“Keadaan Ivan sudah berangsur membaik, Fabian, Luna,” ujar Bu Ana.Sontak Fabian dan Luna menghela napas lega. Bahkan Fabian sudah mengurut dadanya kali ini. Luna yang duduk di atas brankar hanya tersenyum mendengarnya.“Syukurlah, Ma. Aku senang mendengarnya. Itu artinya pengobatannya berhasil.”“Iya, Fabian. Sepertinya tepat keputusan Luna membawanya ke sana tempo hari.”Luna tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Lalu, apa Ivan dan Nina masih berada di sana atau akan pulang, Ma?” Kini Luna yang bertanya.“Kata mereka sih menunggu hasil pemeriksaan terakhir. Jika sudah tidak ada yang dikhawatirkan, Ivan bisa pulang.”Luna dan Fabian kembali tersenyum mendengar berita bahagia ini. Padahal sebelumnya, mereka juga hampir putus asa saat melihat keadaan Ivan terakhir kali. Apalagi Ivan sempat drop di hari penikahannya. Beruntung Tuhan memberi mukjizat untuk kesembuhan Ivan.
“Selamat ya atas kelahiran putrinya,” ucap Dandy dan Nilam.Setelah dua minggu berselang, Dandy dan Nilam menjenguk Luna di rumahnya kali ini. Mereka senang saat tahu jika Luna melahirkan putri kembar.“Mereka cantik banget kayak ibunya,” seru Nilam.Luna hanya tersenyum mendengarnya. Luna tahu jika Fabian pernah suka pada Nilam. Sayangnya, Nilam hanya menganggap Fabian teman saat itu.“Kamu harus ekstra makannya, Lun. Biar gak kelaparan terus, soalnya ada dua mulut yang minum asi,” imbuh Nilam.Nilam memang berpengalaman punya anak kembar. Bahkan kini Nilam dan Dandy sengaja berkunjung bersama putra putri kembarnya.“Iya, benar. Aku selalu kelaparan, Nilam.”Nilam tersenyum menganggukkan kepala kemudian sudah tampak memberi beberapa nasehat mengenai penanganan bayi kembar. Luna hanya menganggukkan kepala. Dia memang seorang dokter anak, tapi belajar dari pengalaman orang juga penting un
“Hai!! Kalian kumpul di sini semua,” sapa Ivan dengan senyum lebar.Fabian, Dandy langsung bangkit dan berjalan menghampiri. Mereka langsung berhambur memeluk Ivan bergantian. Ivan tertawa sambil membalas pelukan Fabian dan Dandy. Fabian memeluk Ivan dengan erat sambil mengelus kepalanya yang plontos.“Udah. Geli, Fabian.”Fabian tertawa dan mengurai pelukannya. Ia terdiam menatap Ivan dengan seksama. Cukup lama Fabian tidak bertemu dengan Ivan dan ini adalah momen temu kangen dengannya.“Kamu sudah lebih baik sekarang?” tanya Fabian.Ivan tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Seperti yang kamu lihat. Aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Hanya saja satu yang hilang dariku. Rambut indahku.”Ivan berkata sambil terkekeh. Luna dan Nilam yang berdiri tidak jauh dari Ivan ikut tersenyum melihatnya.“Eh, iya mana ponakanku? Aku penasaran, nih.”“Loh, Nina mana? Kok kamu sendirian?” Luna tidak menjawab pertanyaan Ivan malah bertanya tentang Nina.“Aku di sini, Lun,” sahut Nina.Luna menole
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me