“Selamat ya atas kelahiran putrinya,” ucap Dandy dan Nilam.
Setelah dua minggu berselang, Dandy dan Nilam menjenguk Luna di rumahnya kali ini. Mereka senang saat tahu jika Luna melahirkan putri kembar.
“Mereka cantik banget kayak ibunya,” seru Nilam.
Luna hanya tersenyum mendengarnya. Luna tahu jika Fabian pernah suka pada Nilam. Sayangnya, Nilam hanya menganggap Fabian teman saat itu.
“Kamu harus ekstra makannya, Lun. Biar gak kelaparan terus, soalnya ada dua mulut yang minum asi,” imbuh Nilam.
Nilam memang berpengalaman punya anak kembar. Bahkan kini Nilam dan Dandy sengaja berkunjung bersama putra putri kembarnya.
“Iya, benar. Aku selalu kelaparan, Nilam.”
Nilam tersenyum menganggukkan kepala kemudian sudah tampak memberi beberapa nasehat mengenai penanganan bayi kembar. Luna hanya menganggukkan kepala. Dia memang seorang dokter anak, tapi belajar dari pengalaman orang juga penting un
“Hai!! Kalian kumpul di sini semua,” sapa Ivan dengan senyum lebar.Fabian, Dandy langsung bangkit dan berjalan menghampiri. Mereka langsung berhambur memeluk Ivan bergantian. Ivan tertawa sambil membalas pelukan Fabian dan Dandy. Fabian memeluk Ivan dengan erat sambil mengelus kepalanya yang plontos.“Udah. Geli, Fabian.”Fabian tertawa dan mengurai pelukannya. Ia terdiam menatap Ivan dengan seksama. Cukup lama Fabian tidak bertemu dengan Ivan dan ini adalah momen temu kangen dengannya.“Kamu sudah lebih baik sekarang?” tanya Fabian.Ivan tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Seperti yang kamu lihat. Aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Hanya saja satu yang hilang dariku. Rambut indahku.”Ivan berkata sambil terkekeh. Luna dan Nilam yang berdiri tidak jauh dari Ivan ikut tersenyum melihatnya.“Eh, iya mana ponakanku? Aku penasaran, nih.”“Loh, Nina mana? Kok kamu sendirian?” Luna tidak menjawab pertanyaan Ivan malah bertanya tentang Nina.“Aku di sini, Lun,” sahut Nina.Luna menole
“Ada apa? Kamu kenapa, Emran?” tanya Dandy.Tak ayal Fabian dan Ivan sudah menatap Dandy dengan tatapan menyelidik. Apalagi ekspresi wajah Dandy terlihat tegang kali ini.“Ada salah satu anak buahku yang mengalami kecelakaan kerja dan sekarang sedang dievakuasi. Semoga saja dia tidak kenapa-napa. Hanya saja, banyak hal yang harus aku handle berhubungan dengan ini. Apa bisa kamu membantuku?”Dandy menghela napas dan terlihat lega. Tentu saja reaksi Dandy membuat Fabian dan Ivan ikut merasa tenang.“Oke, habis ini aku ke sana. Namun, sedikit lama. Aku sedang di rumah Fabian. Ada Ivan juga.”Emran di seberang sana terkejut mendengarnya. “Ivan!! Ivan ada di sana? Dia sudah sembuh?”Dandy mengangguk spontan, tapi tentu saja jawaban gestur tubuhnya tidak bisa dilihat Emran.“Iya. Kamu mau bicara dengannya?” tawar Dandy.“Iya, iya. Mana?”Dandy tersenyum da
Nina mengulum senyum sambil melirik Ivan yang terbaring di sebelahnya. Padahal beberapa saat tadi, mereka baru saja melakukan warming up. Sayangnya belum sampai selesai, Ivan sudah kelelahan dan ambruk duluan.Perlahan Nina mengurai pelukan Ivan dan tanpa suara dia bangkit dari kasur. Nina melirik jam di tangannya. Ia terlambat sepuluh menit untuk zoom meeting hari ini. Nina merapikan rambut dan wajahnya kemudian tampak bersiap duduk manis di depan laptop.Hampir dua jam, Nina melakukan zoom meeting. Banyak hal penting yang harus dibahas kali ini. Nina tidak menyadari jika Ivan sudah terjaga. Ia berdiri di depan pintu kamar sambil menatap Nina dengan sendu.“Kamu sudah bangun?” tanya Nina.Ia melihat Ivan dan Ivan hanya mengangguk, menjawab pertanyaan Nina. Kali ini Nina memang baru saja selesai. Ia mematikan laptop dan bersiap menghampiri Ivan.Ivan masih bergeming di tempatnya saat Nina berdiri tanpa jarak di depannya. Nina tersenyum
“Untunglah tidak ada korban pada kecelakaan kerja kemarin,” ujar Ivan.Pagi ini sengaja Emran bertemu dengan Ivan di apartemen Nina. Emran sudah bertolak pulang ke kotanya dan bertemu Ivan di sana.“Iya, sepertinya aku harus lebih sering melakukan sidak, supaya tidak terjadi kayak kemarin lagi.”Ivan terdiam menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Harusnya aku yang berada di sana. Kamu pasti cukup sibuk membagi waktu, Emran.”Emran tersenyum sambil menatap Ivan.“Kemarin kamu kan masih sakit, itu sebabnya aku yang menghandle semuanya. Meski Nina sedikit membantu, tapi dia tidak bisa terjun langsung ke lokasi.”Emran menjeda kalimatnya dan menatap Ivan tajam.“Sekarang karena kamu sudah kembali dan juga sudah pulih, rasanya aku tidak keberatan jika tugasku di sana tergantikan,” imbuh Emran.Ivan terkekeh mendengar ucapan Emran.“Iya, jan
“APA!! Kamu jangan bercanda, Sayang. Ini bukan April Mop dan bukan ulang tahunku,” ujar Emran.Ivan yang mendengarkan pembicaraan Emran dan Widuri di telepon tampak bingung. Ia terus mengamati gerak gerik Emran yang tampak gelisah kali ini.“Aku gak bercanda, Mas. Itu sebabnya aku meneleponmu. Dia kekeuh ingin bertemu denganmu bahkan mengajak kedua orang tuanya pula.”“WHAT!! Pasti ada yang gak beres, nih,” gumam Emran.Widuri menghela napas panjang.“Ya udah, buruan pulang. Buktikan kalau bukan kamu pelakunya.”Emran mengangguk sambil bergegas mengakhiri panggilannya. Ia sudah menyimpan ponsel dan bersiap pulang.“Ada apa? Widuri gak kenapa-napa, kan?” Ivan penasaran karena usai menerima telepon tadi Emran tampak tegang.“Gak, dia gak kenapa-napa. Hanya saja ada wanita bernama Nia yang datang ke rumah, mengaku hamil anakku.”Ivan langsung terperanga
“Dia maksudmu?” kata Emran balik bertanya.Sementara sosok pria yang baru masuk tadi tampak terkejut. Ia melihat ke Emran dengan ketakutan kemudian beralih menatap satu persatu orang yang hadir di ruangan tersebut.“Iya, dia Mas Emran, pacar saya sekaligus yang menghamili saya,” jawab Nia.Emran berdecak, menggelengkan kepala sambil berkacak pinggang menatap pria di depannya. Pria itu langsung menunduk dan bergeming di tempatnya.“Namanya bukan Emran, tapi Yudi. Dia ini karyawan saya, baru juga dua tahun bekerja ikut saya,” terang Emran.“Jadi … jadi kamu bohong, Mas,” seru Nia. Kali ini dia berkata sambil berjalan menuju Yudi.Hari ini Yudi memang diminta Reno datang ke rumah Emran untuk mengantar sebuah berkas. Sayangnya kedatangan Yudi kali ini malah menjadi jawaban akan masalah Nia.“I—iya, Nia. Saya … saya minta maaf. Nama saya sebenarnya Yudi, bukan Emran.
“Aku pikir kamu bercanda saat akan memberiku paket honeymoon, Fabian,” kata Ivan.Pagi ini Fabian sengaja datang ke apartemen Nina dan bertemu Ivan. Ia datang sambil membawa sebuah amplop berisi voucher perjalanan honeymoon untuk Ivan. Fabian tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Aku sudah janji, Van. Tentu saja akan aku tepati. Kamu bisa memakainya kapan saja, tapi kalau bisa kamu konfirmasi dulu ke nomor yang tertera di sana sebelum menggunakannya.”Fabian kembali bersuara menjelaskan ke Ivan. Ivan hanya manggut-manggut mendengarnya. Kali ini tinggal mereka berdua di apartemen. Nina sedang keluar menemui kliennya.“Aku juga sudah beritahu Emran tentang hal ini, jadi sepertinya dia tidak akan mengganggu masa honeymoon-mu.”Ivan tersenyum lagi dan entah mengapa dia tiba-tiba ingat kejadian saat Emran kemarin ke apartemennya. Ivan jadi sibuk membayangkan apa temannya itu sudah berhasil mengatasi masalahnya.
“HAH!!!” Nina dan Luna sudah berseru berbarengan.Kemudian mata keduanya mengarah ke lantai dan melihat ada cairan yang merembes turun dari bangku tempat Widuri duduk. Nina langsung bangkit.“Ayo!! Kita harus ke rumah sakit. Aku gak mau terjadi apa-apa pada si Kecil.”Luna mengangguk. Ia juga ikut bangkit dan membantu Widuri berjalan. Ketiganya sudah berjalan menuju mobil. Seorang karyawan Widuri tampak terkejut dan menghampiri mereka.“Bu, kenapa? Apa Ibu mau lahiran?” tanya wanita muda yang merupakan karyawan Widuri.“Iya, buruan telepon Pak Emran. Beritahu kami membawa istrinya ke rumah sakit!” Malah Nina yang menyahut.Karyawan Widuri itu gegas berlari masuk ke dalam. Sementara Nina bersama Widuri dan Luna langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit.“Kita ke Dokter Risna saja, Lun. Aku sudah biasa kontrol di sana,” pinta Widuri.Luna mengangguk kemudian meminta
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me