“Malam ini Mawar ada acara keluarga dan tidak pulang. Jadi aku tidur di sini,” ujar Emran.
Widuri terdiam tertegun menatap suami gantengnya ini. Kemudian perlahan dia menundukkan kepala menghindar dari tatapan tajam Emran. Bagaimanapun jantungnya terus berdebar hebat saat berinteraksi sedekat ini.
“Eng ... a—aku mau mandi dulu.”
Widuri menghilangkan ketegangan mereka dengan gegas berlari ke kamar mandi. Emran hanya mengangguk dan membiarkan Widuri berlalu pergi.
Di kamar mandi, Widuri tampak bengong hanya diam melihat pantulan wajahnya di depan cermin. Dia masih belum percaya dengan semua ucapan dan sikap Emran hari ini. Kenapa juga dia berubah secepat ini? Apa Emran sudah menyadari kesalahannya dan mau berbuat adil pada Widuri?
Widuri menarik napas panjang sambil membasuh wajahnya dengan air. Sepertinya banyak yang akan dia lakukan di kamar mandi kali ini. Biarlah Emran menunggu lebih lama. Widuri ingin menghilangkan ketegangannya lebih dulu. Ini kedua kali dia tidur satu kamar dengan Emran dan itu membuat dia sangat gugup.
Lima menit, sepuluh menit hingga akhirnya setengah jam baru Widuri keluar dari kamar mandi. Ia melihat Emran sudah naik ke atas kasur duduk bersandar di puncak ranjang sambil menjulurkan kakinya. Sesekali senyuman manis terukir di wajah tampannya. Sepertinya ada yang sangat menarik di ponselnya sehingga dia berperilaku seperti itu.
Widuri berjalan perlahan dan duduk dengan hati-hati di tepi kasur. Emran meliriknya kemudian tersenyum.
“Mandimu lama juga, lebih lama dari aku,” celetuknya kemudian.
Widuri tidak menjawab hanya mengangguk sambil tersenyum meringis.
“Kamu sudah makan? Kalau belum, biar aku pesankan makanan.” Kembali Emran bersuara memberi perhatian. Lagi-lagi ini hal yang sangat jarang ia dengar keluar dari bibir suaminya.
“Aku sudah makan tadi di luar.”
Emran hanya diam kemudian manggut-manggut. Ia menggeser tubuhnya dan menepuk kasur di sampingnya. Widuri melirik sekilas dengan sudut matanya.
“Kamu gak mau tidur?” pinta Emran.
Widuri menoleh kemudian mengangguk dengan canggung. Perlahan dia naik ke atas kasur, masuk ke dalam selimut dan duduk bersisian dengan Emran. Ada yang sedang berdebar hebat di dadanya dan Widuri berusaha menekan sedalam mungkin. Ia tidak ingin Emran tahu apa yang sedang dirasakannya kali ini.
Emran hanya diam sambil mengawasi Widuri. Entah mengapa Widuri semakin risih. Apa memang seperti ini yang dilakukan Emran dan Mawar di kamar. Duduk bersisian di kasur saling pandang satu sama lain dan membiarkan dadanya bertalu tak karuan. Indah dan Widuri tanpa sadar menikmatinya. Hanya saja, mengapa ada sesuatu yang mengganjal perasaannya kali ini.
Emran menggeser duduknya mendekat ke arah Widuri bahkan meletakkan satu tangannya ke punggung Widuri seakan hendak memeluknya. Sontak Widuri terjingkat dan menoleh ke arah Emran.
“Kenapa? Aku suamimu, apa tidak boleh memelukmu?” ujar Emran.
Widuri kembali membisu dan menganggukkan kepalanya dengan kaku. Kenapa juga dia tidak bisa seluwes Mawar saat berinteraksi dengan Emran. Suaranya juga tidak terdengar manja dan menggoda, malah lebih banyak membisu bagai patung. Apa ini juga yang membuat Emran lebih menyukai saat bersama Mawar?
“Kamu tidak melepas hijabmu?” Emran kembali bertanya.
Memang selama menikah, belum pernah sekalipun Emran melihat Widuri tanpa hijab. Wanita berparas manis itu tidak mau memperlihatkan wajah serta semua miliknya kepada Emran. Dia beranggapan Emran belum mencintainya seratus persen dan dia tidak mau sia-sia menunjukkan semuanya.
“Eng .. iya.” Widuri sudah bersiap membuka hijabnya, tapi tiba-tiba dia duduk tegak dan menurunkan kakinya dari kasur.
Emran melihatnya dengan bingung dan kening yang berkerut.
“Aku ke bawah dulu. Aku belum ambil minum.” Widuri gegas bangkit dan turun dari kasur lalu sudah berjalan cepat keluar kamar meninggalkan Emran.
Ia tidak peduli dengan tatapan aneh Emran. Yang pasti Widuri ingin mengatur detak jantungnya dulu. Dia benar-benar merasa sesak napas gara-gara interaksi intim ini.
“Akh ... gila. Aku kenapa, sih? Dia ‘kan suamiku. Kenapa juga harus setegang ini?” umpat Widuri kesal.
Berulang Widuri meneguk habis air putih di gelasnya. Ia sangat gugup dan tak tahu harus berbuat apa. Yang pasti sikap Emran hari ini benar-benar membuat hatinya tak karuan.
“Sudah. Aku harus kembali. Aku tidak mau membuatnya menunggu. Bukankah ini saat yang aku inginkan dari dulu.”
Lagi helaan napas berat keluar spontan dari bibir Widuri. Ia sudah berjalan berjingkat menuju lantai dua tempat kamarnya berada. Mungkin karena terbiasa berjalan mengendap-endap, jadi Widuri selalu melakukan hal itu dengan santai.
Dia berhenti sejenak di depan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Memang tadi Widuri tidak menutup kamarnya dengan rapat. Baru saja Widuri hendak masuk, tiba-tiba dia urung lakukan saat mendengar suara Emran.
“Hallo, Sayang. Kamu belum tidur?” Rupanya Emran sedang melakukan panggilan dengan Mawar. Widuri menghormati privasinya dan memilih tidak masuk ke dalam kamar. Inginnya dia kembali ke bawah dan pura-pura sibuk di sana. Namun, lagi-lagi kakinya terasa membeku di posisinya dan membuat Widuri mendengar kata yang seharusnya tidak dia dengar.
“Aku sudah melakukan apa yang kamu minta, Sayang. Aku sudah mengantar Widuri ke kantor tadi pagi dan malam ini aku juga sudah tidur di kamarnya. Aku menepati janjiku, bukan.” Suara Emran terdengar dengan jelas di telinga Widuri.
Wanita manis itu langsung terdiam dan memilih berdiri bersandar di samping pintu kamarnya yang terbuka. Ternyata pertanyaan Widuri tentang perubahan sikap Emran hari ini terjawab. Emran berubah karena permintaan Mawar, bukan karena keinginannya.
“Jadi kamu akan pulang besok, kan? Aku sudah tidak sabar ketemu kamu. Aku kangen, Sayang.”
Widuri masih bergeming di posisinya sambil memegang dada. Entah mengapa ada sakit yang tanpa diminta tiba-tiba datang dan menusuk di dalam sana. Helaan napas panjang pendek keluar bergantian dari bibirnya.
“Aku pengennya tidur sama kamu saja daripada sama Widuri. Lain kali jangan paksa aku lagi, ya. Pokoknya cukup hari ini saja aku melakukannya.” Kembali terdengar suara Emran dan kini semakin menyayat hati Widuri
Tanpa diminta buliran bening sudah luruh perlahan membasahi pipinya. Widuri pikir Emran akan berubah dan mau memperlakukannya dengan adil. Namun, nyatanya dia salah. Tidak pernah ada cinta di hati Emran untuknya. Lagi-lagi kehadirannya di sini hanya seperti duri di bunga mawar. Dia hanya penghalang bagi Emran dan Mawar untuk bersatu.
Widuri tidak tahu apa lagi yang dikatakan Emran di teleponnya. Yang pasti dia sudah berurai air mata di depan kamarnya. Hatinya terluka dan pria di dalam sana penyebabnya. Salah dia juga mengapa mencinta orang yang tidak mencintainya. Andai saja dia tidak pernah menerima perjodohan ini.
BRAK!!!
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, tampak Emran berdiri di depan pintu sambil menatap Widuri dengan tatapan dingin nan tajam. Sudah hilang tatapan yang ramah penuh perhatian. Widuri buru-buru menyeka air matanya. Ia tidak mau Emran tahu kalau dia baru saja menangis. Alih-alih bertanya tentang tangisan Widuri, Emran malah berkata yang menyakitkan hati.
“Jadi kamu sudah mendengar semuanya?”
“Jadi kamu sudah mendengar semuanya?” tanya Emran.Pelan Widuri menarik napas sambil menganggukkan kepala. Entah mengapa juga dia sangat jujur kali ini. Melihat reaksi Widuri, Emran hanya tersenyum miring sambil melipat tangannya di depan dada.“Syukurlah kalau kamu tahu. Apa yang aku lakukan hari ini karena permintaan Mawar. Dia memintaku berlaku adil padamu, meski sesungguhnya aku tidak ingin.”Widuri menarik napas panjang sambil mengangkat kepala dan melihat Emran penuh kebencian.“Aku juga tidak meminta. Jadi aku rasa kamu tidak perlu repot-repot melakukannya.”Emran berdecak sambil menggelengkan kepala.“Aku mau tidur, ngantuk. Kamu tidur di kamarmu sendiri saja!!” Widuri langsung nyelonong masuk kamar dan menutup pintu kamarnya dengan bunyi bedebam.Helaan napas panjang keluar dari mulut Emran, kemudian tak lama terdengar langkah kaki berlari turun ke lantai satu.“Har
“Mas, kamu mau ke mana?” tanya Mawar.Mawar terjaga saat mendengar suara gaduh di kamar. Ia melihat Emran sibuk membuka lemari dan kini tampak mengenakan jaket.“Aku keluar sebentar. Aku mau cari Widuri.”Seketika Mawar terkejut dan bangun dari tidurnya. Wanita cantik berambut panjang itu gegas menggelung rambutnya asal sambil bangkit menghampiri Emran.“Memangnya Widuri ke mana?” Mawar penasaran. Emran terdiam, menghentikan aktivitasnya dan melihat Mawar dengan sendu.“Dia gak ada di kamarnya, Mawar. Semua baju dan barang-barangnya tidak ada. Termasuk juga motor maticnya.”Mawar tercengang, bola matanya yang indah sudah menunjukkan keterkejutan. Ia melihat ke arah Emran dengan cemas, kemudian pelan bibirnya terbuka.“Apa ... apa gara-gara aku, Mas? Apa gara-gara aku Widuri pergi?”Emran berdecak dan menggelengkan kepala. Kemudian helaan napas panjang keluar dari bibir
“Ayo, kita pulang!!” ujar Emran.Widuri terbelalak kaget mendengar ucapan Emran. Setelah hampir satu minggu, suaminya tidak peduli dan tidak tahu tentang kepergiannya. Mengapa kini malah tiba-tiba datang dan mengajaknya pulang.“Ayo!!!” Emran sudah mengulurkan tangan dan menarik tangan Widuri begitu saja. Seketika Widuri kaget dan gegas menepis tangan Emran.Emran terkejut melihatnya bahkan alisnya kini berkerut menatap tajam ke arah Widuri.“Aku bawa motor. Aku bisa pulang sendiri,” jawab Widuri.“Oke, baik. Aku akan mengikuti dari belakang.” Emran malah bicara seperti itu dan sekali lagi membuat Widuri terkejut. Sejak kapan suaminya jadi peduli padanya. Apa jangan-jangan Mawar yang menyuruhnya lagi seperti tempo hari.“Gak usah. Aku bisa pulang sendiri. Kamu pulang duluan saja. Bukankah biasanya seperti itu.”Emran berdecak dan menggelengkan kepala, kemudian menatap tajam k
“Kaget aku bisa menemukanmu di sini?” ucap Emran dengan nada menggoda.Widuri terlihat terkejut sekaligus kesal. Ingin sekali dia mengusir Emran, tapi matanya sudah melihat ke arah ibu penjaga di bawah sana yang sedang mengawasinya. Emran pasti sudah mengaku sebagai suaminya sehingga ibu penjaga mengizinkannya masuk. Widuri tersenyum sekilas sambil menganggukkan kepala ke arah ibu penjaga, kemudian gegas menarik Emran masuk ke dalam kamar.“Ngapain sih kamu ke sini?” Widuri bertanya sambil memelankan suaranya.Emran menghela napas panjang sambil melihat Widuri dengan sudut matanya. “Dari tadi aku ‘kan ngajak kamu pulang. Apa salah aku mengikutimu ke sini?”Widuri berdecak langsung melengos dan memilih duduk di lantai kamarnya. Sementara Emran hanya diam sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Kamar kost ini berukuran empat kali empat dengan kamar mandi dalam. Di dalamnya tidak banyak perabot hanya sebuah ka
Sepanjang malam, Widuri tidak bisa tidur. Padahal matanya sangat mengantuk dan lelah. Ternyata hal yang sama juga terjadi pada Emran. Ia sudah mengurai pelukannya dan tidur telentang menatap langit-langit kamar.Widuri tahu kalau suaminya tidak bisa tidur, tapi dia pura-pura tidur saja. Widuri tidur miring membelakangi Emran. Dia sengaja tidak mau melihat suaminya. Dulu saat malam pertama, Widuri juga melakukan pose yang sama. Bahkan Emran tidak mau memeluk seperti tadi.“Ck ... panas banget.” Widuri mendengar decakan Emran. Suami gantengnya itu tampak terjaga dan kini duduk di atas kasur sambil celinggukan melihat ke sana ke mari.Widuri berusaha memejamkan mata dan berharap Emran tidak tahu kalau dia sedang pura-pura tidur kali ini. Tidak disangka, Emran malah melihat ke arahnya bahkan menepuk-nepuk bahu Widuri.“Astaga!!! Dia sudah tidur. Apa gak kepanasan? Udah gitu hijabnya gak dilepas lagi.” Emran sudah ngedumel dan telinga W
“Apa Mawar yang menyuruhmu melakukan semua ini?” tanya Widuri.Seketika terjadi perubahan di raut tampan Emran. Dia terlihat terkejut, tapi sebisa mungkin menutupinya. Sayangnya rasa amarah Widuri pada Emran membuat Widuri dengan jelas melihat ekspresinya.“Lebih baik kamu pulang, kembali ke Mawar dan tidak perlu mempedulikan aku lagi.” Widuri kembali bersuara.Emran yang berdiri di depannya terlihat tenang. Tidak seperti biasanya, suami Widuri itu hanya diam menatap Widuri.“Kamu masih istriku dan aku ke sini untuk menjemputmu pulang. Terlepas apa yang aku lakukan karena perintah Mawar, tapi kamu masih tanggung jawabku!!”Widuri tersenyum masam sambil menggelengkan kepala. “Sudah kubilang, aku gak mau pulang. Bahkan aku berencana bulan depan hendak menggugat cerai kamu. Aku lelah.”Mata pekat Emran langsung berkilatan dan kini menatap tajam ke arah Widuri. Widuri hanya diam. Ia sangat ketakuta
Widuri memarkir motor maticnya di garasi lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Hari ini dia terpaksa izin pulang cepat. Widuri juga sengaja mampir tempat kost untuk mengambil motor dulu tadi. Perlahan Widuri membuka pintu rumah dan terlihat sepi.Memang Emran tidak mempunyai asisten rumah tangga yang menetap. Dia lebih sering memanggil jasa pembersihan rumah setiap seminggu sekali. Mungkin karena rumah yang selalu ditinggal dalam keadaan kosong, membuat Emran memilih hal yang lebih aman.“Assalamualaikum ... .” Widuri memberi salam. Namun, tidak ada sahutan dari dalam rumah.Widuri berjalan masuk ke ruang tamu yang rapi lalu ke ruang tengah yang juga sama rapinya. Widuri melirik ke arah dapur kering dengan meja makan. Di sana juga sama rapinya dengan keadaan ruang tamu dan ruang tengah. Sepertinya Emran tidak melakukan aktivitas di ketiga ruang itu.Widuri meneruskan langkahnya dan berhenti di depan kamar tidur Emran yang juga merupakan kamar Ma
“Sini!! Temani aku tidur, Widuri,” ujar Emran dengan lembutnya.Widuri hanya diam, tertegun menatap Emran. Pria tampan itu kini tersenyum dengan mata tajamnya yang teduh sedang menatap Widuri. Apalagi ini? Kenapa juga suaminya kembali bersikap manis seperti kemarin malam? Bahkan mengajaknya tidur bersama.Widuri menghela napas panjang sambil melirik ke arah kasur di samping Emran. Bukankah itu tempat Mawar biasanya terlelap dan kini Emran memintanya untuk tidur di sana. Entah mengapa hati Widuri terasa sakit? Ia merasa seperti pemain cadangan yang bisa digunakan setiap pemain inti tidak berada di tempat.“Aku belum ngantuk. Kamu tidur dulu saja.” Akhirnya Widuri bisa menolak permintaan Emran dengan halus.Emran hanya diam sambil menggerakkan kepalanya. Terlihat sekali kalau ada kekecewaan di wajahnya, tapi Widuri tak peduli. Ia tidak mau tertipu dengan ekspresi memelas suaminya kali ini.“Aku ambilkan minum dulu!&rdquo
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me