“Jadi kamu sudah mendengar semuanya?” tanya Emran.
Pelan Widuri menarik napas sambil menganggukkan kepala. Entah mengapa juga dia sangat jujur kali ini. Melihat reaksi Widuri, Emran hanya tersenyum miring sambil melipat tangannya di depan dada.
“Syukurlah kalau kamu tahu. Apa yang aku lakukan hari ini karena permintaan Mawar. Dia memintaku berlaku adil padamu, meski sesungguhnya aku tidak ingin.”
Widuri menarik napas panjang sambil mengangkat kepala dan melihat Emran penuh kebencian.
“Aku juga tidak meminta. Jadi aku rasa kamu tidak perlu repot-repot melakukannya.”
Emran berdecak sambil menggelengkan kepala.
“Aku mau tidur, ngantuk. Kamu tidur di kamarmu sendiri saja!!” Widuri langsung nyelonong masuk kamar dan menutup pintu kamarnya dengan bunyi bedebam.
Helaan napas panjang keluar dari mulut Emran, kemudian tak lama terdengar langkah kaki berlari turun ke lantai satu.
“Harusnya aku tidak menerima perjodohan ini jika akhirnya begini. Aku hanya menjadi orang ketiga di hubungan mereka.”
Widuri langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur dan berurai air mata di sana. Ia tidak tahu berapa lama ia menangis yang pasti dia langsung tertidur setelah itu.
Keesokan paginya, Widuri tidak melihat Emran. Mobilnya juga sudah tidak ada di garasi. Widuri lebih lega seperti itu sehingga dia tidak perlu bingung bersikap saat bertemu dengannya. Widuri berangkat ke kantor mengendarai motor maticnya. Ia ingin melupakan kejadian kemarin.
Sore harinya saat pulang ke rumah, Widuri tidak mendapati mobil Emran. Bahkan sampai larut malam, mobilnya tidak datang. Kemudian tak lama ada pesan masuk datang dari Mawar yang mengatakan kalau mereka berdua pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Widuri tidak peduli dan tidak menjawab pesan Mawar. Bukankah hal seperti itu sering mereka lakukan berdua tanpa sepengetahuannya. Itu hal yang biasa. Mengapa juga Mawar kini mengirim pesan padanya? Apa dia ingin pamer kalau berhasil menguasai suami mereka sepenuhnya?
“Akh ... aku tidak mau seperti ini terus. Aku harus pergi dari sini. Mungkin lebih baik jika aku tidak ada di sini,” gumam Widuri.
Widuri ingat saat di kantor tadi ada rekan kerjanya yang membicarakan tempat kost dekat kantor. Rekan kerjanya itu dimutasi keluar kota sementara ia baru saja membayar uang kost selama satu tahun ke depan. Rekan kerjanya berencana mencari orang yang mau mengganti uang kost dan menempati tempat kostnya.
Dengan mantap, Widuri melakukan panggilan ke rekan kerjanya itu.
“Selvi, aku rasa aku tahu siapa yang berminat mengganti tempat kostmu. Apa bisa kalau mulai besok ditempati?” tanya Widuri begitu panggilan terhubung.
Dia tampak terdiam sambil tersenyum dan menganggukkan kepala. Sepertinya dia sudah menemukan jalan keluar untuk permasalahannya. Widuri tidak peduli dengan tanggapan kedua orang tua dan mertuanya. Mungkin sudah saatnya Emran berterus terang tentang pernikahan keduanya itu. Widuri tidak sanggup menutupinya lagi.
Esok harinya, Widuri membawa semua barang-barangnya meninggalkan rumah Emran. Dia bahkan meletakkan kunci pintu rumah di bawah keset. Dia tidak mau kembali ke sini. Dia ingin mengakhiri semuanya dan sendiri itu saja.
Lima hari berselang, Widuri sudah tinggal di tempat yang baru, yaitu kost dekat tempat kerjanya. Dia bahkan tidak memberi kabar berita ke Emran dan Mawar. Widuri sengaja mengganti nomor ponselnya. Anggap saja ini bukti sikap tegasnya atas perlakuan mereka selama ini. Memangnya hanya Emran yang bisa berkuasa, Widuri juga bisa melakukannya.
Sore itu, Emran dan Mawar tiba di rumah. Mereka tersenyum ceria, turun dari mobil sambil membawa masuk barang-barang. Selain ada urusan kerja di luar kota, Emran juga sengaja memanfaatkan waktunya untuk berbulan madu dengan Mawar. Setiap saat bersama istri keduanya itu selalu membuat Emran bahagia.
“Mas, Widuri belum pulang, ya? Aku kasih oleh-olehnya nanti saja, ya,” ujar Mawar.
Mereka sudah berada di dalam rumah dan membongkar barang bawaan.
“Iya. Palingan bentar lagi. Kalau kamu lelah, istirahat saja. Biar aku yang memberikannya nanti.”
Mawar mengangguk sambil tersenyum. Hampir lima hari mereka keluar kota, mungkin Emran juga merindukan istri pertamanya itu. Siapa tahu dia juga ingin menghabiskan waktu dengan Widuri.
“Ya udah, aku istirahat dulu ya, Mas.” Mawar sudah beranjak ke kamar dan dijawab dengan anggukan Emran.
Kali ini Emran sengaja menunggu kedatangan Widuri di ruang tengah sambil menonton tv. Jam masih menunjukkan pukul empat sore, masih satu jam lagi Widuri pulang. Bisa jadi dia sampai di rumah pukul enam. Biasanya Widuri tidak pernah makan di rumah dan selalu menghabiskan waktu makan malam di luar.
Karena lelah, Emran menunggu kedatangan Widuri sambil tiduran di sofa. Ternyata tak sengaja dia malah terlelap. Emran terbangun saat mendengar ponselnya berdering kencang. Emran melihat ada nama ibunya di layar ponsel.
“Ada apa, Bu?” tanya Emran dengan suara serak. Ia baru saja terjaga dari tidurnya.
[“Emran, apa Widuri baik-baik saja? Sudah lima hari ini ponselnya tidak aktif. Dia tidak sakit, kan?”]
Emran terkejut mendengar pertanyaan ibunya. Nyonya Sari, ibunya memang sangat menyayangi Widuri bahkan menganggap Widuri lebih dari sekedar anak mantu.
“Iya, dia baik-baik saja kok, Bu. Memang dia sedikit sibuk beberapa hari ini. Nanti deh aku kasih tahu suruh nelepon Ibu,” bohong Emran. Sesungguhnya dia juga tidak tahu apa yang sedang dialami Widuri kali ini. Dia juga tidak bertemu dengannya selama lima hari ini.
[“Gak usah. Gak usah disuruh telepon. Akhir pekan Bapak dan Ibu mau ke sana. Kamu libur, ‘kan?”]
Sontak Emran terjingkat kaget dan langsung duduk di sofa. Ia terlihat bingung, berulang meraup wajahnya degan kasar.
“Iya, aku libur, Bu. Widuri juga.”
[“Ya sudah. Sampai ketemu di sana saja.”] Emran hanya mengangguk dan belum sempat menjawab saat Nyonya Sari sudah mengakhiri panggilannya.
Emran menarik napas panjang sambil melihat jam di dinding. Sudah pukul setengah sepuluh malam
“Astaga!! Aku ketiduran. Pasti Widuri sudah datang.”
Emran segera bangkit, meraih paper bag berisi buah tangan yang sudah disiapkan Mawar kemudian berjalan menuju lantai dua ke kamar Widuri. Emran menghentikan langkahnya di depan kamar Widuri kemudian perlahan dia mengetuk pintu.
Sekali, dua kali tidak ada jawaban dari dalam kamar. Emran menarik napas panjang sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Masa sudah tidur, sih,” gumamnya.
Maunya Emran turun kembali ke lantai satu dan berniat memberi buah tangannya besok pagi saja. Namun, entah kenapa tangan Emran tiba-tiba menyentuh handle pintu dan membukanya. Emran mengerjapkan mata saat melihat keadaan kamar yang gelap dan terlihat sunyi tak berpenghuni.
“Widuri!! Kamu sudah tidur?” Emran melangkah masuk begitu saja. Bukankah ini juga kamar istrinya pasti tidak masalah jika dia masuk begitu saja.
Emran meraba saklar lampu di belakang pintu dan tak lama seluruh ruangan kamar terlihat jelas. Emran terperangah kaget saat melihat tidak ada Widuri di sana. Bahkan kamarnya terlihat rapi. Emran panik, lalu berjalan cepat menuju kamar mandi. Di sana tidak ada Widuri.
Matanya sudah beredar melihat meja rias yang kosong tanpa ada alat make up Widuri berjajar di sana. Kemudian dia melangkah menuju lemari dan kembali terperanjat saat melihat tidak ada satu pun baju istrinya di sana.
Setengah berlari, Emran turun ke lantai satu berjalan cepat keluar rumah memeriksa garasi. Wajahnya langsung gusar saat melihat tidak ada motor matic istrinya di sana. Tangan Emran sudah merogoh ponsel di kantong celananya dan langsung menghubungi nomor Widuri.
Namun, dia kembali kecewa saat tahu nomor ponsel Widuri tidak dapat dihubungi. Emran menarik napas panjang sambil mengacak rambutnya. Matanya masih beredar ke sana ke mari seakan mencari sosok Widuri di luar sana. Kemudian sebuah tanya lirih keluar dari bibirnya nan seksi.
“Kamu di mana, Widuri?”
“Mas, kamu mau ke mana?” tanya Mawar.Mawar terjaga saat mendengar suara gaduh di kamar. Ia melihat Emran sibuk membuka lemari dan kini tampak mengenakan jaket.“Aku keluar sebentar. Aku mau cari Widuri.”Seketika Mawar terkejut dan bangun dari tidurnya. Wanita cantik berambut panjang itu gegas menggelung rambutnya asal sambil bangkit menghampiri Emran.“Memangnya Widuri ke mana?” Mawar penasaran. Emran terdiam, menghentikan aktivitasnya dan melihat Mawar dengan sendu.“Dia gak ada di kamarnya, Mawar. Semua baju dan barang-barangnya tidak ada. Termasuk juga motor maticnya.”Mawar tercengang, bola matanya yang indah sudah menunjukkan keterkejutan. Ia melihat ke arah Emran dengan cemas, kemudian pelan bibirnya terbuka.“Apa ... apa gara-gara aku, Mas? Apa gara-gara aku Widuri pergi?”Emran berdecak dan menggelengkan kepala. Kemudian helaan napas panjang keluar dari bibir
“Ayo, kita pulang!!” ujar Emran.Widuri terbelalak kaget mendengar ucapan Emran. Setelah hampir satu minggu, suaminya tidak peduli dan tidak tahu tentang kepergiannya. Mengapa kini malah tiba-tiba datang dan mengajaknya pulang.“Ayo!!!” Emran sudah mengulurkan tangan dan menarik tangan Widuri begitu saja. Seketika Widuri kaget dan gegas menepis tangan Emran.Emran terkejut melihatnya bahkan alisnya kini berkerut menatap tajam ke arah Widuri.“Aku bawa motor. Aku bisa pulang sendiri,” jawab Widuri.“Oke, baik. Aku akan mengikuti dari belakang.” Emran malah bicara seperti itu dan sekali lagi membuat Widuri terkejut. Sejak kapan suaminya jadi peduli padanya. Apa jangan-jangan Mawar yang menyuruhnya lagi seperti tempo hari.“Gak usah. Aku bisa pulang sendiri. Kamu pulang duluan saja. Bukankah biasanya seperti itu.”Emran berdecak dan menggelengkan kepala, kemudian menatap tajam k
“Kaget aku bisa menemukanmu di sini?” ucap Emran dengan nada menggoda.Widuri terlihat terkejut sekaligus kesal. Ingin sekali dia mengusir Emran, tapi matanya sudah melihat ke arah ibu penjaga di bawah sana yang sedang mengawasinya. Emran pasti sudah mengaku sebagai suaminya sehingga ibu penjaga mengizinkannya masuk. Widuri tersenyum sekilas sambil menganggukkan kepala ke arah ibu penjaga, kemudian gegas menarik Emran masuk ke dalam kamar.“Ngapain sih kamu ke sini?” Widuri bertanya sambil memelankan suaranya.Emran menghela napas panjang sambil melihat Widuri dengan sudut matanya. “Dari tadi aku ‘kan ngajak kamu pulang. Apa salah aku mengikutimu ke sini?”Widuri berdecak langsung melengos dan memilih duduk di lantai kamarnya. Sementara Emran hanya diam sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kamar. Kamar kost ini berukuran empat kali empat dengan kamar mandi dalam. Di dalamnya tidak banyak perabot hanya sebuah ka
Sepanjang malam, Widuri tidak bisa tidur. Padahal matanya sangat mengantuk dan lelah. Ternyata hal yang sama juga terjadi pada Emran. Ia sudah mengurai pelukannya dan tidur telentang menatap langit-langit kamar.Widuri tahu kalau suaminya tidak bisa tidur, tapi dia pura-pura tidur saja. Widuri tidur miring membelakangi Emran. Dia sengaja tidak mau melihat suaminya. Dulu saat malam pertama, Widuri juga melakukan pose yang sama. Bahkan Emran tidak mau memeluk seperti tadi.“Ck ... panas banget.” Widuri mendengar decakan Emran. Suami gantengnya itu tampak terjaga dan kini duduk di atas kasur sambil celinggukan melihat ke sana ke mari.Widuri berusaha memejamkan mata dan berharap Emran tidak tahu kalau dia sedang pura-pura tidur kali ini. Tidak disangka, Emran malah melihat ke arahnya bahkan menepuk-nepuk bahu Widuri.“Astaga!!! Dia sudah tidur. Apa gak kepanasan? Udah gitu hijabnya gak dilepas lagi.” Emran sudah ngedumel dan telinga W
“Apa Mawar yang menyuruhmu melakukan semua ini?” tanya Widuri.Seketika terjadi perubahan di raut tampan Emran. Dia terlihat terkejut, tapi sebisa mungkin menutupinya. Sayangnya rasa amarah Widuri pada Emran membuat Widuri dengan jelas melihat ekspresinya.“Lebih baik kamu pulang, kembali ke Mawar dan tidak perlu mempedulikan aku lagi.” Widuri kembali bersuara.Emran yang berdiri di depannya terlihat tenang. Tidak seperti biasanya, suami Widuri itu hanya diam menatap Widuri.“Kamu masih istriku dan aku ke sini untuk menjemputmu pulang. Terlepas apa yang aku lakukan karena perintah Mawar, tapi kamu masih tanggung jawabku!!”Widuri tersenyum masam sambil menggelengkan kepala. “Sudah kubilang, aku gak mau pulang. Bahkan aku berencana bulan depan hendak menggugat cerai kamu. Aku lelah.”Mata pekat Emran langsung berkilatan dan kini menatap tajam ke arah Widuri. Widuri hanya diam. Ia sangat ketakuta
Widuri memarkir motor maticnya di garasi lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Hari ini dia terpaksa izin pulang cepat. Widuri juga sengaja mampir tempat kost untuk mengambil motor dulu tadi. Perlahan Widuri membuka pintu rumah dan terlihat sepi.Memang Emran tidak mempunyai asisten rumah tangga yang menetap. Dia lebih sering memanggil jasa pembersihan rumah setiap seminggu sekali. Mungkin karena rumah yang selalu ditinggal dalam keadaan kosong, membuat Emran memilih hal yang lebih aman.“Assalamualaikum ... .” Widuri memberi salam. Namun, tidak ada sahutan dari dalam rumah.Widuri berjalan masuk ke ruang tamu yang rapi lalu ke ruang tengah yang juga sama rapinya. Widuri melirik ke arah dapur kering dengan meja makan. Di sana juga sama rapinya dengan keadaan ruang tamu dan ruang tengah. Sepertinya Emran tidak melakukan aktivitas di ketiga ruang itu.Widuri meneruskan langkahnya dan berhenti di depan kamar tidur Emran yang juga merupakan kamar Ma
“Sini!! Temani aku tidur, Widuri,” ujar Emran dengan lembutnya.Widuri hanya diam, tertegun menatap Emran. Pria tampan itu kini tersenyum dengan mata tajamnya yang teduh sedang menatap Widuri. Apalagi ini? Kenapa juga suaminya kembali bersikap manis seperti kemarin malam? Bahkan mengajaknya tidur bersama.Widuri menghela napas panjang sambil melirik ke arah kasur di samping Emran. Bukankah itu tempat Mawar biasanya terlelap dan kini Emran memintanya untuk tidur di sana. Entah mengapa hati Widuri terasa sakit? Ia merasa seperti pemain cadangan yang bisa digunakan setiap pemain inti tidak berada di tempat.“Aku belum ngantuk. Kamu tidur dulu saja.” Akhirnya Widuri bisa menolak permintaan Emran dengan halus.Emran hanya diam sambil menggerakkan kepalanya. Terlihat sekali kalau ada kekecewaan di wajahnya, tapi Widuri tak peduli. Ia tidak mau tertipu dengan ekspresi memelas suaminya kali ini.“Aku ambilkan minum dulu!&rdquo
“Ayah, Ibu!! Kok gak bilang kalau mau datang,” ujar Emran.Ia gegas bangkit dan menghampiri kedua orang pria wanita berusia paruh baya itu. Emran langsung salim, memeluk dan mencium kedua orang tuanya. Hal yang sama juga dilakukan Widuri, tapi kali ini Widuri terlihat canggung. Ia tidak menyangka kalau mertuanya akan datang hari ini.“Apa kamu sibuk beberapa hari ini, Widuri? Ibu meneleponmu tapi tidak aktif terus,” ujar Nyonya Sari.Widuri hanya mengangguk sambil tersenyum. Widuri memang sengaja mengganti nomor teleponnya tempo hari dan dia lupa tidak memberi tahu mertuanya. Sepertinya kali ini Widuri terpaksa harus memakai nomor ponselnya yang lama kembali.“Kamu sehat, Widuri?” Kini ganti Tuan Sastro yang bertanya. Ayah mertua Widuri itu masih terlihat tampan di usia senjanya. Mungkin juga wajah Emran menurun dari ayahnya.“Iya, sehat, Yah.” Widuri menjawab dengan tersenyum.“Lalu baga
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me