“KAMU!!! NGAPAIN KAMU DI SINI?” sentak Dandy.
Seketika sekretaris Dandy terkejut dan menoleh ke arah Fabian yang berdiri di sampingnya. Fabian hanya diam sambil menatap Dandy dengan tajam. Fabian ingat kalau Dandy adalah pria sama yang ditemuinya di kafe bersama Nilam. Fabian berasumsi kalau Dandy adalah suami Nilam.
“Pak ... ini Pak Fabian, perwakilan dari PT Prima Duta.” Sekretaris Dandy menginterupsi amarah Dandy.
Dandy terdiam sesaat. Dia tampak mengolah napas yang tersenggal kemudian tanpa suara mengangkat tangannya ke udara. Seakan memberi isyarat agar sekretarisnya gegas keluar.
Fabian masih bergeming di tempatnya dan menatap Dandy dengan sudut mata yang tajam.
“Jadi kamu suaminya Nilam yang tega bermesraan dengan mantan kekasihmu di depan Nilam?”
Seketika Dandy memelotot mendengar ucapan Fabian. Memang Fabian mengatakannya dengan sangat lirih dan tanpa nada penekanan sedikit pun. Namun, entah menga
“Kenapa kamu dulu tidak mau menungguku, Nilam? Bukankah aku janji akan melamarmu usai masa dinasku selesai,” ujar Fabian. Seketika Nilam terkejut dengan ucapan Fabian. Berulang Nilam mengerjapkan mata kemudian dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Fabian. Nilam buru-buru menunduk dan tidak berani bersuara. Fabian hanya diam, menelisik Nilam dengan sudut matanya. Sejak dulu, Fabian memang menyukai Nilam. Hanya saja wanita di depannya ini selalu membatasi hubungan mereka. Nilam hanya menganggapnya sebagai kakak tidak lebih. Meskipun Fabian banyak melakukan hal di luar batas pertemanan dan persaudaraan, tapi Nilam tidak pernah melihatnya ke arah yang lain. Nilam telah jatuh cinta ke Dandy lebih dulu yang merupakan saudara sepupu jauhnya. Pertemuan acara keluarga yang digelar tiap satu tahun sekali saat itu membuat Nilam terpesona pada Dandy. Sayangnya saat itu Dandy tidak pernah melihat ke arahnya. Baru saat mereka dijodohkan saja, Dandy mau membuka hatinya untuk Nilam. “Aku .
“NILAM!!!” pekik Dandy. Ia sangat terkejut saat melihat istrinya sedang berdiri di depan pintu sedang menatapnya dengan amarah. Mata Nilam berkabut siap meluncurkan buliran bening dari matanya. Dandy masih terdiam di atas kasur, kemudian dia menoleh ke sebelah. Dandy sontak terperangah kaget saat mendapati Seline sedang berbaring di sampingnya. Seline hanya menatap Dandy dalam diam dan tak berani bersuara sedikit pun. “Seline? Kok kamu ---“ Dandy tidak meneruskan kalimatnya malah kini matanya melihat ke tubuh Seline yang sebagian sudah telanjang sembunyi di balik selimut. Dandy melirik ke dirinya. Dia sontak memejamkan mata saat mendapati kancing piyamanya sudah terbuka semua. “Jadi ini kelakuanmu selama aku gak ada. Bukan hanya di rumahnya saja kalian melakukannya, tapi juga di kamar kita, Mas?” Nilam kembali bersuara dengan gemetar. Dandy terdiam, jakunnya naik turun sambil sibuk menelan saliva. Dia sangat lelah tadi dan terlelap dengan cepat. Dandy terkejut saat seseorang meme
“DANDY!!! Apa yang kamu katakan?” seru Seline.Seline sangat terkejut dengan ucapan Dandy barusan. Ia tidak menduga Dandy akan setega itu bicara pada David yang merupakan putranya sendiri. Namun, Dandy seakan tidak mendengar dan berlalu masuk ke kamar begitu saja.Seline gegas menghampiri David dan membantunya berdiri. Seline memeriksa tubuh David untuk memastikan tidak ada yang terluka di tubuh putranya.“Mom ... Dad kenapa? Apa kita melakukan kesalahan? Kenapa dia membenciku, Mom?”David bertanya dengan lirih. Bahkan Seline melihat mata putranya sudah berkaca-kaca. Seline tersenyum dan menggelengkan kepala kemudian membelai kepala David dengan lembut.“Dad sedang ada masalah, Sayang. Nanti kalau masalahnya sudah beres pasti Dad akan seperti dulu lagi. Sekarang kita pulang, ya!!!”David mengangguk kemudian sudah menurut saat Seline mengajaknya pulang. Mungkin yang paling bersalah saat ini adalah Seline. A
“Kamu yakin dengan keputusanmu, Nilam?” tanya Pak Rudi. Sudah hampir dua minggu, Nilam berada di rumah orang tuanya. Dia sudah mengurus perceraiannya dengan Dandy. Bahkan Nilam yakin surat gugatannya sudah sampai di tangan Dandy, Nilam yang duduk menyendiri di depan jendela kamar hanya diam sambil berulang menganggukkan kepala. Keputusannya sudah bulat untuk bercerai. Sudah dua kali dia melihat suaminya melakukan interaksi intim dengan mantan kekasihnya. Apa itu kurang cukup bukti kalau di antara mereka masih ada kisah yang belum selesai? Helaan napas panjang keluar dengan perlahan dari bibir mungil Nilam. Sebenarnya Nilam tidak mau ini terjadi. Dia ingin menikah sekali seumur hidup, tapi semua yang dilakukan Dandy benar-benar melukai hatinya. “Ayah tidak akan memintamu mengubah keputusan, Nilam. Hanya saja perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci Tuhan. Apa kamu tidak mau membicarakannya dengan Dandy? Ayah yakin dia punya alasan yang belum dikatakan padamu.” Nilam me
“Tumben kamu pulang sekarang? Bukankah sidang perceraianmu minggu depan, Dandy?” tanya Bu Ami.Akhir pekan itu Dandy pulang ke rumahnya dan langsung disambut oleh pertanyaan dari ibunya. Dandy hanya tersenyum sambil melihat ke arah ibunya. Mungkin yang paling gembira dengan perceraiannya kali ini adalah Bu Ami. Namun, sepertinya Dandy tidak menghiraukannya.“Memangnya aku gak boleh pulang kapan saja, Bu?” Dandy malah balik bertanya.Bu Ami tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Siapa bilang Ibu melarangmu pulang? Ibu malah senang. Kalau begitu Ibu akan menyiapkan makanan kesukaanmu kali ini.”Bu Ami sudah bangkit dari duduknya dan bersiap masuk ke dalam rumah.“Gak usah repot-repot, Bu. Aku mau pergi ke rumah Emran sekalian menjenguk Widuri yang baru saja melahirkan.”Bu Ami sontak mengerutkan keningnya melihat ke arah Dandy. “Beneran kamu mau ke rumah Emran dan menjenguk Widuri?
“Dijemput? Dijemput siapa?” tanya Dandy.Nilam tidak menjawab. Ia sudah melengos dan langsung berlalu pergi meninggalkan rumah Emran. Dandy tidak mau kehilangan Nilam, ia gegas berlari keluar mengejar Nilam. Ada sebuah mobil sedan warna hitam metalik sudah berhenti di depan rumah Emran.Nilam dengan tergesa masuk ke dalam mobil itu. Sementara Dandy hanya berdiri diam di depan pagar sambil mengamati kepergian Nilam. Secara bersamaan kaca jendela mobil itu terbuka. Dandy bisa melihat seorang pria bermata sipit dengan kulit putihnya sedang tersenyum sambil melambaikan tangan penuh kemenangan ke arah Dandy.“SIALAN!!! Bajingan itu yang menjemputnya,” geram Dandy.Mobil berisi Nilam dan Fabian sudah berlalu pergi meninggalkan rumah Emran. Tinggal Dandy yang berdiri diam di depan pagar.“Ada apa? Kalian bertengkar lagi?” Sebuah tepukan hinggap di bahu Dandy. Dandy menoleh dan melihat Emran sudah berdiri di sampingnya.
“Lepasin, Mas!!!” ronta Nilam.Dia tidak mau Dandy terus memeluk dan menyentuhnya. Nilam masih menyimpan amarah dan kebencian. Bahkan dia masih ingat bagaimana Dandy menyentuh Seline saat itu. Semua seakan terus bermain di ingatan Nilam dan dia tidak bisa menghilangkannya sedikit pun.Namun, penolakan Nilam bagi Dandy seperti tantangan untuknya. Dandy langsung memutar tubuh Nilam hingga berhadapan dengannya. Saat ini mereka berada di area dapur kering dekat dengan ruang makan dan Dandy sudah mendorong tubuh Nilam hingga tersudut ke dinding ruang makan.Dandy berdiri sangat dekat di depan Nilam. Bahkan dadanya sudah menempel dada busung Nilam yang naik turun sibuk mengolah udara. Dandy melirik sekilas tubuh molek istrinya. Bagaimanapun mereka masih suami istri yang sah, wajar jika Dandy mencumbu istrinya kali ini.“Kamu mau apa?” cicit Nilam.Dandy diam, hanya jakunnya yang naik turun menelan saliva. Kemudian tanpa berkata ap
“Dandy!!! Kamu sudah datang? Ibu baru saja mau meneleponmu,” sahut Bu Ami.Dandy melihat ke arah dalam rumah. Ia melihat Bu Ami keluar dari dalam rumah dengan wajah ceria menyambutnya. Di sebelah Bu Ami terlihat Pak Ridwan jalan mengiringi. Berbanding terbalik dengan Bu Ami, wajah Pak Ridwan terlihat masam. Bahkan Dandy tidak melihat sebuah senyuman di wajah ramah ayahnya.“Seline dan David baru saja datang. Ibu kemarin yang meneleponnya dan meminta dia ke sini.” Bu Ami sudah menjelaskan mengenai keberadaan Seline dan David di rumahnya.Dandy hanya diam dan sudah bersiap masuk ke kamarnya. Ia selalu bingung dengan jalan pikiran ibunya. Padahal dia dan Nilam belum resmi bercerai bahkan Dandy sudah memutuskan untuk membatalkan perceraiannya. Namun, mengapa ibunya malah membawa Seline ke rumah?“Kamu mau ke mana? Temui Seline dan David dulu!!” seru Bu Ami.Wanita paruh baya itu bersuara saat melihat putranya nyelono
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me