“Tumben kamu pulang sekarang? Bukankah sidang perceraianmu minggu depan, Dandy?” tanya Bu Ami.
Akhir pekan itu Dandy pulang ke rumahnya dan langsung disambut oleh pertanyaan dari ibunya. Dandy hanya tersenyum sambil melihat ke arah ibunya. Mungkin yang paling gembira dengan perceraiannya kali ini adalah Bu Ami. Namun, sepertinya Dandy tidak menghiraukannya.
“Memangnya aku gak boleh pulang kapan saja, Bu?” Dandy malah balik bertanya.
Bu Ami tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Siapa bilang Ibu melarangmu pulang? Ibu malah senang. Kalau begitu Ibu akan menyiapkan makanan kesukaanmu kali ini.”
Bu Ami sudah bangkit dari duduknya dan bersiap masuk ke dalam rumah.
“Gak usah repot-repot, Bu. Aku mau pergi ke rumah Emran sekalian menjenguk Widuri yang baru saja melahirkan.”
Bu Ami sontak mengerutkan keningnya melihat ke arah Dandy. “Beneran kamu mau ke rumah Emran dan menjenguk Widuri?
“Dijemput? Dijemput siapa?” tanya Dandy.Nilam tidak menjawab. Ia sudah melengos dan langsung berlalu pergi meninggalkan rumah Emran. Dandy tidak mau kehilangan Nilam, ia gegas berlari keluar mengejar Nilam. Ada sebuah mobil sedan warna hitam metalik sudah berhenti di depan rumah Emran.Nilam dengan tergesa masuk ke dalam mobil itu. Sementara Dandy hanya berdiri diam di depan pagar sambil mengamati kepergian Nilam. Secara bersamaan kaca jendela mobil itu terbuka. Dandy bisa melihat seorang pria bermata sipit dengan kulit putihnya sedang tersenyum sambil melambaikan tangan penuh kemenangan ke arah Dandy.“SIALAN!!! Bajingan itu yang menjemputnya,” geram Dandy.Mobil berisi Nilam dan Fabian sudah berlalu pergi meninggalkan rumah Emran. Tinggal Dandy yang berdiri diam di depan pagar.“Ada apa? Kalian bertengkar lagi?” Sebuah tepukan hinggap di bahu Dandy. Dandy menoleh dan melihat Emran sudah berdiri di sampingnya.
“Lepasin, Mas!!!” ronta Nilam.Dia tidak mau Dandy terus memeluk dan menyentuhnya. Nilam masih menyimpan amarah dan kebencian. Bahkan dia masih ingat bagaimana Dandy menyentuh Seline saat itu. Semua seakan terus bermain di ingatan Nilam dan dia tidak bisa menghilangkannya sedikit pun.Namun, penolakan Nilam bagi Dandy seperti tantangan untuknya. Dandy langsung memutar tubuh Nilam hingga berhadapan dengannya. Saat ini mereka berada di area dapur kering dekat dengan ruang makan dan Dandy sudah mendorong tubuh Nilam hingga tersudut ke dinding ruang makan.Dandy berdiri sangat dekat di depan Nilam. Bahkan dadanya sudah menempel dada busung Nilam yang naik turun sibuk mengolah udara. Dandy melirik sekilas tubuh molek istrinya. Bagaimanapun mereka masih suami istri yang sah, wajar jika Dandy mencumbu istrinya kali ini.“Kamu mau apa?” cicit Nilam.Dandy diam, hanya jakunnya yang naik turun menelan saliva. Kemudian tanpa berkata ap
“Dandy!!! Kamu sudah datang? Ibu baru saja mau meneleponmu,” sahut Bu Ami.Dandy melihat ke arah dalam rumah. Ia melihat Bu Ami keluar dari dalam rumah dengan wajah ceria menyambutnya. Di sebelah Bu Ami terlihat Pak Ridwan jalan mengiringi. Berbanding terbalik dengan Bu Ami, wajah Pak Ridwan terlihat masam. Bahkan Dandy tidak melihat sebuah senyuman di wajah ramah ayahnya.“Seline dan David baru saja datang. Ibu kemarin yang meneleponnya dan meminta dia ke sini.” Bu Ami sudah menjelaskan mengenai keberadaan Seline dan David di rumahnya.Dandy hanya diam dan sudah bersiap masuk ke kamarnya. Ia selalu bingung dengan jalan pikiran ibunya. Padahal dia dan Nilam belum resmi bercerai bahkan Dandy sudah memutuskan untuk membatalkan perceraiannya. Namun, mengapa ibunya malah membawa Seline ke rumah?“Kamu mau ke mana? Temui Seline dan David dulu!!” seru Bu Ami.Wanita paruh baya itu bersuara saat melihat putranya nyelono
“Apa maksud Ibu? Mengapa Ibu mengatakan seperti itu?” seru Dandy.Dia sudah menahan amarahnya sepanjang acara arisan keluarga tadi. Baru tiba di rumah, Dandy langsung marah ke Bu Ami. Kali ini Seline dan David sedang berada di kamar tamu sehingga tidak mendengar perselisihan ibu dengan anak ini.“Memangnya kenapa? Semua yang Ibu katakan benar, kan? Kamu mau cerai dengan Nilam. Lalu setelah itu menikah dengan Seline. Apa kamu mau membuat status David tidak jelas?”Dandy menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Dia meraup wajahnya dengan kasar dan terlihat kesal dengan sikap ibunya.“Bu ... aku masih mencintai Nilam. Asal Ibu tahu kemarin aku ke rumahnya untuk memperbaiki keadaan. Bahkan dia sudah sepakat untuk membatalkan gugatannya, tapi setelah apa yang dikatakan Ibu tadi. Rasanya dia akan meneruskan semuanya.”Mendengar penjelasan Dandy, Bu Ami malah tersenyum menyeringai. Mata Dandy menangkapnya pen
“Pagi, apa benar rumah sakit ini menyediakan layanan tes DNA?” tanya Dandy.Pagi itu sebelum berangkat kerja, Dandy menyempatkan diri mampir ke rumah sakit. Semalam dia sudah mengambil sample rambut David dan Dandy sudah bertekad ingin tahu lebih banyak tentang David. Dia ingin memastikan apa benar David putra kandungnya atau bukan.“Iya, benar, Pak. Kami memang menyediakan layanan tersebut. Untuk melakukannya Bapak bisa langsung ke bagian lab yang berada di sisi kanan gedung ini,” jawab gadis resepsionis.Dandy menganggukkan kepala berulang.“Apa saya harus melakukan reservasi dulu atau bagaimana?”Gadis resepsionis itu tersenyum. “Tidak perlu, Pak. Bapak langsung ke sana dan katakan saja hendak melakukan tes apa. Setelah itu kembali ke kasir untuk melakukan pembayaran. Biasanya untuk tes DNA hasilnya membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua minggu.”Kembali gadis front office itu menjelaskan
“Kamu yakin akan meneruskan semua ini, Nilam?” tanya Pak Rudi.Sudah seminggu berselang sejak kedatangan Dandy tempo hari dan hari ini adalah sidang perdana perceraian Nilam dengan Dandy. Pak Rudi terkejut saat putrinya bertekad meneruskan perceraiannya. Padahal Pak Rudi tahu saat Dandy datang ke rumah tempo hari. Nilam dan Dandy bahkan menjelaskan kalau akan membatalkan perceraian mereka. Namun, mengapa Nilam sudah berubah pikiran lagi?Nilam hanya diam menundukkan kepala sambil mengangguk. “Iya, Yah. Rasanya salah saat aku menerimanya tempo hari.”Hanya helaan napas panjang yang keluar dari bibir pria paruh baya itu.“Nilam, kalian masih satu tahun membina rumah tangga. Itu waktu yang pendek untuk mengenal satu sama lain. Apalagi Ayah lihat Dandy masih sayang dan mencintaimu. Kenapa kamu masih bertekad meneruskan perceraian ini?”Nilam membisu hanya dadanya yang naik turun menghela napas panjang. Nilam memang t
“DANDY!! APA YANG KAMU LAKUKAN?” seru Fabian marah.Dandy mendongak melihat ke arah Fabian dan Mbak Bulan. Pria bermata sipit itu menatap Dandy dengan tatapan menghujam tajam seperti pisau yang siap menikamnya. Hanya Mbak Bulan yang melihatnya dengan datar.“Minggir!!! Kamu pasti telah menyakiti Nilam lagi.”Fabian mendekat dan hendak menarik tubuh Nilam ke pelukannya. Dandy memelotot ke arah Fabian. Wajahnya merah padam, rahangnya menegang bahkan giginya saling beradu menghasilkan bunyi yang nyaring.“Dia masih istriku!! Apa pedulimu? JANGAN SENTUH DIA!!!”Dandy malah menyikut Fabian hingga pria bermata sipit itu jatuh tersungkur. Pengacara Dandy datang dan melihat keriuhan di sisi lain toilet.“Mas, ada apa?” tanya pengacara Dandy.“Istri saya pingsan. Batalkan saja persidangannya, saya harus membawanya ke rumah sakit!!!” pinta Dandy.Mbak Bulan yang ada di sana juga
“Hamil? Istri saya hamil, Dok?” tanya Dandy.Dandy tidak percaya dengan keterangan yang baru saja diberikan dokter di depannya. Dandy masih ingat kalau tempo hari Nilam divonis kesulitan hamil usai kecelakaan. Rahimnya masih mengalami trauma. Namun, sekali lagi ada yang maha berkuasa di atas segalanya.Dokter wanita nan cantik itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Serta merta Dandy langsung meraup wajahnya sambil berurai air mata. Tanpa malu, dia sudah menangis sesenggukan. Dokter wanita yang duduk di depannya hanya tersenyum dan mengulurkan tisu untuk Dandy.“Sepertinya istri Anda juga tidak tahu kalau sedang hamil, Tuan. Usia kandungannya sudah menginjak tujuh minggu,” imbuh dokter tersebut.Dandy terdiam sesaat. Itu artinya sudah hampir dua bulan Nilam mengandung. Pasti saat mereka bertengkar hebat kala itu dan Nilam pergi dari rumah, dia sudah mulai hamil. Hanya saja Nilam tidak mengetahuinya.“Lalu apa kondis
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me