“Pagi, apa benar rumah sakit ini menyediakan layanan tes DNA?” tanya Dandy.
Pagi itu sebelum berangkat kerja, Dandy menyempatkan diri mampir ke rumah sakit. Semalam dia sudah mengambil sample rambut David dan Dandy sudah bertekad ingin tahu lebih banyak tentang David. Dia ingin memastikan apa benar David putra kandungnya atau bukan.
“Iya, benar, Pak. Kami memang menyediakan layanan tersebut. Untuk melakukannya Bapak bisa langsung ke bagian lab yang berada di sisi kanan gedung ini,” jawab gadis resepsionis.
Dandy menganggukkan kepala berulang.
“Apa saya harus melakukan reservasi dulu atau bagaimana?”
Gadis resepsionis itu tersenyum. “Tidak perlu, Pak. Bapak langsung ke sana dan katakan saja hendak melakukan tes apa. Setelah itu kembali ke kasir untuk melakukan pembayaran. Biasanya untuk tes DNA hasilnya membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua minggu.”
Kembali gadis front office itu menjelaskan
“Kamu yakin akan meneruskan semua ini, Nilam?” tanya Pak Rudi.Sudah seminggu berselang sejak kedatangan Dandy tempo hari dan hari ini adalah sidang perdana perceraian Nilam dengan Dandy. Pak Rudi terkejut saat putrinya bertekad meneruskan perceraiannya. Padahal Pak Rudi tahu saat Dandy datang ke rumah tempo hari. Nilam dan Dandy bahkan menjelaskan kalau akan membatalkan perceraian mereka. Namun, mengapa Nilam sudah berubah pikiran lagi?Nilam hanya diam menundukkan kepala sambil mengangguk. “Iya, Yah. Rasanya salah saat aku menerimanya tempo hari.”Hanya helaan napas panjang yang keluar dari bibir pria paruh baya itu.“Nilam, kalian masih satu tahun membina rumah tangga. Itu waktu yang pendek untuk mengenal satu sama lain. Apalagi Ayah lihat Dandy masih sayang dan mencintaimu. Kenapa kamu masih bertekad meneruskan perceraian ini?”Nilam membisu hanya dadanya yang naik turun menghela napas panjang. Nilam memang t
“DANDY!! APA YANG KAMU LAKUKAN?” seru Fabian marah.Dandy mendongak melihat ke arah Fabian dan Mbak Bulan. Pria bermata sipit itu menatap Dandy dengan tatapan menghujam tajam seperti pisau yang siap menikamnya. Hanya Mbak Bulan yang melihatnya dengan datar.“Minggir!!! Kamu pasti telah menyakiti Nilam lagi.”Fabian mendekat dan hendak menarik tubuh Nilam ke pelukannya. Dandy memelotot ke arah Fabian. Wajahnya merah padam, rahangnya menegang bahkan giginya saling beradu menghasilkan bunyi yang nyaring.“Dia masih istriku!! Apa pedulimu? JANGAN SENTUH DIA!!!”Dandy malah menyikut Fabian hingga pria bermata sipit itu jatuh tersungkur. Pengacara Dandy datang dan melihat keriuhan di sisi lain toilet.“Mas, ada apa?” tanya pengacara Dandy.“Istri saya pingsan. Batalkan saja persidangannya, saya harus membawanya ke rumah sakit!!!” pinta Dandy.Mbak Bulan yang ada di sana juga
“Hamil? Istri saya hamil, Dok?” tanya Dandy.Dandy tidak percaya dengan keterangan yang baru saja diberikan dokter di depannya. Dandy masih ingat kalau tempo hari Nilam divonis kesulitan hamil usai kecelakaan. Rahimnya masih mengalami trauma. Namun, sekali lagi ada yang maha berkuasa di atas segalanya.Dokter wanita nan cantik itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Serta merta Dandy langsung meraup wajahnya sambil berurai air mata. Tanpa malu, dia sudah menangis sesenggukan. Dokter wanita yang duduk di depannya hanya tersenyum dan mengulurkan tisu untuk Dandy.“Sepertinya istri Anda juga tidak tahu kalau sedang hamil, Tuan. Usia kandungannya sudah menginjak tujuh minggu,” imbuh dokter tersebut.Dandy terdiam sesaat. Itu artinya sudah hampir dua bulan Nilam mengandung. Pasti saat mereka bertengkar hebat kala itu dan Nilam pergi dari rumah, dia sudah mulai hamil. Hanya saja Nilam tidak mengetahuinya.“Lalu apa kondis
“Apa??? Nilam hamil?” seru Bu Ami.Wanita paruh baya itu tampak terkejut usai mendengar penjelasan Pak Ridwan. Pak Ridwan tersenyum semringah. Wajahnya yang ramah terlihat semakin bersahabat kali ini. Berbanding terbalik dengan Bu Ami. Mata Bu Ami terperangah dengan mulut yang terbuka, seakan apa yang baru saja dikatakan Pak Ridwan adalah hal yang tidak mungkin terjadi.“Memang benar itu anaknya Dandy, Pak?” Bu Ami malah bertanya seperti itu.Seketika Pak Ridwan terbelalak kaget mendengar ucapan istrinya. Mata pria paruh baya itu sudah membola melihat ke arah Bu Ami dengan amarah.“Kamu apa-apaan, Bu!!! Kenapa juga ngomong seperti itu? Memangnya anak siapa lagi kalau bukan anak Dandy.”Bu Ami terdiam membisu. Wanita itu terlihat serba salah dan kini memilih duduk di samping Pak Ridwan.“Ya ... siapa tahu saat pergi dari rumah Dandy, Nilam selingkuh sama pria lain. Makanya langsung hamil.”
“Syukurlah kalau kalian akhirnya membatalkan perceraiannya,” ucap Widuri.Begitu tahu Nilam masuk rumah sakit, Widuri dan Emran yang kebetulan masih berada di kampung halaman mereka menjenguk Nilam pagi ini. Dandy sengaja mengajukan cuti beberapa hari untuk menjaga Nilam dan ikut menemani Nilam kali ini.“Sepertinya Tuhan tidak ingin kami berpisah dan sekarang malah memberi kami hadiah, Widuri.” Dandy berkata sambil mengelus lembut perut Nilam.Widuri tersenyum sambil berulang menganggukkan kepala.“Aku doakan bayi dan ibunya selalu sehat sampai hari persalinan.”“Makasih, Mbak.” Akhirnya Nilam bersuara setelah terdiam beberapa saat.“Terus gimana dengan Seline dan David. Kamu sudah menyelesaikan urusannya?” Kini Emran yang bertanya.Dandy menghela napas panjang dan menarik Emran untuk duduk di sofa penunggu. Emran menurut, hanya Widuri yang masih duduk di sebelah brankar tem
“GAK!! Gak mungkin,” ucap Seline.Tentu saja ucapan Seline kali ini membuat Bu Hanum terkejut. Wanita paruh baya berwajah teduh itu tertegun sambil melihat ke arah Seline tanpa suara. Melihat diperhatikan Bu Hanum sedemikian rupa membuat Seline gegas tersadar.“Eng ... maaf, maksud saya berkata seperti itu karena sebelumnya Pak Dandy pernah bilang kalau ada masalah dengan rahim istrinya, Bu.”Bu Hanum langsung tersenyum dan menganggukkan kepala. Untuk soal itu, Bu Hanum memang tidak mengetahuinya. Beliau hanya tahu kalau Nilam pernah keguguran akibat kecelakaan mobil kala itu. Namun, apa pun alasannya Seline seharusnya tidak bereaksi seperti itu terhadap berita kehamilan Nilam.“Kalau boleh tahu kapan Pak Dandy masuk kantor? Saya ada keperluan mendesak yang tidak bisa diwakilkan.”Bu Hanum terdiam sesaat seakan berpikir. “Saya tidak tahu pastinya, Bu. Nanti kalau Pak Dandy menghubungi akan saya tanyakan leb
“DAVID!!! Sejak kapan kamu di sini?” pekik Dandy.Dia sangat terkejut saat melihat David sudah berada di ruang tamu rumahnya dan terlihat sedang menunggu kedatangan Dandy. Belum sempat David menjawab, tiba-tiba Seline keluar dari dalam rumah.“Kami baru saja datang, Dandy,” sahut Seline.Dandy menoleh, hal yang sama juga dilakukan Nilam. Wanita manis itu terdiam saat melihat Seline dan dengan spontan mempererat pelukannya di bahu Dandy. Dandy melihat reaksi istrinya. Ia tahu mengapa Nilam bersikap seperti itu. Bisa jadi Nilam masih cemburu dengan Seline.“Bisa kita bicara sebentar, Dandy? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu, tapi tentu saja setelah kamu menurunkan Nilam.”Seline kembali bersuara dengan senyum aneh melihat ke arah Nilam. Nilam hanya diam membalas dengan tatapan yang penuh arti. Sementara Dandy hanya menghela napas panjang. Setelah beberapa saat kemudian dia membuka suara“Kita bisa bicara sekarang. Aku ingin Nilam juga ikut mendengarnya.”Seline tersenyum
“Sudah siap?” tanya Dandy.Sesuai permintaan David, akhir pekan ini Dandy dan Nilam akan datang ke sekolahnya. Tadi Dandy sudah mengirim pesan ke Seline kalau akan bertemu mereka di sekolah saja.Nilam tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Sudah, Mas. Buruan berangkat biar gak telat.”Dandy mengangguk kemudian sudah menjalankan mobilnya menuju sekolah David. David sekolah di sebuah sekolah internasional di kota ini. Mungkin karena sebelumnya David sekolah di tempat yang sama sehingga dia merasa kesulitan jika dipindahkan ke sekolah lain.Sebenarnya jarak sekolah David dengan rumahnya cukup jauh, tapi mengingat kualitas yang diberikan cukup bagus Seline tidak mempermasalahkannya.“Dad, Tante!!” pekik David begitu melihat Dandy dan Nilam datang.Bocah laki-laki itu berlarian menghampiri Dandy dan Nilam yang baru saja turun dari mobil. Nilam melihat hampir semua orang yang datang mengenakan kaos putih. Sepe
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me