“Van, kamu gila!! Lalu bagaimana jika Fabian bertanya? Apa alasanku?” sergah Luna.
Beberapa hari ini saja Luna sudah semakin dekat dengan Fabian. Bahkan Fabian selalu menggandeng tangannya jika jalan bersama. Lalu permintaan Ivan tadi benar-benar tidak masuk akal.
“Terserah apa alasanmu. Kamu karang saja sendiri. Ini kan salahmu. Kamu yang membuat dirimu terlibat dalam pernikahan balas budi ini. Kamu yang mengkhianatiku, bukan aku!!!”
Luna terdiam. Dadanya terasa sesak saat Ivan terus memojokkannya. Dia memang sudah salah menerima keputusan ini. Namun, Ivan juga tidak kunjung memberi keputusan padanya saat itu. Padahal Luna tidak menginginkan pernikahan mewah. Sah di mata agama dan hukum saja, sudah cukup baginya. Kenapa juga semua kesalahan dilimpahkan padanya?
“Kamu mendengarku, Sayang?”
Luna mengangguk, tapi tentu saja Ivan tidak bisa melihat reaksinya saat ini.
“Iya, aku dengar. Sudah ya, aku lel
“Heh,” lirih Luna.Wanita cantik itu sangat terkejut dengan ucapan Fabian. Ia melihat Fabian dengan bingung. Sementara Fabian hanya mengulum senyum sambil mengulurkan tangannya memeluk pinggul Luna. Luna mematung di tempatnya. Dalam hatinya sibuk berkecamuk antara menolak dan menerima pelukan Fabian. Namun, pada akhirnya Luna hanya diam dan mengizinkan Fabian terus memeluknya.Suasana pesta si Kembar sudah dimulai. Tepat seperti kata Fabian hanya dirayakan beberapa kerabat dan teman dekat saja. Tidak begitu ramai seperti pesta pernikahan semalam. Kali ini Luna sedang duduk menyendiri di sudut kafe. Ia baru saja dari toilet untuk merapikan diri.Ada Emran yang sedang berjalan bersama Alisyah. Luna langsung tersenyum dan menyapanya.“Saya pikir Mas Emran jadi menikah dengan Mbak Mawar dulu,” ujar Luna dengan ramah.Emran menghentikan langkahnya dan menghampiri Luna. Luna memang sudah lama tidak bertemu Emran dan Mawar. Itu sebabnya Luna tidak tahu ap
“Nah, kalau lihat kalian berdua seperti ini jadi senang, kan,” ucap Bu Ana.Tiga puluh menit usai melakukan panggilan, Bu Ana dan Pak Roni datang. Ternyata kedua orang tua Fabian sengaja datang berkunjung tanpa memberi kabar. Awalnya mereka ingin melakukan inspeksi dadakan. Bu Ana ingin tahu apa putranya sudah mencintai istri yang dia pilihkan atau tidak.“Iya, Ma. Dari dulu emang sudah akur, kok. Tanya saja Luna!!!” jawab Fabian. Luna tersenyum sambil menganggukkan kepala.Mereka berempat tengah duduk di ruang makan. Memang Luna tidak memasak hari ini, tapi Bu Ana datang sambil membawa buah tangan dan makanan banyak sekali. Sepertinya wanita paruh baya itu memang berencana tinggal lama di rumah Fabian.“Mama dan Papa kok gak bilang kalau mau ke sini. Untung saja kita sudah datang.” Fabian kembali membuka obrolan.“Memang kalian dari mana?” tanya Bu Ana.“Dari ulang tahun putra putrinya N
“Aku serius ingin mempertahankan pernikahan ini,” ujar Fabian.Luna terdiam, hanya menatap Fabian tanpa berkedip. Fabian tersenyum perlahan menyentuh tangan Luna kemudian menggenggamnya dengan erat. Luna tidak bereaksi sedikit pun saat suaminya bersikap seperti itu.“Aku tahu mungkin bagimu masih sulit, tapi aku ... aku sudah tertarik padamu. Mungkin juga aku jatuh cinta padamu.”Udara terasa tercekat di tenggorokan Luna. Tanpa diminta ia merasa sesak napas dan langsung menunduk untuk menghindar tatapan Fabian.“Aku tidak akan terburu, kok. Aku akan menunggu sampai kamu juga punya rasa yang sama sepertiku.”Fabian kembali menambahkan kalimatnya. Lagi-lagi hati Luna berkecamuk hebat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu harus bersikap bagaimana. Andai saja, andai saja dia bisa berkata jujur. Andai saja Fabian tahu kalau dia bukan yang pertama dan terakhir. Ada Ivan yang sudah lebih dulu menempati
“Kencan?” tanya Fabian.Pria bermata sipit itu matanya semakin mengecil saat mendengar kata keramat yang diucapkan Luna. Sementara Luna tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Kamu bilang, kamu juga ingin aku punya rasa yang sama sepertimu, kan? Jadi bagaimana kalau kita mulai dengan hal sepele seperti ini?”Luna menambahkan kalimatnya. Padahal jelas dia tahu yang dia lakukan ini membuatnya semakin kesulitan nantinya.Fabian langsung tersenyum dan menganggukkan kepala. “Tentu. Baik, aku akan bilang pada Mama kalau tidak bisa hadir di perjamuan makan malamnya.”Luna terlihat senang dan terus tersenyum sambil menatap Fabian. Fabian membalas senyuman dan tatapan Luna dengan sepenuh hati. Fabian tidak tahu kalau Luna punya maksud tersembunyi melakukan semua itu. Andai Fabian tahu, apa dia akan menuruti permintaan Luna?**Pukul lima sore saat Fabian menjemput Luna dari rumah sakit tempatnya bekerja. Mer
“Gimana acara makan malamnya, Ma?” tanya Fabian.Fabian terkejut melihat Nyonya Ana dan Pak Roni sudah berada di rumah saat dia datang. Nyonya Ana hanya diam sambil menghela napas panjang. Wajah wanita paruh baya itu terlihat suram. Fabian bisa menebak kalau Ivan pasti menolak rencana perjodohannya.“Sepertinya Ivan menolaknya, Fabian. Dia bahkan tidak bicara sepatah kata pun tadi.”Fabian hanya menghela napas sambil duduk di sofa, Luna yang dari tadi bersebelahan dengan Fabian hanya diam. Kemudian ikut duduk juga di sebelah Fabian.“Bisa jadi Ivan sibuk sehingga dia tidak berminat dengan rencana mamamu, Fabian.” Kini Pak Roni yang menyahut.“Aku kan sudah bilang, Ma, Pa. Mending ditanyain dulu. Siapa tahu juga dia punya rencana sendiri.”Saat Fabian mengatakan hal itu, Luna hanya terdiam. Luna yakin, Ivan menolaknya karena sudah ada janji yang ia ucapkan kala itu.“Ya ... bisa jad
“Kamu dari mana tadi?” tanya Fabian.Ia dan Luna sudah berada di kamar untuk beristirahat. Luna yang baru saja keluar dari kamar mandi menatap Fabian sambil mengernyitkan alis.“Aku baru saja menyiapkan kamar tamu untuk Ivan. Bukankah kamu yang meminta tadi.”Fabian tersenyum menganggukkan kepala kemudian menarik Luna untuk duduk bersebelahan di sofa. Luna menurut dan duduk dengan gugup.“Maaf ya ... aku tahu kamu merasa tidak nyaman kalau ada Ivan. Namun, bagaimana lagi. Aku tidak bisa menolaknya kalau dia tiba-tiba datang.”Luna hanya diam sambil menganggukkan kepala. Untuk beberapa saat mereka saling diam, sibuk dengan benaknya masing-masing, hingga Luna yang membuka suara lebih dulu.“Eng ... Fabian. Aku awal bulan ada seminar di luar kota mungkin sekitar tiga hari di sana. Apa kamu tidak keberatan aku tinggal?”Fabian tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Iya, aku gak masala
“Sudah selesai, Lun?” Fabian menyapa lebih dulu.Memang jaraknya lebih dekat ke Luna dari pada Ivan. Ivan yang berjalan dari arah berbeda, terkejut saat melihat Fabian. Ia langsung menghentikan langkahnya sembari melihat Luna dengan tajam. Luna bisa membaca tatapan penuh amarah sedang menghujam tajam ke arahnya.“Eng ... iya. Aku baru saja selesai,” jawab Luna dengan gugup.Fabian langsung merengkuh pinggul Luna seakan memeluknya. Tentu saja ulah Fabian membuat Ivan semakin marah. Rahang Ivan sontak menegang, mata pekatnya berkilatan belum lagi tangannya yang mengepal seakan siap melayangkan tinju ke siapa saja.Sayangnya, Fabian tidak memperhatikan sekitar. Dia hanya fokus melihat Luna yang sedang berdiri di sampingnya.“Kok kamu gak bilang mau datang?” Akhirnya Luna berani bertanya. Fabian langsung terkekeh mendengar pertanyaan Luna.“Apa kamu tidak melihat jadwalnya, Lun?” Luna makin bingung
“Van, kamu apa-apaan, sih!!” seru Luna.Ia marah dan langsung menarik tangannya dari genggaman Ivan. Ivan hanya diam membisu menatap Luna dengan sudut matanya.“Aku gak mau memperkeruh keadaan, Van. Tolong, mengertilah!!” imbuh Luna.Ivan berdecak, melipat tangan di depan dada sambil melirik Luna dengan sebal.“Lalu selama ini menurutmu bagaimana? Apa aku kurang mengerti? Kurang bersabar?”Luna terdiam dan menundukkan kepala. Ivan menoleh ke arah Luna sambil menatap tajam wanita cantik itu.“Aku punya ide, Sayang. Bagaimana kalau sekarang saja kamu katakan sebenarnya ke Fabian tentang hubungan kita? Bukankah semakin cepat semakin baik.”Sontak Luna mengangkat kepala dan melotot ke arah Ivan.“Kamu memang gila, Van. Kamu ingin mempersulitku.”Lagi-lagi Ivan berdecak sambil menggelengkan kepala. “Tidak. Aku sama sekali tidak mempersulitmu, Kamu yang mempersu
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me