“Van, kamu apa-apaan, sih!!” seru Luna.
Ia marah dan langsung menarik tangannya dari genggaman Ivan. Ivan hanya diam membisu menatap Luna dengan sudut matanya.
“Aku gak mau memperkeruh keadaan, Van. Tolong, mengertilah!!” imbuh Luna.
Ivan berdecak, melipat tangan di depan dada sambil melirik Luna dengan sebal.
“Lalu selama ini menurutmu bagaimana? Apa aku kurang mengerti? Kurang bersabar?”
Luna terdiam dan menundukkan kepala. Ivan menoleh ke arah Luna sambil menatap tajam wanita cantik itu.
“Aku punya ide, Sayang. Bagaimana kalau sekarang saja kamu katakan sebenarnya ke Fabian tentang hubungan kita? Bukankah semakin cepat semakin baik.”
Sontak Luna mengangkat kepala dan melotot ke arah Ivan.
“Kamu memang gila, Van. Kamu ingin mempersulitku.”
Lagi-lagi Ivan berdecak sambil menggelengkan kepala. “Tidak. Aku sama sekali tidak mempersulitmu, Kamu yang mempersu
“Eh ... kamu jangan salah sangka, Fabian.”Luna bersuara sambil memutar tubuhnya. Kini dia tidur berhadapan dengan Fabian masih dalam pelukan Fabian. Fabian hanya diam. Mata sipitnya menelisik Luna seakan memastikan ucapan istri cantiknya ini.“Tadi kami hanya bercanda. Aku ... aku dan Ivan ... eng ... kami memang sudah saling kenal sebelumnya. Dia kakak tingkatku saat kuliah,” jelas Luna.Fabian tampak terkejut. Mata sipitnya membola dan masih menatap Luna dengan seksama. Luna tersenyum sambil menghela napas panjang. Sebisa mungkin dia mengolah udara di dadanya agar tidak terlihat gugup.“Aku sebenarnya sedikit kesal saja dengannya, Ivan sering mengerjaiku saat kuliah. Itu sebabnya saat awal bertemu dulu, aku sedikit tidak suka.”Luna berusaha menjelaskan mengenai sikapnya di awal pertemuan dengan Ivan dulu. Fabian langsung tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Ya ... aku paham dengan sikapmu. Iva
“Dokter Luna, istri Pak Fabian??” seru yang lain.Luna tersenyum sambil mengangguk. Fabian juga mengangguk. Sementara Heni dan beberapa rekan dokter yang lain hanya tertegun menatap Fabian dan Luna.“Kami permisi sebentar, ya!!!” ucap Fabian kemudian. Ia langsung menggandeng tangan Luna meninggalkan tempat makan dan juga rekan Luna yang lain.Tak ayal sudah terdengar suara berbisik di belakang mereka dan entah mengapa Luna merasa senang. Seolah-olah baru memenangkan sebuah piala penghargaan. Fabian melirik sekilas ke arah Luna.“Kenapa tersenyum?”Luna menggeleng sambil menoleh ke arah Fabian. “Gak papa. Sepertinya namamu cukup terkenal di kalangan dokter, ya?”“Masa, sih? Aku gak tahu.”Luna langsung tertawa sambil menggelengkan kepala mendengar jawaban Fabian. Fabian hanya mengulum senyum sambil melirik istrinya sekilas. Mereka sudah berjalan beriringan meninggalkan lokasi
“Mungkin seperti itu sekarang, tapi kita tidak tahu yang akan terjadi besok, lusa atau minggu depan,” jawab Fabian dengan santainya.Luna terdiam. Andai Fabian tahu, ada janji yang harus ia tepati pada Ivan. Namun, tanpa diminta juga banyak rasa yang sudah dimiliki Luna untuk Fabian kali ini.“Ayo, kita masuk!!! Ini kuncinya, rumah ini aku cantumkan atas namamu dan sudah sepenuhnya menjadi milikmu. Jadi kamu yang berhak membukanya untuk pertama kali.”Luna semakin kelimpungan mendengar ucapan Fabian. Bagaimana mungkin dia menolak semua ini? Apa jadinya juga jika Fabian tahu kalau ada rahasia yang disembunyikan Luna selama ini?“Ayo, Lun!! Tunggu apa lagi?”Lagi-lagi suara Fabian membuyarkan lamunan Luna. Dengan gugup, Luna berjalan mendekat ke pintu rumah kemudian memasukkan anak kunci dan membukanya. Luna semakin terkejut saat melihat bagian dalam rumah yang sudah tertata indah lengkap dengan interior dan perabo
“IVAN!!! Apa yang kamu lakukan di sini?” seru Luna.Dia sangat terkejut saat melihat Ivan sedang berdiri di depan pintu ruang prakteknya. Ivan tersenyum sambil melirik sekilas buket bunga yang diletakkan Luna di sudut ruangan.“Bunganya sudah datang ternyata. Kamu suka?” Alih-alih menjawab pertanyaan Luna, Ivan malah bertanya yang lain.Luna tidak menjawab malah menyilakan Ivan masuk. Dia tidak mau rekan sekerjanya tahu kalau ada pria lain yang bukan suaminya menemui di luar jam praktek.“Kenapa kamu ke sini? Katanya kamu keluar kota.”Ivan berdecak duduk di kursi depan meja Luna sambil menyandarkan punggungnya. Pria tampan itu duduk dengan santai sambil melipat tangannya.“Hari ini pacarku ulang tahun. Masa aku tidak datang menemuinya.”Luna membisu dan menundukkan kepala. “Kamu sudah mengirim bunga. Aku rasa itu sudah cukup.”“Ck ... ck ... jadi kini kamu sudah
“Kamu baru datang?” tanya Fabian malam itu.Pukul delapan malam, Luna baru saja tiba di rumah dan dia sangat terkejut saat melihat Fabian sudah datang. Padahal kemarin Fabian bilang kalau akan pulang larut malam.“Iya, maaf, Fabian. Aku tidak tahu kalau kamu datang lebih awal. Aku belum masak.”Fabian tersenyum sambil menggelengkan kepala. Perlahan ia mendekat kemudian berdiri diam di depan Luna. Kini tangan Fabian selalu otomatis merengkuh pinggul Luna jika mereka berdiri sejajar seperti ini. Kemudian pria tampan bermata sipit itu akan membawa istri cantiknya masuk dalam pelukannya. Anehnya Luna hanya menurut dan terdiam dengan perlakuan Fabian.“Gak papa. Hari ini kamu ulang tahun, kan? Kita rayakan dengan makan di luar, yuk!!”Luna terdiam, perlahan ia mendongak menatap wajah Fabian yang berada sangat dekat di depannya. Mata bulat Luna yang indah kini berulang mengerjap dan Fabian melihat dengan jelas banyak b
Seketika Luna dan Fabian mengurai pagutan mereka. Luna langsung terkejut saat melihat Emran dan Widuri sedang berdiri di depan mereka.“Mas Emran, Mbak Widuri,” desis Luna.Fabian langsung tersenyum meringis sambil melirik ke arah Emran. Emran hanya menggelengkan kepala. Dia pernah berada di momen seperti ini dan tentu saja bisa merasakan apa yang Fabian rasakan.“Maaf, kami mengganggu kalian.” Kini Widuri yang bersuara. Wanita manis berhijab itu terlihat gugup.Sejujurnya dia tidak mau mampir dan menyapa, hanya saja Emran yang terkenal iseng sengaja ingin menyapa.“Iya, gak papa, Mbak. Alif dan Alisya mana?”“Mereka ada di rumah. Kami sengaja ingin pacaran kali ini,” sahut Emran.Luna dan Fabian langsung tersenyum mendengar jawaban Emran. Sementara Widuri hanya menundukkan kepala. Dari dulu, Emran memang selalu begitu dan kadang membuat Widuri tersipu malu.“Sepertinya hari
“Eng ... itu dari salah satu pasien di sini?” jawab Luna.Fabian terdiam, mata sipitnya semakin mengecil menyidik Luna. Luna hanya membisu dan membalas tatapan Fabian.“Pasienmu? Bukannya pasienmu anak-anak semua? Apa salah satu dari mereka yang mengirim?”Luna gegas mengangguk, meski dia merasa kesal. Kali ini dia terpaksa berbohong lagi.“Iya, aku sudah akrab dengannya. Dia tahu kalau kemarin aku berulang tahun dan mengirim buket bunga itu.” Luna semakin lancar menjawab, meski di dalam hatinya mengumpat.“Begitu. Lalu kenapa suster tadi bilang buket bunganya dari aku. Apa kamu yang bilang?”Luna menghela napas panjang sambil mengangguk.“Iya. Aku hanya tidak mau hal sepele seperti ini menimbulkan rumor. Mereka di sini tahu siapa kamu dan posisimu. Mereka juga tahu status kita. Apa jadinya kalau ada yang melihat aku mendapat kiriman bunga dari orang lain dan bukan kamu?”
“Ivan ... .” Luna berdesis pelan sambil menatap sosok di depannya. Hampir dua bulan, ia tidak mendengar kabar tentang Ivan. Terakhir Ivan bilang kalau dia ada urusan kerjaan di luar kota. Bahkan karena ketidak hadiran Ivan ini membuat Luna menjadi semakin dekat dengan Fabian. “Iya, aku Ivan. Memangnya siapa yang kamu harapkan datang kali ini? Fabian?” Luna terdiam menundukkan kepala dan menghindar tatapan Ivan. Ivan menarik napas panjang kemudian berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Luna mengikuti duduk berhadapan dengannya. Tentu saja Ivan sedikit heran dengan sikap Luna kali ini. Biasanya mereka selalu duduk bersebelahan jika berdua seperti ini. “Apa Fabian sudah berangkat?” tanya Ivan. Luna tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala. “Hmm ... kebetulan sekali.” Ivan bersuara dengan nada dan tatapan menggoda. Sontak Luna mengangkat kepala, mengernyitkan alis sambil menatap Ivan dengan sebal. “Jangan aneh-aneh kamu, Van!!!” Ivan langsung terkekeh mendengar ucapan Luna. “An
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me