Revin membuka matanya sedikit. Sinar matahari terasa menyilaukan tembus dari tirai jendela yang dihembus angin. Dengan cepat dia menyesuaikan pandangannya, membuka mata dan melihat gorden berwarna merah muda berayun-ayun indah. Udara cerah memenuhi ruangan itu. Revin tahu benar di mana dia berada sekarang. Dia berada di kamar Lisa tepat di ranjangnya.
Tadi malam setelah mereka berciuman, Revin langsung terburu-buru memarkirkan mobilnya dan bergegas bersama Lisa menuju apartemen. Bahkan di dalam lift menuju lantai atas apartemen Lisa, karena hanya ada mereka berdua di sana, mereka langsung melanjutkan ciuman mereka seolah sudah tak sabar ingin segera melampiaskan hasrat mereka yang menggebu-gebu di ranjang. Dan akhirnya mereka berakhir di kamar ini lagi.
Revin mengerutkan keningnya karena mendapati dirinya tengah sendirian di kamar
"Sabarlah. Sebentar lagi papaku akan pergi dari sini. Tadi aku mengatakan padanya kalau aku akan pergi. Jadi dia tidak akan berlama-lama lagi. Kau tenang saja di sini, Kak. Aku akan menemuinya ke bawah. Setelah dia pulang, aku akan kemari memberi tahu Kakak," jawab Lisa. Revin mengangguk setuju."Syukurlah kalau begitu. Aku akan menunggumu di sini. Kau turunlah ke bawah sekarang," ucap Revin kemudian.Lisa meninggalkan Revin di kamar tanpa kata. Dan dia segera menuruni tangga. Tetapi sebenarnya papanya sama sekali tidak berada di apartemen itu. Lisa berbohong. Dia mengatakan hal itu hanya ingin mengetahui pemikiran Revin dengan melihat reaksinya.Seperti apa yang dikatakan padanya tadi malam, ternyata Revin memang hanya ingin mereka berteman secara normal.
Kejadian Lisa yang memberikan foto itu sudah beberapa bulan yang lalu. Waktu itu Lisa melakukan kesalahan itu karena ia belum bisa melepaskan Evans. Lisa sendiri tidak menyangka bahwa apa yang ia lakukan malah berakibat fatal di belakang hari, padahal dia hanya ingin membatalkan kencan Evans dengan Erika saja pada saat itu."Jadi Erika punya kakak laki-laki? Hebat juga kakaknya! Kamu sampai K.O begitu," tanggap Revin."Itu karena pikiranku teralihkan saat tahu ternyata mereka kakak beradik kandung. Awalnya aku yang menang," jelas Evans tidak terima ucapan Revin. Revin terkekeh mendengarnya."Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Erika sekarang?" tanya Revin iseng."Kami sudah putus," ucap Evans sambil meminum teh pesanannya."Ntar paling nyambung lagi," goda Revin."Aku tidak berniat kembali padanya lagi. Aku mau berfokus pada skripsi dan pekerjaank
Setelah berpamitan pada Wilma dan Erika, Revin mengajak Anna untuk keluar ruangan mengikutinya bersama Lisa. Lagi-lagi Lisa mengerutkan kening.Sesampainya di luar kamar, Revin pun berkata, "Anna, kenalkan ini Lisa, temanku. Dan Lisa, kenalkan ini Anna, calon tunanganku." Ia memperkenalkan mereka, satu sama lain dengan jelas.Rasanya Lisa malu sekali bercampur rasa terkejut dan kecewa. Tadi dia mengaku-ngaku pacar Revin di hadapan Anna. Sekarang Revin malah mengatakan bahwa Anna adalah calon tunangannya."Halo, Anna. Maaf ya tadi aku bercanda kok di dalam waktu bilang kalau aku pacar Kak Revin," ucap Lisa menjelaskan secara terpaksa."Oh!" jawab Anna singkat dengan nada datar.•
"Hahahaha!" Anna tertawa. Revin tersenyum kecil melihat Anna tertawa. Tetapi dia berupaya cepat-cepat menyembunyikan senyumnya. Anna sendiri lebih rileks menghadapi Revin saat ini.Tanpa Revin sadari, Lisa ada di sana memperhatikan mereka. Dia mendesah, rasa cemburu menggelayuti hatinya. Tetapi Lisa tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak berhak untuk marah karena statusnya dengan Revin hanyalah teman biasa. Revin juga tidak pernah memberinya harapan apa-apa. Mereka murni hanya sebagai teman plus sebagai partner ranjang saja.***Waktu demi waktu berlalu dengan sangat sibuk. Revin menemui Lisa di sebuah kafe kecil. Kafe itu adalah milik Lisa, Revin baru tahu belakangan ini kalau Lisa memiliki sebuah kafe, dan Lisa biasanya akan terjun langsung untuk memasak ketika ada pengunjung yang ingin makan. Pantas saja Lisa pintar memasak, pikir Revin.
Revin telah mengganti foto profilnya dengan fotonya bersama Anna di pesta, memakai baju pasangan batik. Tampak Revin memeluk pinggang Anna di sana. Sangat mesra. Lisa hanya bisa menghela napas berat. Rasanya sesak berada di posisinya saat ini.Tetapi paginya ponsel Lisa berbunyi dan itu dari Revin, betapa senangnya Lisa mendapat telepon dari lelaki yang dicintainya."Halo, Sayang?" sapa Lisa bersemangat."Halo, Lisa. Hari ini aku akan menemuimu dan menemanimu seharian," ucap Revin. Dua hari lalu dia melihat wajah kecewa Lisa karena dia tidak bisa mengajak Lisa ke pesta. Jadi Revin berencana untuk menebusnya hari ini. Tentu saja Lisa langsung bersemangat dan wajahnya kembali ceria."Benarkah?" Mata Lisa melebar. "Kalau begitu aku akan menunggu kakak!" Sejenak Lisa melupakan kecemburuannya tadi malam. Setidaknya Revin masih tetap mengingatnya.•
Sejak membaca pesan obrolan Kak Revin dengan Kak Evans, aku benar-benar patah hati. Di mata Kak Revin, ternyata aku hanyalah seorang jalang, perempuan murahan. Ternyata penilaian Kak Revin tidak ada bedanya dengan penilaian keluargaku yang selalu mengataiku sebagai perempuan jalang dan murahan. Papakulah yang paling suka mencaciku seperti itu.Padahal sejak kecil hingga aku SMA, aku selalu menjadi anak yang baik. Tiap papaku berangkat ke kantor, aku pasti akan membuatkan kopi yang nikmat kesukaan papaku. Aku juga suka memasak makanan yang enak-enak untuk papaku. Tetapi ternyata apa yang kulakukan selama itu, tidak cukup untuk membuat papa sayang padaku.Hingga suatu hari, ketika aku masih kelas XII atau kelas tiga SMA, kejadian nahas itu terjadi.Waktu itu papaku sedang berada di luar kota. Mama tiriku mengajakku pergi berja
Aku harus puas dengan hanya mengetahui fakta itu saja. Fakta bahwa kejadian malam nahas itu adalah ulah dari mama tiriku. Aku kemudian tanpa ragu memberitahukan segala sesuatunya pada papaku. Tetapi papaku sama sekali tidak percaya padaku karena tidak ada bukti. Papaku malah memaki-makiku karena telah berani memfitnah mama tiriku, juga mengatakan bahwa depresiku sedang kumat makanya berbicara sembarangan.Aku benar-benar sudah tidak tahan. Maka itu, aku memutuskan untuk menuntut harta ibu kandungku, lalu pergi dari rumah itu. Aku sadar bahwa aku telah ditipu habis-habisan, karena aku hanya mendapat sedikit dari harta ibuku. Tetapi tidak apa-apa, yang penting aku lepas dari tempat kejam itu. Dengan harta dari ibuku, aku bisa membeli sebuah apartemen mewah di tengah kota, juga bangunan berlantai dua yang kujadikan sebagai kafe kecil, dan satu unit mobil dengan harga yang cukup lumayan.&n
Hari sudah petang, Revin merenggangkan tubuhnya di kamar. Dia tutup laptopnya lalu berbaring di ranjang. Capek sekali rasanya karena beberapa tugas kantor sudah mulai diembankan padanya. Syukurnya sebentar lagi skripsinya akan selesai. Tetapi dia butuh hiburan malam ini.Lisa! Itulah yang terlintas dalam pikirannya. Segera dia raih ponselnya dari atas nakas, dan melihat pesan obrolannya dengan Lisa. Kalau dipikir-pikir rasanya seminggu ini Lisa tak pernah menghubunginya duluan. Keningnya mengerut saat menyadari bahwa seminggu ini hanya dirinyalah yang selalu menghubungi Lisa melalui pesan chat. Revin pun duduk, lalu memeriksa panggilan telepon guna memastikan. Dan ternyata memang sama saja. Tidak ada panggilan dari Lisa. Hanya panggilan dari dirinya saja yang tertera di riwayat panggilan. Padahal selama ini Lisalah yang selalu menghubunginya dan mengajaknya bertemu.Ada apa dengan Lisa?Revin menggeleng. Tampaknya dia ti
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak