Hampir setiap hari Samuel harus dihadapkan dengan olokan teman-temannya perihal seorang Jeanne Felicia, wanita cantik yang membuntutinya ke mana pun ia pergi. Bahkan di usianya yang sudah menginjak kepala dua, Jean masih saja bertingkah kekanakan dengan tak tahu malu mengganggu perempuan yang berusaha mendekati pujaan hatinya.
Seperti saat ini, seorang perempuan yang telah menabrak Samuel dan terjatuh di depan laki-laki itu harus menjadi bahan tontonan karena Jean mengomelinya di depan banyak orang. Perempuan berambut cokelat itu menatap Laila dengan penuh intimidasi, dan sebelum dia sempat mengucapkan hal yang penting, Samuel sudah lebih dulu turun tangan dan menarik Jean menjauh dari kerumunan.
“Berhenti membuatku malu, Jean!” bentak Samuel, bahkan dirinya sempat menepis tangan Jean yang berusaha untuk meraih tangannya.
Jean menunduk dalam. “Dia sengaja menabrakmu, Samuel. Kamu percaya padaku, kan? Perempuan itu, dia adalah orang yang jahat. Dia memberimu minuman beracun agar kau sakit,” jelasnya dengan suara yang bergetar.
Sang lawan bicara justru menggeleng, berdiri membelakangi Jean lalu menghela napasnya panjang. “Kau benar-benar tidak bisa mengerti ucapanku selama ini? Biar aku perjelas, aku sangat membencimu. Berhenti menggangguku dan orang-orang di sekitarku. Aku sampai tidak bisa punya pacar lagi karena kau terus menghalangiku.”
“Itu karena hanya aku yang pantas untukmu,” kata Jean tebal muka. “Aku yakin diriku yang sekarang sudah lebih dari cukup untuk bersanding di sisimu.”
Samuel berbalik, menatap Jean dengan tajam sebelum berseloroh, “Kamu hanya seorang parasit yang mengganggu hidupku selama ini, apa pun yang kamu lakukan atau seberapa cantik pun kamu, aku tidak akan pernah tertarik pada sampah sepertimu. Kamu tahu? Aku paling benci dengan perempuan yang tidak tahu diri, dan aku rasa aku sudah terlalu lembut padamu selama ini dengan hanya menghindarimu. Jeanne Felicia, sampai aku mati pun, aku tidak akan suci bersanding dengan perempuan gila yang menjijikkan seperti dirimu.”
Jean terdiam sejenak sebelum sebuah senyum hangat terukir indah di bibirnya, membuat Samuel tersentak kecil. Namun, tetap menjaga raut wajahnya agar tetap terlihat marah.
“Kamu tahu? Aku berusaha keras untuk belajar karena dulu kamu bilang menyukai wanita berwawasan tinggi. Kemudian saat aku juara kelas, kamu membuat alasan lagi kalau kamu juga menginginkan wanita yang memiliki badan ideal. Aku melakukan semua demi dirimu, tetapi ternyata, sekeras apa pun aku mencoba kamu tetap tidak akan melirikku meski hanya sedetik saja,” ujar perempuan itu dengan pembawaan tenang dan kedua tangan yang terkepal.
Jean mendongak, menatap Samuel dengan ekspresi yang baru pertama kali dilihat oleh pria itu.
“Aku lelah, Samuel.”
“Lalu apa urusannya denganku kalau kau lelah? Kau baru saja membuatku malu untuk kesekian kalinya, tetapi kenapa bicaramu justru aneh begini?”
“Aku akan mengabulkan keinginanmu, bukan karena kata-kata menyakitkan yang kau lontarkan barusan, tetapi karena aku sudah lelah. Jadi selamat untukmu, kamu sudah bebas,” ucap Jean sebelum berbalik badan dan berjalan menjauh dari Samuel.
Samuel hanya mendecih, yakin kalau ini pasti trik lain yang Jean lakukan untuk mencari perhatiannya.
*****
Samuel kembali ke teman-temannya dan menemukan Chris terbatuk-batuk dengan keras. Tak menunggu lama, Samuel dan yang lain membawa pria itu ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa.
Setelahnya mereka baru mengetahui kalau Chris meminum racun yang tercampur dengan minuman yang dibawa Laila, yang seharusnya perempuan itu berikan kepada Samuel sebagai permintaan maaf karena sudah menabraknya.
Samuel kemudian teringat pada perkataan Jean, merasa bahwa dia sudah keterlaluan karena menuduhnya padahal Jean hanya berusaha memperingatkannya.
“Dari mana Jean tahu kalau isi minuman itu beracun?” gumamnya sembari memperhatikan Chris yang kini tertidur setelah lelah memuntahkan isi perutnya.
Salah satu sahabatnya yang ikut membawa Chris ke rumah sakit bertanya, “Apa yang kau pikirkan? Wajahmu terlihat sangat tegang.”
“Aku memikirkan Jean.”
“Hah? Apa akhirnya kau jatuh hati padanya?” canda Rio. Namun, sepertinya dia harus menelan ludah karena Samuel tidak menjawab.Samuel justru menghela napas berat lalu berujar, “Jean memperingatkan aku tentang minuman itu, dia bilang wanita tadi adalah orang jahat yang berniat mencelakaiku. Aku membentaknya habis-habisan dan mengatakan sesuatu yang keterlaluan, aku tahu aku sudah menolaknya selama ini, tetapi tetap saja tindakanku sudah berlebihan untuk seseorang yang mencoba menyelamatkanku.”
“Dari mana Jean tahu kalau minuman itu beracun? Bukannya itu minuman dari rival bisnismu yang marah karna proyeknya kamu rebut?”
“Itu yang aku pertanyakan dari tadi, tetapi mengingat ini Jean, dia pasti sudah memata-matai siapa saja yang ada di sekitarku.”Rio mengangguk setuju. “Benar, bahkan saat masih sekolah pun dia pernah menyelamatkan nyawamu dari pot bunga yang hampir mengenai kepalamu. Aku bahkan sampai kagum dengan keteguhan hatimu yang menolak seseorang sebaik dan secantik Jean, meski tingkahnya kadang keterlaluan pada para gadis yang coba mendekatimu,” ungkap Rio bernostalgia.
“Selain mengingatkan aku tentang racun itu, Jean juga berkata sesuatu yang aneh.”
“Huh? Aneh bagaimana?”
“Dia berkata dia lelah, aku tidak mengerti maksudnya, tetapi dia seperti seseorang yang akan pergi jauh.”
“Apa itu artinya dia akan berhenti mengejarmu?” tanya Rio penasaran. “Kalau itu Jean aku tidak bisa percaya. Kau ingat saat kita kuliah dulu? Dia berteriak di depan wajahmu kalau dia akan melupakanmu, tetapi seminggu kemudian dia kembali dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.”
Samuel pun mengangguk, hampir lupa kalau Jean memang cerdik dan punya banyak ide untuk menarik perhatian Samuel. Meski semua usahanya harus hancur karena Samuel tidak pernah terpedaya dengan itu.
*****
Jean tiba di rumahnya dengan wajah yang memerah dan mata dipenuhi air mata, tentunya hal itu tak luput dari perhatian sang ibu yang sangat mencintainya. Beliau segera berlari menghampiri Jean dan memeluk anak kesayangannya, memberi tepukan pelan pada bahu dan usapan halus di rambutnya.
“Apa yang terjadi padamu, Nak?” tanya Marisa khawatir. “Apa ada yang melukaimu?”
Yang ditanya hanya menggelengkan kepala lalu mendongak dengan senyum kecil. “Ibu ingat tidak? Sebulan lalu ayah bilang kalau dia ingin aku berhenti mengejar Samuel.”
“Ingat sayangku, lalu apa hubungannya dengan kondisimu sekarang? Apa pemuda kurang ajar itu kembali menyakitimu?”
Jean menggeleng lalu berkata, “Aku sudah mengambil keputusan untuk mengikuti permintaan ayah, lagi pula aku sudah 25 tahun dan aku tidak seharusnya menyia-nyiakan hidupku untuk hal yang tidak akan bisa aku dapatkan. Aku tahu akan sulit untuk melupakan Samuel, bagaimana pun aku sudah mencintainya selama hampir lima belas tahun. Namun, aku akan berusaha keras untuk bersikap lebih dewasa dan mengikuti perkataan kalian. Maaf selama ini aku keras kepala dan hanya memikirkan Samuel, harusnya aku sadar lebih awal kalau keluargaku adalah yang terpenting.”
Marisa tidak bisa bicara apa pun dan hanya menangis mendengar ucapan anak bungsunya, anak yang sangat keras kepala dan tidak mudah menyerah, yang akhirnya sadar kalau tidak semua yang dia inginkan harus didapatkan.
Adalah Johan, saudara laki-laki tertua Jean yang kini berdiri dari duduknya karena terkejut dengan keputusan tiba-tiba sang ayah. Amarahnya kali ini bukan tanpa alasan, tetapi karena adik kesayangannya mendadak dijodohkan dengan seseorang yang bahkan Johan sendiri tidak kenal. Sementara itu ada Julian, anak kedua keluarga Arkan yang berusaha menenangkan kakaknya agar kembali duduk di kursinya. Julian sebenarnya juga terkejut dengan keputusan ayahnya yang tak terprediksi, tetapi mengingat Jean yang ingin berhenti mengejar Samuel Jonathan tentu saja membuat sang ayah tidak mau kehilangan kesempatan emas tersebut. Julian sadar betul kalau adiknya itu orang yang sangat keras kepala, dan tentu buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Ayah mereka sudah bulat dengan keputusannya, maka sama saja dengan mencari masalah kalau harus menentangnya. “Siapa orangnya?” Johan bertanya dengan nada penuh curiga. Sang ayah tersenyum lalu menatap putri dengan lembut, sebelah
Jean menghela napas lega saat berhasil sampai di rumah, rasanya sangat berat mengobrol dengan Adrian karena lelaki itu ternyata mengenal Samuel. Bahkan Adrian sampai tahu bagaiamana kelakuan Jean selama kurang lebih lima belas tahun terakhir.“Kenapa tidak bilang kalau Adrian dan Samuel saling kenal?” tanya Jean dengan bibir cemberut. Julian yang kini duduk di depannya hanya terkekeh sembari melontarkan maaf.“Kamu tidak perlu khawatir, Jean. Meski mereka berteman, tetapi aku yakin Adrian tidak sama dengan Samuel, Adrian juga tidak akan memperlakukanmu seperti teman-teman Samuel yang lain,” balas Julian berusaha menenangkan hati sang adik.Jean pun hanya mengangguk dan memilih kembali ke kamarnya. Hari ini melelahkan baik untuk fisik dan mentalnya, akan lebih baik kalau dia segera tidur agar besok dia bisa bangun dengan segar.Namun, sampai lewat tengah malam pun mata Jean tak kunjung terpejam, justru dalam pikiranya
“Kamu lihat ekspresi Samuel tadi?” tanya Adrian sembari tertawa. “Dia kelihatan terkejut.”Jean yang duduk di sebelahnya hanya terdiam, tidak berniat merespon ucapan dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya. Jujur saja Jean sendiri bingung harus berekspresi seperti apa setelah kejadian tadi, sebab bukannya merasa hebat karena telah lepas dari Samuel, dia justru merasa kalau dia terlalu memaksakan dirinya.“Jean,” panggil Adrian memecah keheningan.Yang punya nama menoleh lalu menaikkan alisnya. “Apa?”“Kamu terlihat sedih, ada apa?”Jean menggelengkan kepalanya lalu tersenyum manis. “Tidak apa-apa, Adrian. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” balasnya tanpa menoleh pada si lawan bicara.Adrian mengangguk tanda mengerti, tangannya pun merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ada banyak pesan dari teman-temannya, terutama Rio dan Chris yang ter
Samuel banyak diam belakangan ini, membuat teman-temannya semakin yakin kalau lelaki itu menyimpan masalah seorang diri. Samuel memang jarang membicarakan masalah pribadinya, bahkan Rio dan Chris tidak pernah tahu bagaimana cerita di balik kepergian ayah Samuel, padahal pertemanan mereka sudah terjalin sejak jaman sekolah.Tak banyak yang tahu kalau Samuel adalah tipe orang yang suka memendam perasaannya, bersembunyi dengan senyum dan sikap ramah yang membuat siapa pun mengira ia adalah sosok yang terbuka. Sampai Rio dan Chris harus menunggu sampai Samuel bertingkah tak biasa dan lebih banyak diam baru mereka tahu kalau Samuel sedang tak baik-baik saja.Seperti saat ini, Rio yang kini masuk ke ruangan Samuel hanya bisa heran melihat lelaki itu. Komputer di depannya yang biasa menyala sejak pagi masih berwarna hitam, pun dengan tatapan Samuel yang kosong bagai tak berada di tempatnya.“Sam, kau kelihatan kurang sehat. Apa tidak pulang saja?&rd
Jean kembali ke rumahnya dengan perasaan yang belum membaik, meski sudah banyak menghabiskan air mata dengan curhat pada Mia, tetapi dirinya belum juga merasa tenang.Pikirannya kacau karena perbuatan Samuel yang begitu tega menuduhnya, padahal Jean tidak akan sampai hati melakukannya.Mata yang sembab serta mood yang berantakan membuatnya tidak berniat keluar kamar sejak pagi, dia juga tidak berniat untuk ke kantor dan memilih bersembunyi dari keluarganya."Nona Jean?" panggil seseorang dari luar disertai suara ketukan pintu. Jean yang tengah termenung langsung tersadar, mengucek matanya lalu membuka pintu."Ada apa, Bi?" Jean bertanya dengan suara yang hampir habis, membuat Bi Sari bertambah khawatir.Perempuan yang sudah hampir 30 tahun bekerja di rumah keluarga Arkan itu pun berucap, "Nona belum makan sejak pagi, apa Nona sakit?""Tidak, Bi. Aku ingin tidur saja hari ini." Lalu Jean ters
Langit masih begitu cerah saat Jean tiba di rumah yang menjadi saksi ia tumbuh dewasa. Kebetulan ada Julian dan Johan juga, kedua orang itu memang sudah jarang pulang ke rumah utama karena Johan yang sudah menikah dan Julian yang memilih tinggal di apartemen beberapa bulan terakhir. Lalu Jean yang merupakan anak bungsu jelas tak punya pilihan selain tetap berada di rumah agar kedua orang tuanya tidak kesepian. Satu dari ketiga anak itu berdiri dari posisi duduknya, berjalan menuju sofa di seberang agar bisa duduk di dekat si yang paling bungsu. Johan tatap lekat wajah cantik adiknya yang selalu tersenyum manis, membuat orang-orang terkadang sulit menebak apa Jean sedang baik-baik saja atau tidak. “Jean, dalam beberapa hari kamu akan resmi bertunangan dengan Adrian. Apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu?” Johan bertanya dengan lembut. Sebagai anak tertua, ia merasa punya tanggung jawab yang hampir sama dengan orang tuanya dalam hal masa de
“Apa yang kamu bicarakan dengan Samuel?” tanya Adrian sesaat setelah mereka berdua duduk di sofa yang berhadapan. Jean yang kini telah mengganti gaunnya menjadi baju yang lebih nyaman menatap Adrian dengan ekspresi jengkel.“Kamu tidak perlu tahu,” jawabnya singkat.Adrian yang mendapat balasan tak acuh seperti itu malah tertawa, merasa terhibur dengan wajah Jean yang kini menatapnya garang. “Kamu masih saja cuek padaku, Jean. Aku tahu aku sudah salah karena menjadikanmu umpan untuk memancing Samuel, tetapi perjodohan kita ini nyata adanya. Kalau kita berdua terus seperti ini, bukankah akan membuat orang tua kita bersedih?”“Kamu dramatis sekali, Adrian. Tidak usah playing victim, semua ini juga salahmu karena membuatku kesal.” Jean memberi gestur kesal dengan bibirnya yang maju dan kedua tangan yang disilangkan. Dan entah kenapa hal itu justru sangat menggemaskan di mata Adrian.Adrian sampai
“Apa yang kamu bicarakan dengan Samuel?” tanya Adrian sesaat setelah mereka berdua duduk di sofa yang berhadapan. Jean yang kini telah mengganti gaunnya menjadi baju yang lebih nyaman menatap Adrian dengan ekspresi jengkel.“Kamu tidak perlu tahu,” jawabnya singkat.Adrian yang mendapat balasan tak acuh seperti itu malah tertawa, merasa terhibur dengan wajah Jean yang kini menatapnya garang. “Kamu masih saja cuek padaku, Jean. Aku tahu aku sudah salah karena menjadikanmu umpan untuk memancing Samuel, tetapi perjodohan kita ini nyata adanya. Kalau kita berdua terus seperti ini, bukankah akan membuat orang tua kita bersedih?”“Kamu dramatis sekali, Adrian. Tidak usah playing victim, semua ini juga salahmu karena membuatku kesal.” Jean memberi gestur kesal dengan bibirnya yang maju dan kedua tangan yang disilangkan. Dan entah kenapa hal itu justru sangat menggemaskan di mata Adrian.Adrian sampai
Langit masih begitu cerah saat Jean tiba di rumah yang menjadi saksi ia tumbuh dewasa. Kebetulan ada Julian dan Johan juga, kedua orang itu memang sudah jarang pulang ke rumah utama karena Johan yang sudah menikah dan Julian yang memilih tinggal di apartemen beberapa bulan terakhir. Lalu Jean yang merupakan anak bungsu jelas tak punya pilihan selain tetap berada di rumah agar kedua orang tuanya tidak kesepian. Satu dari ketiga anak itu berdiri dari posisi duduknya, berjalan menuju sofa di seberang agar bisa duduk di dekat si yang paling bungsu. Johan tatap lekat wajah cantik adiknya yang selalu tersenyum manis, membuat orang-orang terkadang sulit menebak apa Jean sedang baik-baik saja atau tidak. “Jean, dalam beberapa hari kamu akan resmi bertunangan dengan Adrian. Apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu?” Johan bertanya dengan lembut. Sebagai anak tertua, ia merasa punya tanggung jawab yang hampir sama dengan orang tuanya dalam hal masa de
Jean kembali ke rumahnya dengan perasaan yang belum membaik, meski sudah banyak menghabiskan air mata dengan curhat pada Mia, tetapi dirinya belum juga merasa tenang.Pikirannya kacau karena perbuatan Samuel yang begitu tega menuduhnya, padahal Jean tidak akan sampai hati melakukannya.Mata yang sembab serta mood yang berantakan membuatnya tidak berniat keluar kamar sejak pagi, dia juga tidak berniat untuk ke kantor dan memilih bersembunyi dari keluarganya."Nona Jean?" panggil seseorang dari luar disertai suara ketukan pintu. Jean yang tengah termenung langsung tersadar, mengucek matanya lalu membuka pintu."Ada apa, Bi?" Jean bertanya dengan suara yang hampir habis, membuat Bi Sari bertambah khawatir.Perempuan yang sudah hampir 30 tahun bekerja di rumah keluarga Arkan itu pun berucap, "Nona belum makan sejak pagi, apa Nona sakit?""Tidak, Bi. Aku ingin tidur saja hari ini." Lalu Jean ters
Samuel banyak diam belakangan ini, membuat teman-temannya semakin yakin kalau lelaki itu menyimpan masalah seorang diri. Samuel memang jarang membicarakan masalah pribadinya, bahkan Rio dan Chris tidak pernah tahu bagaimana cerita di balik kepergian ayah Samuel, padahal pertemanan mereka sudah terjalin sejak jaman sekolah.Tak banyak yang tahu kalau Samuel adalah tipe orang yang suka memendam perasaannya, bersembunyi dengan senyum dan sikap ramah yang membuat siapa pun mengira ia adalah sosok yang terbuka. Sampai Rio dan Chris harus menunggu sampai Samuel bertingkah tak biasa dan lebih banyak diam baru mereka tahu kalau Samuel sedang tak baik-baik saja.Seperti saat ini, Rio yang kini masuk ke ruangan Samuel hanya bisa heran melihat lelaki itu. Komputer di depannya yang biasa menyala sejak pagi masih berwarna hitam, pun dengan tatapan Samuel yang kosong bagai tak berada di tempatnya.“Sam, kau kelihatan kurang sehat. Apa tidak pulang saja?&rd
“Kamu lihat ekspresi Samuel tadi?” tanya Adrian sembari tertawa. “Dia kelihatan terkejut.”Jean yang duduk di sebelahnya hanya terdiam, tidak berniat merespon ucapan dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya. Jujur saja Jean sendiri bingung harus berekspresi seperti apa setelah kejadian tadi, sebab bukannya merasa hebat karena telah lepas dari Samuel, dia justru merasa kalau dia terlalu memaksakan dirinya.“Jean,” panggil Adrian memecah keheningan.Yang punya nama menoleh lalu menaikkan alisnya. “Apa?”“Kamu terlihat sedih, ada apa?”Jean menggelengkan kepalanya lalu tersenyum manis. “Tidak apa-apa, Adrian. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” balasnya tanpa menoleh pada si lawan bicara.Adrian mengangguk tanda mengerti, tangannya pun merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ada banyak pesan dari teman-temannya, terutama Rio dan Chris yang ter
Jean menghela napas lega saat berhasil sampai di rumah, rasanya sangat berat mengobrol dengan Adrian karena lelaki itu ternyata mengenal Samuel. Bahkan Adrian sampai tahu bagaiamana kelakuan Jean selama kurang lebih lima belas tahun terakhir.“Kenapa tidak bilang kalau Adrian dan Samuel saling kenal?” tanya Jean dengan bibir cemberut. Julian yang kini duduk di depannya hanya terkekeh sembari melontarkan maaf.“Kamu tidak perlu khawatir, Jean. Meski mereka berteman, tetapi aku yakin Adrian tidak sama dengan Samuel, Adrian juga tidak akan memperlakukanmu seperti teman-teman Samuel yang lain,” balas Julian berusaha menenangkan hati sang adik.Jean pun hanya mengangguk dan memilih kembali ke kamarnya. Hari ini melelahkan baik untuk fisik dan mentalnya, akan lebih baik kalau dia segera tidur agar besok dia bisa bangun dengan segar.Namun, sampai lewat tengah malam pun mata Jean tak kunjung terpejam, justru dalam pikiranya
Adalah Johan, saudara laki-laki tertua Jean yang kini berdiri dari duduknya karena terkejut dengan keputusan tiba-tiba sang ayah. Amarahnya kali ini bukan tanpa alasan, tetapi karena adik kesayangannya mendadak dijodohkan dengan seseorang yang bahkan Johan sendiri tidak kenal. Sementara itu ada Julian, anak kedua keluarga Arkan yang berusaha menenangkan kakaknya agar kembali duduk di kursinya. Julian sebenarnya juga terkejut dengan keputusan ayahnya yang tak terprediksi, tetapi mengingat Jean yang ingin berhenti mengejar Samuel Jonathan tentu saja membuat sang ayah tidak mau kehilangan kesempatan emas tersebut. Julian sadar betul kalau adiknya itu orang yang sangat keras kepala, dan tentu buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Ayah mereka sudah bulat dengan keputusannya, maka sama saja dengan mencari masalah kalau harus menentangnya. “Siapa orangnya?” Johan bertanya dengan nada penuh curiga. Sang ayah tersenyum lalu menatap putri dengan lembut, sebelah
Hampir setiap hari Samuel harus dihadapkan dengan olokan teman-temannya perihal seorang Jeanne Felicia, wanita cantik yang membuntutinya ke mana pun ia pergi. Bahkan di usianya yang sudah menginjak kepala dua, Jean masih saja bertingkah kekanakan dengan tak tahu malu mengganggu perempuan yang berusaha mendekati pujaan hatinya.Seperti saat ini, seorang perempuan yang telah menabrak Samuel dan terjatuh di depan laki-laki itu harus menjadi bahan tontonan karena Jean mengomelinya di depan banyak orang. Perempuan berambut cokelat itu menatap Laila dengan penuh intimidasi, dan sebelum dia sempat mengucapkan hal yang penting, Samuel sudah lebih dulu turun tangan dan menarik Jean menjauh dari kerumunan.“Berhenti membuatku malu, Jean!” bentak Samuel, bahkan dirinya sempat menepis tangan Jean yang berusaha untuk meraih tangannya.Jean menunduk dalam. “Dia sengaja menabrakmu, Samuel. Kamu percaya padaku, kan? Perempuan itu, d