“Kamu lihat ekspresi Samuel tadi?” tanya Adrian sembari tertawa. “Dia kelihatan terkejut.”
Jean yang duduk di sebelahnya hanya terdiam, tidak berniat merespon ucapan dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya. Jujur saja Jean sendiri bingung harus berekspresi seperti apa setelah kejadian tadi, sebab bukannya merasa hebat karena telah lepas dari Samuel, dia justru merasa kalau dia terlalu memaksakan dirinya.
“Jean,” panggil Adrian memecah keheningan.
Yang punya nama menoleh lalu menaikkan alisnya. “Apa?”
“Kamu terlihat sedih, ada apa?”
Jean menggelengkan kepalanya lalu tersenyum manis. “Tidak apa-apa, Adrian. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” balasnya tanpa menoleh pada si lawan bicara.
Adrian mengangguk tanda mengerti, tangannya pun merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ada banyak pesan dari teman-temannya, terutama Rio dan Chris yang terkejut dengan pengumuman mendadak dari calon pewaris keluarga Halim tersebut.
Adrian sebenarnya menunggu sang pemeran utama untuk menghubunginya, tetapi sepertinya Samuel tidak akan nekat menanyakannya langsung. Padahal Adrian mengenalkan Jean sebagai calon istrinya juga untuk melihat reaksi Samuel. Namun, sayangnya lelaki yang telah menjadi pujaan hati Jean selama bertahun-tahun itu akan tetap diam.
“Kalau seperti ini jadi tidak asik,” gumam Adrian disertai seringai. “Semuanya jadi hambar kalau tidak ada persaingan.”
***
Jean pulang ke rumahnya Bersama Adrian, sementara keluarganya sudah sampai sejak dua jam yang lalu. Alasan Jean terlambat adalah karena Adrian mengajaknya untuk minum kopi di kafe langganan Adrian setiap kembali dari luar negeri. Kafe itu cukup tenang, berbeda dengan kafe pada umumnya yang penuh dengan anak muda yang saling berkumpul hingga larut malam.
“Jean,” panggil Julian yang tengah duduk sendirian di sofa. Jean yang kini tengah menutup pintu rumah hanya tersenyum lalu menyusul sang kakak dan mengambil tempat di sebelahnya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Julian. “Aku tidak tahu kalau Adrian akan langsung mengenalkanmu pada teman-temannya, dan lagi, tadi ada Samuel juga.”
Jean menggeleng. “Aku tidak apa-apa, Kak. Lagi pula aku sudah tidak ingin terlibat lagi dengan Samuel.”
“Matamu tidak bisa bohong, Jean. Meski kamu tersenyum tetapi matamu kelihatan sedih, aku jadi merasa bersalah karena membiarkan Adrian bertindak ceroboh seperti itu. Padahal dia tahu kalau kamu masih mencintai Samuel, tetapi dia malah dengan sengaja mempertontonkanmu seakan kamu adalah piala bergilir yang kini jadi miliknya,” ucap Julian dengan nada yang kesal.
“Apa maksudmu, Kak?”
“Adrian dan Samuel itu memang berteman baik, tetapi karena Adrian adalah orang yang suka bersaing, maka terkadang dia menjadikan temannya sebagai rival. Aku tidak berpikir sejauh itu sebelumnya. Namun, sekarang setelah aku melihat kelakuannya tadi, aku merasa kalau Adrian ingin membuat Samuel bertindak.” Julian mengetuk-ketuk ujung jarinya pada gelas lalu mendecih.
“Bertindak?” Jean menampilkan ekspresi bingung.
Julian meletakkan gelasnya lalu berucap, “Adrian sengaja melakukan itu agar Samuel merasa kalah sebab Adrian berhasil merebutmu darinya.”
“Tidak usah bicara omong kosong, Kak. Biarkan saja Adrian melakukan yang dia mau, lagi pula Samuel tidak akan bereaksi apa-apa. Aku malah menduga dia akan segera mengadakan pesta karena berhasil bebas dari perempuan parasit seperti aku,” ungkap Jean dengan raut mukanya yang sedih.
Dan Julian yang sangat menyayangi adiknya menjadi semakin benci pada Samuel karena telah menaruh luka dalam pada Jean hingga Jean menganggap dirinya sebagai parasit.
***
Hari ini Samuel pulang ke rumah untuk yang pertama kalinya sejak dua bulan terakhir, membuat ibunya terkejut karena putra tunggalnya itu muncul di depan pintu dengan raut muka yang terlihat kesal.
Ibunya segera menyuruh Samuel masuk, membiarkan lelaki itu untuk mandi dan berganti pakaian sementara beliau memasak makan malam.
“Ada apa, Sam?” tanya sang ibu.
“Aku sedang tidak ingin membicarakannnya, Bu.”
Wanita paruh baya itu kemudian tersenyum sembari menganggukkan kepalanya, membiarkan Samuel untuk makan sementara dia duduk di depan anaknya dan memandangi wajah Samuel.
“Kamu kebiasaan, Nak. Jangan suka menyimpan semuanya sendiri, gengsimu itu lambat laun bisa menjadi penghalang untukmu.”
Samuel tersenyum, tetapi tatapannya jelas terlihat kosong. Membuat sang ibu menjadi khawatir karena anaknya ini memang suka menahan diri. Sejak ayahnya pergi dari rumah, Samuel menjadi anak yang sangat berhati-hati dan tidak banyak memiliki teman dekat.
Bahkan hubungan percintaannya pun tidak ada yang bertahan lama, hanya berkisar satu sampai empat bulan saja. Samuel pun lebih banyak menghabiskan waktu dengan Rio dan Chris, temannya yang memang sudah dia kenal sejak lama.
“Kalau perlu teman cerita, kamu bisa langsung cari Ibu,” ungkap sang ibu. “Kamu juga harus sering pulang, Sam. Ibu sangat kesepian di rumah besar ini kalau tidak ada kamu.”
Samuel mengangguk, menggenggam tangan ibunya lalu tersenyum. “Ibu adalah satu-satunya yang aku punya, aku berjanji akan lebih sering pulang. Asal Ibu juga janji untuk terus menjaga kesehatan.”
***
“Sam, apa kamu tahu tentang perjodohan Adrian dan Jean?” tanya Rio penasaran, masih tidak menyangka kejadian kemarin benar-benar terjadi.Chris yang tengah mengaduk kopinya berucap, “Aku sampai tidak bisa bicara apa-apa saat Adrian bilang kalau Jean adalah calon istrinya. Maksudku, itu sangat tiba-tiba padahal beberapa minggu yang lalu Jean masih mengikuti Samuel.”
Samuel berdiri, memilih pergi dari hadapan kedua temannya. “Itu tidak ada urusannya denganku jadi kalian berdua tidak usah membahasnya lagi.”
“Chris, apa menurutmu Sam tengah cemburu?”
“Entahlah,” jawab Chris bingung. “Kamu tahu sendiri Samuel itu tidak akan mengaku meski kita memaksanya, tetapi kalau memang benar dia cemburu, maka itu salahnya karena selalu menolak Jean. Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar, wajar bila Jean menyerah.”
“Kamu benar, Chris.” Rio lalu meminum kopi yang tadi Chris berikan. “Oh iya, bulan depan Jean ulang tahun, kan?”
Chris mengangguk. “Iya, dan kata Julian, keluarga Arkan akan merayakannya sekaligus dengan pertunangan Jean dan Adrian.”
“Mereka terburu-buru, ya?”
Chris terkekeh. “Entah, mungkin mereka sudah ingin memiliki cucu.”
Prang!
“Apa itu?!” ucap Rio kaget, dia pun segera berlari mengecek dan ternyata itu Samuel. Di depan lelaki itu ada pecahan kaca yang merupakan vas bunga yang ada di ruang tamu apartemennya.
“Kau kenapa, Sam?”
Samuel menoleh lalu berdecak kesal, raut mukanya pun benar-benar tidak bersahabat. “Aku tidak apa-apa. Kalau kalian tidak ada urusan lagi, pulanglah sekarang. Aku ingin istirahat jadi jangan ganggu aku.”
“Kau tidak terlihat baik-baik saja, Sam. Bagaimana bisa kami meninggalkanmu sendirian?”
Samuel menatap kedua temannya secara bergantian, kemudian memilih masuk ke kamarnya tanpa bicara apa pun.
“Bagaimana ini? Chris, kita harus apa?”
Chris yang kini menatap pintu kamar Samuel hanya menggidikkan bahunya. “Lebih baik kita biarkan dia dulu, mungkin dia punya masalah serius dan ingin sendiri.”
Samuel banyak diam belakangan ini, membuat teman-temannya semakin yakin kalau lelaki itu menyimpan masalah seorang diri. Samuel memang jarang membicarakan masalah pribadinya, bahkan Rio dan Chris tidak pernah tahu bagaimana cerita di balik kepergian ayah Samuel, padahal pertemanan mereka sudah terjalin sejak jaman sekolah.Tak banyak yang tahu kalau Samuel adalah tipe orang yang suka memendam perasaannya, bersembunyi dengan senyum dan sikap ramah yang membuat siapa pun mengira ia adalah sosok yang terbuka. Sampai Rio dan Chris harus menunggu sampai Samuel bertingkah tak biasa dan lebih banyak diam baru mereka tahu kalau Samuel sedang tak baik-baik saja.Seperti saat ini, Rio yang kini masuk ke ruangan Samuel hanya bisa heran melihat lelaki itu. Komputer di depannya yang biasa menyala sejak pagi masih berwarna hitam, pun dengan tatapan Samuel yang kosong bagai tak berada di tempatnya.“Sam, kau kelihatan kurang sehat. Apa tidak pulang saja?&rd
Jean kembali ke rumahnya dengan perasaan yang belum membaik, meski sudah banyak menghabiskan air mata dengan curhat pada Mia, tetapi dirinya belum juga merasa tenang.Pikirannya kacau karena perbuatan Samuel yang begitu tega menuduhnya, padahal Jean tidak akan sampai hati melakukannya.Mata yang sembab serta mood yang berantakan membuatnya tidak berniat keluar kamar sejak pagi, dia juga tidak berniat untuk ke kantor dan memilih bersembunyi dari keluarganya."Nona Jean?" panggil seseorang dari luar disertai suara ketukan pintu. Jean yang tengah termenung langsung tersadar, mengucek matanya lalu membuka pintu."Ada apa, Bi?" Jean bertanya dengan suara yang hampir habis, membuat Bi Sari bertambah khawatir.Perempuan yang sudah hampir 30 tahun bekerja di rumah keluarga Arkan itu pun berucap, "Nona belum makan sejak pagi, apa Nona sakit?""Tidak, Bi. Aku ingin tidur saja hari ini." Lalu Jean ters
Langit masih begitu cerah saat Jean tiba di rumah yang menjadi saksi ia tumbuh dewasa. Kebetulan ada Julian dan Johan juga, kedua orang itu memang sudah jarang pulang ke rumah utama karena Johan yang sudah menikah dan Julian yang memilih tinggal di apartemen beberapa bulan terakhir. Lalu Jean yang merupakan anak bungsu jelas tak punya pilihan selain tetap berada di rumah agar kedua orang tuanya tidak kesepian. Satu dari ketiga anak itu berdiri dari posisi duduknya, berjalan menuju sofa di seberang agar bisa duduk di dekat si yang paling bungsu. Johan tatap lekat wajah cantik adiknya yang selalu tersenyum manis, membuat orang-orang terkadang sulit menebak apa Jean sedang baik-baik saja atau tidak. “Jean, dalam beberapa hari kamu akan resmi bertunangan dengan Adrian. Apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu?” Johan bertanya dengan lembut. Sebagai anak tertua, ia merasa punya tanggung jawab yang hampir sama dengan orang tuanya dalam hal masa de
“Apa yang kamu bicarakan dengan Samuel?” tanya Adrian sesaat setelah mereka berdua duduk di sofa yang berhadapan. Jean yang kini telah mengganti gaunnya menjadi baju yang lebih nyaman menatap Adrian dengan ekspresi jengkel.“Kamu tidak perlu tahu,” jawabnya singkat.Adrian yang mendapat balasan tak acuh seperti itu malah tertawa, merasa terhibur dengan wajah Jean yang kini menatapnya garang. “Kamu masih saja cuek padaku, Jean. Aku tahu aku sudah salah karena menjadikanmu umpan untuk memancing Samuel, tetapi perjodohan kita ini nyata adanya. Kalau kita berdua terus seperti ini, bukankah akan membuat orang tua kita bersedih?”“Kamu dramatis sekali, Adrian. Tidak usah playing victim, semua ini juga salahmu karena membuatku kesal.” Jean memberi gestur kesal dengan bibirnya yang maju dan kedua tangan yang disilangkan. Dan entah kenapa hal itu justru sangat menggemaskan di mata Adrian.Adrian sampai
Hampir setiap hari Samuel harus dihadapkan dengan olokan teman-temannya perihal seorang Jeanne Felicia, wanita cantik yang membuntutinya ke mana pun ia pergi. Bahkan di usianya yang sudah menginjak kepala dua, Jean masih saja bertingkah kekanakan dengan tak tahu malu mengganggu perempuan yang berusaha mendekati pujaan hatinya.Seperti saat ini, seorang perempuan yang telah menabrak Samuel dan terjatuh di depan laki-laki itu harus menjadi bahan tontonan karena Jean mengomelinya di depan banyak orang. Perempuan berambut cokelat itu menatap Laila dengan penuh intimidasi, dan sebelum dia sempat mengucapkan hal yang penting, Samuel sudah lebih dulu turun tangan dan menarik Jean menjauh dari kerumunan.“Berhenti membuatku malu, Jean!” bentak Samuel, bahkan dirinya sempat menepis tangan Jean yang berusaha untuk meraih tangannya.Jean menunduk dalam. “Dia sengaja menabrakmu, Samuel. Kamu percaya padaku, kan? Perempuan itu, d
Adalah Johan, saudara laki-laki tertua Jean yang kini berdiri dari duduknya karena terkejut dengan keputusan tiba-tiba sang ayah. Amarahnya kali ini bukan tanpa alasan, tetapi karena adik kesayangannya mendadak dijodohkan dengan seseorang yang bahkan Johan sendiri tidak kenal. Sementara itu ada Julian, anak kedua keluarga Arkan yang berusaha menenangkan kakaknya agar kembali duduk di kursinya. Julian sebenarnya juga terkejut dengan keputusan ayahnya yang tak terprediksi, tetapi mengingat Jean yang ingin berhenti mengejar Samuel Jonathan tentu saja membuat sang ayah tidak mau kehilangan kesempatan emas tersebut. Julian sadar betul kalau adiknya itu orang yang sangat keras kepala, dan tentu buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Ayah mereka sudah bulat dengan keputusannya, maka sama saja dengan mencari masalah kalau harus menentangnya. “Siapa orangnya?” Johan bertanya dengan nada penuh curiga. Sang ayah tersenyum lalu menatap putri dengan lembut, sebelah
Jean menghela napas lega saat berhasil sampai di rumah, rasanya sangat berat mengobrol dengan Adrian karena lelaki itu ternyata mengenal Samuel. Bahkan Adrian sampai tahu bagaiamana kelakuan Jean selama kurang lebih lima belas tahun terakhir.“Kenapa tidak bilang kalau Adrian dan Samuel saling kenal?” tanya Jean dengan bibir cemberut. Julian yang kini duduk di depannya hanya terkekeh sembari melontarkan maaf.“Kamu tidak perlu khawatir, Jean. Meski mereka berteman, tetapi aku yakin Adrian tidak sama dengan Samuel, Adrian juga tidak akan memperlakukanmu seperti teman-teman Samuel yang lain,” balas Julian berusaha menenangkan hati sang adik.Jean pun hanya mengangguk dan memilih kembali ke kamarnya. Hari ini melelahkan baik untuk fisik dan mentalnya, akan lebih baik kalau dia segera tidur agar besok dia bisa bangun dengan segar.Namun, sampai lewat tengah malam pun mata Jean tak kunjung terpejam, justru dalam pikiranya
“Apa yang kamu bicarakan dengan Samuel?” tanya Adrian sesaat setelah mereka berdua duduk di sofa yang berhadapan. Jean yang kini telah mengganti gaunnya menjadi baju yang lebih nyaman menatap Adrian dengan ekspresi jengkel.“Kamu tidak perlu tahu,” jawabnya singkat.Adrian yang mendapat balasan tak acuh seperti itu malah tertawa, merasa terhibur dengan wajah Jean yang kini menatapnya garang. “Kamu masih saja cuek padaku, Jean. Aku tahu aku sudah salah karena menjadikanmu umpan untuk memancing Samuel, tetapi perjodohan kita ini nyata adanya. Kalau kita berdua terus seperti ini, bukankah akan membuat orang tua kita bersedih?”“Kamu dramatis sekali, Adrian. Tidak usah playing victim, semua ini juga salahmu karena membuatku kesal.” Jean memberi gestur kesal dengan bibirnya yang maju dan kedua tangan yang disilangkan. Dan entah kenapa hal itu justru sangat menggemaskan di mata Adrian.Adrian sampai
Langit masih begitu cerah saat Jean tiba di rumah yang menjadi saksi ia tumbuh dewasa. Kebetulan ada Julian dan Johan juga, kedua orang itu memang sudah jarang pulang ke rumah utama karena Johan yang sudah menikah dan Julian yang memilih tinggal di apartemen beberapa bulan terakhir. Lalu Jean yang merupakan anak bungsu jelas tak punya pilihan selain tetap berada di rumah agar kedua orang tuanya tidak kesepian. Satu dari ketiga anak itu berdiri dari posisi duduknya, berjalan menuju sofa di seberang agar bisa duduk di dekat si yang paling bungsu. Johan tatap lekat wajah cantik adiknya yang selalu tersenyum manis, membuat orang-orang terkadang sulit menebak apa Jean sedang baik-baik saja atau tidak. “Jean, dalam beberapa hari kamu akan resmi bertunangan dengan Adrian. Apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu?” Johan bertanya dengan lembut. Sebagai anak tertua, ia merasa punya tanggung jawab yang hampir sama dengan orang tuanya dalam hal masa de
Jean kembali ke rumahnya dengan perasaan yang belum membaik, meski sudah banyak menghabiskan air mata dengan curhat pada Mia, tetapi dirinya belum juga merasa tenang.Pikirannya kacau karena perbuatan Samuel yang begitu tega menuduhnya, padahal Jean tidak akan sampai hati melakukannya.Mata yang sembab serta mood yang berantakan membuatnya tidak berniat keluar kamar sejak pagi, dia juga tidak berniat untuk ke kantor dan memilih bersembunyi dari keluarganya."Nona Jean?" panggil seseorang dari luar disertai suara ketukan pintu. Jean yang tengah termenung langsung tersadar, mengucek matanya lalu membuka pintu."Ada apa, Bi?" Jean bertanya dengan suara yang hampir habis, membuat Bi Sari bertambah khawatir.Perempuan yang sudah hampir 30 tahun bekerja di rumah keluarga Arkan itu pun berucap, "Nona belum makan sejak pagi, apa Nona sakit?""Tidak, Bi. Aku ingin tidur saja hari ini." Lalu Jean ters
Samuel banyak diam belakangan ini, membuat teman-temannya semakin yakin kalau lelaki itu menyimpan masalah seorang diri. Samuel memang jarang membicarakan masalah pribadinya, bahkan Rio dan Chris tidak pernah tahu bagaimana cerita di balik kepergian ayah Samuel, padahal pertemanan mereka sudah terjalin sejak jaman sekolah.Tak banyak yang tahu kalau Samuel adalah tipe orang yang suka memendam perasaannya, bersembunyi dengan senyum dan sikap ramah yang membuat siapa pun mengira ia adalah sosok yang terbuka. Sampai Rio dan Chris harus menunggu sampai Samuel bertingkah tak biasa dan lebih banyak diam baru mereka tahu kalau Samuel sedang tak baik-baik saja.Seperti saat ini, Rio yang kini masuk ke ruangan Samuel hanya bisa heran melihat lelaki itu. Komputer di depannya yang biasa menyala sejak pagi masih berwarna hitam, pun dengan tatapan Samuel yang kosong bagai tak berada di tempatnya.“Sam, kau kelihatan kurang sehat. Apa tidak pulang saja?&rd
“Kamu lihat ekspresi Samuel tadi?” tanya Adrian sembari tertawa. “Dia kelihatan terkejut.”Jean yang duduk di sebelahnya hanya terdiam, tidak berniat merespon ucapan dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya. Jujur saja Jean sendiri bingung harus berekspresi seperti apa setelah kejadian tadi, sebab bukannya merasa hebat karena telah lepas dari Samuel, dia justru merasa kalau dia terlalu memaksakan dirinya.“Jean,” panggil Adrian memecah keheningan.Yang punya nama menoleh lalu menaikkan alisnya. “Apa?”“Kamu terlihat sedih, ada apa?”Jean menggelengkan kepalanya lalu tersenyum manis. “Tidak apa-apa, Adrian. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” balasnya tanpa menoleh pada si lawan bicara.Adrian mengangguk tanda mengerti, tangannya pun merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ada banyak pesan dari teman-temannya, terutama Rio dan Chris yang ter
Jean menghela napas lega saat berhasil sampai di rumah, rasanya sangat berat mengobrol dengan Adrian karena lelaki itu ternyata mengenal Samuel. Bahkan Adrian sampai tahu bagaiamana kelakuan Jean selama kurang lebih lima belas tahun terakhir.“Kenapa tidak bilang kalau Adrian dan Samuel saling kenal?” tanya Jean dengan bibir cemberut. Julian yang kini duduk di depannya hanya terkekeh sembari melontarkan maaf.“Kamu tidak perlu khawatir, Jean. Meski mereka berteman, tetapi aku yakin Adrian tidak sama dengan Samuel, Adrian juga tidak akan memperlakukanmu seperti teman-teman Samuel yang lain,” balas Julian berusaha menenangkan hati sang adik.Jean pun hanya mengangguk dan memilih kembali ke kamarnya. Hari ini melelahkan baik untuk fisik dan mentalnya, akan lebih baik kalau dia segera tidur agar besok dia bisa bangun dengan segar.Namun, sampai lewat tengah malam pun mata Jean tak kunjung terpejam, justru dalam pikiranya
Adalah Johan, saudara laki-laki tertua Jean yang kini berdiri dari duduknya karena terkejut dengan keputusan tiba-tiba sang ayah. Amarahnya kali ini bukan tanpa alasan, tetapi karena adik kesayangannya mendadak dijodohkan dengan seseorang yang bahkan Johan sendiri tidak kenal. Sementara itu ada Julian, anak kedua keluarga Arkan yang berusaha menenangkan kakaknya agar kembali duduk di kursinya. Julian sebenarnya juga terkejut dengan keputusan ayahnya yang tak terprediksi, tetapi mengingat Jean yang ingin berhenti mengejar Samuel Jonathan tentu saja membuat sang ayah tidak mau kehilangan kesempatan emas tersebut. Julian sadar betul kalau adiknya itu orang yang sangat keras kepala, dan tentu buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Ayah mereka sudah bulat dengan keputusannya, maka sama saja dengan mencari masalah kalau harus menentangnya. “Siapa orangnya?” Johan bertanya dengan nada penuh curiga. Sang ayah tersenyum lalu menatap putri dengan lembut, sebelah
Hampir setiap hari Samuel harus dihadapkan dengan olokan teman-temannya perihal seorang Jeanne Felicia, wanita cantik yang membuntutinya ke mana pun ia pergi. Bahkan di usianya yang sudah menginjak kepala dua, Jean masih saja bertingkah kekanakan dengan tak tahu malu mengganggu perempuan yang berusaha mendekati pujaan hatinya.Seperti saat ini, seorang perempuan yang telah menabrak Samuel dan terjatuh di depan laki-laki itu harus menjadi bahan tontonan karena Jean mengomelinya di depan banyak orang. Perempuan berambut cokelat itu menatap Laila dengan penuh intimidasi, dan sebelum dia sempat mengucapkan hal yang penting, Samuel sudah lebih dulu turun tangan dan menarik Jean menjauh dari kerumunan.“Berhenti membuatku malu, Jean!” bentak Samuel, bahkan dirinya sempat menepis tangan Jean yang berusaha untuk meraih tangannya.Jean menunduk dalam. “Dia sengaja menabrakmu, Samuel. Kamu percaya padaku, kan? Perempuan itu, d