Adalah Johan, saudara laki-laki tertua Jean yang kini berdiri dari duduknya karena terkejut dengan keputusan tiba-tiba sang ayah. Amarahnya kali ini bukan tanpa alasan, tetapi karena adik kesayangannya mendadak dijodohkan dengan seseorang yang bahkan Johan sendiri tidak kenal.
Sementara itu ada Julian, anak kedua keluarga Arkan yang berusaha menenangkan kakaknya agar kembali duduk di kursinya. Julian sebenarnya juga terkejut dengan keputusan ayahnya yang tak terprediksi, tetapi mengingat Jean yang ingin berhenti mengejar Samuel Jonathan tentu saja membuat sang ayah tidak mau kehilangan kesempatan emas tersebut.
Julian sadar betul kalau adiknya itu orang yang sangat keras kepala, dan tentu buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Ayah mereka sudah bulat dengan keputusannya, maka sama saja dengan mencari masalah kalau harus menentangnya.
“Siapa orangnya?” Johan bertanya dengan nada penuh curiga.
Sang ayah tersenyum lalu menatap putri dengan lembut, sebelah tangannya pun menggenggam tangan istrinya sebelum berujar, “Anak dari rekan bisnis Ayah, Julian juga pasti mengenalnya.”
Yang disebut namanya tersentak, kemudian berseloroh dengan raut penuh tanya, “Siapa, Yah?”
“Adrian, anak Pak Halim yang pernah membantu perusahaan kita tiga tahun lalu. Sekarang beliau tengah gencar mencari jodoh untuk anak laki-lakinya yang akan menjadi penerus bisnisnya, dan beliau secara langsung mengajak kita untuk berbesan.”
Johan menoleh pada ayahnya dan Jean secara bergantian, “Julian, menurutmu Adrian itu orangnya seperti apa?” tanya si anak tertua.
“Adrian itu teman satu sekolahku dulu, dia orangnya kalem dan tidak banyak tingkah. Dia juga pintar dan punya banyak teman, lalu yang aku dengar dia mengambil kuliah jurusan bisnis di luar negeri. Dia juga mengambil alih bisnis ayahnya di sana jadi sulit untuk bertemu Adrian sekarang.”
“Kalian tidak perlu khawatir, Ayah pun tak akan menyerahkan putri Ayah pada orang sembarangan,” ucap si kepala keluarga. “Bagaimana menurutmu, Jean?”
Jean tersenyum canggung, bimbang penuhi kepalanya. Dia memang ingin cepat melupakan Samuel, tetapi dia merasa keputusan sang ayah terlalu ekstrim. Namun, melihat betapa antusiasnya dia menjodohkan Jean, perempuan itu jadi tak sampai hati untuk menolak.
Jean jadi berpikir kalau selama ini dia telah membuat ayahnya kesulitan karena ambisinya untuk mendapatkan Samuel, dan hal itu jadi pertimbangan kuat untuknya menerima perjodohan ini. Lagi pula perjodohan adalah hal yang biasa terjadi di lingkungannya, bahkan orang tuanya menikah karena dijodohkan dan tetap bahagia sampai sekarang.
“Aku tidak masalah Ayah, kalau menurut Ayah itu demi kebaikanku, maka aku akan menurut.”
*****
Jean kini tengah duduk di samping Julian sembari mengupas buah apel, jemari lentiknya terampil meletakkan tiap potongan yang sudah siap untuk disantap. Sementara sang kakak malah asik menatap adiknya dengan penuh rasa heran, sebab sudah dua minggu ini Jean tidak menunjukkan tanda-tanda akan kembali mengejar Samuel.
“Apa kamu benar-benar sudah yakin, Jean?” tanya Julian. “Kamu tidak bisa menarik ucapanmu saat nanti kedua pihak keluarga sudah setuju dengan perjodohan kalian.”
Jean tersenyum manis. “Aku tidak pernah seyakin ini sebelumnya, jadi Kak Julian tidak perlu khawatir.”
“Bagaimana aku tidak khawatir kalau sejak dulu kamu sangat optimis akan mendapatkan Samuel, bahkan di hari yang sama saat kamu memutuskan untuk berhenti mengejarnya, kamu masih membuntutinya. Apa ini bukan rencanamu yang lain?”
Jean mendengus, menatap tajam Julian sebelum berkata, “Kakak bisa percaya padaku, aku sudah dewasa dan sudah sadar kalau selama ini yang aku lakukan adalah kebodohan. Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar, pun aku masih memiliki rasa yang besar untuk Samuel. Namun, percayalah, aku sangat serius dengan keputusanku kali ini.”
“Kakakmu ini hanya ingin kamu bahagia, jadi aku harap keputusanmu adalah yang terbaik,” ucap Julian dengan senyum hangatnya.
Bagaimanpun keras kepalanya sang adik, Jean tetaplah perempuan yang sangat paham tentang dirinya sendiri. Kalau Jean memang benar memutuskan untuk berhenti mengejar Samuel, itu artinya Jean telah menyadari kalau cinta butanya selama ini memang tidak pantas untuk diperjuangkan.
Lima belas tahun memang bukan waktu yang sebentar, Jean yang ambisius pun sampai menyerah akan cinta pertamanya. Julian hanya ingin kali ini adiknya bisa merasakan cinta yang pantas untuknya, karena meski banyak orang yang bilang kalau Jean itu jahat dan punya obsesi gila pada Samuel, Julian bisa memastikan kalau adiknya bukanlah orang yang jahat.
Justru Samuel yang akan menyesal karena sudah menyia-nyiakan adiknya yang berharga.
*****
“Akhir-akhir ini aku tidak melihat Jean,” ucap Rio penasaran, bahkan terakhir kali dia melihat perempuan itu adalah saat insiden Chris meminum racun.
Chris yang kini tengah menyantap makanannya mengangguk setuju. “Yang aku dengar, dia resign dari jabatannya di kantor ini.”
“Apa?!” respon Rio terkejut. “Kenapa dia sampai resign segala? Apa kau tahu penyebabnya, Sam?”
Yang ditanya menoleh sebentar lalu kembali fokus pada laptop di pangkuannya. “Tidak tahu.”
Rio terperanjat kala suatu alasan muncul di kepalanya. “Apa jangan-jangan dia serius dengan ucapannya beberapa minggu yang lalu? Lagi pula kalau dipikir-pikir, sebelum kejadian itu pun Jean sudah jarang muncul di depanmu.”
“Benarkah?” Chris bertanya dengan nada penuh ragu. “Kalau itu Jean, aku yakin dia akan muncul lagi. Ini bukan pertama kalinya Samuel menghadapi Jean yang tiba-tiba menghilang begini, dan aku optimis dia pasti tengah mengetes apakah Samuel mencarinya atau tidak.”
“Benar juga,” ucap Rio. “Aku juga berpikir hal yang sama sebelumnya, harusnya kita tidak perlu ragu dengan keteguhan hati Jean untuk mengejar Samuel. Kalau aku jadi Samuel pasti aku sudah menikahi Jean, kapan lagi ada perempuan seperti Jean yang mau menurunkan harga dirinya untuk mengejar laki-laki selama bertahun-tahun, sementara ada banyak laki-laki lain yang menginginkannya.”
“Benar sekali, tetapi Samuel mungkin punya alasan kuat kenapa dia menolak Jean selama ini,” tutur Chris menimpali.
Samuel menggeleng. “Aku tidak punya alasan yang kuat, justru alasanku sangat sepele selama ini.”
*****
Hari ini adalah hari di mana Jean akan bertemu dengan keluarga Halim untuk pertama kalinya, ada rasa gugup dalam hatinya kala mengingat kalau ini terkait dengan perjodohannya dengan laki-laki Bernama Adrian.
Namun, dengan pembawaannya yang tenang, dia berhasil melewati acara makan malam yang panjang dengan obrolan para orang tua yang sangat antusias dengan perjodohan mereka.
Adrian yang baru kemarin kembali dari Singapura pun kelihatan lelah dan butuh istirahat, jadi Jean mengambil inisiatif untuk meminta izin agar keduanya bisa mengobrol di tempat lain.
“Apa ada yang perlu anda bicarakan, Nona?”
Jean menggeleng lalu duduk tepat di depan Adrian. “Panggil Jean saja,” ucapnya. “Tidak ada yang ingin aku katakan, justru aku ingin kita menjauh dari para orang tua karena kamu terlihat pucat. Apa kamu baik-baik saja?”
Adrian terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja, hanya merasa pusing karena perjalanan yang melelahkan. Maaf kalau aku datang tidak dalam kondisi yang baik, Jean.”
“Tidak masalah, justru kamu mau repot-repot datang ke sini padahal sedang sibuk di luar negeri membuatku merasa tidak enak. Lain kali kamu tidak perlu datang kalau memang tidak bisa,” ujar Jean sembari meminum frappucino hangatnnya.
“Terima kasih sudah khawatir padaku,” respon Adrian. “Kamu tidak usah sungkan karena aku sudah pindah ke sini beberapa hari yang lalu. Ayahku ingin aku fokus pada kantor pusat karena usianya sudah tidak muda lagi, dan kemarin aku ke Singapura hanya untuk memastikan beberapa hal sebelum benar-benar fokus di sini.”
“Baiklah kalau begitu,” tutur Jean dengan senyum kecil.
Sementara Adrian justru menampilkan sebuah seringai yang membuat alis Jean terangkat naik. Ditambah lagi saat lelaki itu tiba-tiba bertanya tentang hubungan Jean dengan Samuel Jonathan, dan mengatakan kalau mereka adalah teman dekat dan juga rekan bisnis.
“Aku… tidak ingin membahas dia.”
Jean menghela napas lega saat berhasil sampai di rumah, rasanya sangat berat mengobrol dengan Adrian karena lelaki itu ternyata mengenal Samuel. Bahkan Adrian sampai tahu bagaiamana kelakuan Jean selama kurang lebih lima belas tahun terakhir.“Kenapa tidak bilang kalau Adrian dan Samuel saling kenal?” tanya Jean dengan bibir cemberut. Julian yang kini duduk di depannya hanya terkekeh sembari melontarkan maaf.“Kamu tidak perlu khawatir, Jean. Meski mereka berteman, tetapi aku yakin Adrian tidak sama dengan Samuel, Adrian juga tidak akan memperlakukanmu seperti teman-teman Samuel yang lain,” balas Julian berusaha menenangkan hati sang adik.Jean pun hanya mengangguk dan memilih kembali ke kamarnya. Hari ini melelahkan baik untuk fisik dan mentalnya, akan lebih baik kalau dia segera tidur agar besok dia bisa bangun dengan segar.Namun, sampai lewat tengah malam pun mata Jean tak kunjung terpejam, justru dalam pikiranya
“Kamu lihat ekspresi Samuel tadi?” tanya Adrian sembari tertawa. “Dia kelihatan terkejut.”Jean yang duduk di sebelahnya hanya terdiam, tidak berniat merespon ucapan dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya. Jujur saja Jean sendiri bingung harus berekspresi seperti apa setelah kejadian tadi, sebab bukannya merasa hebat karena telah lepas dari Samuel, dia justru merasa kalau dia terlalu memaksakan dirinya.“Jean,” panggil Adrian memecah keheningan.Yang punya nama menoleh lalu menaikkan alisnya. “Apa?”“Kamu terlihat sedih, ada apa?”Jean menggelengkan kepalanya lalu tersenyum manis. “Tidak apa-apa, Adrian. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” balasnya tanpa menoleh pada si lawan bicara.Adrian mengangguk tanda mengerti, tangannya pun merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ada banyak pesan dari teman-temannya, terutama Rio dan Chris yang ter
Samuel banyak diam belakangan ini, membuat teman-temannya semakin yakin kalau lelaki itu menyimpan masalah seorang diri. Samuel memang jarang membicarakan masalah pribadinya, bahkan Rio dan Chris tidak pernah tahu bagaimana cerita di balik kepergian ayah Samuel, padahal pertemanan mereka sudah terjalin sejak jaman sekolah.Tak banyak yang tahu kalau Samuel adalah tipe orang yang suka memendam perasaannya, bersembunyi dengan senyum dan sikap ramah yang membuat siapa pun mengira ia adalah sosok yang terbuka. Sampai Rio dan Chris harus menunggu sampai Samuel bertingkah tak biasa dan lebih banyak diam baru mereka tahu kalau Samuel sedang tak baik-baik saja.Seperti saat ini, Rio yang kini masuk ke ruangan Samuel hanya bisa heran melihat lelaki itu. Komputer di depannya yang biasa menyala sejak pagi masih berwarna hitam, pun dengan tatapan Samuel yang kosong bagai tak berada di tempatnya.“Sam, kau kelihatan kurang sehat. Apa tidak pulang saja?&rd
Jean kembali ke rumahnya dengan perasaan yang belum membaik, meski sudah banyak menghabiskan air mata dengan curhat pada Mia, tetapi dirinya belum juga merasa tenang.Pikirannya kacau karena perbuatan Samuel yang begitu tega menuduhnya, padahal Jean tidak akan sampai hati melakukannya.Mata yang sembab serta mood yang berantakan membuatnya tidak berniat keluar kamar sejak pagi, dia juga tidak berniat untuk ke kantor dan memilih bersembunyi dari keluarganya."Nona Jean?" panggil seseorang dari luar disertai suara ketukan pintu. Jean yang tengah termenung langsung tersadar, mengucek matanya lalu membuka pintu."Ada apa, Bi?" Jean bertanya dengan suara yang hampir habis, membuat Bi Sari bertambah khawatir.Perempuan yang sudah hampir 30 tahun bekerja di rumah keluarga Arkan itu pun berucap, "Nona belum makan sejak pagi, apa Nona sakit?""Tidak, Bi. Aku ingin tidur saja hari ini." Lalu Jean ters
Langit masih begitu cerah saat Jean tiba di rumah yang menjadi saksi ia tumbuh dewasa. Kebetulan ada Julian dan Johan juga, kedua orang itu memang sudah jarang pulang ke rumah utama karena Johan yang sudah menikah dan Julian yang memilih tinggal di apartemen beberapa bulan terakhir. Lalu Jean yang merupakan anak bungsu jelas tak punya pilihan selain tetap berada di rumah agar kedua orang tuanya tidak kesepian. Satu dari ketiga anak itu berdiri dari posisi duduknya, berjalan menuju sofa di seberang agar bisa duduk di dekat si yang paling bungsu. Johan tatap lekat wajah cantik adiknya yang selalu tersenyum manis, membuat orang-orang terkadang sulit menebak apa Jean sedang baik-baik saja atau tidak. “Jean, dalam beberapa hari kamu akan resmi bertunangan dengan Adrian. Apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu?” Johan bertanya dengan lembut. Sebagai anak tertua, ia merasa punya tanggung jawab yang hampir sama dengan orang tuanya dalam hal masa de
“Apa yang kamu bicarakan dengan Samuel?” tanya Adrian sesaat setelah mereka berdua duduk di sofa yang berhadapan. Jean yang kini telah mengganti gaunnya menjadi baju yang lebih nyaman menatap Adrian dengan ekspresi jengkel.“Kamu tidak perlu tahu,” jawabnya singkat.Adrian yang mendapat balasan tak acuh seperti itu malah tertawa, merasa terhibur dengan wajah Jean yang kini menatapnya garang. “Kamu masih saja cuek padaku, Jean. Aku tahu aku sudah salah karena menjadikanmu umpan untuk memancing Samuel, tetapi perjodohan kita ini nyata adanya. Kalau kita berdua terus seperti ini, bukankah akan membuat orang tua kita bersedih?”“Kamu dramatis sekali, Adrian. Tidak usah playing victim, semua ini juga salahmu karena membuatku kesal.” Jean memberi gestur kesal dengan bibirnya yang maju dan kedua tangan yang disilangkan. Dan entah kenapa hal itu justru sangat menggemaskan di mata Adrian.Adrian sampai
Hampir setiap hari Samuel harus dihadapkan dengan olokan teman-temannya perihal seorang Jeanne Felicia, wanita cantik yang membuntutinya ke mana pun ia pergi. Bahkan di usianya yang sudah menginjak kepala dua, Jean masih saja bertingkah kekanakan dengan tak tahu malu mengganggu perempuan yang berusaha mendekati pujaan hatinya.Seperti saat ini, seorang perempuan yang telah menabrak Samuel dan terjatuh di depan laki-laki itu harus menjadi bahan tontonan karena Jean mengomelinya di depan banyak orang. Perempuan berambut cokelat itu menatap Laila dengan penuh intimidasi, dan sebelum dia sempat mengucapkan hal yang penting, Samuel sudah lebih dulu turun tangan dan menarik Jean menjauh dari kerumunan.“Berhenti membuatku malu, Jean!” bentak Samuel, bahkan dirinya sempat menepis tangan Jean yang berusaha untuk meraih tangannya.Jean menunduk dalam. “Dia sengaja menabrakmu, Samuel. Kamu percaya padaku, kan? Perempuan itu, d
“Apa yang kamu bicarakan dengan Samuel?” tanya Adrian sesaat setelah mereka berdua duduk di sofa yang berhadapan. Jean yang kini telah mengganti gaunnya menjadi baju yang lebih nyaman menatap Adrian dengan ekspresi jengkel.“Kamu tidak perlu tahu,” jawabnya singkat.Adrian yang mendapat balasan tak acuh seperti itu malah tertawa, merasa terhibur dengan wajah Jean yang kini menatapnya garang. “Kamu masih saja cuek padaku, Jean. Aku tahu aku sudah salah karena menjadikanmu umpan untuk memancing Samuel, tetapi perjodohan kita ini nyata adanya. Kalau kita berdua terus seperti ini, bukankah akan membuat orang tua kita bersedih?”“Kamu dramatis sekali, Adrian. Tidak usah playing victim, semua ini juga salahmu karena membuatku kesal.” Jean memberi gestur kesal dengan bibirnya yang maju dan kedua tangan yang disilangkan. Dan entah kenapa hal itu justru sangat menggemaskan di mata Adrian.Adrian sampai
Langit masih begitu cerah saat Jean tiba di rumah yang menjadi saksi ia tumbuh dewasa. Kebetulan ada Julian dan Johan juga, kedua orang itu memang sudah jarang pulang ke rumah utama karena Johan yang sudah menikah dan Julian yang memilih tinggal di apartemen beberapa bulan terakhir. Lalu Jean yang merupakan anak bungsu jelas tak punya pilihan selain tetap berada di rumah agar kedua orang tuanya tidak kesepian. Satu dari ketiga anak itu berdiri dari posisi duduknya, berjalan menuju sofa di seberang agar bisa duduk di dekat si yang paling bungsu. Johan tatap lekat wajah cantik adiknya yang selalu tersenyum manis, membuat orang-orang terkadang sulit menebak apa Jean sedang baik-baik saja atau tidak. “Jean, dalam beberapa hari kamu akan resmi bertunangan dengan Adrian. Apa kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu?” Johan bertanya dengan lembut. Sebagai anak tertua, ia merasa punya tanggung jawab yang hampir sama dengan orang tuanya dalam hal masa de
Jean kembali ke rumahnya dengan perasaan yang belum membaik, meski sudah banyak menghabiskan air mata dengan curhat pada Mia, tetapi dirinya belum juga merasa tenang.Pikirannya kacau karena perbuatan Samuel yang begitu tega menuduhnya, padahal Jean tidak akan sampai hati melakukannya.Mata yang sembab serta mood yang berantakan membuatnya tidak berniat keluar kamar sejak pagi, dia juga tidak berniat untuk ke kantor dan memilih bersembunyi dari keluarganya."Nona Jean?" panggil seseorang dari luar disertai suara ketukan pintu. Jean yang tengah termenung langsung tersadar, mengucek matanya lalu membuka pintu."Ada apa, Bi?" Jean bertanya dengan suara yang hampir habis, membuat Bi Sari bertambah khawatir.Perempuan yang sudah hampir 30 tahun bekerja di rumah keluarga Arkan itu pun berucap, "Nona belum makan sejak pagi, apa Nona sakit?""Tidak, Bi. Aku ingin tidur saja hari ini." Lalu Jean ters
Samuel banyak diam belakangan ini, membuat teman-temannya semakin yakin kalau lelaki itu menyimpan masalah seorang diri. Samuel memang jarang membicarakan masalah pribadinya, bahkan Rio dan Chris tidak pernah tahu bagaimana cerita di balik kepergian ayah Samuel, padahal pertemanan mereka sudah terjalin sejak jaman sekolah.Tak banyak yang tahu kalau Samuel adalah tipe orang yang suka memendam perasaannya, bersembunyi dengan senyum dan sikap ramah yang membuat siapa pun mengira ia adalah sosok yang terbuka. Sampai Rio dan Chris harus menunggu sampai Samuel bertingkah tak biasa dan lebih banyak diam baru mereka tahu kalau Samuel sedang tak baik-baik saja.Seperti saat ini, Rio yang kini masuk ke ruangan Samuel hanya bisa heran melihat lelaki itu. Komputer di depannya yang biasa menyala sejak pagi masih berwarna hitam, pun dengan tatapan Samuel yang kosong bagai tak berada di tempatnya.“Sam, kau kelihatan kurang sehat. Apa tidak pulang saja?&rd
“Kamu lihat ekspresi Samuel tadi?” tanya Adrian sembari tertawa. “Dia kelihatan terkejut.”Jean yang duduk di sebelahnya hanya terdiam, tidak berniat merespon ucapan dari lelaki yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya. Jujur saja Jean sendiri bingung harus berekspresi seperti apa setelah kejadian tadi, sebab bukannya merasa hebat karena telah lepas dari Samuel, dia justru merasa kalau dia terlalu memaksakan dirinya.“Jean,” panggil Adrian memecah keheningan.Yang punya nama menoleh lalu menaikkan alisnya. “Apa?”“Kamu terlihat sedih, ada apa?”Jean menggelengkan kepalanya lalu tersenyum manis. “Tidak apa-apa, Adrian. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” balasnya tanpa menoleh pada si lawan bicara.Adrian mengangguk tanda mengerti, tangannya pun merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ada banyak pesan dari teman-temannya, terutama Rio dan Chris yang ter
Jean menghela napas lega saat berhasil sampai di rumah, rasanya sangat berat mengobrol dengan Adrian karena lelaki itu ternyata mengenal Samuel. Bahkan Adrian sampai tahu bagaiamana kelakuan Jean selama kurang lebih lima belas tahun terakhir.“Kenapa tidak bilang kalau Adrian dan Samuel saling kenal?” tanya Jean dengan bibir cemberut. Julian yang kini duduk di depannya hanya terkekeh sembari melontarkan maaf.“Kamu tidak perlu khawatir, Jean. Meski mereka berteman, tetapi aku yakin Adrian tidak sama dengan Samuel, Adrian juga tidak akan memperlakukanmu seperti teman-teman Samuel yang lain,” balas Julian berusaha menenangkan hati sang adik.Jean pun hanya mengangguk dan memilih kembali ke kamarnya. Hari ini melelahkan baik untuk fisik dan mentalnya, akan lebih baik kalau dia segera tidur agar besok dia bisa bangun dengan segar.Namun, sampai lewat tengah malam pun mata Jean tak kunjung terpejam, justru dalam pikiranya
Adalah Johan, saudara laki-laki tertua Jean yang kini berdiri dari duduknya karena terkejut dengan keputusan tiba-tiba sang ayah. Amarahnya kali ini bukan tanpa alasan, tetapi karena adik kesayangannya mendadak dijodohkan dengan seseorang yang bahkan Johan sendiri tidak kenal. Sementara itu ada Julian, anak kedua keluarga Arkan yang berusaha menenangkan kakaknya agar kembali duduk di kursinya. Julian sebenarnya juga terkejut dengan keputusan ayahnya yang tak terprediksi, tetapi mengingat Jean yang ingin berhenti mengejar Samuel Jonathan tentu saja membuat sang ayah tidak mau kehilangan kesempatan emas tersebut. Julian sadar betul kalau adiknya itu orang yang sangat keras kepala, dan tentu buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Ayah mereka sudah bulat dengan keputusannya, maka sama saja dengan mencari masalah kalau harus menentangnya. “Siapa orangnya?” Johan bertanya dengan nada penuh curiga. Sang ayah tersenyum lalu menatap putri dengan lembut, sebelah
Hampir setiap hari Samuel harus dihadapkan dengan olokan teman-temannya perihal seorang Jeanne Felicia, wanita cantik yang membuntutinya ke mana pun ia pergi. Bahkan di usianya yang sudah menginjak kepala dua, Jean masih saja bertingkah kekanakan dengan tak tahu malu mengganggu perempuan yang berusaha mendekati pujaan hatinya.Seperti saat ini, seorang perempuan yang telah menabrak Samuel dan terjatuh di depan laki-laki itu harus menjadi bahan tontonan karena Jean mengomelinya di depan banyak orang. Perempuan berambut cokelat itu menatap Laila dengan penuh intimidasi, dan sebelum dia sempat mengucapkan hal yang penting, Samuel sudah lebih dulu turun tangan dan menarik Jean menjauh dari kerumunan.“Berhenti membuatku malu, Jean!” bentak Samuel, bahkan dirinya sempat menepis tangan Jean yang berusaha untuk meraih tangannya.Jean menunduk dalam. “Dia sengaja menabrakmu, Samuel. Kamu percaya padaku, kan? Perempuan itu, d