"Kenapa anda memilih saya untuk menjalankan misi tersebut jika saya menerima tawaran anda?" Baron mereka-reka setiap jawaban yang diterimanya dan mempertimbangkan kembali saat mendengar persyaratan itu.
"Pertanyaanmu cukup bagus. Sebelumnya aku pernah mengirim seorang jenderal bahkan pembunuh terhebat tapi tidak ada satupun dari mereka yang berhasil menjalankan misi itu. Tak sedikit diantara mereka yang fokus pada duniawi." Bola matanya melirik ke arah Baron. "Aku sudah memberitahu jawabanku, sekarang giliranmu."Padahal ia berharap ingin hidup seperti masyarakat biasa bila dirinya mendapatkan kesempatan hidup kedua. Tetapi, semua berjalan tak sesuai prediksi. Lagi-lagi ia menjalani hidup sebagai tameng perang.Kalau dirinya tak bisa menyelamatkan orang lain maka semua sia-sia. Banyak orang yang akan merasakan apa yang ia alami di masa lalu. Seharusnya istri dan bayinya itu masih ada. Tetapi waktu terus berjalan dan menyisakan semangatnya hingga kini."Baik. Saya terima tawaran anda—""Bagus! Kau mengikuti instruksiku mulai sekarang. Sebagai hadiahnya aku memberimu keistimewaan," sela dewa langit membawa Baron ke tempat yang berbeda. Pemberian dari dewa keberuntungan ia gunakan untuk meningkatkan skill Baron setelah menyesuaikan tubuh barunya.Sistem canggih keluar. Begitu banyak fitur untuk meningkatkan kekuatan. Baron mengawasi sekeliling. Diantara skill yang ditujukan ia memilih sesuai kebutuhannya. Entah kenapa ia tertarik dengan skill membuat senjata otomatis."Hanya satu yang boleh kau miliki. Dari sekian skill, kau memilih membuat senjata otomatis?" Alisnya terangkat tak percaya pilihan Baron.Belajar dari kesalahan sebelumnya, Baron tidak ingin melewatkan senjata kesayangannya bahkan dengan musuh banyak sekalipun ia bisa menggunakan pemberian skill untuk kebaikan. Sempat ia berpikir apa tujuannya. Membunuh pahlawan demi menyelamatkan dunia? Alasan aneh yang layak diragukan. Baron tidak bisa berpikir positif setelah dirinya dipermainkan. Namun, ia tidak bisa mengambil kesimpulan sebelum menuntaskan apalagi menemukan kebenaran."Saya sudah memutuskannya," sahut Baron penuh keyakinan. Meski ia harus belajar lebih giat untuk mengeluarkan energi dari tubuh, Baron memikirkan jangka panjang akan pilihan tersebut.Dewa langit tersenyum. Ia menyalurkan energi tahap pertama pada Baron. Skill itu tidak langsung menjadi kekuatan yang lebih besar, sebab skill yang dipilih Baron cukup unik. Hal yang rumit menguji adrenalin Baron. Ia tidak takut malah menyukai tantangan itu.Setelah Baron meresap energi skill, ia mendapatkan memori dari kehidupan keduanya. Dalam sekejap, dewa langit mengirim Baron ke masa depan. Ia mengawasi awal perjalanan hidup Baron.***Bolanya terbelalak. Ruangan mewah dengan aroma terapi. Baron tersadar, tangannya merayap menyentuh tubuhnya. Sejenak bola matanya mendapati dirinya di cermin. Tubuh yang masih muda dengan wajah tampan. "Ternyata semua itu bukan mimpi," ucapnya pada dirinya sendiri.Terdengar ketukan lembut dari luar. Baron segera membuka pintu. Wanita berseragam menundukkan kepalanya."Apa yang kau inginkan?""Tuan, ayah anda menyuruh untuk segera ke ruang keluarga. Beliau mengatakan ada sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan dengan anda," jawabnya tanpa menatapnya."Katakan padanya lima menit aku akan sampai di sana." Ia menutup pintu setelahnya wanita itu mulai beranjak. Baron menarik napas. Ingatan kepribadian sebelumnya sedikit bertentangan.Setelan jas warna hitam menambah nilai plus penampilannya. Agar ia tidak kikuk, Baron mengecek laci satu persatu. Pencarian data pribadinya ia temukan. Namanya hampir mirip dengannya."Aron Smith?" Bola matanya menoleh ke jendela kamar. Tirai itu tertiup angin berhembus. Keindahan ruangan kamarnya terdapat sisi buruk dari luar. Dugaannya semakin jelas kota dalam keadaan kacau. Tangan Baron mengepal. Melampaui beberapa tahun memperlihatkan kota semakin mendekati kata hancur.Kakinya bersiap menuju ruang keluarga. Meski ia tidak pernah tahu denah bangunan itu, ia merasa familiar karena memori lamanya.Klak! Tatapan mata berpusat ke arahnya. Sepasang suami istri memperhatikan Baron. Dari binar mata sang ibu ada sebuah harapan. Sementara ayahnya nampak serius dengan dagu tegas. Baron mengisi kursi sofa di depan keduanya."Apa kami harus mengemis agar kau setuju dengan keinginan ayahmu, Nak?" tanya ibunya.Sontak sang ayah menahan tangan istrinya seakan mengisyaratkan tidak meneruskan pembicaraan. Kali ini ia mempertegas. "Bagaimana rencanamu ke depan? Jika kau terus—""Aku bersedia menggantikan ayah. Aku adalah anak satu-satunya ayah." Ia bersujud di kaki pria itu. "Aku minta maaf, ayah."Mendengar hal yang begitu mengejutkan dari mulut sang anak, keduanya merasa aneh akan perubahan jawaban. Namun, mereka malah bersyukur karena anaknya menerima saran tersebut.Leo mengangkatnya. "Sudahlah, tidak perlu sampai seperti ini Aron." Bibirnya mengembangkan senyum. Sesaat mata mereka saling memandang, Leo memeluknya. "Terima kasih, Aron. Kau mau berlatih sekarang?" tawarnya.Mendengar namanya berbeda, Baron berusaha menyesuaikan dengan nama barunya itu. Ia mencuri-curi pandangan. "Ibu tak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja." Ia bangkit. "Ayo, ayah!""Hahaha.... Kau ini jail sekali. Lain kali jangan buat kami khawatir." Sambil mengacak-acak rambut Aron.Ia serasa wisata masa lalu. Kedua orang tuanya dulu meninggalkan Baron kecil. Hidup tanpa kasih sayang orang tua ditambah kepergian istri dan bayinya. Tapi, di kehidupan ini ia bisa merasakan sebagaimana rasa itu. 'Jadi, inikah rasa kasih sayang orang tua?'Aron melambaikan tangannya. Wanita itu membalas lambaian tangannya seraya tersenyum. Kemudian, pemandangan itu kembali tidak terlihat. Ia mengikuti langkah kaki Leo. Dalam hati ia tidak sabar dengan seperti apa latihannya.Kakinya berjalan menuju lorong gelap. Semakin mengikuti langkah sang ayah, Aron merasakan suhu ruangan cukup dingin. Tubuh mudanya bukan seperti tubuh biasa. Telapak tangannya mulai menggosok-gosok bahunya.Kepala Leo menoleh. "Kau kedinginan, ya?" Ia mendapat respon anggukan kepala. "Tenang saja, aku akan membuatmu merasa menggigil."Aron menahan pundak Leo untuk menuruni anak tangga yang semakin ke dalam. "Ayah tidak berniat balas dendam bukan?""Kau ini—" Kalimatnya sengaja terpotong sebab jarinya mencubit pipi Aron. "Ikutlah saja, maka kau akan tahu latihan kita." Leo menarik tangan Aron. Langkahnya begitu cepat, untungnya Aron seimbang menuruni anak tangga.Aron tak bisa menolak. Kakinya mencoba menyeimbangi setiap langkah. Tak lama, ia sampai ditempat yang dirahasiakan sebelumnya. Berbagai senjata usang dipenuhi bekas noda darah dipajang di setiap dinding tempat itu.Dari banyaknya senjata ia menemukan senjata lamanya. Pistol berbalutkan emas miliknya masih tersimpan baik. Saat tangannya hendak menyentuh permukaan pistol Leo menepis tangan Aron."Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan penuh kemurkaan."Ti–tidak ada, yah," selanya gelagapan. Ia segera mengurungkan niatannya. 'Ayolah Baron, kenapa kau begitu agresif saat melihat senjata kesayanganmu?'"Aku tidak bermaksud melarangmu, hanya saja ini bukan saatnya. Kita latihan fisik lebih dahulu. Kau tidak perlu khawatir—"Aron menyela. Ia mengajukan pertanyaan yang cukup provokatif. "Kenapa namaku hampir mirip dengannya ayah?"Lagi-lagi mulutnya bertanya jujur. Di sisi lain, ia ingin mengetahui kebenaran yang di maksud para dewa. Pengujian menunjukkan hasil yang benar. Aron tidak sabar menunggu mendapatkan jawaban.***Leo mengamati senjata itu baik-baik. "Dulu ada seorang yang berjasa di negara ini. Kebaikan yang dilakukannya membuat masyarakat menyambut seusai dia pulang dari perang. Sayangnya pemerintah terlalu ceroboh, mereka membiarkan negara hancur demi sebuah harta. Yah, dia membunuh pahlawan itu tapi pemerintah sengaja menutupi kasus itu. Jika kau ingin tahu siapa namanya, dia adalah Baron Arsenio."Degup jantungnya terpompa cepat. Ia tidak percaya masih ada orang yang mengingat dirinya. Sejenak ia membeku. 'Yang disebut pria ini adalah aku. Apa maksud dari semua ini?' Bak sebuah kejutan, Aron bertanya terang-terangan sebelum memastikannya dalam buku sejarah. "Apa ayah menginginkanku seperti dia?" Pertanyaan itu tak bisa direm. Tubuhnya menolak bekerjasama dengan pikirannya."Aku tidak ingin menyuruhmu seperti orang lain. Tapi sebagai keluarga Smith kita memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi bangsawan." Leo melepas semua pakaiannya hingga tersisa celana pendek yang menutupi area sensi
Emily tak yakin kalau Aron serius dengan kalimatnya. "Apa tidak apa-apa jika melibatkan dia dalam situasi ini?""Seharusnya kau tidak perlu mengetahui sejauh ini." Leo mengecup kening istrinya. Ia tak ingin membuat sang istri memiliki beban pikiran. Terpaksa Leo menggunakan cara lama untuk menenangkannya.Di tempat lain, bukannya Aron beristirahat. Ia sibuk mencari taktik yang begitu sulit. Untungnya ia memiliki ruangan pribadi yang terdapat perpustakaan. Ia mempelajari di buku, sesekali menerapkan teknik tersebut.Hari ini ia sengaja menguras habis tenaganya. Napasnya terengah-engah dengan pandangan ke atas. Aron berharap waktu berjalan lebih cepat. Semenit kemudian, ia menatap keluar jendela. Aron bergegas melihat pemandangan di luar lebih jelas."Aku harus bertahan sebulan lagi." Tangannya menggenggam erat besi pembatas itu. "Tidak aku biarkan ayah berjuang sendirian."Di saat Aron memikirkan sebuah ide, seseorang mengetuk pintunya. Ia tidak bisa menebak siapakah orang itu. Namun,
Baru memasuki batas kota Luxury, Aron menjumpai pria dengan pakaian mewah tak lupa mobil mustang keluaran terbaru, tengah memarahi seorang gadis dan ibunya."Apa-apaan itu? Tolong hentikan mobilnya," perintah Aron sembari membuka kaca jendela mobil.Max mengintip keadaan di luar. Tentu saja ia geram dengan pria arogan itu. "Tuan, itu gadis yang saya maksud. Emm.... Sepertinya dia dalam bahaya," ucap Max yang bersimpati pada gadis itu."Bukan sepertinya lagi, dia memang dalam bahaya." Aron menoleh ke arah Max. "Apa kau akan diam dan menonton saja?""Eh? A–apa anda memberi izin untuk menyelamatkan gadis itu?" tanyanya gelagapan. Ritme detak jantung Max mulai tidak terkendali."Tunggu apalagi?" Tatapan Aron sinis. "Aku akan melihat aksi drama percintaan kalian," godanya dengan kegirangan. Di sisi lain Aron memiliki rencana setelah menyelamatkan gadis itu. Tentunya Aron selalu memprioritaskan segala apapun mengenai misinya.Max salah tingkah. Kali ini ia bisa menjadi pahlawan untuk gadis
Setibanya di kediaman Smith, langit sudah gelap. Leo dan Emily menyambutnya, sayangnya Aron masih belum bangun dari tidurnya. Max mengangkat tubuh Aron menuju kamar. Sementara Angela berdiri mematung."Max, siapa gadis ini?" tanya Emily. Wajah gadis itu seperti familiar, kakinya memberanikan mendekat."Angela Melodi. Silahkan perkenalkan dirimu, Nona. Kalau begitu saya akan mengantarkan tuan muda ke kamarnya—""Tidak perlu, Max," selanya lalu Leo menjentikkan jarinya setelah itu muncullah bodyguard lain. "Antar Aron ke tempat tidurnya.""Baik, Tuan." Pria itu bergegas melaksanakan tugasnya.Kini tinggal mereka yang tengah berkumpul di ruang tamu. Leo menebak kalau semua ini dilakukan atas perintah Aron. padahal baru sehari saja anaknya itu dia latih malah membuat kejutan.Setelah pria tadi mengantar Aron, barulah Leo mengajukan pertanyaan lagi. "Jadi, apa tujuan semua ini?""Izinkan kami menikah, Tuan," jawab Max tanpa basa-basi. Ia juga tidak menyudutkan nama Aron dalam hal ini, mesk
Aron menunggu sampai langit terang. Pagi sekali, ia sudah membersihkan diri, mengenakan pakaian rapi. Jemarinya bermain di atas meja sangking bosannya. Jarinya mulai menekan tombol membuka jendela. Pemandangan di depannya masih tidak berubah. Andai saja ia bisa mempercepat latihan tapi Aron sudah meminta durasi waktu yang cukup cepat.Ia mengambil ponselnya, mengirim pesan singkat kepada Max. Bodyguard itu tak menjelaskan melalui ponsel. Semenit kemudian pria itu menghampirinya tentu saja tak sendiri."Tuan Aron, saya datang," sapa Max membelakangi Leo.Aron tersenyum lugu. Sudah diduga ayahnya akan ikut Max. Kakinya berjalan menuju kasur dan melempar diri. "Bukannya hari ini ayah ada tugas?""Apa maksudmu soal pernikahan Max dengan Nona Angela?" tanyanya balik menjerumus inti pembahasan."Haruskah itu menjadi persoalan bagi ayah?" Bola mata Aron melirik ke arah Max. "Aku hanya membantu kak Max untuk menikahi gadis idamannya. Apa itu salah?" Aron tidak meninggikan intonasi suaranya.
Tidak lama ponsel keduanya berdering. Notifikasi yang sama mengisi layar ponsel mereka. Bibirnya bisa tersenyum puas. "Selamat, kak Max! Akhirnya kau bisa menikahi gadis idamanmu.""Terima kasih, Tuan Aron." Bola matanya berkaca-kaca. Keduanya saling berpelukan. Aron yang sudah menjelaskan tujuannya, sedikit merasa tenang karena ia tidak menyembunyikan sesuatu lagi meski ia sulit percaya kepada orang lain. Tetapi, Aron bisa mempercayai keduanya karena ketulusan itu. Aron meregangkan pelukan yang sempat melingkar di pinggang Max. Hari ini ia akan fokus dengan latihannya. Sementara di tempat lain, Emily memiliki kesibukan sendiri. Merawat seorang anak perempuan adalah cita-cita dari dulu. Pernikahan itu akan digelar besok. Kebetulan hari di bulan itu merupakan hari yang bagus. itu sebabnya Leo menyetujui pernikahan Max dengan Angela yang mendadak.Meski sebelumnya tidak ada komunikasi maupun pengenalan diri satu sama lain Max percaya itu bisa dilakukannya setelah upacara pernikahan usa
Akhirnya hari pernikahan itu telah tiba. Angela nampak cantik dengan balutan makeup yang terpoles di wajahnya, ditambah gaun putih pilihan Emily. Wanita itu berjalan anggun menghampiri pengantin pria.Janji suci pun terucap. Semua orang yang hadir memberikan ucapan selamat atas pernikahan mereka yang sudah resmi. Aron menyapa mereka. Tangannya mengulurkan sebuah amplop kecil. "Ini hadiah untuk kalian."Sempat menjadi perbincangan bahkan tawa kecil mulai terdengar. Emily menggeleng malu melihat tingkah anaknya. "Tapi, kalian bisa membukanya sekarang," perintah Aron agar Angela tidak penasaran. Untungnya ia sempat menulis catatan di dalam kertas amplop itu.Max mengangguk lalu Angela membuka isi amplop tersebut. Benda kotak yang tipis membuat mulutnya menganga tidak percaya apa yang sedang dilihatnya itu. Blackcard dengan pinggiran emas menjadi pusat perhatian orang yang menghadiri pernikahan itu.Tawa kecil mulai lenyap tak ada orang yang bersuara. Emily terharu menyaksikan pemberian
"Jadi, siapa pemilik mobil dengan plat itu?" tanyanya dengan tatapan tajam. Tertentang dari raut wajah, pria itu berusaha menahan emosi."Saya tidak tahu jelas. Tapi, kami menemukan sinyal dari ponsel atas nama—" Kalimatnya terpotong mencari informasi identitas dari saluran telekomunikasi. Bills mengintip tulisan yang ada di layar monitor. Tidak ada data petunjuk. Ia mendengus kesal. Emosinya meluap tak tertahankan. Tangannya membanting barang-barang di sekitarnya. Kumpulan alat pengetikan yang tertata rapi di rak kini berantakan. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu nampak terkejut dan terdiam tak berkomentar.Brak! Napas Bills terengah-engah seakan kesurupan. Mereka sudah berupaya sebaik mungkin untuk mendapatkan informasi detail dari rekaman CCTV. Ia merasa terpukul akan kekalahannya itu. Tetapi, Bills tidak akan menyerap begitu saja."Ka–kami tidak tahu siapa orangnya, Tuan," sambungnya gelagapan. Kemudian bibirnya kembali terkunci."Payah!" Kepalan jemarinya sengaja dibent