Share

3. Reinkarnasi

"Kenapa anda memilih saya untuk menjalankan misi tersebut jika saya menerima tawaran anda?" Baron mereka-reka setiap jawaban yang diterimanya dan mempertimbangkan kembali saat mendengar persyaratan itu.

"Pertanyaanmu cukup bagus. Sebelumnya aku pernah mengirim seorang jenderal bahkan pembunuh terhebat tapi tidak ada satupun dari mereka yang berhasil menjalankan misi itu. Tak sedikit diantara mereka yang fokus pada duniawi." Bola matanya melirik ke arah Baron. "Aku sudah memberitahu jawabanku, sekarang giliranmu."

Padahal ia berharap ingin hidup seperti masyarakat biasa bila dirinya mendapatkan kesempatan hidup kedua. Tetapi, semua berjalan tak sesuai prediksi. Lagi-lagi ia menjalani hidup sebagai tameng perang.

Kalau dirinya tak bisa menyelamatkan orang lain maka semua sia-sia. Banyak orang yang akan merasakan apa yang ia alami di masa lalu. Seharusnya istri dan bayinya itu masih ada. Tetapi waktu terus berjalan dan menyisakan semangatnya hingga kini.

"Baik. Saya terima tawaran anda—"

"Bagus! Kau mengikuti instruksiku mulai sekarang. Sebagai hadiahnya aku memberimu keistimewaan," sela dewa langit membawa Baron ke tempat yang berbeda. Pemberian dari dewa keberuntungan ia gunakan untuk meningkatkan skill Baron setelah menyesuaikan tubuh barunya.

Sistem canggih keluar. Begitu banyak fitur untuk meningkatkan kekuatan. Baron mengawasi sekeliling. Diantara skill yang ditujukan ia memilih sesuai kebutuhannya. Entah kenapa ia tertarik dengan skill membuat senjata otomatis.

"Hanya satu yang boleh kau miliki. Dari sekian skill, kau memilih membuat senjata otomatis?" Alisnya terangkat tak percaya pilihan Baron.

Belajar dari kesalahan sebelumnya, Baron tidak ingin melewatkan senjata kesayangannya bahkan dengan musuh banyak sekalipun ia bisa menggunakan pemberian skill untuk kebaikan. Sempat ia berpikir apa tujuannya. Membunuh pahlawan demi menyelamatkan dunia? Alasan aneh yang layak diragukan. Baron tidak bisa berpikir positif setelah dirinya dipermainkan. Namun, ia tidak bisa mengambil kesimpulan sebelum menuntaskan apalagi menemukan kebenaran.

"Saya sudah memutuskannya," sahut Baron penuh keyakinan. Meski ia harus belajar lebih giat untuk mengeluarkan energi dari tubuh, Baron memikirkan jangka panjang akan pilihan tersebut.

Dewa langit tersenyum. Ia menyalurkan energi tahap pertama pada Baron. Skill itu tidak langsung menjadi kekuatan yang lebih besar, sebab skill yang dipilih Baron cukup unik. Hal yang rumit menguji adrenalin Baron. Ia tidak takut malah menyukai tantangan itu.

Setelah Baron meresap energi skill, ia mendapatkan memori dari kehidupan keduanya. Dalam sekejap, dewa langit mengirim Baron ke masa depan. Ia mengawasi awal perjalanan hidup Baron.

***

Bolanya terbelalak. Ruangan mewah dengan aroma terapi. Baron tersadar, tangannya merayap menyentuh tubuhnya. Sejenak bola matanya mendapati dirinya di cermin. Tubuh yang masih muda dengan wajah tampan. "Ternyata semua itu bukan mimpi," ucapnya pada dirinya sendiri.

Terdengar ketukan lembut dari luar. Baron segera membuka pintu. Wanita berseragam menundukkan kepalanya.

"Apa yang kau inginkan?"

"Tuan, ayah anda menyuruh untuk segera ke ruang keluarga. Beliau mengatakan ada sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan dengan anda," jawabnya tanpa menatapnya.

"Katakan padanya lima menit aku akan sampai di sana." Ia menutup pintu setelahnya wanita itu mulai beranjak. Baron menarik napas. Ingatan kepribadian sebelumnya sedikit bertentangan.

Setelan jas warna hitam menambah nilai plus penampilannya. Agar ia tidak kikuk, Baron mengecek laci satu persatu. Pencarian data pribadinya ia temukan. Namanya hampir mirip dengannya.

"Aron Smith?" Bola matanya menoleh ke jendela kamar. Tirai itu tertiup angin berhembus. Keindahan ruangan kamarnya terdapat sisi buruk dari luar. Dugaannya semakin jelas kota dalam keadaan kacau. Tangan Baron mengepal. Melampaui beberapa tahun memperlihatkan kota semakin mendekati kata hancur.

Kakinya bersiap menuju ruang keluarga. Meski ia tidak pernah tahu denah bangunan itu, ia merasa familiar karena memori lamanya.

Klak! Tatapan mata berpusat ke arahnya. Sepasang suami istri memperhatikan Baron. Dari binar mata sang ibu ada sebuah harapan. Sementara ayahnya nampak serius dengan dagu tegas. Baron mengisi kursi sofa di depan keduanya.

"Apa kami harus mengemis agar kau setuju dengan keinginan ayahmu, Nak?" tanya ibunya.

Sontak sang ayah menahan tangan istrinya seakan mengisyaratkan tidak meneruskan pembicaraan. Kali ini ia mempertegas. "Bagaimana rencanamu ke depan? Jika kau terus—"

"Aku bersedia menggantikan ayah. Aku adalah anak satu-satunya ayah." Ia bersujud di kaki pria itu. "Aku minta maaf, ayah."

Mendengar hal yang begitu mengejutkan dari mulut sang anak, keduanya merasa aneh akan perubahan jawaban. Namun, mereka malah bersyukur karena anaknya menerima saran tersebut.

Leo mengangkatnya. "Sudahlah, tidak perlu sampai seperti ini Aron." Bibirnya mengembangkan senyum. Sesaat mata mereka saling memandang, Leo memeluknya. "Terima kasih, Aron. Kau mau berlatih sekarang?" tawarnya.

Mendengar namanya berbeda, Baron berusaha menyesuaikan dengan nama barunya itu. Ia mencuri-curi pandangan. "Ibu tak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja." Ia bangkit. "Ayo, ayah!"

"Hahaha.... Kau ini jail sekali. Lain kali jangan buat kami khawatir." Sambil mengacak-acak rambut Aron.

Ia serasa wisata masa lalu. Kedua orang tuanya dulu meninggalkan Baron kecil. Hidup tanpa kasih sayang orang tua ditambah kepergian istri dan bayinya. Tapi, di kehidupan ini ia bisa merasakan sebagaimana rasa itu. 'Jadi, inikah rasa kasih sayang orang tua?'

Aron melambaikan tangannya. Wanita itu membalas lambaian tangannya seraya tersenyum. Kemudian, pemandangan itu kembali tidak terlihat. Ia mengikuti langkah kaki Leo. Dalam hati ia tidak sabar dengan seperti apa latihannya.

Kakinya berjalan menuju lorong gelap. Semakin mengikuti langkah sang ayah, Aron merasakan suhu ruangan cukup dingin. Tubuh mudanya bukan seperti tubuh biasa. Telapak tangannya mulai menggosok-gosok bahunya.

Kepala Leo menoleh. "Kau kedinginan, ya?" Ia mendapat respon anggukan kepala. "Tenang saja, aku akan membuatmu merasa menggigil."

Aron menahan pundak Leo untuk menuruni anak tangga yang semakin ke dalam. "Ayah tidak berniat balas dendam bukan?"

"Kau ini—" Kalimatnya sengaja terpotong sebab jarinya mencubit pipi Aron. "Ikutlah saja, maka kau akan tahu latihan kita." Leo menarik tangan Aron. Langkahnya begitu cepat, untungnya Aron seimbang menuruni anak tangga.

Aron tak bisa menolak. Kakinya mencoba menyeimbangi setiap langkah. Tak lama, ia sampai ditempat yang dirahasiakan sebelumnya. Berbagai senjata usang dipenuhi bekas noda darah dipajang di setiap dinding tempat itu.

Dari banyaknya senjata ia menemukan senjata lamanya. Pistol berbalutkan emas miliknya masih tersimpan baik. Saat tangannya hendak menyentuh permukaan pistol Leo menepis tangan Aron.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan penuh kemurkaan.

"Ti–tidak ada, yah," selanya gelagapan. Ia segera mengurungkan niatannya. 'Ayolah Baron, kenapa kau begitu agresif saat melihat senjata kesayanganmu?'

"Aku tidak bermaksud melarangmu, hanya saja ini bukan saatnya. Kita latihan fisik lebih dahulu. Kau tidak perlu khawatir—"

Aron menyela. Ia mengajukan pertanyaan yang cukup provokatif. "Kenapa namaku hampir mirip dengannya ayah?"

Lagi-lagi mulutnya bertanya jujur. Di sisi lain, ia ingin mengetahui kebenaran yang di maksud para dewa. Pengujian menunjukkan hasil yang benar. Aron tidak sabar menunggu mendapatkan jawaban.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status