Terkabulnya Doa Istri Pertama
Bab 3Digerebek"Sar, Mbak boleh minta tolong?" Sarah membuka obrolan setelah Sabrina menyelesaikan sholat Maghribnya."Katakan saja, Mbak! In Syaa Allah, aku siap." Sarah pun menceritakan tentang provokasinya pada ibu-ibu di sekitar rumah Hendrik."Mbak boleh tolong gak, kamu ke sana untuk memastikan penggerebekan itu. Mbak gak mungkin ke sana." Dengan penuh harap, Sarah memberikan alamat dan nomor orang-orang yang sekiranya diperlukan dalam misi kali ini.****Malam telah datang menjelma menjadi kegelapan. Sabrina pergi ke komplek tempat tinggal Hendrik menggunakan tunggangan roda empat mewah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun dari Negeri Ginseng.Dengan langkah mantap, matang dan licik, ia mendatangi RT setempat. Laporan penuh bumbu provokasi pun ia sertakan agar bisa memberikan hukuman pada musuhnya kali ini."Hah, yang betul, Mbak? Mbak jangan bohong apalagi sampai fitnah orang. Itu gak baik, Mbak!" sanggah Pak RT tidak percaya dengan laporan Sabrina."Saya tidak bohong, Pak! Apakah wajah saya ini ada tampang tukang fitnah dan bohong?" Pak RT terdiam mengikuti instruksi Sabrina."Selain itu saya punya bukti pengakuan istri sahnya. Orang-orang pun sudah tahu hal itu." Sabrina sodorkan HP canggih terbaru miliknya.Pak RT pun mendengarkan dengan seksama pengakuan Sarah yang penuh kesedihan dan kekecewaan serta menyayat hati bagi siapapun yang melihatnya."Kalau bapak masih tidak percaya juga, silakan buktikan omongan saya ini. Mereka pasti saat ini sedang melakukan hal yang iya-iya. Apakah bapak ingin komplek ini menjadi kotor dan kena bala?" Sabrina kembali menyakinkan Pak RT, sekilas Pak RT menghela napasnya. Sungging senyum pun hiasi wajah Sabrina, sedikit lagi umpannya berhasil."Mbak tenang saja! Kami juga tidak ingin itu terjadi."Pertemuan itu pun selesai, keduanya berpisah. Sabrina pun menemui ibu-ibu yang sempat diprovokasi oleh Sarah.Sedangkan Pak RT akan memulai eksekusi dengan mengumpulkan orang banyak. Sebelum penggerebekan terjadi, Pak RT bersama dua orang lainnya mengintai rumah Hendrik untuk mengkonfirmasi apakah benar yang dikatakan oleh Sabrina."Ssshhhh!! Enghhh" Desahan demi desahan serta lenguhan sangat menodai telinga Pak RT dan dua orang lainnya begitu sampai di depan rumah Hendrik."Gila! Bener kata Mbak itu tadi. Bisa-bisanya dia melakukan hal tak berguna macam ini. Ayo kita tunggu yang lainnya, setelah mereka datang kita gerebek." Pak RT pun merogoh celananya untuk mengambil HP miliknya lalu menghubungi orang-orang untuk segera datang.Tak berselang lama, orang-orang suruhan Pak RT pun datang. Mereka berbondong-bondong dengan penuh amarah, kesal, sekaligus benci. Nampak di wajah mereka merah membara.Dok! Dok! Dok!"Hendrik! Keluar kamu, Hendrik!" Tanpa aba-aba, salah seorang warga menggedor-gedor pintu rumah seraya berteriak kencang.Sementara di luar penuh kemarahan, di dalam Hendrik begitu menikmati kegiatannya sehingga sama sekali tidak mendengar apapun yang terjadi. Bahkan, mereka berdua semakin menjadi."Gila malah makin menjadi aja tuh kebo," kesal salah satu warga. Mereka kesal karena gedoran dan teriakan pertama sama sekali tidak membuahkan hasil, malah harus mendengarkan hal yang semakin menjijikkan."Udah dobrak aja! Nunggu dia dengar malah udah kelar. Kita gak punya bukti ntar," ucap Pak RT menengahi.Keramaian yang tercipta mengundang perhatian tetangga sekitar. Mereka yang tidak disuruh Pak RT untuk datang pun menjadi berduyun-duyun penasaran apa yang terjadi."Satu, dua, tiga!" Brakkkk!!!!!Seperti sudah profesional dan terorganisir padahal serba mendadak, warga bergerak cepat mendobrak lalu masuk rumah Hendrik dengan mengendap-endap. Mereka bersiap untuk berpencar menyisir setiap ruangan. Tak lupa, di setiap rombongan ada kamera yang siap merekam.Namun, belum sempat berpencar, aksi dua manusia tak bersehelai benang itu tertonton nyata di depan mata warga. Kedatangan mereka yang mendadak, membuat Hendrik dan Novi gelagapan serta kalang kabut.Spontan, mereka berdua menghentikan aksinya dan segera memunguti pakaian yang berserakan di ruang tengah. Mereka menyambar apa saja agar bisa menutupi tubuh polos masing-masing."Arak kebo ini! Permalukan mereka!" Belum sempat menutupi tubuh, masing-masing tangan Hendrik dan Novi sudah dicekal warga di sisi kanan dan kirinya"Apa-apaan kalian ini! Siapa kalian yang seenaknya masuk rumahku? Lepas!" Hendrik berontak, berusaha melepaskan cekalan warga di lengannya. Langkahnya itu diikuti Novi. Warga yang tak mau rugi, semakin mempererat cekalan itu."Diam, kamu Hendrik! Kamu yang apa-apaan? Ngapain kamu berzina di rumah ini dan di mana Sarah?" Pak RT yang diam sejak pintu didobrak, akhirnya buka suara."Aku gak berzina, Pak! Dia istriku dan aku sudah menceraikan Sarah," jawab Hendrik seraya kembali berusaha melepaskan cekalan. "Lepas! Kalian tidak bisa seenaknya main masuk rumah orang. Mau ku laporkan polisi? Hah! Dan apa kamu rekam-rekam?" Hendrik murka untuk menutupi rasa malunya."Bohong! Jangan percaya, Pak RT! Itu hanya akal-akalannya saja biar gak diarak. Kalau benar, mana buktinya?" sahut warga lain yang mulai tak sabar. Ditanya bukti, Hendrik tiba-tiba berwajah pias. Lidahnya menjadi kelu dan kaku tak bisa menjawab."Iya, betul itu! Mana buktinya? Udah, gak usah lama-lama, langsung diarak saja!" tuntutan warga lainnya itu membuat lutut Hendrik lemas, kemurkaan yang tadi sempat menguasai dirinya kini telah hilang."Tunggu! Aku punya buktinya. Lepaskan!" Novi yang tak punya malu dan diam sedari tadi , akhirnya bersuara. "Lepaskan! Bagaimana aku bisa mengambilnya?" Warga dengan tak rela melepaskan cekalan di tangan Novi.Lepas dari cekalan, Novi tak segera beranjak. Ia memungut pakaiannya terlebih dahulu. Lalu, masuk ke kamarnya diikuti dua orang yang tadi mencekalnya."Ini kan yang kalian cari? Aku punya dan tolong keluar dari rumah kami!" Novi menyerahkan HP pada Pak RT dan warga segera melihatnya."Haha! Hanya ini?" tanya remeh salah satu warga yang sedari awal paling getol, Novi mengangguk dengan tangan bersedekap bangga."Kalian pikir kami percaya? Bisa jadi ini editan, agar kalian leluasa berzina. Udah, gak usah pikir panjang. Segera arak sekarang!" Kebanggaan Novi lenyap, ia tak menyangka jika warga tidak percaya dengan foto pernikahannya.Warga pun segera berbondong-bondong menggiring Hendrik dan Novi ke jalanan. Warga yang sudah menyiapkan kalung tali rafia berbandul kardus bertuliskan "Aku Pezina" segera mengalungkan ke leher Hendrik dan Novi.Bersyukur, warga masih punya hati untuk memakaikan celana bokser untuk Hendrik. Sepanjang jalan, walaupun Hendrik tercekal di sisi kiri dan kanan, ia sama sekali tidak terima. Ia meledak-ledak penuh kemarahan dan sumpah serapah serta umpatan dilontarkan kepada siapapun yang sudah berani mempermalukan dirinya dan Novi."Udah, gak usah marah gitu. B ajalah! Orang salah kok gak mau mengakuinya. Ah, aku lupa. Begitulah kalau pezina." Ledekan salah satu warga yang melayani umpatan dan kemarahan Hendrik mendapatkan dukungan dan sorak sorai dari warga lain."Bagus, aku suka cara kerjamu!""Haha, masalah kecil ini mah!"Terkabulnya Doa Istri PertamaBab 4 Ada Apa, Ya? Setelah keluar dari rumah Pak RT, Sabrina menemui orang-orang di sekitar rumah Hendrik. Tujuannya kali ini adalah menyuruh orang merekam apapun yang terjadi nanti. Setelah berhasil menemukan orang-orang tersebut, Sabrina memberitahukan hal yang harus mereka lakukan. Usai menyuruh orang, Sabrina menunggu arakan Hendrik dan Novi di pinggir jalan yang akan dilewati. Dan di sinilah ia sekarang berada.Tak ingin merayakan misinya sendirian, Sabrina pun segera menghubungi Sarah. Drttt! Drttt!"Assalamu'alaikum, Na! Ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?" Sarah yang sedang menyusui Emir di kamar barunya mendapat telpon dari Sabrina. Ia mendadak tidak enak hati, khawatir jika terjadi apa-apa dengan Sabrina. "Wa'alaykumussalaam. Tenang saja, Mbak! Aku baik-baik saja kok. Arakan Hendrik sudah mulai terlihat, apakah Mbak Sarah mau lihat?" "Aku siap, Na! Aku ingin melihat seperti apakah malunya si badjingan tengil itu." Di ujung sana, Sarah begitu
Terkabulnya Doa Istri PertamaBab 5 Ini Tidak Adil! Walaupun Sarah masih dalam masa pemulihan pasca melahirkan, ia yang punya misi dan ambisi balas dendam membuatnya sama sekali tidak merasakan lelah. Setelah adzan subuh berkumandang, ia sudah siap mengotak-atik HP dan e-mailnya. Berbekal hubungan dirinya dengan teman kerja mantan suaminya yang pernah bertandang ke rumahnya dulu, Sarah berhasil mendapatkan alamat e-mail dan no pribadi milik direktur utama perusahaan tempat Hendrik bekerja serta para staff yang bisa diajak kerja sama. Ia yang tahu akan peraturan ketat perusahaan tersebut dengan semangat empat lima segera mengirimkan video bukti perselingkuhan dan arakan Hendrik kepada Dirut dan staff. Tak lupa, ia memprovokasi sang Dirut agar memberikan hukuman yang setimpal. Sementara itu di rumah Pak Adam. Ia yang baru saja menyelesaikan sarapan, sangat terkejut begitu membuka e-mail maupun chat di aplikasi gagang ijo. Kebersamaan sarapan bersama keluarga yang hangat berubah menj
"Adam brengsek! Awas aja kamu, akan kubuat perhitungan!" Hendrik keluar dari ruangan membawa satu box kardus berisi barang penting miliknya. Ia meninggalkan ruangan yang masih berantakan karena ulahnya. Bahkan, laptop kesayangannya pun dibiarkan hancur tanpa disentuhnya lagi. "Sial, sial! Apa lihat-lihat! Mau kuhajar kalian?" gertak Hendrik saat melewati para staff di lobby menuju parkiran. Tak ingin berlama-lama berada di tempat yang membuatnya marah, Hendrik segera masuk dan membelah jalanan tanpa hiraukan pengendara yang lain. Selama di perjalanan, Hendrik tak henti-hentinya memukul stir. Bahkan, perjalanan yang biasanya bisa menghabiskan waktu hampir satu jam, cukup tiga puluh menit sudah tiba di rumah saking mengebutnya. Begitu sampai, Hendrik berjalan masuk ke rumah dengan buru-buru tanpa membawa barang-barang dari kantornya tadi, kecuali SK skorsing. Benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya, Hendrik masuk rumah dengan cara menendang kuat-kuat. Hal itu membuat Novi yan
Drttt! Drttt! Saat sedang uring-uringan, kesal dan marah, Novi dikejutkan oleh deringan telpon dari ibunya, Miranti. "Ngapain sih, Bu!" Walaupun tidak ingin terganggu, ia tetap mengangkatnya. "Novi!!!!!" Ibunya langsung marah-marah. "Kamu itu anak yang kurang ajar! Berani kamu membuat malu ibu?""Ada apa sih, Bu? Kenapa ujug-ujug marah?" Bentakan ibunya tentu membuat Novi yang tidak tahu menahu menjadi bertanya-tanya. "Masih nanya kenapa? Kamu itu yang kenapa! Ntah dosa apa, ibu kok sampai punya anak yang bodoh dan memalukan sepertimu. Harusnya kamu itu mencontoh kakakmu itu, tidak pernah sekalipun memalukan." Diperbandingkan dengan kakak yang selalu membuatnya iri, menjadikan Novi menjadi kembali marah. "Maksudnya apa ibu ngomong gitu, hah? Kalau ibu nelpon cuma untuk dibanding-bandingkan, mending aku mantiin!" sungut Novi, ia sudah tidak betah mengobrol dengan ibunya yang tidak pernah menghargainya. "Kenapa kamu begitu bodoh, hah? Kenapa bisa-bisanya kamu diarak dan diperma
Berlama-lama duduk berdekatan dengan Cantika membuat dirinya lupa akan titah yang telah diberikan pada Novi, yaitu membuatkan makanan untuknya. Selain itu, ia harus merasakan panas dingin menahan gejolak yang muncul seiring kebersamaan itu. Sebenarnya masih ingin berada di warung kopi lebih lama lagi. Namun, harus ada yang dituntaskan. Jika tidak segera pergi, ia takut melakukan hal-hal yang iya-iya. Beruntung, otaknya masih bekerja untuk itu. "Ingat jalan pulang?" sindir Novi dengan tangan bersilang di dada, menghadang kedatangan Hendrik di pintu. Tanpa mempedulikan ocehan sang istri, Hendrik segera mengunci pintu dan menggendongnya ke dalam kamar. Setali tiga uang dengan Hendrik, Novi yang awalnya marah karena tidak pulang-pulang, diperlakukan seperti itu menjadikan dirinya lupa akan kemarahannya. Pernyataan jodoh adalah cerminan diri, sangat tepat untuk menggambarkan keduanya. Selesai beraktivitas itu, Hendrik merasakan lapar kembali. Tanpa menghiraukan kelelahan istri siriny
Seminggu sejak perceraian itu, Sabrina berinisiatif mengurus gugatan cerai Sarah di pengadilan agama melalui kuasa hukum kenalannya. Ia yang ingin memberikan kejutan untuk Sarah, sama sekali tidak memberitahukannya perihal inisiatif itu. "Assalamu'alaikum!" Seorang perempuan berpakaian kantor bertamu ke rumah Sabrina. "Wa'alaykumussalaam. Silakan masuk, Mbak Farah! Alhamdulillah, akhirnya datang juga." Sabrina mempersilakan masuk orang yang ditunggunya. "Siapa, Na?" Sarah menimbrung sembari membawa Emir. "Kenalin, Mbak. Ini Mbak Farah, pengacara yang akan menangani gugatan cerai kalian." "Loh! Kok kamu gak bilang sama aku, Na?" Sarah kaget mendengarnya. "Ngomong gak ngomong tetap butuh pengacara dan mendaftarkan gugatan, bukan?" Tak ingin disalahkan, Sabrina memberikan tanggapan berupa pertanyaan. "Iya, sih!" Sarah mengangguk pasrah. Sementara Bu Farah yang mendengarkan dua saudara persepupuan itu hanya menggeleng saja. Menyadari hal itu, baik Sarah maupun Sabrina hanya menyen
Melihat Pak Adam yang masih berada di halaman rumah Oma, kemarahan Hendrik kembali memuncak. Ia segera menghampiri Pak Adam dengan tergesa-gesa penuh emosi. Tanpa aba-aba, Hendrik menarik jas yang dipakai Pak Adam dari belakang ketika akan membuka pintu mobil. Tubuh Pak Adam ia balik paksa sehingga keduanya saling berhadapan, lalu Hendrik hendak meninjunya. Beruntung, Pak Adam begitu sigap dan menangkis serangan itu. Meskipun semuanya serangan itu terjadi begitu cepatnya. "Hendrik! Apa yang kamu lakukan padaku, hah? Kamu pikir bisa menghajarku, lalu aku akan membatalkan hukuman itu, begitu? Kamu tidak bisa semudah itu mengalahkanku? Jangan sekali-kali berfikir seperti itu, atau kamu akan merasakan lebih dari ini!" ancam Pak Adam. "Akhrgh! Lepaskan, Adam si*alan!" berontaknya. Keadaan kini berbalik pada Hendrik. Keduanya tangannya kini tak bisa bergerak, terkunci dengan kuatnya oleh cengkraman tangan Pak Adam di belakang tubuh Hendrik. Tak ingin berlama-lama berurusan dengan Hendri
Semenjak kepulangannya dari rumah Oma Santi, Hendrik marah pada semuanya. Apa saja yang sekiranya tidak disukainya, maka seketika itu menjadi musuhnya. Hal itu berimbas pada dirinya yang sama sekali tidak keluar kamar, tidak menyapa atau mengobrol dengan Novi. Ia juga mogok makan. Beruntungnya tidak berminat untuk minum-minum lagi. Melihat keanehan dan hal yang tidak biasa dilakukan oleh Hendrik, Novi sama sekali tidak heran ataupun kaget. Ia justru tidak acuh dan tidak mau tahu serta senang karena tidak ada yang mengganggunya. "Hendrik dari tadi belum ke luar kamar? Tumben juga gak teriak-teriak. Masa bodo, ah! Bagus dah, gak ada yang ganggu aku," gumamnya girang dengan tersenyum dan mata tak beralih dari pintu kamar mereka.Ia pun kembali melanjutkan aktivitas menonton drakor yang disambungkan melalui TV kabel di rumah itu. Tak lupa, minuman dingin serta segenap makanan ringan penunjang menonton pun mengelilinginya. Ada yang di atas meja, di pangkuannya, dan di samping kanan kiri.
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua