Drttt! Drttt! Saat sedang uring-uringan, kesal dan marah, Novi dikejutkan oleh deringan telpon dari ibunya, Miranti. "Ngapain sih, Bu!" Walaupun tidak ingin terganggu, ia tetap mengangkatnya. "Novi!!!!!" Ibunya langsung marah-marah. "Kamu itu anak yang kurang ajar! Berani kamu membuat malu ibu?""Ada apa sih, Bu? Kenapa ujug-ujug marah?" Bentakan ibunya tentu membuat Novi yang tidak tahu menahu menjadi bertanya-tanya. "Masih nanya kenapa? Kamu itu yang kenapa! Ntah dosa apa, ibu kok sampai punya anak yang bodoh dan memalukan sepertimu. Harusnya kamu itu mencontoh kakakmu itu, tidak pernah sekalipun memalukan." Diperbandingkan dengan kakak yang selalu membuatnya iri, menjadikan Novi menjadi kembali marah. "Maksudnya apa ibu ngomong gitu, hah? Kalau ibu nelpon cuma untuk dibanding-bandingkan, mending aku mantiin!" sungut Novi, ia sudah tidak betah mengobrol dengan ibunya yang tidak pernah menghargainya. "Kenapa kamu begitu bodoh, hah? Kenapa bisa-bisanya kamu diarak dan diperma
Berlama-lama duduk berdekatan dengan Cantika membuat dirinya lupa akan titah yang telah diberikan pada Novi, yaitu membuatkan makanan untuknya. Selain itu, ia harus merasakan panas dingin menahan gejolak yang muncul seiring kebersamaan itu. Sebenarnya masih ingin berada di warung kopi lebih lama lagi. Namun, harus ada yang dituntaskan. Jika tidak segera pergi, ia takut melakukan hal-hal yang iya-iya. Beruntung, otaknya masih bekerja untuk itu. "Ingat jalan pulang?" sindir Novi dengan tangan bersilang di dada, menghadang kedatangan Hendrik di pintu. Tanpa mempedulikan ocehan sang istri, Hendrik segera mengunci pintu dan menggendongnya ke dalam kamar. Setali tiga uang dengan Hendrik, Novi yang awalnya marah karena tidak pulang-pulang, diperlakukan seperti itu menjadikan dirinya lupa akan kemarahannya. Pernyataan jodoh adalah cerminan diri, sangat tepat untuk menggambarkan keduanya. Selesai beraktivitas itu, Hendrik merasakan lapar kembali. Tanpa menghiraukan kelelahan istri siriny
Seminggu sejak perceraian itu, Sabrina berinisiatif mengurus gugatan cerai Sarah di pengadilan agama melalui kuasa hukum kenalannya. Ia yang ingin memberikan kejutan untuk Sarah, sama sekali tidak memberitahukannya perihal inisiatif itu. "Assalamu'alaikum!" Seorang perempuan berpakaian kantor bertamu ke rumah Sabrina. "Wa'alaykumussalaam. Silakan masuk, Mbak Farah! Alhamdulillah, akhirnya datang juga." Sabrina mempersilakan masuk orang yang ditunggunya. "Siapa, Na?" Sarah menimbrung sembari membawa Emir. "Kenalin, Mbak. Ini Mbak Farah, pengacara yang akan menangani gugatan cerai kalian." "Loh! Kok kamu gak bilang sama aku, Na?" Sarah kaget mendengarnya. "Ngomong gak ngomong tetap butuh pengacara dan mendaftarkan gugatan, bukan?" Tak ingin disalahkan, Sabrina memberikan tanggapan berupa pertanyaan. "Iya, sih!" Sarah mengangguk pasrah. Sementara Bu Farah yang mendengarkan dua saudara persepupuan itu hanya menggeleng saja. Menyadari hal itu, baik Sarah maupun Sabrina hanya menyen
Melihat Pak Adam yang masih berada di halaman rumah Oma, kemarahan Hendrik kembali memuncak. Ia segera menghampiri Pak Adam dengan tergesa-gesa penuh emosi. Tanpa aba-aba, Hendrik menarik jas yang dipakai Pak Adam dari belakang ketika akan membuka pintu mobil. Tubuh Pak Adam ia balik paksa sehingga keduanya saling berhadapan, lalu Hendrik hendak meninjunya. Beruntung, Pak Adam begitu sigap dan menangkis serangan itu. Meskipun semuanya serangan itu terjadi begitu cepatnya. "Hendrik! Apa yang kamu lakukan padaku, hah? Kamu pikir bisa menghajarku, lalu aku akan membatalkan hukuman itu, begitu? Kamu tidak bisa semudah itu mengalahkanku? Jangan sekali-kali berfikir seperti itu, atau kamu akan merasakan lebih dari ini!" ancam Pak Adam. "Akhrgh! Lepaskan, Adam si*alan!" berontaknya. Keadaan kini berbalik pada Hendrik. Keduanya tangannya kini tak bisa bergerak, terkunci dengan kuatnya oleh cengkraman tangan Pak Adam di belakang tubuh Hendrik. Tak ingin berlama-lama berurusan dengan Hendri
Semenjak kepulangannya dari rumah Oma Santi, Hendrik marah pada semuanya. Apa saja yang sekiranya tidak disukainya, maka seketika itu menjadi musuhnya. Hal itu berimbas pada dirinya yang sama sekali tidak keluar kamar, tidak menyapa atau mengobrol dengan Novi. Ia juga mogok makan. Beruntungnya tidak berminat untuk minum-minum lagi. Melihat keanehan dan hal yang tidak biasa dilakukan oleh Hendrik, Novi sama sekali tidak heran ataupun kaget. Ia justru tidak acuh dan tidak mau tahu serta senang karena tidak ada yang mengganggunya. "Hendrik dari tadi belum ke luar kamar? Tumben juga gak teriak-teriak. Masa bodo, ah! Bagus dah, gak ada yang ganggu aku," gumamnya girang dengan tersenyum dan mata tak beralih dari pintu kamar mereka.Ia pun kembali melanjutkan aktivitas menonton drakor yang disambungkan melalui TV kabel di rumah itu. Tak lupa, minuman dingin serta segenap makanan ringan penunjang menonton pun mengelilinginya. Ada yang di atas meja, di pangkuannya, dan di samping kanan kiri.
Sesosok berwajah cantik yang akhir-akhir ini selalu terbayang-bayang di ingatan, membuat langkah penuh gairah dan senyum mengembang di wajahnya. Ingatan akan perempuan itu membuatnya lupa seketika atas perasaan sakit hati, dongkol, marah dan kecewa serta frustasi yang menimpa dirinya. "Ah, tak sabar rasanya bertemu dirinya." Hendrik bergidik membayangkan betapa wanginya aroma perempuan itu di sela langkah cepatnya.Tak berapa lama, ia sudah tiba di warung kopi Cantika. Nasib baik menyertai tingkah buruknya, di sana sedang sepi. Hal itu semakin membuatnya bahagia tak terkira. "Halo, Cantik! Si Cantika yang cantiknya gak pernah ilang," godanya. "Eh, Abang! Ke mana aja? Aku kangen tahu!" Bak gayung bersambut, Cantika ternyata ada perasaan dengannya. Pikirnya. "Ah, yang bener, Neng?" Mendapatkan tanggapan seperti itu, membuat Hendrik semakin melambung tinggi. Padahal, apa yang dilakukan Cantika adalah hal biasa. Tujuannya agar lelaki seperti Hendrik yang gampang tergoda menjadi seri
Acara kencan antar masing-masing pasangan berjalan romantis, lancar, dan menggairahkan satu sama lain hingga berhasil membuat lupa akan masalah yang sedang dihadapi, terutama Novi dan Hendrik. Setelah sekian lama, akhirnya Novi memutuskan untuk pulang. Kini, ia tidak lagi menaiki taksi online karena kenalan barunya—Aldo—bersedia mengantarkan pulang. Tak begitu lama Novi meninggalkan mall, dengan perasaan senang sekaligus bangga karena merasa telah membahagiakan Cantika tanpa ingat bahwa dirinya harus hemat, Hendrik mengajak pulang.Hendrik dan Cantika sepakat untuk langsung pulang menuju rumah masing-masing. Namun, saat Hendrik hendak mengantarkan Cantika ke rumahnya langsung, Cantika menolak dengan alasan takut menjadi pergunjingan tetangga dan memilih turun di warung kopi. Mau tidak mau, Hendrik mengiyakan saja. Padahal, ia sangat penasaran di manakah rumahnya. Berbeda dengan Hendrik yang memutuskan untuk langsung pulang, Novi malah memilih untuk diajak memutari kota oleh Aldo.
Berbulan-bulan telah berlalu. Di rumah mewahnya, Oma Santi akhir-akhir ini fokusnya terganggu karena selalu terbayang-bayang akan hasil laporan anak buah kepercayaannya yang memata-matai rumah Hendrik. Wanita kaya itu sengaja melakukan itu agar dirinya mengetahui hal yang sebenarnya terjadi di kehidupan Hendrik. Laporan demi laporan ia dapatkan dan selalu di luar harapannya. Bukannya introspeksi diri akan hal yang telah menimpa, juga menghemat uang dengan membelanjakan sesuatu seperlu dan sebutuhnya, Hendrik malah semakin brutal dan ugal-ugalan dalam menyalahkan Adam serta menghabiskan uang. Alhasil, kondisi keuangannnya saat memprihatinkan menurut seorang Oma Santi. Tentu hal itu berpengaruh terhadap yang lainnya di hidup Hendrik. Oma Santi juga menyayangkan sekaligus miris terhadap sikap dan kelakuan Hendrik yang telah menceraikan Sarah serta memperistri Novi tanpa sepengetahuannya dan dengan tidak etiknya. "Apa aku sudahi saja hukuman itu ya? Kasihan hidupnya. Tapi, dipikir-pi