Terkabulnya Doa Istri Pertama
Bab 5 Ini Tidak Adil! Walaupun Sarah masih dalam masa pemulihan pasca melahirkan, ia yang punya misi dan ambisi balas dendam membuatnya sama sekali tidak merasakan lelah. Setelah adzan subuh berkumandang, ia sudah siap mengotak-atik HP dan e-mailnya. Berbekal hubungan dirinya dengan teman kerja mantan suaminya yang pernah bertandang ke rumahnya dulu, Sarah berhasil mendapatkan alamat e-mail dan no pribadi milik direktur utama perusahaan tempat Hendrik bekerja serta para staff yang bisa diajak kerja sama. Ia yang tahu akan peraturan ketat perusahaan tersebut dengan semangat empat lima segera mengirimkan video bukti perselingkuhan dan arakan Hendrik kepada Dirut dan staff. Tak lupa, ia memprovokasi sang Dirut agar memberikan hukuman yang setimpal. Sementara itu di rumah Pak Adam. Ia yang baru saja menyelesaikan sarapan, sangat terkejut begitu membuka e-mail maupun chat di aplikasi gagang ijo. Kebersamaan sarapan bersama keluarga yang hangat berubah menjadi sangat panas penuh emosi. "Ada apa, Pa?" Sang Istri begitu khawatir dengan perubahan sikap suaminya. "Tidak! Ini urusan kantor," jawabnya singkat seraya bangkit dari kursi makan untuk segera berangkat ke kantor tanpa sedikitpun bisa menyembunyikan kemarahan. Hal itu tidak luput dari perhatian sang istri. Sesampainya di kantor, Pak Adam menyuruh staff agar menghubungi dirinya ketika Hendrik sudah tiba. ****"Eh, liat deh! Ini Pak Hendrik, kan?" Staff kantor di perusahaan tempat Hendrik bekerja, memperlihatkan video penggerebekan semalam kepada rekannya. "Iya, ini mah! Gila, ya, kelakuannya. Kok bisa jadi begini? Apa gak kasihan sama Istrinya? Padahal, selingkuhannya biasa aja. Istrinya kira-kira tahu, gak, ya?" timpal rekan di sampingnya. Bak bensin tersambar api, video itu sudah ditonton oleh semua orang-orang yang bekerja di gedung itu. Cibiran, cemoohan, caci-maki, sumpah serapah, dan hujatan mereka layangkan untuk Hendrik yang saat ini masih mampir untuk sarapan di dekat kantor. Mereka sama sekali tidak menyangka jika seorang Hendrik, sang cucu dari pemilik perusahaan tempat mereka bekerja, bisa melakukan hal keji seperti yang mereka lihat. Kasak kusuk perghibahan terjadi begitu saja. Meskipun begitu, tak ada yang berani bersuara secara langsung. Sebab, tak ingin kehilangan pekerjaan seketika. "Eh, eh! Tuh orangnya datang!" Staff frontliner memberi kode kepada teman-temannya agar diam. "Ih, masih punya muka rupanya tuh orang setelah kelakuan semalam?" Salah satu staff memulai ghibah kembali setelah Hendrik menghilang dari pandangan. "Hooh. Mana mukanya gak ada rasa bersalahnya sama sekali. Ih, amit-amit! Kalau aku jadi dia, udah menghilang dari dunia kali. Kok ada ya manusia gak tahu malu kek dia?" sahut rekannya dengan kesal. "Malu? Manusia kek gitu mah udah gak punya malu lagi. Sama Tuhan aja gak punya malu, apalagi sama kita." Rekan lainnya pun tak kalah kesalnya. "Udah, ah! Kita ke sini kerja, bukan ngeghibah. Mau lembur lagi kalau gak kelar-kelar?" Rekan yang selama ini dikenal diam pun menyudahi acara ghibah tersebut. ****"Mereka kenapa, sih? Gak ada hormat-hormatnya, malah cuek dan kek risih gitu sama aku. Emang aku jelek, bau?" Hendrik mencium badan dan lengannya sendiri saat menyadari tatapan para staffnya tadi. Hal itu membuat kedongkolan Hendrik kian bertambah-tambah. Kring! Kring! Kring! "Ini siapa sih? Gak ngerti apa kalau lagi kesal? Ganggu aja!" gerutu Hendrik seraya angkat telepon."Iya, ha—""Hendrik, kamu ke ruangan saya. Cepat!" titah seseorang di seberang sana tanpa perlu mendapatkan persetujuan Hendrik."Dih! Enak banget main suruh-suruh! Ngapain, sih?" Walaupun jengkel dipanggil ke ruangan dengan seenaknya, Hendrik tetap datang. Tak butuh lama, Hendrik sudah di depan pintu ruangan milik seseorang yang memanggilnya itu. "Permisi, Pak!""Gak usah basa-basi. Kamu tahu kenapa dipanggil?" Seorang yang meja kerjanya bertuliskan "Direktur" itu menatap tajam Hendrik "Tidak tahu, Pak! Memangnya ada apa?" Dibalik rasa gugup dan takut akan aura direktur bernama Pak Adam yang menakutkan, Hendrik berusaha sesantai mungkin. Tanpa mempersilakan Hendrik untuk duduk, Pak Adam mengotak-atik phone cellnya. Lalu, menyerahkan pada Hendrik. "Bisa dijelaskan ini apa?" serahnya penuh kegeraman. Telepon pintar tersebut diterima Hendrik dengan keterkejutan. Lidahnya tiba-tiba kelu, otaknya berputar keras mencari jawaban yang pas dan cepat. "I-ini tidak mungkin, Pak! Ini pasti editan orang yang benci pada saya, Pak! Itu bukan saya. Bapak, kan, tahu sendiri bagaimana saya menjaga nama baik," jawabnya dengan terbata. Dibalik rasa gugup dan malu yang tak terkira, Hendrik berusaha sekuat mungkin untuk menahan amarah juga tidak bersalah. "Haha! Kamu pikir saya ini buduh? Saya sudah memeriksakan kepada ahli IT terbaik perusahaan ini. Kamu tahu apa jawabannya?" Hendrik menggeleng cepat. Sungguh! Ia berharap jawaban tidak. "Kamu bisa membohongi saya dengan sanggahan tak bermutumu itu. Tapi, tidak dengan kenyataannya." Pak Adam nampak menghela napas. "Ini asli!" tegasnya membuat Hendrik bersusah payah menelan ludah."Cepat keluar dari sini dan ini surat skors enam bulan untuk kamu!" titah Pak Adam melemparkan amplop ke wajah Hendrik. Otak Hendrik berhenti tiba-tiba membiarkan amplop itu jatuh di kakinya. Seluruh tubuh, terutama lututnya lemas tak bertenaga. Keputusan sepihak membuatnya tidak bisa berpikir apa-apa. Kenyataan pahit di depan mata membuatnya bak menjadi patung hidup tak berguna. Hal itu sebabkan Pak Adam tak bisa tahan untuk tidak membentaknya. "Hendrik! Apakah saya memanggilmu untuk menjadi patung tak berguna?" Seketika kesadaran Hendrik kembali. Bahkan, ketakutan dan kegugupannya lenyap. "Pak, yang benar saja? Bapak tidak bisa seenaknya memutuskan secara sepihak, dong! Ini masalah sepele, tidak seharusnya dibesar-besarkan dan diseriusi. Saya tidak mau dimutasi. Cabut keputusan itu, atau Bapak saya laporkan pada Nenek!" Brak! Spontan Pak Adam menggebrak meja seraya berdiri lalu menarik kuat-kuat kerah Hendrik. "Sepele katamu? Apakah kamu ingin terjadi kerugian dan kebangkrutan jika hal ini sampai di telinga dan mata seluruh client? Hah! Jawab! Silakan buat perusahaan sendiri dan kau jalankan sesukamu! Dan apa katamu? Adukan Nyonya Santi? Silakan saja, jika kamu ingin dijadikan bulan-bulanan Nenekmu itu! Cepat bereskan barang-barangmu!" Disebut nama Neneknya, nyali Hendrik menjadi ciut. Hal itu menyebabkan dirinya hampir jatuh ketika Pak Adam melepaskan cengkraman seraya mendorong tubuhnya kuat-kuat. "Awas kamu, Adam!" Brak!!! Hendrik keluar dari ruangan Pak Adam dengan membanting pintu kuat-kuat disertai kemarahan, dendam dan hilangnya sopan santun. Brak!!! Tepat di depan ruangan miliknya yang sebentar lagi akan ditinggalkan itu, Hendrik masuk dengan menendang pintu sekuat-kuatnya. Beruntung, keadaan sekitar sepi dari lalu lalang staff.Setibanya di dalam, Hendrik melampiaskan kemarahannya itu dengan melempar apa saja barang yang ada di atas meja kerjanya, termasuk laptop mahal kesayangannya. Rak-rak tempat menyimpan dokumen pun tak luput dari amukannya. Tak butuh lama, ruangan yang serba rapi dan bersih itu menjadi berantakan bak kapal pecah. "Ini tidak adil. Akhrghhhh!""Adam brengsek! Awas aja kamu, akan kubuat perhitungan!" Hendrik keluar dari ruangan membawa satu box kardus berisi barang penting miliknya. Ia meninggalkan ruangan yang masih berantakan karena ulahnya. Bahkan, laptop kesayangannya pun dibiarkan hancur tanpa disentuhnya lagi. "Sial, sial! Apa lihat-lihat! Mau kuhajar kalian?" gertak Hendrik saat melewati para staff di lobby menuju parkiran. Tak ingin berlama-lama berada di tempat yang membuatnya marah, Hendrik segera masuk dan membelah jalanan tanpa hiraukan pengendara yang lain. Selama di perjalanan, Hendrik tak henti-hentinya memukul stir. Bahkan, perjalanan yang biasanya bisa menghabiskan waktu hampir satu jam, cukup tiga puluh menit sudah tiba di rumah saking mengebutnya. Begitu sampai, Hendrik berjalan masuk ke rumah dengan buru-buru tanpa membawa barang-barang dari kantornya tadi, kecuali SK skorsing. Benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya, Hendrik masuk rumah dengan cara menendang kuat-kuat. Hal itu membuat Novi yan
Drttt! Drttt! Saat sedang uring-uringan, kesal dan marah, Novi dikejutkan oleh deringan telpon dari ibunya, Miranti. "Ngapain sih, Bu!" Walaupun tidak ingin terganggu, ia tetap mengangkatnya. "Novi!!!!!" Ibunya langsung marah-marah. "Kamu itu anak yang kurang ajar! Berani kamu membuat malu ibu?""Ada apa sih, Bu? Kenapa ujug-ujug marah?" Bentakan ibunya tentu membuat Novi yang tidak tahu menahu menjadi bertanya-tanya. "Masih nanya kenapa? Kamu itu yang kenapa! Ntah dosa apa, ibu kok sampai punya anak yang bodoh dan memalukan sepertimu. Harusnya kamu itu mencontoh kakakmu itu, tidak pernah sekalipun memalukan." Diperbandingkan dengan kakak yang selalu membuatnya iri, menjadikan Novi menjadi kembali marah. "Maksudnya apa ibu ngomong gitu, hah? Kalau ibu nelpon cuma untuk dibanding-bandingkan, mending aku mantiin!" sungut Novi, ia sudah tidak betah mengobrol dengan ibunya yang tidak pernah menghargainya. "Kenapa kamu begitu bodoh, hah? Kenapa bisa-bisanya kamu diarak dan diperma
Berlama-lama duduk berdekatan dengan Cantika membuat dirinya lupa akan titah yang telah diberikan pada Novi, yaitu membuatkan makanan untuknya. Selain itu, ia harus merasakan panas dingin menahan gejolak yang muncul seiring kebersamaan itu. Sebenarnya masih ingin berada di warung kopi lebih lama lagi. Namun, harus ada yang dituntaskan. Jika tidak segera pergi, ia takut melakukan hal-hal yang iya-iya. Beruntung, otaknya masih bekerja untuk itu. "Ingat jalan pulang?" sindir Novi dengan tangan bersilang di dada, menghadang kedatangan Hendrik di pintu. Tanpa mempedulikan ocehan sang istri, Hendrik segera mengunci pintu dan menggendongnya ke dalam kamar. Setali tiga uang dengan Hendrik, Novi yang awalnya marah karena tidak pulang-pulang, diperlakukan seperti itu menjadikan dirinya lupa akan kemarahannya. Pernyataan jodoh adalah cerminan diri, sangat tepat untuk menggambarkan keduanya. Selesai beraktivitas itu, Hendrik merasakan lapar kembali. Tanpa menghiraukan kelelahan istri siriny
Seminggu sejak perceraian itu, Sabrina berinisiatif mengurus gugatan cerai Sarah di pengadilan agama melalui kuasa hukum kenalannya. Ia yang ingin memberikan kejutan untuk Sarah, sama sekali tidak memberitahukannya perihal inisiatif itu. "Assalamu'alaikum!" Seorang perempuan berpakaian kantor bertamu ke rumah Sabrina. "Wa'alaykumussalaam. Silakan masuk, Mbak Farah! Alhamdulillah, akhirnya datang juga." Sabrina mempersilakan masuk orang yang ditunggunya. "Siapa, Na?" Sarah menimbrung sembari membawa Emir. "Kenalin, Mbak. Ini Mbak Farah, pengacara yang akan menangani gugatan cerai kalian." "Loh! Kok kamu gak bilang sama aku, Na?" Sarah kaget mendengarnya. "Ngomong gak ngomong tetap butuh pengacara dan mendaftarkan gugatan, bukan?" Tak ingin disalahkan, Sabrina memberikan tanggapan berupa pertanyaan. "Iya, sih!" Sarah mengangguk pasrah. Sementara Bu Farah yang mendengarkan dua saudara persepupuan itu hanya menggeleng saja. Menyadari hal itu, baik Sarah maupun Sabrina hanya menyen
Melihat Pak Adam yang masih berada di halaman rumah Oma, kemarahan Hendrik kembali memuncak. Ia segera menghampiri Pak Adam dengan tergesa-gesa penuh emosi. Tanpa aba-aba, Hendrik menarik jas yang dipakai Pak Adam dari belakang ketika akan membuka pintu mobil. Tubuh Pak Adam ia balik paksa sehingga keduanya saling berhadapan, lalu Hendrik hendak meninjunya. Beruntung, Pak Adam begitu sigap dan menangkis serangan itu. Meskipun semuanya serangan itu terjadi begitu cepatnya. "Hendrik! Apa yang kamu lakukan padaku, hah? Kamu pikir bisa menghajarku, lalu aku akan membatalkan hukuman itu, begitu? Kamu tidak bisa semudah itu mengalahkanku? Jangan sekali-kali berfikir seperti itu, atau kamu akan merasakan lebih dari ini!" ancam Pak Adam. "Akhrgh! Lepaskan, Adam si*alan!" berontaknya. Keadaan kini berbalik pada Hendrik. Keduanya tangannya kini tak bisa bergerak, terkunci dengan kuatnya oleh cengkraman tangan Pak Adam di belakang tubuh Hendrik. Tak ingin berlama-lama berurusan dengan Hendri
Semenjak kepulangannya dari rumah Oma Santi, Hendrik marah pada semuanya. Apa saja yang sekiranya tidak disukainya, maka seketika itu menjadi musuhnya. Hal itu berimbas pada dirinya yang sama sekali tidak keluar kamar, tidak menyapa atau mengobrol dengan Novi. Ia juga mogok makan. Beruntungnya tidak berminat untuk minum-minum lagi. Melihat keanehan dan hal yang tidak biasa dilakukan oleh Hendrik, Novi sama sekali tidak heran ataupun kaget. Ia justru tidak acuh dan tidak mau tahu serta senang karena tidak ada yang mengganggunya. "Hendrik dari tadi belum ke luar kamar? Tumben juga gak teriak-teriak. Masa bodo, ah! Bagus dah, gak ada yang ganggu aku," gumamnya girang dengan tersenyum dan mata tak beralih dari pintu kamar mereka.Ia pun kembali melanjutkan aktivitas menonton drakor yang disambungkan melalui TV kabel di rumah itu. Tak lupa, minuman dingin serta segenap makanan ringan penunjang menonton pun mengelilinginya. Ada yang di atas meja, di pangkuannya, dan di samping kanan kiri.
Sesosok berwajah cantik yang akhir-akhir ini selalu terbayang-bayang di ingatan, membuat langkah penuh gairah dan senyum mengembang di wajahnya. Ingatan akan perempuan itu membuatnya lupa seketika atas perasaan sakit hati, dongkol, marah dan kecewa serta frustasi yang menimpa dirinya. "Ah, tak sabar rasanya bertemu dirinya." Hendrik bergidik membayangkan betapa wanginya aroma perempuan itu di sela langkah cepatnya.Tak berapa lama, ia sudah tiba di warung kopi Cantika. Nasib baik menyertai tingkah buruknya, di sana sedang sepi. Hal itu semakin membuatnya bahagia tak terkira. "Halo, Cantik! Si Cantika yang cantiknya gak pernah ilang," godanya. "Eh, Abang! Ke mana aja? Aku kangen tahu!" Bak gayung bersambut, Cantika ternyata ada perasaan dengannya. Pikirnya. "Ah, yang bener, Neng?" Mendapatkan tanggapan seperti itu, membuat Hendrik semakin melambung tinggi. Padahal, apa yang dilakukan Cantika adalah hal biasa. Tujuannya agar lelaki seperti Hendrik yang gampang tergoda menjadi seri
Acara kencan antar masing-masing pasangan berjalan romantis, lancar, dan menggairahkan satu sama lain hingga berhasil membuat lupa akan masalah yang sedang dihadapi, terutama Novi dan Hendrik. Setelah sekian lama, akhirnya Novi memutuskan untuk pulang. Kini, ia tidak lagi menaiki taksi online karena kenalan barunya—Aldo—bersedia mengantarkan pulang. Tak begitu lama Novi meninggalkan mall, dengan perasaan senang sekaligus bangga karena merasa telah membahagiakan Cantika tanpa ingat bahwa dirinya harus hemat, Hendrik mengajak pulang.Hendrik dan Cantika sepakat untuk langsung pulang menuju rumah masing-masing. Namun, saat Hendrik hendak mengantarkan Cantika ke rumahnya langsung, Cantika menolak dengan alasan takut menjadi pergunjingan tetangga dan memilih turun di warung kopi. Mau tidak mau, Hendrik mengiyakan saja. Padahal, ia sangat penasaran di manakah rumahnya. Berbeda dengan Hendrik yang memutuskan untuk langsung pulang, Novi malah memilih untuk diajak memutari kota oleh Aldo.
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua