Terkabulnya Doa Istri Pertama
Bab 1Awal kehancuran dan Kebangkitan"Terima kasih, Pak!" Dengan hati-hati, Sarah turun dari taksi. Senyum penuh kebahagiaan mengembang dengan sempurna mengiringi langkahnya memasuki halaman rumah. Ia yang sendiri an dari klinik bersalin, mau tidak mau tangannya penuh bawaan. Tangan kiri menggendong bayi lelakinya yang diberi nama Emir Mahendra, sedang tangan kanan menenteng tas berisi keperluan selama di klinik bersalin. Kebahagiaan itu kian bertambah tatkala sang suami—Hendrik—menghentikan laju kendaraan roda empatnya di garasi tepat saat Sarah hendak membuka pintu rumah mereka. "Mas, udah pulang?" tanyanya sumringah begitu Hendrik keluar dari mobil. Bayangan akan sambutan dan permintaan maaf dari suami untuknya karena sudah berhasil melahirkan sang buah hati dan tidak bisa menemani selama persalinan mulai berputar-putar di benak Sarah. Namun, bayangan itu berhenti dan berganti menjadi sebuah pertanyaan ketika Hendrik bukannya segera menghampiri dirinya setelah mengitari kap mobil, melainkan membuka pintu kursi depan di samping supir. 'Siapa yang ada di dalam?' batinnya penuh tanda tanya. Penasaran sekaligus cemburu segera menyeruak. Mata yang sempat berbinar penuh kebahagiaan kini menghilang seiring perlakuan manis nan romantis Hendrik kepada perempuan cantik dan seksi yang hanya menggunakan pakaian serba kurang bahan ketika turun dari mobil. "Siapa dia, Mas?" tanya Sarah penuh penekanan. Ia maju ke hadapan dua manusia dewasa yang sama sekali tidak melepaskan genggaman. Sakit, kecewa dan marah langsung bercokol di dada begitu kedua mata Sarah melihat itu semua. "Apa yang kalian lakukan? Kalian bukan muhrim. Ngerti, gak? Dan kamu, jadi perempuan jangan gatal!" Dengan dada penuh gebu, tas jinjing ia lepaskan begitu saja lalu merangsek melepaskan genggaman itu. Tak lupa, jari telunjuknya hampir ia colokkan ke mata perempuan itu. "Jangan sakiti dia, Sar!" bentak Hendrik seraya menghempaskan telunjuk Sarah. "Apa maksudmu membentak ku, Mas? Siapa dia, hah! Kenapa kamu membelanya?" protesnya menggelegar, ia tak mempedulikan bayinya dalam gendongan. Matanya bergantian menatap tajam Hendrik. Rasa kecewa menyeruak seiring pupusnya harapan mendapatkan perlakuan manis dari Hendrik untuknya. "Harusnya kau menyambutnya dengan baik, bukan malah begini. Karena dia adalah istri baruku, madumu! Namanya Novi. Aku menikahinya dua hari lalu," jelas Hendrik penuh semangat. Duar!!!! Bagai tersambar petir di siang bolong. Rasa sakit, kecewa, dan kemarahan akan bentakan Hendrik semakin bertambah setelah penjelasan itu memasuki rongga telinga Sarah. Terlebih lagi saat menjelaskan itu, kedua manusia itu bersitatap penuh cinta tak mengindahkan kehadiran dan perasaan Sarah. "Dua hari lalu?" Sarah berhenti sejenak memastikan pendengarannya, dua manusia itu mengangguk mantap. "Oh, ini alasan kamu tidak bisa pulang saat aku merasakan kontraksi dengan alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan? Apa salahku, kurangku, hah? Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik, sholehah selama dua tahun ini. Aku menerima berapapun uang yang kau berikan, padahal gajimu puluhan juta. Aku juga menerima ketika tidak boleh ada ART dengan alasan tidak mau ada orang lain di rumah ini. Kenapa kamu malah membawa orang baru di rumah ini, di rumah tangga kita, hah? Jawab!" Sekuat tenaga Sarah meluapkan amarahnya. Kini ia benar-benar marah, jantungnya terasa memompa darah puluhan kali lebih cepat hingga terasa mendidih. Di kepalanya seakan-akan berasap hendak meledak. Perasaan dan harga dirinya sebagai perempuan dan istri tercabik-cabik, berkeping-keping. Ia tidak terima jika segala pengorbanan sebagai istri, diduakan diam -diam begitu saja tanpa alasan yang tidak menyakitkan. "Kamu mau tahu?" Terpancing, Hendrik pun ikut meledak-ledak. "Karena kamu tidak pernah bisa melahirkan anak perempuan sesuai syarat yang diajukan Nenek untuk mendapatkan warisan, mengerti?" Hening! Hanya terdengar detak jantung dari ketiganya—terutama Sarah—yang masih bertalu-talu, bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Sarah luar biasa kaget akan alasan itu. "Jadi, itu alasanmu? Di mana hati nuranimu, Hendrik? Hah, di mana? Kau tega-teganya menduakanku karena anak," jeritan Sarah tak terelakkan lagi. Seperti sudah disiapkan Tuhan untuk mendapatkan cobaan seperti ini, Sarah tidak merasakan apa itu lemas dan lemah. Terbukti, ia melahirkan begitu lancar tanpa kendala sedikitpun. Bahkan, berangkat ke rumah sakit bersalin hanya ditemani tetangganya. Itu pun hanya sebentar. Dengan kekuatan seperti layaknya tidak sedang habis melahirkan, Sarah dengan derap cepat mengambil tas jinjing itu. Lalu, mengayunkannya menghantam dada Hendrik yang pernah memberikan kehangatan dan kenyamanan. Hendrik pun terkesiap, lalu terhuyung ke belakang. Hampir saja tubuh kekarnya membentur mobil. Beruntung, Hendrik langsung tersadar dan berusaha menegakkan tubuhnya. "Kamu apa-apaan, sih, Sar?" amarah Hendrik tak terima. "Itu tak sebanding dengan rasa sakitku, Hendrik!" Mata keduanya bersitatap penuh kilatan amarah. Beruntung, bayi Emir sama sekali tidak terganggu akan kondisi kedua orang tuanya yang sedang tidak baik-baik saja dan Hendrik tidak membalas Sarah. "Sungguh! Aku tidak menyangka kamu ternyata bar-bar, juga durhaka pada suami. Aku beruntung sudah menikahi Novi yang cantik, baik hati dan solehah tidak seperti kamu!" ungkap Hendrik penuh kebencian , telunjuknya tak pernah lepas di depan mata Sarah. "Berani kamu membandingkan diriku dengan wanita murahan ini? Dan apa katamu? Dia solehah? Sudah buta dan jatuh rupanya seleramu!" Mata Sarah memindai Novi dari atas sampai bawah dengan remehnya. "Tutup mulutmu, Sarah!" Hendrik kembali membela Novi"Aku tidak mau mendengar pembelaanmu untuk perempuan jalang perebut suami orang. Sekarang putuskan, kamu pilih aku atau dia?" Rasa sakit bertubi-tubi, membuat pilihan untuknya. "Haha! Kamu menantangku?" Bukannya merasa bersalah, Hendrik malah berkacak pinggang dan tersenyum mengejek. "Jelas aku memilih Novi yang akan memberikanku anak perempuan, daripada wanita tak tahu diri sepertimu! Sudahlah tidak bisa memberikan anak perempuan, malah semakin bar-bar dan durhaka. " Usai mengatakan itu, Hendrik memeluk pinggang ramping milik Novi. Dipilih Hendrik, membuat Novi menyunggingkan senyum kemenangan. Ia benar-benar merasa di atas angin. "Mas, ceraikan wanita udik ini, sih!" pinta Novi dengan nada manjanya, tangannya tak berhenti bergerilya di dada bidang milik Hendrik saat keduanya berhadapan. Jangan ditanya perasaan Sarah, sangat sakit untuk kesekian kalinya. "Oh, tentu saja, Sayang!" ucap Hendrik penuh kelembutan, segera saja ia lepaskan pelukan itu. Lalu, mempertegas sikap di hadapan Sarah. "Mulai saat ini, Aku Hendrik Mahendra menalak kamu, Sarah Puspa Ningrum! Kamu bukan istriku lagi dan sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi." Mata Sarah menutup, sakit di dadanya terasa semakin berat. Berton-ton batu terasa menghimpit, menghujam dadanya begitu dalam. Saking sakitnya, dunia seakan berhenti berputar untuknya. Benar-benar seperti terasa mati . "Tuh, kan, Sar. Mas Hendrik aja pilih aku, yang katamu wanita murahan ini. Kamu apa? Dipilih aja, gak. Terima kasih, ya, Mas!" ledek Novi, membuat Sarah membuka matanya. Sadar, bahwa dunia seperti tidak berpihak padanya lagi. "Boleh kamu menang dan merasa di atas angin saat ini, Novi! Tapi, lihat apa yang terjadi di kemudian hari! Kamu akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Kamu akan merasakan sakit hati yang lebih dalam lagi dari aku. Camkan itu! Dan untuk kamu, Mas. Duniamu akan hancur sehancurnya. Ingat, tabur tuai itu berlaku!" "Haha…."Bab 2Bab 2Provokasi Sarah"Boleh kamu menang dan merasa di atas angin saat ini, Nov. Tapi, lihat apa yang terjadi di kemudian hari! Kamu akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Kamu akan merasakan sakit hati yang lebih dalam lagi dari aku. Camkan itu! Dan untuk kamu, Mas. Duniamu akan hancur sehancurnya. Ingat, tabur tuai itu berlaku!" Dengan dada naik turun, Sarah mengucapkan sumpahnya. "Haha! Kamu pikir siapa bisa bersumpah begitu? Tidak akan mempan, dan kami tidak akan pernah takut!" ejek Novi. Ia dan Hendrik hanya tersenyum meremehkan, dianggapnya ucapan Sarah adalah angin lalu. "Udah, gak usah banyak batjot! Pergi jauh-jauh dariku. Jangan pernah kembali padaku. Pergi!" Hendrik mengusir dengan kasarnya . Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula, Sarah lagi-lagi harus menelan pil pahit sakit hati. Ia pun segera bergegas meninggalkan rumah yang banyak memiliki kenangan bersama mantan suaminya itu. Dengan langkah cepat, ia menyusuri jalanan yang sepi. Beruntung, ia tinggal di
Terkabulnya Doa Istri PertamaBab 3Digerebek"Sar, Mbak boleh minta tolong?" Sarah membuka obrolan setelah Sabrina menyelesaikan sholat Maghribnya. "Katakan saja, Mbak! In Syaa Allah, aku siap." Sarah pun menceritakan tentang provokasinya pada ibu-ibu di sekitar rumah Hendrik. "Mbak boleh tolong gak, kamu ke sana untuk memastikan penggerebekan itu. Mbak gak mungkin ke sana." Dengan penuh harap, Sarah memberikan alamat dan nomor orang-orang yang sekiranya diperlukan dalam misi kali ini. ****Malam telah datang menjelma menjadi kegelapan. Sabrina pergi ke komplek tempat tinggal Hendrik menggunakan tunggangan roda empat mewah hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun dari Negeri Ginseng. Dengan langkah mantap, matang dan licik, ia mendatangi RT setempat. Laporan penuh bumbu provokasi pun ia sertakan agar bisa memberikan hukuman pada musuhnya kali ini. "Hah, yang betul, Mbak? Mbak jangan bohong apalagi sampai fitnah orang. Itu gak baik, Mbak!" sanggah Pak RT tidak percaya dengan lap
Terkabulnya Doa Istri PertamaBab 4 Ada Apa, Ya? Setelah keluar dari rumah Pak RT, Sabrina menemui orang-orang di sekitar rumah Hendrik. Tujuannya kali ini adalah menyuruh orang merekam apapun yang terjadi nanti. Setelah berhasil menemukan orang-orang tersebut, Sabrina memberitahukan hal yang harus mereka lakukan. Usai menyuruh orang, Sabrina menunggu arakan Hendrik dan Novi di pinggir jalan yang akan dilewati. Dan di sinilah ia sekarang berada.Tak ingin merayakan misinya sendirian, Sabrina pun segera menghubungi Sarah. Drttt! Drttt!"Assalamu'alaikum, Na! Ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?" Sarah yang sedang menyusui Emir di kamar barunya mendapat telpon dari Sabrina. Ia mendadak tidak enak hati, khawatir jika terjadi apa-apa dengan Sabrina. "Wa'alaykumussalaam. Tenang saja, Mbak! Aku baik-baik saja kok. Arakan Hendrik sudah mulai terlihat, apakah Mbak Sarah mau lihat?" "Aku siap, Na! Aku ingin melihat seperti apakah malunya si badjingan tengil itu." Di ujung sana, Sarah begitu
Terkabulnya Doa Istri PertamaBab 5 Ini Tidak Adil! Walaupun Sarah masih dalam masa pemulihan pasca melahirkan, ia yang punya misi dan ambisi balas dendam membuatnya sama sekali tidak merasakan lelah. Setelah adzan subuh berkumandang, ia sudah siap mengotak-atik HP dan e-mailnya. Berbekal hubungan dirinya dengan teman kerja mantan suaminya yang pernah bertandang ke rumahnya dulu, Sarah berhasil mendapatkan alamat e-mail dan no pribadi milik direktur utama perusahaan tempat Hendrik bekerja serta para staff yang bisa diajak kerja sama. Ia yang tahu akan peraturan ketat perusahaan tersebut dengan semangat empat lima segera mengirimkan video bukti perselingkuhan dan arakan Hendrik kepada Dirut dan staff. Tak lupa, ia memprovokasi sang Dirut agar memberikan hukuman yang setimpal. Sementara itu di rumah Pak Adam. Ia yang baru saja menyelesaikan sarapan, sangat terkejut begitu membuka e-mail maupun chat di aplikasi gagang ijo. Kebersamaan sarapan bersama keluarga yang hangat berubah menj
"Adam brengsek! Awas aja kamu, akan kubuat perhitungan!" Hendrik keluar dari ruangan membawa satu box kardus berisi barang penting miliknya. Ia meninggalkan ruangan yang masih berantakan karena ulahnya. Bahkan, laptop kesayangannya pun dibiarkan hancur tanpa disentuhnya lagi. "Sial, sial! Apa lihat-lihat! Mau kuhajar kalian?" gertak Hendrik saat melewati para staff di lobby menuju parkiran. Tak ingin berlama-lama berada di tempat yang membuatnya marah, Hendrik segera masuk dan membelah jalanan tanpa hiraukan pengendara yang lain. Selama di perjalanan, Hendrik tak henti-hentinya memukul stir. Bahkan, perjalanan yang biasanya bisa menghabiskan waktu hampir satu jam, cukup tiga puluh menit sudah tiba di rumah saking mengebutnya. Begitu sampai, Hendrik berjalan masuk ke rumah dengan buru-buru tanpa membawa barang-barang dari kantornya tadi, kecuali SK skorsing. Benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya, Hendrik masuk rumah dengan cara menendang kuat-kuat. Hal itu membuat Novi yan
Drttt! Drttt! Saat sedang uring-uringan, kesal dan marah, Novi dikejutkan oleh deringan telpon dari ibunya, Miranti. "Ngapain sih, Bu!" Walaupun tidak ingin terganggu, ia tetap mengangkatnya. "Novi!!!!!" Ibunya langsung marah-marah. "Kamu itu anak yang kurang ajar! Berani kamu membuat malu ibu?""Ada apa sih, Bu? Kenapa ujug-ujug marah?" Bentakan ibunya tentu membuat Novi yang tidak tahu menahu menjadi bertanya-tanya. "Masih nanya kenapa? Kamu itu yang kenapa! Ntah dosa apa, ibu kok sampai punya anak yang bodoh dan memalukan sepertimu. Harusnya kamu itu mencontoh kakakmu itu, tidak pernah sekalipun memalukan." Diperbandingkan dengan kakak yang selalu membuatnya iri, menjadikan Novi menjadi kembali marah. "Maksudnya apa ibu ngomong gitu, hah? Kalau ibu nelpon cuma untuk dibanding-bandingkan, mending aku mantiin!" sungut Novi, ia sudah tidak betah mengobrol dengan ibunya yang tidak pernah menghargainya. "Kenapa kamu begitu bodoh, hah? Kenapa bisa-bisanya kamu diarak dan diperma
Berlama-lama duduk berdekatan dengan Cantika membuat dirinya lupa akan titah yang telah diberikan pada Novi, yaitu membuatkan makanan untuknya. Selain itu, ia harus merasakan panas dingin menahan gejolak yang muncul seiring kebersamaan itu. Sebenarnya masih ingin berada di warung kopi lebih lama lagi. Namun, harus ada yang dituntaskan. Jika tidak segera pergi, ia takut melakukan hal-hal yang iya-iya. Beruntung, otaknya masih bekerja untuk itu. "Ingat jalan pulang?" sindir Novi dengan tangan bersilang di dada, menghadang kedatangan Hendrik di pintu. Tanpa mempedulikan ocehan sang istri, Hendrik segera mengunci pintu dan menggendongnya ke dalam kamar. Setali tiga uang dengan Hendrik, Novi yang awalnya marah karena tidak pulang-pulang, diperlakukan seperti itu menjadikan dirinya lupa akan kemarahannya. Pernyataan jodoh adalah cerminan diri, sangat tepat untuk menggambarkan keduanya. Selesai beraktivitas itu, Hendrik merasakan lapar kembali. Tanpa menghiraukan kelelahan istri siriny
Seminggu sejak perceraian itu, Sabrina berinisiatif mengurus gugatan cerai Sarah di pengadilan agama melalui kuasa hukum kenalannya. Ia yang ingin memberikan kejutan untuk Sarah, sama sekali tidak memberitahukannya perihal inisiatif itu. "Assalamu'alaikum!" Seorang perempuan berpakaian kantor bertamu ke rumah Sabrina. "Wa'alaykumussalaam. Silakan masuk, Mbak Farah! Alhamdulillah, akhirnya datang juga." Sabrina mempersilakan masuk orang yang ditunggunya. "Siapa, Na?" Sarah menimbrung sembari membawa Emir. "Kenalin, Mbak. Ini Mbak Farah, pengacara yang akan menangani gugatan cerai kalian." "Loh! Kok kamu gak bilang sama aku, Na?" Sarah kaget mendengarnya. "Ngomong gak ngomong tetap butuh pengacara dan mendaftarkan gugatan, bukan?" Tak ingin disalahkan, Sabrina memberikan tanggapan berupa pertanyaan. "Iya, sih!" Sarah mengangguk pasrah. Sementara Bu Farah yang mendengarkan dua saudara persepupuan itu hanya menggeleng saja. Menyadari hal itu, baik Sarah maupun Sabrina hanya menyen
Tunangan antara Adhyaksa dan Sarah sudah terlaksana seminggu yang lalu. Dalam acara tersebut, sekalian disepakati kapan hari pernikahan keduanya akan dilaksanakan yaitu pada sebulan mendatang. Itu artinya tiga minggu lagi dari sekarang. Dalam kesepakatan itu juga telah ditentukan tempat ijab sekaligus resepsi yaitu di panti saja meskipun sudah ditawari gedung secara gratis oleh Pak Budi. Alasannya tempatnya luas, menghemat uang sewa gedung sehingga bisa dialokasikan untuk ke yang lain, juga anak-anak panti bisa berpartisipasi dalam acara tersebut tanpa harus ke mana-mana dan sebagai bentuk awal penyatuan dua keluarga. Pada awalnya Sarah meminta tidak ada resepsi sama sekali karena sadar ia siapa. Namun, Adhyaksa begitu kekeh untuk diadakan resepsi alasannya karena dirinya masih single dan ingin memperkenalkan kepada seluruh kenalannya jika dirinya sudah menjadi suami dari Sarah agar tidak ada lagi yang mendekati dirinya. Setelah pertimbangan-pertimbangan juga masukan dari Sabrina,
“Ada apa sih, Mbak, kok buru-buru nyuruh aku ke sini?” protes Sabrina saat sudah sampai di restoran. “Hehe, maaf!” kekeh Sarah. “Tadi Mas Adhy….” Sarah menjabarkan semuanya tanpa terlewat. “Bener berarti dugaanku selama ini.” Sabrina manggut-manggut saat tahu apa yang selama beberapa waktu terakhir dilihatnya benar adanya. Ia sama sekali tidak terkejut. “Hah, kamu serius sudah tahu?” Terbalik, justru Sarah yang terkejut. “Iya. Setiap kita berkumpul, tatapannya dia padamu selalu mengandung arti begitu.”“Menurutmu, aku harus gimana?” Sarah benar-benar bimbang. Ia takut dan tak ingin nasib pernikahannya akan terulang kembali. Ia takut bahwa Adhyaksa mengkhianatinya. “La Mbak Sarah ada rasa gak? Terus, mau gak menjalin hubungan dengannya?” Sarah tampak diam, lama berpikir untuk memberikan jawaban. “Aku rasa jawabanmu pada Mas Adhy tadi tidak ada salahnya, coba saja. Selain itu, erbanyak doa dan minta petunjuk Allah. Serahkan semuanya pada Allah, In Syaa Allah akan diberikan petunju
“Ampun deh, Bund! Adhy menyerah. Bunda tuh emang hebat soal menemukan sesuatu yang tersembunyi,” kelakar Adhyaksa menjawab dugaan sang Bunda. “Haha, bisa saja kamu!” Bunda tak kalah kelakarnya, ia pun mencubit manja pinggang Adhy. “Bunda itu ibumu. Tentu tahu apapun yang kamu rasakan, karena feeling seorang ibu itu tidak pernah salah. Nah, apakah kamu sudah tahu siapa Sarah sebenarnya?” Kali ini Bunda bertanya serius, suasana menjadi sedikit tegang karena menyangkut sebuah masa depan. “Sudah. Tentang apa yang Bunda maksud? Apakah tentang status dan masa lalunya?” Adhyaksa seketika sangsi dan takut jika jawaban Bunda Sumirah jauh dari harapannya, Bunda mengangguk sembari menunggu jawaban. “Apa Bunda tidak setuju jika Adhy mempunyai rasa ini?” Adhyaksa menatap Bunda lekat-lekat. “Bunda sama sekali bukan tidak setuju. Bunda setuju-setuju saja, karena toh yang menjalaninya dirimu. Bunda sebagai ibu, hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak! Bunda hanya ingin tahu
“Oma tidak bisa seenaknya begitu denganku, dong! Hartamu itu tidak akan bisa dibawa mati. Jadi, buat apa kalau tidak diwariskan padaku?” Hendrik menatap tajam Oma Santi. Ia benar-benar tidak rela jika harus kehilangan warisan yang sudah didamba selama ini. Mendengar kata mati, Oma Santi semakin meradang. Ia sangat tersinggung, menganggap cucunya mendoakan dirinya untuk segera mati. Bertambah buruk saja penilaian untuk Hendrik. Padahal, apa yang dikatakan adalah benar adanya.Plak! Plak! “Tutup mulut lancangmu itu dasar manusia gak tahu diuntung! Apa maksudmu menginginkan kematianku? Kamu ingin aku cepat mati? Hah? Kurang ajar!” Kemarahan Oma tak lagi bisa dibendung, ia pun menampar kembali Hendrik dengan bolak-balik di pipi kanan dan kiri. Mendapatkan reaksi seperti itu, Hendrik pun tak kalah emosinya. “Kalau memang iya kenapa? Memang benar, kan, kamu itu memang sudah tua dan waktunya mati. Sudah tidak pantas lagi untuk hidup karena terlalu banyak dosa, termasuk dosa membiarkan ak
Sudah dibela-belain mencari Sarah hingga berhari-hari juga menghabiskan segala sesuatunya yang tak sedikit, sekalipun sudah ditemukan malah sama sekali tidak sesuai dengan keinginan membuat Hendrik kesal setengah mati. Ditinggalkan begitu saja oleh Sarah di minimarket tersebut tak serta merta membuat Hendrik segera putar arah dan kembali ke rumah omanya. Karena tiba-tiba ia baru ingat akan pekerjaan kantor yang sudah ia tinggalkan semingguan ini. Hendrik segera bergegas mengegas dan langsung menuju kantornya. Namun, beberapa jam sebelumnya, setelah Pak Adam memberi laporan kepada Oma bahwa sudah satu minggu Hendrik meninggalkan pekerjaan dan kantor, Pak Adam juga mendapatkan laporan tentang adanya sebuah transaksi janggal yang dilakukan oleh Hendrik beberapa waktu lalu dengan nilai ratusan juta. Mengetahui hal tersebut, Pak Adam tidak langsung percaya begitu saja. Ia langsung mengeceknya untuk memastikan kebenaran tersebut. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Setelah bena
“Woy, bangun dasar gelandangan! Ini bukan panti sosial yang bisa seenaknya kamu tinggali. Bangun!” Pemilik toko begitu geram ketika Novi tidak bangun-bangun, padahal sudah berteriak-teriak bahkan tubuh Novi sudah ditoel-toel pakai kaki. Saking lelah dan juga terguncangnya jiwa Novi, ia masih tertidur saat jam delapan pagi di waktu orang-orang harus kembali beraktivitas terutama di kawasan pertokoan tersebut. Tak sabaran, pemilik toko segera mengambil ember dan mengisi dengan air keran yang berada di samping bangunan tokonya. Byur! Manjur! Semburan dan lemparan air dalam ember tersebut berhasil membuat Novi terbangun sekaligus gelagapan. “Enak ya tidurnya, Tuan Putri?” sindir pemilik toko seraya menahan dongkol dalam dadanya, sementara Novi hanya nyengir saja sambil mengelap wajahnya yang basah. “Bangun dan pergi jauh dari sini! Awas saja kalau saya masih melihat kamu berkeliaran di sini, jangan harap kamu baik-baik saja!” ancam pemilik toko, tangannya mengepal kuat dan ditunjukk
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Oma Santi dan mendapatkan tamparan serta hal menyakitkan lainnya. Saat ini Hendrik sudah berada di titik jenuh dan penghabisan dalam pencarian Sarah dan putranya. Meskipun sudah habis-habisan segalanya, ia sama sekali belum menyerah. ia akan berusaha sekali lagi dengan harapan pencarian ini adalah yang terakhir kalinya “Ya, aku harus mencari Sarah. Agar aku bisa mendapatkan warisan itu. Harus pokoknya!” Hendrik kembali bertekad untuk mencarinya agar mimpinya barusan tidak menjadi kenyataan. Hendrik pun kembali melajukan kendaraannya. Jalanan yang saat ini ia sama persis di jalur menjadi tempat usaha milik Sarah. Karena kehausan, Hendrik pun mampir ke minimarket. Tepat saat keluar dari mobil, dirinya melihat orang yang sejak tujuh hari lalu ia cari. Ya, orang itu adalah Sarah. “Sarah!” panggil Hendrik, menghentikan gerakan Sarah yang akan memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil taksi yang mengantarkannya. “K-kamu! Mau apa kamu ke s
Brak! “Brengsek! Oh Tuhan! Kenapa semua ini terjadi padaku?” Hendrik menghentikan mobilnya di pinggir jalan dan turun dengan begitu kasarnya. Ia berteriak penuh frustasi layaknya orang gangguan jiwa yang tak mempedulikan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Hendrik terus menerus berteriak dan menyalahkan orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi, seperti saat ini. Selain kesal, marah, kecewa, dan rasa lain yang membuatnya marah, Hendrik juga merasa kebingungan dalam melangkahkan kaki untuk mencari tempat bernaung. Tinggal di apartemen atau mengontrak sebuah rumah rasanya tidak mungkin, uang yang saat ini ia miliki sama sekali tidak mencukupi karena sudah habis tak tersisa untuk pesta pernikahan kemarin. “Ah, rumah Oma!” Dalam kegamangan dan kegelisahan, Hendrik menemukan secercah harapan. Ide untuk tinggal di rumah Oma Santi terlintas di benak yang saat ini sedang panas-panasnya. ****“Oma, aku mau tinggal di sini!” ucap Hendrik tanpa basa-basi saat baru saja tiba di r
“A-apa? C-cerai?” Mata Hendrik terbelalak menatap tidak percaya dengan akta cerai yang dilemparkan oleh Sabrina begitu rombongannya sudah diterima oleh Hendrik di ruang tamu. Bagai dihantam batu ribuan ton, meninggalkan rasa sesak begitu dalam di dada Hendrik. Ia juga serasa disambar petir di siang hari nan bolong. Tiada hujan tiada angin dan tiada permasalahan sedikit pun, tapi tiba-tiba diceraikan begitu saja. Dadanya kembang kempis, memompa darah amarah hingga menggelegak ke ubun-ubun menambah suasana semakin panas yang tercipta di ruang tamu tersebut. Harga dirinya sebagai laki-laki, hilang begitu saja di hadapan akta tersebut. Ia menjadi sangat terluka, akibat perlakuan yang saat ini ia terima.“Iya! Itu bukti kalau kita sudah cerai. Kenapa kamu masih bertanya? Apakah kamu begitu buta sehingga tidak bisa membacanya?” Sabrina begitu angkuhnya menjelaskan. “Kenapa kamu menceraikanku? Apakah cintaku untukmu itu tidak ada artinya?” Hendrik masih tidak percaya, berharap ini semua