“Perlu apa buat dapetin Candy, Yan?” desak Uzy, mulai tak sabar dengan gaya Yandi.
“Cukup ini aja, Bro,” senyum Yandi bertambah lebar. Satu tangannya terangkat, lalu ibu jari dan telunjuknya digesekkan satu sama lain.
Uzy terpana.
“Uang maksudmu?” tegas Uzy.
Yandi mengangguk, senyumnya lebar tersungging.
“A—apa Candy ...” Uzy tergagap.
Sekali lagi, Yandi mengangguk.
“Ya. Candy bisa diajak kencan asal ada ini.” Yandi kembali menggesekkan jempol dan telunjuknya.
Suara Yandi lirih saja, namun akibatnya laksana bom atom yang jatuh di dada Uzy. Gemuruhnya melebihi riuh suara para mahasiswa baru yang diminta meneriakkan yel-yel kesetiaan pada kampus tercinta.
Mata Uzy terbelalak, setengah tak percaya ia menatap sosok cantik di depan sana. Candy tengah turut meneriakkan yel-yel kampus penuh semangat.
Yel-yel usai, kondisi kembali tenang. Para mahasiswa yang semula berdiri, diminta duduk kembali. Uzy menoleh ke arah Yandi lagi.
“Kamu pernah ken--kencan dengan Candy?” tanya Uzy.
Ada nada ketakutan dalam suaranya. Uzy takut Candy sudah pernah jalan bersama Yandi.
Yandi menggeleng, membuat Uzy menghela napas lega. Entahlah. Uzy dilanda perasaan aneh dan tak tentu. Candy bukan siapa-siapanya, bahkan Candy tak mengenalnya. Namun, ada rasa tak rela di hati Uzy jika mengetahui Candy bersama lelaki lain.
“Mahasiswa kere macam aku mana bisa bawa dia? Hanya orang berkocek tebal yang bisa dekat dengannya,” jawab Yandi.
“Kamu kan mahasiswa baru juga, Yan. Dari mana kamu tahu banyak tentang Candy?” selidik Uzy.
Mendadak rasa penasaran menggelitik hati Uzy. Ia ingin mengetahui segalanya tentang Candy.
“Aku kan banyak kenal senior di kampus ini, Zy. Dari mereka aku tahu tentang Candy. Seperti yang aku katakan, Candy itu populer. Hampir semua mahasiswa lelaki tahu tentangnya,” ulas Yandi.
“Ja—jadi, sudah banyak mahasiswa di sini yang kencan dengan dia?” Uzy terbata.
Yandi mengangkat bahu.
“Siapa yang tahu siapa yang sudah pernah mengajak kencan Candy? Semua cowok mengaku pernah kencan dengan Candy, tapi aku yakin kebanyakan hanya sesumbar. Dengar-dengar, Candy itu punya selera mahal,” jelas Yandi panjang lebar.
Uzy manggut-manggut. Ia tercenung.
“Heh! Melamun, kamu. Mau dengannya? Siapkan dompet. Awas jangan sampai jebol,” seloroh Yandi.
Uzy menatap Yandi yang terbahak sendiri dengan candaannya.
***
Orientasi mahasiswa baru sudah usai. Sekarang, Uzy sudah mulai mengikuti perkuliahan di kampus baru. Semenjak menjadi mahasiswa, Uzy memiliki kebiasaan baru. Ia senang duduk-duduk bersama beberapa teman di depan ruang kelas. Mereka mengobrol sambil menunggu dosen mata kuliah datang, seperti saat ini.
Enam orang mahasiswa duduk di bangku depan kelas, termasuk Uzy. Sebagian besar yang lainnya sudah berada di dalam kelas.
“Kamu suka nggak jadi mahasiswa, Zy?” tanya Milo.
Pemuda berambut lurus yang gemar merokok itu menatap Uzy serius. Sementara jari-jari tangannya menjepit sebatang candu pembawa penyakit itu. Uzy merasa aneh dengan pertanyaan Milo, namun ia jawab juga.
“Ya, suka nggak suka. Pastinya jelas beda rasanya. Dulu sekolah dari pukul tujuh sampai pukul satu, lalu pulang. Sekarang masuk kelas bisa pagi, siang, atau sore. Untungnya nggak ada kuliah malam hari,” jawab Uzy.
“Kalau aku, nggak suka,” timpal Milo.
“Kenapa?” tanya Uzy.
“Kuliah itu banyak belajar mandirinya. Enakan jadi anak sekolah, tinggal terima pelajaran dari guru saja cukup. Di sini, harus baca buku sendiri. Mana sering dapat tugas bikin makalah lagi,” keluh Milo.
Uzy diam saja, karena ia tidak sepakat. Baginya, belajar di universitas itu lebih bebas waktunya dan suka-suka caranya. Selama kuliah seminggu ini, belum pernah ditemuinya dosen yang mengatur cara belajar mahasiswa. Empat temannya yang lain juga memilih diam. Dua orang asyik menatap layar ponsel, sedangkan dua lainnya menyimak Uzy dan Milo.
Tak tuk tak tuk tak tuk ....
Bunyi sepatu hak tinggi yang bertumbukan dengan lantai keramik menarik perhatian sejumlah mahasiswa, termasuk Uzy. Mereka semua yang berada di depan kelas menoleh ke arah sumber bunyi.
“Lho, itu kan Candy,” desis Uzy terpana.
Seusai orientasi mahasiswa baru, Uzy jarang melihat Candy. Pernah beberapa kali ia melihat Candy berjalan di lorong kampus, tapi itu hanya dari kejauhan. Baru kali inilah Uzy melihat Candy lagi dari jarak sedekat ini.
Sosok cantik bak bidadari itu melangkah gemulai, lenggak-lenggoknya menarik hati. Ia berjalan menuju ke arah Uzy dan teman-temannya duduk. Uzy menahan napas sambil menatap lekat.
Sebetulnya pakaian Candy biasa saja, baju kaos dipadankan dengan celana jeans. Namun, bentuk tubuhnya yang feminin membuat pakaian apapun yang dikenakannya terlihat menarik.
Saat Candy lewat di hadapan mereka semua, Milo bersiul menggoda.
“Hai, Mbak. Lirik kita, dong,” sapa Milo, usil.
Candy melirik Milo dan tersenyum. Ia mengibaskan rambut panjangnya yang lurus dan hitam, hingga menebarkan aroma wangi bunga. Uzy menghirup wangi itu dalam-dalam sambil memejamkan mata.
Tatkala ia membuka mata kembali, Candy telah hilang dari pandangan. Ia celingukan kebingungan. Derai tawa pecah di sekitar Uzy, membuat Uzy terpelongo.
“Ya, ampun! Segitu banget Uzy melihat Mbak Candy,” celetuk Rina, salah seorang mahasiswi sekelas Uzy. Sebelah tangannya dipakai menutupi mulut yang tertawa lebar.
“Kamu tersepona, ya!” Tuduh Loli, sengaja memelesetkan kata ‘terpesona’.
Uzy menggaruk-garuk kepalanya yang terasa basah oleh keringat dingin.
“Ke mana dia?” tanya Uzy, masih penasaran.
“Sudah masuk ke kelas, tuh! Dia ikut kelas kita,” jawab Milo datar, sedingin wajahnya.
“Kan, dia kakak tingkat?” tanya Uzy lagi.
“Ya, artinya dia mengulang mata kuliah ini makanya ikut kelas bawah. Eh, itu Pak Bimo sudah datang, bubar-bubar!” Ujar Loli ceriwis.
Semua kepala menoleh ke arah yang ditunjuk Loli. Pak Bimo tengah berjalan santai dengan mengempit manuskrip di ketiaknya. Senyuman yang selalu menghiasi wajah tua beliau terlihat dari kejauhan.
Para mahasiswa berlomba bangkit, lalu bergegas memasuki kelas yang mulai penuh. Tak ketinggalan, Uzy juga menghambur ke dalam kelas. Ia mencari-cari sosok Candy. Ketemu! Gadis bening itu tengah duduk menyendiri di bagian tengah kursi kelas. Ia menunduk mengamati sesuatu.
Sengaja Uzy berjalan ke dekatnya, lalu mengambil posisi duduk di belakang Candy. Hati Uzy berdebar-debar karena demikian dekat dengan sosok bidadari idamannya. Bahkan aroma wangi rambutnya bisa Uzy hirup dengan leluasa.
Sepanjang perkuliahan berlangsung, Uzy tak berkonsentrasi. Ia teringat lagi percakapannya dengan Yandi saat orientasi mahasiswa baru.
“ ... Hanya orang berkocek tebal yang bisa dekat dengannya.”
Aku harus kumpulkan uang banyak demi Candy, tekad Uzy di dalam hati. Ia memutar otak, mencari cara untuk mendapatkan uang yang banyak.
“Minggu depan dikumpulkan makalahnya,” perintah Pak Bimo sebelum keluar kelas.
Sebagian besar mahasiswa mengikuti langkah Pak Bimo, sebagian lagi masih tinggal di kelas untuk bercengkerama. Uzy mengamati Candy yang berdiri tak tergesa, lalu anggun meninggalkan kelas tanpa menoleh kanan dan kiri.
Setelah Candy hilang dari pandangan, barulah Uzy bangkit berdiri pelan-pelan.
“Kusut banget tuh muka? Mikirin tugas dari Pak Bimo?” tegur Milo.
“Nggak. Aku lagi mikir gimana caranya cari uang,” jawab Uzy jujur.
“Maksudnya kamu mau kerja sampingan?” tegas Milo.
“Iya. Aku mau cari uang saku, nih. Aku nggak mau ngerepotin orangtua lagi. Sudah bisa kuliah saja sudah syukur,” kilah Uzy.
“Serius? Kebetulan, nih!” seru Milo.
“Apa?” tanya Uzy tak sabar.
“Masku punya usaha. Kebetulan lagi cari karyawan. Kamu mau?” tawar Milo.
“Serius? Aku mau, lah. Eh, tapi kerja apa?” selidik Uzy.
“Masku usaha warung kaki lima lesehan. Tiap sore dia jualan pecel lele dan pecel ayam. Lumayan ramai, jadi mau tambah karyawan,” terang Milo.
Uzy terbengong. Ia memang belum familiar dengan kuliner kota ini. Ia hanya tahu, kalau mau makan ya di rumah. Uzy hampir tak pernah jajan dan makan di luar.
“Bagaimana? Mau?” desak Milo.
“Hm. Terus kerjaanku itu apa?” ulik Uzy.
“Ya melayani pembeli, dong. Goreng lele, siapin nasi, lalap, dan sambal,” salak Milo.
Ia terlihat emosi lantaran ketidaktahuan Uzy tentang hal yang dianggapnya sudah lumrah. Siapa yang tak tahu olahan pecel lele? Mungkin hanya mahasiswa macam Uzy saja yang tak tahu.
“Kalau aku kerja sama Masmu, aku tetap bisa kuliah kan?” tegas Uzy. ***
Uzy khawatir kuliahnya terbengkalai jika bekerja. Ia tak mau mengecewakan Ibu di kampung. Terbayang wajah ibunya yang penuh harapan pada dirinya.Milo terbahak. Dia mulai menebak-nebak, bahwa Uzy belum pernah makan di warung lesehan.“Bisa. Kan warung pecelnya buka sore menjelang magrib. Tutup sekitar pukul sepuluh malam,” jelas Milo.Uzy tersenyum. Sekarang hatinya lega. Ia dapat kerja sambil kuliah. Ilmu dapat, uang pun diperoleh. Bayangan Candy tersenyum di pelupuk mata. Eh ...Cepat Uzy mengusir sosok cantik itu dengan mengibaskan tangan.“Kenapa, Zy?” heran Milo.Dahinya mengernyit. Milo bingung melihat Uzy mengibaskan tangan di depan wajah, padahal tidak ada lalat atau nyamuk yang lewat.“Nggak apa-apa, Mil. Aku mau kalau nggak mengganggu kuliah. Apa aku bisa langsung kerja?” harap Uzy
Uzy memberanikan diri melirik pamannya, sebelum bertanya.“I—iya, Paman. Boleh, kan?” tanya Uzy. Suaranya gemetar.Tiba-tiba Paman Ali tersenyum, membuat dada Uzy lega seketika.“Boleh, boleh sekali. Tadi Paman hanya kaget kamu punya inisiatif untuk kerja sambil kuliah. Bagus!” puji Paman.Kedua jempol Paman teracung ke arah Uzy. Perasaan Uzy bertambah lega. Senyumnya ikut tersungging di bibir.“Kamu punya kemauan untuk mandiri, itu bagus. Paman salut pada tekadmu. Jangan seperti kebanyakan mahasiswa sekarang yang bermalas-malasan. Setelah lulus, bingung mau kerja apa,” cela Paman.Hidung Uzy kembang kempis. Ia bangga dipuji oleh pamannya.“Nah, kamu kerja apa dan di mana?” lanjut Paman.“Bantu-bantu di warung lesehan milik teman, Paman. Hanya .
Sudah hampir sebulan Uzy bekerja membantu warung lesehan “Mas Ngganteng”. Ia mulai terbiasa dengan irama hidup yang baru ini. Siang kuliah, sedangkan malam bekerja.Awal-awal bekerja, badannya memang pegal semua. Sakit dan ngilu rasanya di pinggang. Bahkan, Uzy sering kedapatan mengantuk saat mengikuti pembelajaran di kelas. Beberapa kali Uzy kena tegur oleh dosen, sampai ia malu karena ditertawakan oleh teman-temannya.Akan tetapi, semua itu hanya berlangsung dua minggu. Setelah itu, badannya terbiasa dan tak lagi terasa sakit. Uzy juga sudah pandai menyiasati waktu agar tidak kurang tidur dan kelelahan.Caranya, ia tidur siang sebelum berangkat kerja pada sore hari. Pada malam harinya, ia pergi bekerja sambil membawa buku dan tugas kuliah. Di sela-sela waktu sepi pengunjung di warung, Uzy manfaatkan untuk mengerjakan tugas atau membaca buku kuliah.“Rajin kamu, Zy,&r
Uzy ketiduran dibuai khayalan. Sampai azan Asar berkumandang, ia tak terbangun maupun terganggu. Sepertinya kupingya sudah dikencingi oleh setan.Hanif memasuki ruangan tepat pada pukul empat. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat Uzy yang tertidur pulas, bahkan ilernya sampai jatuh ke pipi dan leher.“Zy, Uzy. Bangun, Zy.”Hanif menggoyang-goyangkan tubuh Uzy.“Kamu harus kerja, Zy!” seru Hanif. Ia berspekulasi bahwa kalimat itu akan membuat Uzy segera sadar.Betul dugaannya. Demi mendengar kata ‘kerja’, sontak mata Uzy terbuka seketika.“Jam berapa sekarang?” tanyanya kaget.Ia menghapus iler dengan ujung lengan baju, lalu mengucek-ngucek mata yang masih buram. Lalu ia celingukan ke kanan dan kiri, mencari tas ransel andalan. Di dalam tas itu ponselnya yang jadul berada.
Uzy mendekatkan kepala kepada Yandi. Pelan, Yandi berbisik,“Dua juta ....”Uzy terbelalak.“Semahal itu!” seru Uzy.Yandi tertawa melihat keterkejutan Uzy.“Dia memang mahal. Aku sudah pernah bilang, kan?” bisik Yandi.Uzy terdiam. Uangnya kurang, itu yang membuatnya kebingungan.“Memangnya kamu punya uang berapa?” bisik Yandi lagi.“Sembilan ratus,” gumam Uzy pelan.Yandi memandang Uzy seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Sesaat kemudian, ia menggelengkan kepala.“Kurang banyak. Kamu nabung saja dulu atau cari uang,” saran Yandi.Uzy mengangguk.“Mungkin bulan depan aku ada uang segitu,” kata Uzy.“Bulan depan saja ketem
“Cari cewek lain, yang lebih sesuai untuk jadi istri,” jawab Dudi halus.Lantaran tidak enak membuka topik yang riskan ini, Dudi mengalihkan pandangan ke ponsel di tangannya.“Hm. Aku belum mikir menikah, sih. Masih jauh, kuliah saja baru mulai,” ungkap Uzy.“Apalagi begitu. Jangan main api, nanti kamu terbakar,” ujar Dudi.“Tuh, Zy. Dengarkan saran dari pakar,” timpal Mas Destan.Sedari tadi diam, tiba-tiba Mas Destan ikut menimbrung. Uzy memandang Dudi dan Mas Destan bergantian.“Pakar?” ulang Uzy. Mulutnya melongo, pertanda tak paham.“Pakar itu kata lain dari orang yang sudah memiliki pengalaman pahit,” sambung Mas Destan.Kemudian Mas Destan dan Dudi sama-sama tertawa. Bedanya, Mas Destan tertawa prihatin, sedangkan Dudi tertawa
Pengajian akbar yang dihadiri Uzy berlangsung lebih meriah daripada yang Uzy sangka sebelumnya. Sejak pagi-pagi sekali, sudah ramai para mahasiswa yang ingin ikut menghadiri acara tersebut. Uzy sendiri hadir lebih pagi dari jadwal acara untuk membantu panitia, karena tidak enak pada Hanif. “Ramai juga ya, Mas. Wajah-wajahnya asing, seperti bukan mahasiswa kampus ini. Dari mana saja mereka?” tanya Uzy heran. “Kami mengundang para mahasiswa dari kampus-kampus lain. Kan, UKM Islam antar kampus ada silaturahminya. Nah, mereka yang hadir itu adalah pengurus dan anggota UKM Islam dari kampus-kampus lain,” jelas Hanif seraya tersenyum. Uzy manggut-manggut. Ia baru tahu bahwa UKM antar universitas bisa memiliki komunitas juga. “Ayo, Zy. Tolong tata tambahan kursi bagi para hadirin lagi,” ajak Hanif. “Siap, Mas!” jawab Uzy sigap. Satu jam me
Uzy berhenti di dekat mobil hitam mewah tersebut.“Permisi,” kata Uzy cukup keras.Dua kepala muncul memenuhi panggilannya. Wajah cantik Candy dan wajah seorang bapak-bapak bertubuh kekar terlihat oleh Uzy.“Ehm, maaf. Saya mau ketemu Mbak Candy,” ujar Uzy grogi.“Ya? Ada apa, ya?” tanya Candy.Sepasang mata cantik Candy menyorotkan kebingungan. Dari pandangan matanya, jelas ia merasa Uzy merupakan orang asing. Terang saja, Candy baru pertama kali ini melihat Uzy secara serius.“Boleh bicara berdua saja, Mbak? Urusannya agak pribadi,” kata Uzy sungkan.“Boleh, boleh. Silakan masuk,” sahut Candy. Ia menyilakan Uzy untuk masuk ke ruang tamu.“Tunggu sebentar Pak Doni,” kata Candy pada bapak-bapak yang tadi ikut muncul.
Kedatangan Uzy disambut suka cita oleh ibunya dan Lilis.“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah sampai, Zy.” Ibu memeluk Uzy dengan penuh rasa syukur.Setelah saling melepas rindu dengan bertanya kabar, Uzy pun dituntun ibunya untuk duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu rumah.“Cepat ambilkan jajan pasar yang sudah Ibu siapkan, Lis. Jangan lupa suguhkan tehnya,” titah Ibu kepada Lilis.Lilis patuh. Ia masuk ke dalam untuk melaksanakan semua perintah ibunya. Berdua saja duduk bersama ibunya, Uzy memutuskan untuk langsung mengungkapkan maksud kepulangannya.“Ibu, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting. Begini, Bu … aku akan melamar seorang gadis bernama Naura.”Mata Ibu membulat lantaran tak menduga kabar penting yang disampaikan secara mendadak. Namun, Uzy menangkap nada senang ketika ibunya bertanya, &ldqu
Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan Uzy saja belum sempat untuk berpikir matang. Tahu-tahu saja, ia sudah dipaksa untuk menikahi gadis secantik Naura. Kalau mau jujur, sebetulnya Uzy tidak merasa terpaksa. Gadis secantik Naura, siapa yang bisa menolak? Paling-paling Uzy hanya bisa berlari ke pelukan gadis itu.“Jadi, kapan kamu mau mengajak keluargamu melamar Naura, Mas Uzy?” desak ibunya Naura, Sofia.Saat ini, Uzy dan Pak Chandra sudah berada di rumah Naura. Selepas kejadian memalukan di pantai itu, Uzy dan Pak Chandra terpaksa pulang mendahului teman-temannya. Mereka berdua memutuskan buat tidak ikut acara menyaksikan matahari terbenam. Keluarga Naura mendesak Uzy untuk ikut pulang bersama mereka.“Secepatnya, Bu. Saya harus mengabari ibu saya dulu di Klaten.” Uzy menjawab takzim, seperti dia apa adanya.“Coba ceritakan tentang keluarga Nak Uzy,” pinta Sofia p
Uzy terus berteriak-teriak, namun anehnya sosok wanita di depannya seperti tidak mendengar. Sosok itu mengenakan gaun putih panjang hingga sebetis. Sebuah topi anyaman menutupi kepala dan menyisakan rambut hitam panjang sepunggung pemiliknya.Jarak Uzy dan wanita itu hanya lima meter lagi. Wanita itu terus berjalan pelan menuju ke kedalaman lautan di depannya. Ombak memecah pantai, membuat air laut menyapu tubuh wanita itu hingga selutut.“Mbak, jangaaan!” Uzy tak mengurangi kecepatan, ia terus berlari cepat demi dapat mencapai wanita itu.Setelah dekat, dengan penuh rasa heroik, Uzy melompat dan menangkap tubuh si wanita, mencegahnya untuk terus melarungkan diri ke laut dalam.“Aaah!” jerit melengking terdengar membelah langit siang. Suara si wanita bergema hingga ke sudut pantai yang kebetulan sepi.Uzy dan wanita itu terjatuh ke atas pasir basah, tepat
"Well, itu tadi sedikit cerita tentang pengalamanku naik ojek online. Seperti yang kalian tahu, hidup ini seperti lelucon, dan setiap perjalanan selalu penuh dengan kejutan. Jadi, mari kita nikmati perjalanan ini dengan senyum dan tawa. Terima kasih, semuanya!" Rudi melayangkan cium jauh buat semua orang di dalam bus, membuat sebagian besar rekan-rekannya tertawa melihat tingkahnya.“Ikut stand up comedy aja kamu, Rud. Dijamin, kamu pasti kalah!” teriak Ratih dari kursi paling belakang sambil mengacungkan jempol terbalik. Beberapa teman wanita Ratih terkikik mendengar ejekan Ratih.Rudi yang hendak duduk di kursinya, menoleh mendengar perkataan Ratih.“Apa sih, Rat? Dari kemarin kamu kok sentimen banget sama aku? Ah, pasti kamu naksir berat sama aku, deh!” balas Rudi santai.Tawa menggema di dalam bus, sementara wajah Ratih merah padam mendapatkan balasan telak dari R
Uzy berusaha untuk menolak posisi ketua panitia, namun sepertinya semua rekannya justru menganggap dirinya pilihan terbaik. Wajah Uzy mulai terlihat panik. Di tengah kebingungan Uzy, tiba-tiba sebuah suara mengatasi semua suara yang berdengung di sekitar Uzy.“Mendingan jangan Pak Uzy, deh!”Serentak, seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara. Pendapat anti mainstreamitu dianggap aneh dan mencengangkan oleh kebanyakan para karyawan. Suasana mendadak senyap.“Memangnya kenapa, Rud?” tanya Rani, akhirnya ada yang angkat suara.“Yaaa, Pak Uzy kan atasan kita. Masak sih kalian mau ngerjain atasan sendiri? Namanya acara, panitia-panitiaan itu ya dari kita-kita para staf biasa atau SPG,” dalih Rudi, meyakinkan.Semua karyawan tampak mengangguk-angguk. Mereka mulai termakan oleh persuasi yang Rudi lakuka
Uzy meneruskan perjalanannya ke kantor. Sepanjang jalan, Uzy sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Uzy melajukan motornya dengan kecepatan pelan, khawatir terjadi kecelakaan seperti yang baru dialaminya. Akhirnya, Uzy sampai di kantornya dengan fisik yang selamat meskipun hatinya remuk redam. Uzy duduk di belakang mejanya dengan tatapan kosong. Dia tampak terlihat melamun dan sedih. Ia tak sanggup mengerjakan apapun selama setengah jam setelahnya. Uzy mematung, sibuk dengan kecamuk di dalam dadanya. Pada akhirnya, bunyi ketukan di pintu yang berhasil membawa Uzy kembali pada kenyataan. Uzy mengangkat kepala, lalu menyahut, “Masuk!” Pintu terbuka dan Rudi masuk ke dalam ruangan Uzy. “Saya bawa laporan penjualan kemarin, Pak,” lapor Rudi sambil melangkah mendekati meja Uzy. “Oh, iya. Letakkan saja di meja.” Uzy menanggapi tanpa nada antusias sama sekali. Rudi meletakkan sebuah map pada meja di hadapan Uzy. Ia bermaksud untuk pergi, namun raut wajah sedih Uzy mengusiknya. Walaup
Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali ke arah Uzy dengan gaya yang genit. Bibirnya yang berpoles lipstik merah menyala, tersenyum genit. “Hai, Mas ngganteng. Kamu butuh hiburan?”Uzy begitu syok, sampai ia tak menepis tangan si gadis yang mampir di pundaknya, berusaha meraih Uzy ke dalam pelukan.“Kamu Mariska?” tanya Uzy spontan.Gadis itu kembali mengerjapkan matanya dengan gaya yang lebih genit. Bau alkohol menguar dari bibirnya yang sedikit terbuka sensual.“Kita pernah kencan ya, Mas? Mau lagi?” Gadis itu terus meracau.Uzy menatap nanar pada sosok gadis di depannya. Gadis yang wajahnya ia lihat bersama Lilis kemarin di pusat perbelanjaan. Tak salah lagi, gadis muda di depannya pastilah Mariska. Hanya saja, Mariska yang ini lebih menor dandanannya daripada kemarin.Sementara itu, orang-orang yang lewat di jalan
“Mas, ayo kita sapa Mariska.” Lilis mendadak menjawil lengan Uzy. Uzy tersentak. “Jangan, Lis. Mendingan kita keluar saja dari sini. Jangan sampai Mariska melihatmu ada di sini juga.” “Lho, kenapa, Mas?” Lilis menatap Uzy dengan tatapan tak mengerti. “Kayaknya Mariska enggak akan suka kalau tahu kamu melihatnya di sini,” sahut Uzy spontan. Lagi-lagi, Lilis mengernyitkan dahi. “Kok, gitu? Seharusnya dia senang melihatku.” “Sudah, Lis. Ayo kita cari toko lain saja.” Enggan menjelaskan keadaan yang diduganya, Uzy langsung menarik tangan Lilis untuk keluar dari toko sepatu. “Kamu mau ke toko sepatu tempat Mas kerja, enggak? Kalau di sana, mungkin kamu bisa beli sepatu. Biar Mas yang bayarin.” Uzy membujuk Lilis. “Wah, beneran nih, Mas? Aku mau, dong.” Lilis melebarkan senyum mendengar janji Uzy. Akhirnya, mereka berdua keluar da
“Kenapa kamu bilang begitu, Lis? Memangnya kamu berpikir kalau Mas punya pacar?” tanya Uzy hati-hati.Lilis mengedikkan bahu. “Siapa tahu, Mas? Mas Uzy kan sudah cukup umur. Sudah punya kerjaan mapan juga. Kalau melamar anak orang, pasti enggak akan ditolak.”Uzy menarik napas lega. Sepertinya Lilis tidak tahu soal Candy. Maka, Uzy menjawab ujaran Lilis dengan suara dan ekspresi yang tenang. “Ah, mana ada cewek yang mau sama Masmu ini.”“Eh, Mas Uzy kok minder? Padahal Mas kan tampangnya lumayan. Sudah ada kerjaan lagi. Sudah dua kelebihan Mas dibanding cowok-cowok lainnya.” Lilis bersikeras.Uzy tertawa. Ia mengacak lembut ubun-ubun Lilis, hingga rambut gadis yang beranjak remaja itu teracak dan kusut. Lilis spontan menghindar.“Jangan, Mas. Penampilanku jadi enggak keren lagi nanti,” keluh Lilis.