Share

Aku Punya Uang

Penulis: Hawa Hajari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sudah hampir sebulan Uzy bekerja membantu warung lesehan “Mas Ngganteng”. Ia mulai terbiasa dengan irama hidup yang baru ini. Siang kuliah, sedangkan malam bekerja.

Awal-awal bekerja, badannya memang pegal semua. Sakit dan ngilu rasanya di pinggang. Bahkan, Uzy sering kedapatan mengantuk saat mengikuti pembelajaran di kelas. Beberapa kali Uzy kena tegur oleh dosen, sampai ia malu karena ditertawakan oleh teman-temannya.

Akan tetapi, semua itu hanya berlangsung dua minggu. Setelah itu, badannya terbiasa dan tak lagi terasa sakit. Uzy juga sudah pandai menyiasati waktu agar tidak kurang tidur dan kelelahan.

Caranya, ia tidur siang sebelum berangkat kerja pada sore hari. Pada malam harinya, ia pergi bekerja sambil membawa buku dan tugas kuliah. Di sela-sela waktu sepi pengunjung di warung, Uzy manfaatkan untuk mengerjakan tugas atau membaca buku kuliah.

“Rajin kamu, Zy,” puji Mas Destan suatu kali.

“Bukan rajin, Mas. Terpaksa begini agar kuliah nggak keteteran,” kilah Uzy.

Meskipun menampik, hidung Uzy kembang kempis karena bangga. Mas Destan yang melihat itu tertawa geli. Wajah Uzy memang tak bisa menyembunyikan apa-apa. Seluruh suasana hatinya gampang dilihat dari raut wajahnya, seperti melihat air di dalam gelas bening.

“Lanjutkan! Mas dukung perjuanganmu,” timpal Mas Destan hiperbolis.

Akibat sibuk kerja sambil kuliah, Uzy sampai tak punya waktu banyak untuk bersosialisasi. Jika kebanyakan mahasiswa mengisi waktu luang dengan aktif di berbagai UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), maka Uzy harus bekerja.

Jika sebagian mahasiswa sering kongkow dan berhaha-hihi menghabiskan waktu, maka Uzy memilih pergi ke perpustakaan untuk berburu buku dan mengerjakan tugas.

Uzy sadar diri. Ia hanya mahasiswa miskin yang tak punya banyak uang buat berleha-leha menikmati hidup. Setiap hari ia harus bertarung dengan waktu, belajar sekaligus mencari uang.

Biasanya, usai membaca atau mengerjakan tugas, Uzy tidur siang di meja perpustakaan. Di situ ia menunggu waktu sore sebelum berangkat bekerja. Untung saja perpustakaan tutup pukul lima, jadi Uzy tak perlu terusir dari sana.

Ada seorang mahasiswa yang sering memerhatikan rutinitas Uzy di perpustakaan. Hanif namanya. Ia mahasiswa semester enam yang juga sering menyambangi perpustakaan.

Setelah dua minggu hanya mengamati Uzy yang belajar di perpustakaan, siang ini Hanif mendekati Uzy.

“Assalamu’alaikum, Uzy,” sapanya.

Uzy yang sedang serius membaca buku, terdongak kaget. Ia mengamati Hanfi dengan saksama.

“Wa’alaikumussalam. Kok tahu namaku?” tanya Uzy bingung.

Ia tahu pemuda di hadapannya juga merupakan pengunjung tetap perpustakaan. Perpustakaan yang seringkali sepi membuat antar pengunjung saling mengenal wajah, meskipun tak tahu nama. Mereka kerap berpapasan, tapi tidak saling menyapa. Makanya, Uzy heran dari mana pemuda ini tahu namanya.

“Aku lihat dari buku pengunjung perpus,” jawab Hanif seraya tersenyum.

“Oh,” komentar Uzy singkat.

Ada tanya yang tersimpan dalam benak Uzy, ada perlu apa sampai pemuda yang sepertinya kakak tingkat ini repot-repot menyapanya.

“Oya, kenalkan namaku Hanif,” sambung Hanif.

Mereka berjabat tangan. Hanif duduk di sebelah Uzy.

“Aku lihat kamu sering tidur di sini. Pasti nggak nyaman, ya,” ujar Hanif.

“Saya nggak punya pilihan. Setiap sore saya kerja, tanggung kalau pulang,” sahut Uzy jujur.

Hanif kaget juga mendengar keterbukaan Uzy. Apabila ia amati, Uzy memang kelihatan polos.

“Kebetulan aku aktif di UKM Islam. Ruangan UKM kami cukup luas, ada kasur tipis juga buat rebahan. Silakan tidur di sana,” tawar Hanif.

Uzy terkejut, tak menyangka mendapat tawaran itu. Kemudian, ia menggelengkan kepala.

“Kenapa?” tanya Hanif heran. Ia mengernyitkan dahi saat Uzy menolak.

“Saya sungkan. Saya kan nggak ikut aktif di UKM,” tutur Uzy.

“Oh, itu masalahnya,” senyum Hanif.

“Kan ada aku, kamu nggak perlu sungkan. Nanti aku kenalkan pada teman-teman dan kukatakan bahwa kamu temanku,” bujuk Hanif.

“Hm. Bagaimana, ya ...” sahut Uzy ragu.

“Daripada tidur di sini. Tidur nggak nyenyak, badan juga jadi pegal,” tambah Hanif.

Uzy menimbang. Perkataan Hanif ada betulnya. Hitung-hitung ia menambah teman dan pergaulan. Akhirnya, Uzy setuju.

“Baik kalau begitu. Terima kasih, ya,” kata Uzy.

Hanif menoleh ke arah jam dinding perpustakaan. Jarum pendek menunjuk pada angka dua.

“Sekarang saja ke UKMnya. Mumpung masih siang, ruangan belum dikunci,” ajak Hanif.

Uzy bangkit dan mengemasi buku-bukunya. Sambil berjalan bersama Hanif, ia mengulik lebih jauh tentang UKM Islam.

“Ruangan UKM ditutup jam berapa?” tanyanya ingin tahu.

“Biasanya pukul tiga, atau saat azan Asar. Tapi jika ada kegiatan sore, tutupnya sebelum waktu Magrib,” jawab Hanif.

“Apa saja kegiatan di UKM?” tanya Uzy lagi.

Sebetulnya ia bertanya untuk basa-basi, agar tidak sunyi sepanjang perjalanan.

“Setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat ada kajian rutin sore hari. Kami mengundang ustaz buat mengisi pengajian. Selain itu, kami juga menyediakan buku-buku agama buat dibaca di ruangan,” jelas Hanif panjang lebar.

Uzy mengangguk-angguk. Otaknya berputar. Sekarang hari Selasa, jadi tidak ada pengajian rutin.

“Pada hari-hari besar keagamaan, kami mengadakan kegiatan tambahan sesuai tema. Bazar atau pengajian akbar,” tambah Hanif, berpromosi.

Sekali lagi Uzy hanya mengangguk–angguk. Mereka tiba di depan ruangan UKM. Ada lima orang yang sedang duduk-duduk di kursi di depan ruangan. Semuanya lelaki.

“Assalamu’alaikum. Eh, kenalkan ini temanku,” ujar Hanif, spontan.

Kontan, kelima pemuda itu menyalami Uzy satu demi satu seraya mengenalkan nama mereka.

“Ayo, masuk,” ajak Hanif.

Uzy mengikuti langkah Hanif yang memasuki ruangan. Pandangan matanya memindai ruang itu. Uzy mendongak ke plafon, ia dapati empat petak plafon terpasang secara panjang dan lebar.

Jadi ruangan ini berukuran 4 x 4 meter, cukup besar sebetulnya. Apalagi tidak ada meja dan kursi di dalamnya, hanya karpet hijau terhampar seluas ruangan. Di salah satu dinding, tertempel rak buku besar yang terbuat dari kayu. Rak itu penuh berisi puluhan buku tertata rapi. Tebersit di dalam hati Uzy untuk membaca buku-buku itu, sayangnya bukan itu tujuannya kemari.

“Ini kasurnya. Silakan,” ujar Hanif.

Uzy melihat Hanif sudah menggelar kasur gulung tipis di permukaan karpet. Seketika tubuhnya menuntut untuk direbahkan. Kontan Uzy duduk di atas kasur.

“Saya ngobrol di luar, anggap saja rumah sendiri,” seloroh Hanif sebelum beranjak ke depan.

Uzy membaringkan badan berbantalkan tangan. Nikmat rasanya meluruskan badan begini. Hanif betul, tidur di kursi memang tak nyaman. Tubuh Uzy menjadi rileks, tapi matanya tak bisa memejam. Ia malah melamun.

Uzy menghitung hari. Genap dua puluh delapan hari ia bekerja untuk Mas Destan. Upah yang diperolehnya selama ini ia masukkan celengan. Ia sengaja tak mengutak-utik uang itu sama sekali, bahkan untuk sekedar jajan bakso. Ia ingin membuka celengan itu pada akhir bulan, agar terasa seperti gajian.

Upahnya setiap hari besarnya tiga puluh ribu rupiah, masih ditambah makan malam gratis. Tiga puluh ribu dikali tiga puluh hari, jumlahnya menjadi sembilan ratus ribu. Sangat cukup untuk memenuhi keperluan tambahan untuk kuliah, apalagi ia tak perlu pusing memikirkan tempat tinggal dan biaya makan.

Uzy juga bukan pemuda boros yang hobi berfoya-foya. Terbiasa hidup sederhana membuat Uzy hidup apa adanya, tak ada keinginan untuk bertingkah.

“Aku punya uang,” bisik Uzy pada diri sendiri. Ia lalu tersenyum-senyum.

Setiap hari, ia bisikkan kalimat sakti itu agar merasa menjadi orang kaya. Kalimat itu seperti mantra pembangkit rasa percaya diri. Lagipula, siapa tahu kelak ia betul-betul kaya uang. Bukankah Ibu juga sering mengatakan bahwa setiap ucapan adalah doa?

Uzy berkhayal, dengan uang itu ia bisa membeli buku kuliah, juga mendekati Candy. Mengingat Candy, membuat Uzy kembali tersenyum-senyum sendiri. Candy sering hadir dalam mimpinya. Dengan uang di tangan, ia tak akan lagi mencumbu bayangan.

Uzy ingat, Yandi lah yang paling tahu soal Candy. Ia harus mencari Yandi untuk menanyakan biaya kencan dengan  Candy. ***

Bab terkait

  • Terjerat Sugar Baby   Ibu Atau Candy?

    Uzy ketiduran dibuai khayalan. Sampai azan Asar berkumandang, ia tak terbangun maupun terganggu. Sepertinya kupingya sudah dikencingi oleh setan.Hanif memasuki ruangan tepat pada pukul empat. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat Uzy yang tertidur pulas, bahkan ilernya sampai jatuh ke pipi dan leher.“Zy, Uzy. Bangun, Zy.”Hanif menggoyang-goyangkan tubuh Uzy.“Kamu harus kerja, Zy!” seru Hanif. Ia berspekulasi bahwa kalimat itu akan membuat Uzy segera sadar.Betul dugaannya. Demi mendengar kata ‘kerja’, sontak mata Uzy terbuka seketika.“Jam berapa sekarang?” tanyanya kaget.Ia menghapus iler dengan ujung lengan baju, lalu mengucek-ngucek mata yang masih buram. Lalu ia celingukan ke kanan dan kiri, mencari tas ransel andalan. Di dalam tas itu ponselnya yang jadul berada.

  • Terjerat Sugar Baby   Candy dan Pasangannya

    Uzy mendekatkan kepala kepada Yandi. Pelan, Yandi berbisik,“Dua juta ....”Uzy terbelalak.“Semahal itu!” seru Uzy.Yandi tertawa melihat keterkejutan Uzy.“Dia memang mahal. Aku sudah pernah bilang, kan?” bisik Yandi.Uzy terdiam. Uangnya kurang, itu yang membuatnya kebingungan.“Memangnya kamu punya uang berapa?” bisik Yandi lagi.“Sembilan ratus,” gumam Uzy pelan.Yandi memandang Uzy seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Sesaat kemudian, ia menggelengkan kepala.“Kurang banyak. Kamu nabung saja dulu atau cari uang,” saran Yandi.Uzy mengangguk.“Mungkin bulan depan aku ada uang segitu,” kata Uzy.“Bulan depan saja ketem

  • Terjerat Sugar Baby   Saran Pakar

    “Cari cewek lain, yang lebih sesuai untuk jadi istri,” jawab Dudi halus.Lantaran tidak enak membuka topik yang riskan ini, Dudi mengalihkan pandangan ke ponsel di tangannya.“Hm. Aku belum mikir menikah, sih. Masih jauh, kuliah saja baru mulai,” ungkap Uzy.“Apalagi begitu. Jangan main api, nanti kamu terbakar,” ujar Dudi.“Tuh, Zy. Dengarkan saran dari pakar,” timpal Mas Destan.Sedari tadi diam, tiba-tiba Mas Destan ikut menimbrung. Uzy memandang Dudi dan Mas Destan bergantian.“Pakar?” ulang Uzy. Mulutnya melongo, pertanda tak paham.“Pakar itu kata lain dari orang yang sudah memiliki pengalaman pahit,” sambung Mas Destan.Kemudian Mas Destan dan Dudi sama-sama tertawa. Bedanya, Mas Destan tertawa prihatin, sedangkan Dudi tertawa

  • Terjerat Sugar Baby   Tangisan Candy

    Pengajian akbar yang dihadiri Uzy berlangsung lebih meriah daripada yang Uzy sangka sebelumnya. Sejak pagi-pagi sekali, sudah ramai para mahasiswa yang ingin ikut menghadiri acara tersebut. Uzy sendiri hadir lebih pagi dari jadwal acara untuk membantu panitia, karena tidak enak pada Hanif. “Ramai juga ya, Mas. Wajah-wajahnya asing, seperti bukan mahasiswa kampus ini. Dari mana saja mereka?” tanya Uzy heran. “Kami mengundang para mahasiswa dari kampus-kampus lain. Kan, UKM Islam antar kampus ada silaturahminya. Nah, mereka yang hadir itu adalah pengurus dan anggota UKM Islam dari kampus-kampus lain,” jelas Hanif seraya tersenyum. Uzy manggut-manggut. Ia baru tahu bahwa UKM antar universitas bisa memiliki komunitas juga. “Ayo, Zy. Tolong tata tambahan kursi bagi para hadirin lagi,” ajak Hanif. “Siap, Mas!” jawab Uzy sigap. Satu jam me

  • Terjerat Sugar Baby   Babak Belur

    Uzy berhenti di dekat mobil hitam mewah tersebut.“Permisi,” kata Uzy cukup keras.Dua kepala muncul memenuhi panggilannya. Wajah cantik Candy dan wajah seorang bapak-bapak bertubuh kekar terlihat oleh Uzy.“Ehm, maaf. Saya mau ketemu Mbak Candy,” ujar Uzy grogi.“Ya? Ada apa, ya?” tanya Candy.Sepasang mata cantik Candy menyorotkan kebingungan. Dari pandangan matanya, jelas ia merasa Uzy merupakan orang asing. Terang saja, Candy baru pertama kali ini melihat Uzy secara serius.“Boleh bicara berdua saja, Mbak? Urusannya agak pribadi,” kata Uzy sungkan.“Boleh, boleh. Silakan masuk,” sahut Candy. Ia menyilakan Uzy untuk masuk ke ruang tamu.“Tunggu sebentar Pak Doni,” kata Candy pada bapak-bapak yang tadi ikut muncul.

  • Terjerat Sugar Baby   Hubungan Batin

    “Assalamu’alaikum,” salam Hanif yang sudah kembali.“Zy. Betul itu dompet Pak Ratno. Beliau senang sekali dompet dan kartu-kartu pentingnya kembali. Aku sudah ceritakan bahwa kamu yang menemukannya. Sebagai rasa terima kasih, uang yang ada di dalam dompet beliau hadiahkan buatmu,” lapor Hanif.“Betul itu, Mas?” tanggap Uzy. Matanya berbinar. Kebetulan ia perlu uang buat ongkos dan merawat ibunya di rumah.“Alhamdulillah. Kebetulan saya memang sedang perlu uang, Mas. Barusan adik saya telepon mengabari bahwa Ibu sakit. Saya harus pulang sekarang juga,” ungkap Uzy.“Wah! Alhamdulillah kalau begitu, Zy. Tapi kamu nggak apa-apa pulang dalam kondisi begitu?” tanya Hanif. Kecemasannya terlihat tulus.“Nggak apa-apa, Mas. Saya khawatir dengan kondisi Ibu. Kata adik saya, Ibu memanggil nama saya terus,” ujar Uzy.&nbs

  • Terjerat Sugar Baby   Rahasia Ibu

    “Orang-orang apa, Bu?” desak Uzy yang semakin tak sabar.Tiba-tiba Ibu menangis. Hati Uzy serasa diremas karena merasa bersalah. Ia telah membuat ibunya bersedih. Sudut mata Uzty melirik Lilis, sebagai kode bahwa ia meminta penjelasan.Akan tetapi, Lilis malah asyik memandangi kuku-kuku jari tangannya. Sesekali, ia mencongkel kotoran yang terselip diantara kuku dengan kuku jari kelingking. Dari gaya Lilis saja Uzy sudah tahu bahwa adiknya itu sengaja berpura-pura tak melihat kode yang diberikannya.Uzy mendesah. Ia mengambil sebelah tangan Ibu lalu menggenggam erat-erat. Matanya menatap Ibu penuh kesungguhan.“Bu, maafkan Uzy yang telah berkata keras pada Ibu,” ujar Uzy lembut.Ibu mengusap air di sudut mata dengan punggung tangannya yang bebas, lalu membelai tangan Uzy yang menggenggam tangannya yang lain dengan tangan tersebut.&ldqu

  • Terjerat Sugar Baby   Keinginan Lilis

    “Ehe ... Aku nggak enak ngomongnya,” kata Lilis seraya cengengesan.“Apa karena ada Ibu? Anggap saja Ibu nggak ada,” seloroh Ibu.Lilis tertawa-tawa. Namun setelah itu ia tetap bungkam.“Punya apa sih, Lis? Mas jadi penasaran, nih,” desak Uzy tak sabar.Lilis memilin-milin rambutnya yang panjang sebahu. Matanya berkelana ke langit-langit kamar, seolah sedang mempertimbangkan ucapan Uzy.“Paling juga punya pacar,” celetuk Ibu mengagetkan.“Haaa ... Kok Ibu bisa tahu?” Mata Lilis terbelalak sempurna. Mulutnya juga ikut menganga. Ekspresi wajahnya sangat lucu dan imut di mata Uzy.“Betul, kan,” cetus Ibu seraya tersenyum.“Dari mana Ibu tahu, sih. Kan Ibu nggak pernah antar dan jemput aku sekolah,” desak Lilis penasaran.

Bab terbaru

  • Terjerat Sugar Baby   50. Pernikahan (TAMAT)

    Kedatangan Uzy disambut suka cita oleh ibunya dan Lilis.“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah sampai, Zy.” Ibu memeluk Uzy dengan penuh rasa syukur.Setelah saling melepas rindu dengan bertanya kabar, Uzy pun dituntun ibunya untuk duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu rumah.“Cepat ambilkan jajan pasar yang sudah Ibu siapkan, Lis. Jangan lupa suguhkan tehnya,” titah Ibu kepada Lilis.Lilis patuh. Ia masuk ke dalam untuk melaksanakan semua perintah ibunya. Berdua saja duduk bersama ibunya, Uzy memutuskan untuk langsung mengungkapkan maksud kepulangannya.“Ibu, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting. Begini, Bu … aku akan melamar seorang gadis bernama Naura.”Mata Ibu membulat lantaran tak menduga kabar penting yang disampaikan secara mendadak. Namun, Uzy menangkap nada senang ketika ibunya bertanya, &ldqu

  • Terjerat Sugar Baby   49. Jodoh Dari Tuhan

    Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan Uzy saja belum sempat untuk berpikir matang. Tahu-tahu saja, ia sudah dipaksa untuk menikahi gadis secantik Naura. Kalau mau jujur, sebetulnya Uzy tidak merasa terpaksa. Gadis secantik Naura, siapa yang bisa menolak? Paling-paling Uzy hanya bisa berlari ke pelukan gadis itu.“Jadi, kapan kamu mau mengajak keluargamu melamar Naura, Mas Uzy?” desak ibunya Naura, Sofia.Saat ini, Uzy dan Pak Chandra sudah berada di rumah Naura. Selepas kejadian memalukan di pantai itu, Uzy dan Pak Chandra terpaksa pulang mendahului teman-temannya. Mereka berdua memutuskan buat tidak ikut acara menyaksikan matahari terbenam. Keluarga Naura mendesak Uzy untuk ikut pulang bersama mereka.“Secepatnya, Bu. Saya harus mengabari ibu saya dulu di Klaten.” Uzy menjawab takzim, seperti dia apa adanya.“Coba ceritakan tentang keluarga Nak Uzy,” pinta Sofia p

  • Terjerat Sugar Baby   48. Aksi Penyelamatan

    Uzy terus berteriak-teriak, namun anehnya sosok wanita di depannya seperti tidak mendengar. Sosok itu mengenakan gaun putih panjang hingga sebetis. Sebuah topi anyaman menutupi kepala dan menyisakan rambut hitam panjang sepunggung pemiliknya.Jarak Uzy dan wanita itu hanya lima meter lagi. Wanita itu terus berjalan pelan menuju ke kedalaman lautan di depannya. Ombak memecah pantai, membuat air laut menyapu tubuh wanita itu hingga selutut.“Mbak, jangaaan!” Uzy tak mengurangi kecepatan, ia terus berlari cepat demi dapat mencapai wanita itu.Setelah dekat, dengan penuh rasa heroik, Uzy melompat dan menangkap tubuh si wanita, mencegahnya untuk terus melarungkan diri ke laut dalam.“Aaah!” jerit melengking terdengar membelah langit siang. Suara si wanita bergema hingga ke sudut pantai yang kebetulan sepi.Uzy dan wanita itu terjatuh ke atas pasir basah, tepat

  • Terjerat Sugar Baby   47. Benci Tapi Rindu

    "Well, itu tadi sedikit cerita tentang pengalamanku naik ojek online. Seperti yang kalian tahu, hidup ini seperti lelucon, dan setiap perjalanan selalu penuh dengan kejutan. Jadi, mari kita nikmati perjalanan ini dengan senyum dan tawa. Terima kasih, semuanya!" Rudi melayangkan cium jauh buat semua orang di dalam bus, membuat sebagian besar rekan-rekannya tertawa melihat tingkahnya.“Ikut stand up comedy aja kamu, Rud. Dijamin, kamu pasti kalah!” teriak Ratih dari kursi paling belakang sambil mengacungkan jempol terbalik. Beberapa teman wanita Ratih terkikik mendengar ejekan Ratih.Rudi yang hendak duduk di kursinya, menoleh mendengar perkataan Ratih.“Apa sih, Rat? Dari kemarin kamu kok sentimen banget sama aku? Ah, pasti kamu naksir berat sama aku, deh!” balas Rudi santai.Tawa menggema di dalam bus, sementara wajah Ratih merah padam mendapatkan balasan telak dari R

  • Terjerat Sugar Baby   46. Stand Up Comedy

    Uzy berusaha untuk menolak posisi ketua panitia, namun sepertinya semua rekannya justru menganggap dirinya pilihan terbaik. Wajah Uzy mulai terlihat panik. Di tengah kebingungan Uzy, tiba-tiba sebuah suara mengatasi semua suara yang berdengung di sekitar Uzy.“Mendingan jangan Pak Uzy, deh!”Serentak, seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara. Pendapat anti mainstreamitu dianggap aneh dan mencengangkan oleh kebanyakan para karyawan. Suasana mendadak senyap.“Memangnya kenapa, Rud?” tanya Rani, akhirnya ada yang angkat suara.“Yaaa, Pak Uzy kan atasan kita. Masak sih kalian mau ngerjain atasan sendiri? Namanya acara, panitia-panitiaan itu ya dari kita-kita para staf biasa atau SPG,” dalih Rudi, meyakinkan.Semua karyawan tampak mengangguk-angguk. Mereka mulai termakan oleh persuasi yang Rudi lakuka

  • Terjerat Sugar Baby   45. Hati yang Retak

    Uzy meneruskan perjalanannya ke kantor. Sepanjang jalan, Uzy sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Uzy melajukan motornya dengan kecepatan pelan, khawatir terjadi kecelakaan seperti yang baru dialaminya. Akhirnya, Uzy sampai di kantornya dengan fisik yang selamat meskipun hatinya remuk redam. Uzy duduk di belakang mejanya dengan tatapan kosong. Dia tampak terlihat melamun dan sedih. Ia tak sanggup mengerjakan apapun selama setengah jam setelahnya. Uzy mematung, sibuk dengan kecamuk di dalam dadanya. Pada akhirnya, bunyi ketukan di pintu yang berhasil membawa Uzy kembali pada kenyataan. Uzy mengangkat kepala, lalu menyahut, “Masuk!” Pintu terbuka dan Rudi masuk ke dalam ruangan Uzy. “Saya bawa laporan penjualan kemarin, Pak,” lapor Rudi sambil melangkah mendekati meja Uzy. “Oh, iya. Letakkan saja di meja.” Uzy menanggapi tanpa nada antusias sama sekali. Rudi meletakkan sebuah map pada meja di hadapan Uzy. Ia bermaksud untuk pergi, namun raut wajah sedih Uzy mengusiknya. Walaup

  • Terjerat Sugar Baby   44. Kenyataan Pahit

    Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali ke arah Uzy dengan gaya yang genit. Bibirnya yang berpoles lipstik merah menyala, tersenyum genit. “Hai, Mas ngganteng. Kamu butuh hiburan?”Uzy begitu syok, sampai ia tak menepis tangan si gadis yang mampir di pundaknya, berusaha meraih Uzy ke dalam pelukan.“Kamu Mariska?” tanya Uzy spontan.Gadis itu kembali mengerjapkan matanya dengan gaya yang lebih genit. Bau alkohol menguar dari bibirnya yang sedikit terbuka sensual.“Kita pernah kencan ya, Mas? Mau lagi?” Gadis itu terus meracau.Uzy menatap nanar pada sosok gadis di depannya. Gadis yang wajahnya ia lihat bersama Lilis kemarin di pusat perbelanjaan. Tak salah lagi, gadis muda di depannya pastilah Mariska. Hanya saja, Mariska yang ini lebih menor dandanannya daripada kemarin.Sementara itu, orang-orang yang lewat di jalan

  • Terjerat Sugar Baby   43. Pilihan Sulit

    “Mas, ayo kita sapa Mariska.” Lilis mendadak menjawil lengan Uzy. Uzy tersentak. “Jangan, Lis. Mendingan kita keluar saja dari sini. Jangan sampai Mariska melihatmu ada di sini juga.” “Lho, kenapa, Mas?” Lilis menatap Uzy dengan tatapan tak mengerti. “Kayaknya Mariska enggak akan suka kalau tahu kamu melihatnya di sini,” sahut Uzy spontan. Lagi-lagi, Lilis mengernyitkan dahi. “Kok, gitu? Seharusnya dia senang melihatku.” “Sudah, Lis. Ayo kita cari toko lain saja.” Enggan menjelaskan keadaan yang diduganya, Uzy langsung menarik tangan Lilis untuk keluar dari toko sepatu. “Kamu mau ke toko sepatu tempat Mas kerja, enggak? Kalau di sana, mungkin kamu bisa beli sepatu. Biar Mas yang bayarin.” Uzy membujuk Lilis. “Wah, beneran nih, Mas? Aku mau, dong.” Lilis melebarkan senyum mendengar janji Uzy. Akhirnya, mereka berdua keluar da

  • Terjerat Sugar Baby   42. Keterkejutan Lilis

    “Kenapa kamu bilang begitu, Lis? Memangnya kamu berpikir kalau Mas punya pacar?” tanya Uzy hati-hati.Lilis mengedikkan bahu. “Siapa tahu, Mas? Mas Uzy kan sudah cukup umur. Sudah punya kerjaan mapan juga. Kalau melamar anak orang, pasti enggak akan ditolak.”Uzy menarik napas lega. Sepertinya Lilis tidak tahu soal Candy. Maka, Uzy menjawab ujaran Lilis dengan suara dan ekspresi yang tenang. “Ah, mana ada cewek yang mau sama Masmu ini.”“Eh, Mas Uzy kok minder? Padahal Mas kan tampangnya lumayan. Sudah ada kerjaan lagi. Sudah dua kelebihan Mas dibanding cowok-cowok lainnya.” Lilis bersikeras.Uzy tertawa. Ia mengacak lembut ubun-ubun Lilis, hingga rambut gadis yang beranjak remaja itu teracak dan kusut. Lilis spontan menghindar.“Jangan, Mas. Penampilanku jadi enggak keren lagi nanti,” keluh Lilis.

DMCA.com Protection Status