Uzy meneguk ludah. Ia sudah bisa menangkap maksud Paman Ali yang tersamar. Kampus yang mereka tuju nanti merupakan kampus buat orang miskin.
Getir terasa di hati Uzy. Memang sudah nasibnya seperti ini. Siapa yang tak ingin kuliah di kampus terkenal yang mentereng? Apa daya orangtuanya hanya janda dan bukan orang kaya. Bisa kuliah saja Uzy sudah sangat bersyukur.
Sepeda motor tiba-tiba berhenti secara mendadak. Hampir saja kepala Uzy menyundul helm Paman Ali di depannya. Mata Uzy membelalak, ketika mengamati sekelilingnya.
Mereka berhenti di sebuah halaman yang sangat luas berumput pendek. Di sekelilingnya ada dua buah bangunan sangat besar yang mengapit lapangan. Bangunan yang dilihatnya kini tak semegah bangunan-bangunan yang telah dilihatnya sepanjang jalan tadi. Bukan saja tak megah, bahkan bangunan itu terlihat kuno.
“Ayo,” ajak Paman Ali pada Uzy yang terbengong di depan sepeda motor.
Uzy melangkah beriringan dengan Paman Ali. Mereka berjalan memasuki bagian depan salah satu bangunan yang tadi Uzy lihat. Spanduk iklan pendaftaran kuliah terpasang di salah satu dindingnya. Uzy mengikuti langkah Paman Ali yang berbelok ke suatu arah.
Tanpa diduga, seorang gadis muncul dari belokan jalan yang Uzy ambil. Hampir saja mereka bertabrakan, tapi tak terjadi karena Uzy secara refleks menghindar ke arah kiri.
Gadis itu tersenyum meminta maaf, sebelum berlalu pergi. Uzy terpana. Senyum itu senyum termanis yang pernah Uzy dapati dari seorang wanita. Seolah dunia terasa tak lagi suram, bersinar dalam cahaya.
Uzy menoleh ke belakang, ingin sekali lagi melihat gadis itu. Dari belakang, rambutnya yang lurus panjang melewati bahu berkibar lembut terkena angin. Sosoknya terlihat sempurna, bentuk tubuh dan warna kulitnya tak tercela.
“Ayo, Zy. Ini ruangan tempat pendaftarannya,” panggil Paman Ali dari depan sebuah ruangan besar dengan pintu yang terbuka.
Uzy mengalihkan pandang dari gadis itu, lalu menatap Paman Ali yang berada tiga meter di depannya sejenak. Saat ia menoleh lagi, gadis itu sudah menghilang entah ke mana. Ingin rasanya Uzy menyusul gadis itu, melihatnya sekali lagi dan mengajak berkenalan. Tapi semua itu hanya dalam angan-angan. Kenyataannya, Uzy tak punya cukup nyali untuk berbuat liar.
“Cepat, Zy!” panggil Paman Ali sekali lagi, suaranya lebih keras dari sebelumnya.
Uzy tersentak, lalu setengah berlari mendekati Paman Ali yang terlihat jelas sudah tak sabar.
“Apa yang kamu lihat tadi?” tanya Paman Ali, agak gusar dengan kelambanan Uzy memenuhi panggilannya.
“Oh, anu ... ada cewek cakep banget, Paman,” jawab Uzy dengan wajah yang terasa memanas.
Paman Ali tergelak, lupa akan kemarahan yang sempat mampir barusan.
“Pantas kamu sampai linglung begitu,” seloroh Paman Ali.
Uzy cengengesan tak jelas antara malu dan salah tingkah.
“Ini map pendaftaranmu. Cepat masuk, Paman tunggu di luar,” pungkas Paman Ali.
Seberkas map berwarna biru dialihtangankan oleh Paman Ali kepada Uzy. Map tebal itu Uzy sambut dengan kedua tangan.
“Baik, Paman,” sahut Uzy sopan.
Setengah jam kemudian semua urusan administrasi dan pembayaran beres dilakukan oleh Uzy.
“Bagaimana, Zy?” tanya Paman Ali ketika melihat Uzy menghampirinya yang sedang duduk di kursi taman.
“Beres, Paman. Tinggal datang lagi tanggal 20 buat ikut orientasi mahasiswa baru,” lapor Uzy setelah berada di dekat Paman Ali yang duduk sambil merokok.
“Bagus. Jadi dari sini kamu sudah bisa urus sendiri, kan?” tegas Paman Ali.
“Bisa, Paman,” angguk Uzy mantap.
Paman Ali tersenyum senang. Ia bangkit dari duduk, lalu mematikan bara di ujung puntung pada dudukan kursi. Puntung yang sudah mati baranya dibuang ke dalam tong sampah di dekat kursi.
“Ayo, pulang,” ajak Paman Ali.
Uzy berjalan bersama Paman Ali, melewati ruang-ruang kosong di bangunan besar untuk menuju tempar parkir sepeda motor. Sampai di ujung bangunan, Uzy melihat satu ruangan besar terbuka pintunya. Dari dalam ruangan, terdengar gelak tawa dan obrolan riuh.
Ada kertas di dinding depan ruangan, betulisan “RUANG PANITIA MABA”. Uzy tertegun saat lewat di depan ruangan. Bukan lantaran tulisan di kertas yang tertempel itu, tapi karena gadis berambut lurus mengilap yang sedang duduk tepat di ambang pintu. Pandangan si gadis lurus ke arah dalam ruangan, dengan senyum yang semakin menambah manis dan lembut wajahnya.
Gadis itu. Ya, itu dia yang telah membuat Uzy terpana di kelokan jalan.
***
Orientasi mahasiswa baru mungkin terasa menyebalkan bagi kebanyakan orang, begitu pula dengan Uzy. Akan tetapi, sosok cantik yang berdiri jauh di depan sana membuat Uzy berubah pikiran tentang kegiatan ini.
Mata Uzy tak lepas memandang sosok cantik itu. Dia yang telah memikat hatinya sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini.
“Cantik, ya?” ujar seorang pemuda di samping Uzy.
Uzy menoleh. Pemuda berbibir hitam dan berambut acak-acakan tersenyum ramah ke arahnya.
“Cantik banget. Kamu kenal?” tanya Uzy.
Pemuda itu menggeleng.
“Tapi aku tahu namanya, Candy. Dia panitia maba paling populer,” senyumnya lagi.
“Oh iya, kita belum kenalan. Aku Uzy,” kata Uzy. Ia mengulurkan tangan untuk dijabat.
“Yandi,” balas Yandi singkat. Jabatan tangan Uzy diterimanya dengan hangat.
“Kamu suka Candy ya, Zy? Mau kenalan?” seloroh Yandi.
“Hahahaaa, andai bisa jadi pacarnya,” jawab Uzy disela tawa.
“Kamu beneran suka sama Candy?” tanya Yandi sambil tersenyum miring, membuat siapapun yang melihatnya diliputi rasa curiga.
Uzy merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kawan barunya itu di balik senyuman. Uzy menepis rasa yang hinggap, lalu menjawab dengan sungguh-sungguh.
“Iya,Yan. Candy itu cewek tercantik yang pernah aku lihat. Dia seperti ... bidadari,” ujar Uzy penuh perasaan.
Yandi terbahak. Mereka berdua memandang sekali lagi ke arah sosok wanita di depan. Ia sedang menemani lelaki kawannya sesama panitia yang memberi penjelasan kepada para mahasiswa baru. Topik yang dibahas lelaki itu tak dihiraukan Uzy dan Yandi, karena perhatian mereka tertuju pada Si Cantik di sebelahnya.
Wanita itu berwajah bulat lembut dan berkulit halus. Bibirnya dipoles tipis dengan lipstik warna pink. Saat ini, ia mengempit map di ketiak sebelah kiri. Rambutnya yang lurus tergerai jatuh sebagian menutupi wajah, berkilau ditimpa sinar matahari siang. Dengan tangan kanan yang bebas, ia mengibaskan rambut itu ke belakang, kemudian melenggang dan menghilang di balik bangunan utama kampus.
“Kalau menurutku, Candy itu bukan cantik, tapi sensual,” cetus Yandi lagi.
Uzy mengamati Yandi yang tengah menggigiti sebatang ranting.
“Kamu mau jadi pacarnya?” tanya Yandi serius. Bahkan ia sengaja melirik Uzy dengan dahi mengernyit.
Uzy terdiam. Baru juga ia menjadi mahasiswa baru di kampus ini. Siapkah ia untuk memiliki pacar? Tiba-tiba wajah Ibu berkelebat di benak Uzy. Ia teringat pesan Ibu saat ia hendak berangkat ke kota.
“Kalau mau jalan dengannya nggak perlu jadi pacar, kok,” tambah Yandi.
“Maksud kamu apa, Yan?” tanya Uzy dengan tatapan kebingungan, sementara alisnya terangkat sebelah.
Yandi tersenyum tipis.
“Kamu hanya perlu ...” Yandi menggantung ucapannya.
***
“Perlu apa buat dapetin Candy, Yan?” desak Uzy, mulai tak sabar dengan gaya Yandi.“Cukup ini aja, Bro,” senyum Yandi bertambah lebar. Satu tangannya terangkat, lalu ibu jari dan telunjuknya digesekkan satu sama lain.Uzy terpana.“Uang maksudmu?” tegas Uzy.Yandi mengangguk, senyumnya lebar tersungging.“A—apa Candy ...” Uzy tergagap.Sekali lagi, Yandi mengangguk.“Ya. Candy bisa diajak kencan asal ada ini.” Yandi kembali menggesekkan jempol dan telunjuknya.Suara Yandi lirih saja, namun akibatnya laksana bom atom yang jatuh di dada Uzy. Gemuruhnya melebihi riuh suara para mahasiswa baru yang diminta meneriakkan yel-yel kesetiaan pada kampus tercinta.Mata Uzy terbelalak, setengah tak percaya ia menatap sosok cantik di depan sana.
Uzy khawatir kuliahnya terbengkalai jika bekerja. Ia tak mau mengecewakan Ibu di kampung. Terbayang wajah ibunya yang penuh harapan pada dirinya.Milo terbahak. Dia mulai menebak-nebak, bahwa Uzy belum pernah makan di warung lesehan.“Bisa. Kan warung pecelnya buka sore menjelang magrib. Tutup sekitar pukul sepuluh malam,” jelas Milo.Uzy tersenyum. Sekarang hatinya lega. Ia dapat kerja sambil kuliah. Ilmu dapat, uang pun diperoleh. Bayangan Candy tersenyum di pelupuk mata. Eh ...Cepat Uzy mengusir sosok cantik itu dengan mengibaskan tangan.“Kenapa, Zy?” heran Milo.Dahinya mengernyit. Milo bingung melihat Uzy mengibaskan tangan di depan wajah, padahal tidak ada lalat atau nyamuk yang lewat.“Nggak apa-apa, Mil. Aku mau kalau nggak mengganggu kuliah. Apa aku bisa langsung kerja?” harap Uzy
Uzy memberanikan diri melirik pamannya, sebelum bertanya.“I—iya, Paman. Boleh, kan?” tanya Uzy. Suaranya gemetar.Tiba-tiba Paman Ali tersenyum, membuat dada Uzy lega seketika.“Boleh, boleh sekali. Tadi Paman hanya kaget kamu punya inisiatif untuk kerja sambil kuliah. Bagus!” puji Paman.Kedua jempol Paman teracung ke arah Uzy. Perasaan Uzy bertambah lega. Senyumnya ikut tersungging di bibir.“Kamu punya kemauan untuk mandiri, itu bagus. Paman salut pada tekadmu. Jangan seperti kebanyakan mahasiswa sekarang yang bermalas-malasan. Setelah lulus, bingung mau kerja apa,” cela Paman.Hidung Uzy kembang kempis. Ia bangga dipuji oleh pamannya.“Nah, kamu kerja apa dan di mana?” lanjut Paman.“Bantu-bantu di warung lesehan milik teman, Paman. Hanya .
Sudah hampir sebulan Uzy bekerja membantu warung lesehan “Mas Ngganteng”. Ia mulai terbiasa dengan irama hidup yang baru ini. Siang kuliah, sedangkan malam bekerja.Awal-awal bekerja, badannya memang pegal semua. Sakit dan ngilu rasanya di pinggang. Bahkan, Uzy sering kedapatan mengantuk saat mengikuti pembelajaran di kelas. Beberapa kali Uzy kena tegur oleh dosen, sampai ia malu karena ditertawakan oleh teman-temannya.Akan tetapi, semua itu hanya berlangsung dua minggu. Setelah itu, badannya terbiasa dan tak lagi terasa sakit. Uzy juga sudah pandai menyiasati waktu agar tidak kurang tidur dan kelelahan.Caranya, ia tidur siang sebelum berangkat kerja pada sore hari. Pada malam harinya, ia pergi bekerja sambil membawa buku dan tugas kuliah. Di sela-sela waktu sepi pengunjung di warung, Uzy manfaatkan untuk mengerjakan tugas atau membaca buku kuliah.“Rajin kamu, Zy,&r
Uzy ketiduran dibuai khayalan. Sampai azan Asar berkumandang, ia tak terbangun maupun terganggu. Sepertinya kupingya sudah dikencingi oleh setan.Hanif memasuki ruangan tepat pada pukul empat. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat Uzy yang tertidur pulas, bahkan ilernya sampai jatuh ke pipi dan leher.“Zy, Uzy. Bangun, Zy.”Hanif menggoyang-goyangkan tubuh Uzy.“Kamu harus kerja, Zy!” seru Hanif. Ia berspekulasi bahwa kalimat itu akan membuat Uzy segera sadar.Betul dugaannya. Demi mendengar kata ‘kerja’, sontak mata Uzy terbuka seketika.“Jam berapa sekarang?” tanyanya kaget.Ia menghapus iler dengan ujung lengan baju, lalu mengucek-ngucek mata yang masih buram. Lalu ia celingukan ke kanan dan kiri, mencari tas ransel andalan. Di dalam tas itu ponselnya yang jadul berada.
Uzy mendekatkan kepala kepada Yandi. Pelan, Yandi berbisik,“Dua juta ....”Uzy terbelalak.“Semahal itu!” seru Uzy.Yandi tertawa melihat keterkejutan Uzy.“Dia memang mahal. Aku sudah pernah bilang, kan?” bisik Yandi.Uzy terdiam. Uangnya kurang, itu yang membuatnya kebingungan.“Memangnya kamu punya uang berapa?” bisik Yandi lagi.“Sembilan ratus,” gumam Uzy pelan.Yandi memandang Uzy seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Sesaat kemudian, ia menggelengkan kepala.“Kurang banyak. Kamu nabung saja dulu atau cari uang,” saran Yandi.Uzy mengangguk.“Mungkin bulan depan aku ada uang segitu,” kata Uzy.“Bulan depan saja ketem
“Cari cewek lain, yang lebih sesuai untuk jadi istri,” jawab Dudi halus.Lantaran tidak enak membuka topik yang riskan ini, Dudi mengalihkan pandangan ke ponsel di tangannya.“Hm. Aku belum mikir menikah, sih. Masih jauh, kuliah saja baru mulai,” ungkap Uzy.“Apalagi begitu. Jangan main api, nanti kamu terbakar,” ujar Dudi.“Tuh, Zy. Dengarkan saran dari pakar,” timpal Mas Destan.Sedari tadi diam, tiba-tiba Mas Destan ikut menimbrung. Uzy memandang Dudi dan Mas Destan bergantian.“Pakar?” ulang Uzy. Mulutnya melongo, pertanda tak paham.“Pakar itu kata lain dari orang yang sudah memiliki pengalaman pahit,” sambung Mas Destan.Kemudian Mas Destan dan Dudi sama-sama tertawa. Bedanya, Mas Destan tertawa prihatin, sedangkan Dudi tertawa
Pengajian akbar yang dihadiri Uzy berlangsung lebih meriah daripada yang Uzy sangka sebelumnya. Sejak pagi-pagi sekali, sudah ramai para mahasiswa yang ingin ikut menghadiri acara tersebut. Uzy sendiri hadir lebih pagi dari jadwal acara untuk membantu panitia, karena tidak enak pada Hanif. “Ramai juga ya, Mas. Wajah-wajahnya asing, seperti bukan mahasiswa kampus ini. Dari mana saja mereka?” tanya Uzy heran. “Kami mengundang para mahasiswa dari kampus-kampus lain. Kan, UKM Islam antar kampus ada silaturahminya. Nah, mereka yang hadir itu adalah pengurus dan anggota UKM Islam dari kampus-kampus lain,” jelas Hanif seraya tersenyum. Uzy manggut-manggut. Ia baru tahu bahwa UKM antar universitas bisa memiliki komunitas juga. “Ayo, Zy. Tolong tata tambahan kursi bagi para hadirin lagi,” ajak Hanif. “Siap, Mas!” jawab Uzy sigap. Satu jam me
Kedatangan Uzy disambut suka cita oleh ibunya dan Lilis.“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah sampai, Zy.” Ibu memeluk Uzy dengan penuh rasa syukur.Setelah saling melepas rindu dengan bertanya kabar, Uzy pun dituntun ibunya untuk duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu rumah.“Cepat ambilkan jajan pasar yang sudah Ibu siapkan, Lis. Jangan lupa suguhkan tehnya,” titah Ibu kepada Lilis.Lilis patuh. Ia masuk ke dalam untuk melaksanakan semua perintah ibunya. Berdua saja duduk bersama ibunya, Uzy memutuskan untuk langsung mengungkapkan maksud kepulangannya.“Ibu, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting. Begini, Bu … aku akan melamar seorang gadis bernama Naura.”Mata Ibu membulat lantaran tak menduga kabar penting yang disampaikan secara mendadak. Namun, Uzy menangkap nada senang ketika ibunya bertanya, &ldqu
Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan Uzy saja belum sempat untuk berpikir matang. Tahu-tahu saja, ia sudah dipaksa untuk menikahi gadis secantik Naura. Kalau mau jujur, sebetulnya Uzy tidak merasa terpaksa. Gadis secantik Naura, siapa yang bisa menolak? Paling-paling Uzy hanya bisa berlari ke pelukan gadis itu.“Jadi, kapan kamu mau mengajak keluargamu melamar Naura, Mas Uzy?” desak ibunya Naura, Sofia.Saat ini, Uzy dan Pak Chandra sudah berada di rumah Naura. Selepas kejadian memalukan di pantai itu, Uzy dan Pak Chandra terpaksa pulang mendahului teman-temannya. Mereka berdua memutuskan buat tidak ikut acara menyaksikan matahari terbenam. Keluarga Naura mendesak Uzy untuk ikut pulang bersama mereka.“Secepatnya, Bu. Saya harus mengabari ibu saya dulu di Klaten.” Uzy menjawab takzim, seperti dia apa adanya.“Coba ceritakan tentang keluarga Nak Uzy,” pinta Sofia p
Uzy terus berteriak-teriak, namun anehnya sosok wanita di depannya seperti tidak mendengar. Sosok itu mengenakan gaun putih panjang hingga sebetis. Sebuah topi anyaman menutupi kepala dan menyisakan rambut hitam panjang sepunggung pemiliknya.Jarak Uzy dan wanita itu hanya lima meter lagi. Wanita itu terus berjalan pelan menuju ke kedalaman lautan di depannya. Ombak memecah pantai, membuat air laut menyapu tubuh wanita itu hingga selutut.“Mbak, jangaaan!” Uzy tak mengurangi kecepatan, ia terus berlari cepat demi dapat mencapai wanita itu.Setelah dekat, dengan penuh rasa heroik, Uzy melompat dan menangkap tubuh si wanita, mencegahnya untuk terus melarungkan diri ke laut dalam.“Aaah!” jerit melengking terdengar membelah langit siang. Suara si wanita bergema hingga ke sudut pantai yang kebetulan sepi.Uzy dan wanita itu terjatuh ke atas pasir basah, tepat
"Well, itu tadi sedikit cerita tentang pengalamanku naik ojek online. Seperti yang kalian tahu, hidup ini seperti lelucon, dan setiap perjalanan selalu penuh dengan kejutan. Jadi, mari kita nikmati perjalanan ini dengan senyum dan tawa. Terima kasih, semuanya!" Rudi melayangkan cium jauh buat semua orang di dalam bus, membuat sebagian besar rekan-rekannya tertawa melihat tingkahnya.“Ikut stand up comedy aja kamu, Rud. Dijamin, kamu pasti kalah!” teriak Ratih dari kursi paling belakang sambil mengacungkan jempol terbalik. Beberapa teman wanita Ratih terkikik mendengar ejekan Ratih.Rudi yang hendak duduk di kursinya, menoleh mendengar perkataan Ratih.“Apa sih, Rat? Dari kemarin kamu kok sentimen banget sama aku? Ah, pasti kamu naksir berat sama aku, deh!” balas Rudi santai.Tawa menggema di dalam bus, sementara wajah Ratih merah padam mendapatkan balasan telak dari R
Uzy berusaha untuk menolak posisi ketua panitia, namun sepertinya semua rekannya justru menganggap dirinya pilihan terbaik. Wajah Uzy mulai terlihat panik. Di tengah kebingungan Uzy, tiba-tiba sebuah suara mengatasi semua suara yang berdengung di sekitar Uzy.“Mendingan jangan Pak Uzy, deh!”Serentak, seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara. Pendapat anti mainstreamitu dianggap aneh dan mencengangkan oleh kebanyakan para karyawan. Suasana mendadak senyap.“Memangnya kenapa, Rud?” tanya Rani, akhirnya ada yang angkat suara.“Yaaa, Pak Uzy kan atasan kita. Masak sih kalian mau ngerjain atasan sendiri? Namanya acara, panitia-panitiaan itu ya dari kita-kita para staf biasa atau SPG,” dalih Rudi, meyakinkan.Semua karyawan tampak mengangguk-angguk. Mereka mulai termakan oleh persuasi yang Rudi lakuka
Uzy meneruskan perjalanannya ke kantor. Sepanjang jalan, Uzy sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Uzy melajukan motornya dengan kecepatan pelan, khawatir terjadi kecelakaan seperti yang baru dialaminya. Akhirnya, Uzy sampai di kantornya dengan fisik yang selamat meskipun hatinya remuk redam. Uzy duduk di belakang mejanya dengan tatapan kosong. Dia tampak terlihat melamun dan sedih. Ia tak sanggup mengerjakan apapun selama setengah jam setelahnya. Uzy mematung, sibuk dengan kecamuk di dalam dadanya. Pada akhirnya, bunyi ketukan di pintu yang berhasil membawa Uzy kembali pada kenyataan. Uzy mengangkat kepala, lalu menyahut, “Masuk!” Pintu terbuka dan Rudi masuk ke dalam ruangan Uzy. “Saya bawa laporan penjualan kemarin, Pak,” lapor Rudi sambil melangkah mendekati meja Uzy. “Oh, iya. Letakkan saja di meja.” Uzy menanggapi tanpa nada antusias sama sekali. Rudi meletakkan sebuah map pada meja di hadapan Uzy. Ia bermaksud untuk pergi, namun raut wajah sedih Uzy mengusiknya. Walaup
Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali ke arah Uzy dengan gaya yang genit. Bibirnya yang berpoles lipstik merah menyala, tersenyum genit. “Hai, Mas ngganteng. Kamu butuh hiburan?”Uzy begitu syok, sampai ia tak menepis tangan si gadis yang mampir di pundaknya, berusaha meraih Uzy ke dalam pelukan.“Kamu Mariska?” tanya Uzy spontan.Gadis itu kembali mengerjapkan matanya dengan gaya yang lebih genit. Bau alkohol menguar dari bibirnya yang sedikit terbuka sensual.“Kita pernah kencan ya, Mas? Mau lagi?” Gadis itu terus meracau.Uzy menatap nanar pada sosok gadis di depannya. Gadis yang wajahnya ia lihat bersama Lilis kemarin di pusat perbelanjaan. Tak salah lagi, gadis muda di depannya pastilah Mariska. Hanya saja, Mariska yang ini lebih menor dandanannya daripada kemarin.Sementara itu, orang-orang yang lewat di jalan
“Mas, ayo kita sapa Mariska.” Lilis mendadak menjawil lengan Uzy. Uzy tersentak. “Jangan, Lis. Mendingan kita keluar saja dari sini. Jangan sampai Mariska melihatmu ada di sini juga.” “Lho, kenapa, Mas?” Lilis menatap Uzy dengan tatapan tak mengerti. “Kayaknya Mariska enggak akan suka kalau tahu kamu melihatnya di sini,” sahut Uzy spontan. Lagi-lagi, Lilis mengernyitkan dahi. “Kok, gitu? Seharusnya dia senang melihatku.” “Sudah, Lis. Ayo kita cari toko lain saja.” Enggan menjelaskan keadaan yang diduganya, Uzy langsung menarik tangan Lilis untuk keluar dari toko sepatu. “Kamu mau ke toko sepatu tempat Mas kerja, enggak? Kalau di sana, mungkin kamu bisa beli sepatu. Biar Mas yang bayarin.” Uzy membujuk Lilis. “Wah, beneran nih, Mas? Aku mau, dong.” Lilis melebarkan senyum mendengar janji Uzy. Akhirnya, mereka berdua keluar da
“Kenapa kamu bilang begitu, Lis? Memangnya kamu berpikir kalau Mas punya pacar?” tanya Uzy hati-hati.Lilis mengedikkan bahu. “Siapa tahu, Mas? Mas Uzy kan sudah cukup umur. Sudah punya kerjaan mapan juga. Kalau melamar anak orang, pasti enggak akan ditolak.”Uzy menarik napas lega. Sepertinya Lilis tidak tahu soal Candy. Maka, Uzy menjawab ujaran Lilis dengan suara dan ekspresi yang tenang. “Ah, mana ada cewek yang mau sama Masmu ini.”“Eh, Mas Uzy kok minder? Padahal Mas kan tampangnya lumayan. Sudah ada kerjaan lagi. Sudah dua kelebihan Mas dibanding cowok-cowok lainnya.” Lilis bersikeras.Uzy tertawa. Ia mengacak lembut ubun-ubun Lilis, hingga rambut gadis yang beranjak remaja itu teracak dan kusut. Lilis spontan menghindar.“Jangan, Mas. Penampilanku jadi enggak keren lagi nanti,” keluh Lilis.