Uzy khawatir kuliahnya terbengkalai jika bekerja. Ia tak mau mengecewakan Ibu di kampung. Terbayang wajah ibunya yang penuh harapan pada dirinya.
Milo terbahak. Dia mulai menebak-nebak, bahwa Uzy belum pernah makan di warung lesehan.
“Bisa. Kan warung pecelnya buka sore menjelang magrib. Tutup sekitar pukul sepuluh malam,” jelas Milo.
Uzy tersenyum. Sekarang hatinya lega. Ia dapat kerja sambil kuliah. Ilmu dapat, uang pun diperoleh. Bayangan Candy tersenyum di pelupuk mata. Eh ...
Cepat Uzy mengusir sosok cantik itu dengan mengibaskan tangan.
“Kenapa, Zy?” heran Milo.
Dahinya mengernyit. Milo bingung melihat Uzy mengibaskan tangan di depan wajah, padahal tidak ada lalat atau nyamuk yang lewat.
“Nggak apa-apa, Mil. Aku mau kalau nggak mengganggu kuliah. Apa aku bisa langsung kerja?” harap Uzy.
“Aku bilang dulu ke Masku. Nanti aku kabari lagi kelanjutannya,” janji Milo.
“Mulai hari ini juga aku siap kok,” tambah Uzy.
“Sip kalau begitu. Tunggu saja kabar dariku,” sahut Milo.
“Aku tunggu ya, Mil,” tegas Uzy.
“Iya, iya. Eh, bagi nomor WA, dong,” pinta Milo.
“Ponselku jadul, hanya bisa sms dan telepon,” jawab Uzy.
Rasa sungkan merayapi hatinya, karena memang ia hanya punya ponsel buat sms dan telepon saja. Itu juga pemberian Paman Ali.
Milo menepuk dahi. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepala. Ekspresinya prihatin.
“Nggak apa-apa, deh. Nanti aku telepon. Moga-moga setelah kerja kamu bisa beli hape android,” doa Milo.
“Aamiin. Makasih, Mil,” balas Uzy. Ia terharu dengan kebaikan Milo.
“Ya sudah, aku mau pulang dulu biar bisa segera lapor ke Masku,” pungkas Milo.
“Oke. Aku juga mau pulang,” sahut Uzy.
Mereka berjalan bersama keluar area gedung kampus. Pada satu titik, mereka berpisah. Milo menuju lahan parkir sepeda motor, sedangkan Uzy berjalan langsung ke gerbang kampus.
“Duluan, Zy,” seru Milo.
Ia melewati Uzy dengan sepeda motornya sambil melambai. Uzy membalas lambaian Milo. Ia meneruskan langkah yang baru setengah jalan menuju pintu gerbang.
Sampai di luar gerbang, Uzy melihat Candy yang juga baru keluar. Bedanya, Uzy berjalan kaki, sedangkan Candy berada di boncengan sepeda motor ninja seorang mahasiswa yang Uzy tebak merupakan kakak tingkat.
Uzy mendesah. Ia memandang motor ninja itu hingga hilang dari pandangan. Ia berkhayal, dirinya yang memboncengkan Candy.
“Suatu saat nanti,” gumamnya pada diri sendiri.
Uzy kembali menarik langkah, berjalan kaki pulang ke rumah pamannya.
***
Dua puluh menit kemudian, Uzy tiba di rumah pamannya.
“Assalamu’alaikum,” kata Uzy di depan rumah.
“Wa’alaikumussalam. Zy, kamu kok keringetan begitu?” tanya Bibi saat membukakan pintu.
Raut wajahnya menggambarkan gabungan rasa terkejut dan keheranan.
“Kan, saya pulang dari kampus jalan kaki, Bi,” jawab Uzy kalem.
Selama seminggu kuliah, bibinya belum pernah melihatnya pulang ke rumah. Biasanya, Zeo yang membukakan pintu. Sementara bibinya lebih sering sibuk di dapur.
“Bibi kira kamu naik angkot atau naik ojek,” sahut Bibinya heran.
“Nggak, Bi. Sayang duitnya,” ucap Uzy pelan.
Ia tak mau mengaku bahwa uangnya minim, bahkan kurang. Ia hampir tak pernah memegang uang buat jajan di luar.
“Hm. Coba nanti Bibi bicarakan dengan pamanmu, ya. Siapa tahu kami punya solusi buatmu,” janji Bibi.
Uzy tersenyum.
“Terima kasih, Bi,” kata Uzy tulus.
“Oya, kamu bawa kunci sendiri saja mulai sekarang, ya. Biar Bibi atau Zeo nggak repot membukakan pintu setiap kali kamu pulang,” tambah Bibi.
“Baik, Bi. Maaf saya merepotkan,” kata Uzy. Ada rasa sungkan yang muncul akibat telah merepotkan sang bibi.
“Iya, nggak apa-apa. Ini kuncinya. Kamu simpan, ya,” lanjut Bibi.
Uzy menerima anak kunci yang diulurkan Bibi. Ia langsung memasukkan anak kunci itu ke dalam tas ranselnya.
“Kalau mau makan ambil saja di meja, Zy,” kata Bibi sebelum berlalu ke dapur.
“Ya, Bi. Terima kasih,” jawab Uzy.
Perut Uzy memang lapar luar biasa. Akan tetapi, ia juga sangat lelah. Uzy mengambil air minum dari dispenser di dapur. Kemudian ia pergi beristirahat ke kamarnya.
Di atas kasur, Uzy mengingat lagi pemandangan sebelum pulang kuliah. Candy di boncengan pemuda kakak tingkat. Sedap betul jika dialah yang mengendarai motor itu. Bangga dan percaya dirinya pasti akan bertambah beberapa tingkat.
Uzy mengusap wajah. Andai punya uang banyak, Uzy tak keberatan untuk memberikannya kepada Candy, asal wanita itu mau menjadi pacarnya, atau sekadar teman pun tak mengapa.
Ajakan Milo untuk bekerja kepada kakaknya berkelebat seketika. Jika ia diterima bekerja, ia dapat mengumpulkan uang demi mendekati Candy. Dalam hati Uzy berdoa, semoga Milo serius dengan tawarannya.
Keasyikan melamun membuat Uzy tertidur. Ia terbangun saat ponselnya berdering. Uzy tersentak dan gelagapan. Semenjak memiliki ponsel, satu-satunya orang yang pernah menghubunginya adalah Lilis. Adiknya itu biasa menyampaikan pesan dari Ibu.
Tangannya meraba-raba permukaan sprei. Bunyi itu sepertinya berasal dari bawah bantal. Setengah mengantuk Uzy mencari-cari sumber bunyi. Akhirnya dapat juga yang dicarinya. Ia sempatkan untuk melirik sekilas pada layar ponsel. Nama Milo berkedip-kedip di sana.
“Oh!” pekiknya tertahan.
Seketika kantuknya hilang, matanya membulat sempurna dengan kesadaran penuh.
“Halo,” sapa Uzy kepada lawan bicaranya.
“Zy. Masku mau mempekerjakanmu. Katanya, sebelum mulai kerja kamu harus ditatar dulu. Kapan kamu bisa ketemu Masku?”
“A—aku ... Sekarang juga bisa. Tapi aku nggak tahu rumahmu,” balas Uzy tergagap.
Di seberang sana, Milo terkekeh.
“Ya sudah, kalau begitu besok saja sewaktu kita ketemu di kampus. Pulangnya kuajak ketemu Masku. Bagaimana?” saran Milo.
“Oke, Mil. Besok kita kan masuk pagi, tuh. Siangnya bisa ketemuan dengan Masmu,” angguk Uzy.
Uzy tak sadar, anggukannya tersebut tak dapat dilihat oleh Milo.
“Siplah! Kalau lancar, sore harinya kamu sudah bisa mulai kerja,” tambah Milo.
“Asik!” cetus Uzy senang.
Milo menutup telepon. Uzy termenung di kasur. Jika ia bekerja, ia dapat mengumpulkan uang. Ia dapat membeli pertemanan dengan Candy. Tapi bagaimana dengan buku-buku diktat kuliah yang juga harus dibelinya?
Uzy terpekur. Apakah ia harus meminta lagi pada Paman Ali? Uzy merasa tak enak hati. Sudah dibiayai uang semester saja Uzy sangat bersyukur. Ia tak mau menambah beban Paman Ali menjadi semakin berat.
Bunyi perutnya yang menjerit minta diisi menyadarkan Uzy dari lamunan. Ia lirik anak panah yang tak pernah lelah berputar di dinding, ternyata sudah hampir masuk waktu salat Asar. Uzy tersentak. Ia baru ingat jika belum salat Zuhur. Cepat-cepat ia menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.
***
Malam itu selepas salat Isya dan makan, Uzy memilih berdiam di dalam kamar.
“Uzy, Uzy! Bukakan pintu,” panggil Bibi dari arah luar kamar.
Uzy yang tengah melamun bergegas bangkit. Ia bukakan pintu kamar yang sedari tadi digedor oleh Bibi.
“Iya, Bi?” tanya Uzy sopan.
“Ada yang mau pamanmu bicarakan di ruang makan,” ujar Bibi.
“Baik, Bi. Saya ke sana sekarang,” jawab Uzy pelan.
Uzy keluar kamar dan melangkah memasuki ruang makan. Di sana, Paman Ali duduk seorang diri ditemani secangkir kopi.
“Iya, Paman?” sapa Uzy setelah dekat.
“Duduklah,” titah Paman.
Uzy duduk di seberang Paman Ali.
“Kata Bibi, setiap hari kamu pergi dan pulang kuliah jalan kaki?” tanya Paman Ali.
“Betul, Paman,” jawab Uzy seraya menunduk.
“Paman punya sepeda ontel di gudang. Sudah lama nggak dipakai tapi masih bisa jalan. Kalau kamu nggak malu mengendarainya ke kampus, sepeda itu boleh kamu pakai,” urai Paman Ali.
Mata Uzy berbinar senang.
“Wah! Terima kasih banyak, Paman,” cetusnya gembira.
Sudah terbayang di dalam benak, ia tak perlu lagi berpayah-payah jalan kaki ratusan meter untuk ke kampus. Banyak waktu yang bisa dihematnya. Biarlah jika ia diledek teman-temannya sekampus. Di saat teman-temannya mengendarai motor buat ke kampus, dia hanya mengendarai sepeda ontel.
“Bagus. Besok bisa kamu keluarkan sepeda itu dari gudang, lalu isi angin bannya di tambal ban,” angguk Paman puas.
“Oh ya, Paman. Mungkin besok saya pulang agak malam. Ada teman yang menawari saya untuk kerja sampingan. Kalau jadi, mungkin saya bisa langsung kerja,” tutur Uzy.
“Hah? Kamu mau kerja sampingan?” Mata Paman Ali terbelalak.
Melihat itu, Uzy tiba-tiba menjadi khawatir. Apakah paman akan melarangnya untuk bekerja? ***
Uzy memberanikan diri melirik pamannya, sebelum bertanya.“I—iya, Paman. Boleh, kan?” tanya Uzy. Suaranya gemetar.Tiba-tiba Paman Ali tersenyum, membuat dada Uzy lega seketika.“Boleh, boleh sekali. Tadi Paman hanya kaget kamu punya inisiatif untuk kerja sambil kuliah. Bagus!” puji Paman.Kedua jempol Paman teracung ke arah Uzy. Perasaan Uzy bertambah lega. Senyumnya ikut tersungging di bibir.“Kamu punya kemauan untuk mandiri, itu bagus. Paman salut pada tekadmu. Jangan seperti kebanyakan mahasiswa sekarang yang bermalas-malasan. Setelah lulus, bingung mau kerja apa,” cela Paman.Hidung Uzy kembang kempis. Ia bangga dipuji oleh pamannya.“Nah, kamu kerja apa dan di mana?” lanjut Paman.“Bantu-bantu di warung lesehan milik teman, Paman. Hanya .
Sudah hampir sebulan Uzy bekerja membantu warung lesehan “Mas Ngganteng”. Ia mulai terbiasa dengan irama hidup yang baru ini. Siang kuliah, sedangkan malam bekerja.Awal-awal bekerja, badannya memang pegal semua. Sakit dan ngilu rasanya di pinggang. Bahkan, Uzy sering kedapatan mengantuk saat mengikuti pembelajaran di kelas. Beberapa kali Uzy kena tegur oleh dosen, sampai ia malu karena ditertawakan oleh teman-temannya.Akan tetapi, semua itu hanya berlangsung dua minggu. Setelah itu, badannya terbiasa dan tak lagi terasa sakit. Uzy juga sudah pandai menyiasati waktu agar tidak kurang tidur dan kelelahan.Caranya, ia tidur siang sebelum berangkat kerja pada sore hari. Pada malam harinya, ia pergi bekerja sambil membawa buku dan tugas kuliah. Di sela-sela waktu sepi pengunjung di warung, Uzy manfaatkan untuk mengerjakan tugas atau membaca buku kuliah.“Rajin kamu, Zy,&r
Uzy ketiduran dibuai khayalan. Sampai azan Asar berkumandang, ia tak terbangun maupun terganggu. Sepertinya kupingya sudah dikencingi oleh setan.Hanif memasuki ruangan tepat pada pukul empat. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat Uzy yang tertidur pulas, bahkan ilernya sampai jatuh ke pipi dan leher.“Zy, Uzy. Bangun, Zy.”Hanif menggoyang-goyangkan tubuh Uzy.“Kamu harus kerja, Zy!” seru Hanif. Ia berspekulasi bahwa kalimat itu akan membuat Uzy segera sadar.Betul dugaannya. Demi mendengar kata ‘kerja’, sontak mata Uzy terbuka seketika.“Jam berapa sekarang?” tanyanya kaget.Ia menghapus iler dengan ujung lengan baju, lalu mengucek-ngucek mata yang masih buram. Lalu ia celingukan ke kanan dan kiri, mencari tas ransel andalan. Di dalam tas itu ponselnya yang jadul berada.
Uzy mendekatkan kepala kepada Yandi. Pelan, Yandi berbisik,“Dua juta ....”Uzy terbelalak.“Semahal itu!” seru Uzy.Yandi tertawa melihat keterkejutan Uzy.“Dia memang mahal. Aku sudah pernah bilang, kan?” bisik Yandi.Uzy terdiam. Uangnya kurang, itu yang membuatnya kebingungan.“Memangnya kamu punya uang berapa?” bisik Yandi lagi.“Sembilan ratus,” gumam Uzy pelan.Yandi memandang Uzy seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Sesaat kemudian, ia menggelengkan kepala.“Kurang banyak. Kamu nabung saja dulu atau cari uang,” saran Yandi.Uzy mengangguk.“Mungkin bulan depan aku ada uang segitu,” kata Uzy.“Bulan depan saja ketem
“Cari cewek lain, yang lebih sesuai untuk jadi istri,” jawab Dudi halus.Lantaran tidak enak membuka topik yang riskan ini, Dudi mengalihkan pandangan ke ponsel di tangannya.“Hm. Aku belum mikir menikah, sih. Masih jauh, kuliah saja baru mulai,” ungkap Uzy.“Apalagi begitu. Jangan main api, nanti kamu terbakar,” ujar Dudi.“Tuh, Zy. Dengarkan saran dari pakar,” timpal Mas Destan.Sedari tadi diam, tiba-tiba Mas Destan ikut menimbrung. Uzy memandang Dudi dan Mas Destan bergantian.“Pakar?” ulang Uzy. Mulutnya melongo, pertanda tak paham.“Pakar itu kata lain dari orang yang sudah memiliki pengalaman pahit,” sambung Mas Destan.Kemudian Mas Destan dan Dudi sama-sama tertawa. Bedanya, Mas Destan tertawa prihatin, sedangkan Dudi tertawa
Pengajian akbar yang dihadiri Uzy berlangsung lebih meriah daripada yang Uzy sangka sebelumnya. Sejak pagi-pagi sekali, sudah ramai para mahasiswa yang ingin ikut menghadiri acara tersebut. Uzy sendiri hadir lebih pagi dari jadwal acara untuk membantu panitia, karena tidak enak pada Hanif. “Ramai juga ya, Mas. Wajah-wajahnya asing, seperti bukan mahasiswa kampus ini. Dari mana saja mereka?” tanya Uzy heran. “Kami mengundang para mahasiswa dari kampus-kampus lain. Kan, UKM Islam antar kampus ada silaturahminya. Nah, mereka yang hadir itu adalah pengurus dan anggota UKM Islam dari kampus-kampus lain,” jelas Hanif seraya tersenyum. Uzy manggut-manggut. Ia baru tahu bahwa UKM antar universitas bisa memiliki komunitas juga. “Ayo, Zy. Tolong tata tambahan kursi bagi para hadirin lagi,” ajak Hanif. “Siap, Mas!” jawab Uzy sigap. Satu jam me
Uzy berhenti di dekat mobil hitam mewah tersebut.“Permisi,” kata Uzy cukup keras.Dua kepala muncul memenuhi panggilannya. Wajah cantik Candy dan wajah seorang bapak-bapak bertubuh kekar terlihat oleh Uzy.“Ehm, maaf. Saya mau ketemu Mbak Candy,” ujar Uzy grogi.“Ya? Ada apa, ya?” tanya Candy.Sepasang mata cantik Candy menyorotkan kebingungan. Dari pandangan matanya, jelas ia merasa Uzy merupakan orang asing. Terang saja, Candy baru pertama kali ini melihat Uzy secara serius.“Boleh bicara berdua saja, Mbak? Urusannya agak pribadi,” kata Uzy sungkan.“Boleh, boleh. Silakan masuk,” sahut Candy. Ia menyilakan Uzy untuk masuk ke ruang tamu.“Tunggu sebentar Pak Doni,” kata Candy pada bapak-bapak yang tadi ikut muncul.
“Assalamu’alaikum,” salam Hanif yang sudah kembali.“Zy. Betul itu dompet Pak Ratno. Beliau senang sekali dompet dan kartu-kartu pentingnya kembali. Aku sudah ceritakan bahwa kamu yang menemukannya. Sebagai rasa terima kasih, uang yang ada di dalam dompet beliau hadiahkan buatmu,” lapor Hanif.“Betul itu, Mas?” tanggap Uzy. Matanya berbinar. Kebetulan ia perlu uang buat ongkos dan merawat ibunya di rumah.“Alhamdulillah. Kebetulan saya memang sedang perlu uang, Mas. Barusan adik saya telepon mengabari bahwa Ibu sakit. Saya harus pulang sekarang juga,” ungkap Uzy.“Wah! Alhamdulillah kalau begitu, Zy. Tapi kamu nggak apa-apa pulang dalam kondisi begitu?” tanya Hanif. Kecemasannya terlihat tulus.“Nggak apa-apa, Mas. Saya khawatir dengan kondisi Ibu. Kata adik saya, Ibu memanggil nama saya terus,” ujar Uzy.&nbs
Kedatangan Uzy disambut suka cita oleh ibunya dan Lilis.“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah sampai, Zy.” Ibu memeluk Uzy dengan penuh rasa syukur.Setelah saling melepas rindu dengan bertanya kabar, Uzy pun dituntun ibunya untuk duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu rumah.“Cepat ambilkan jajan pasar yang sudah Ibu siapkan, Lis. Jangan lupa suguhkan tehnya,” titah Ibu kepada Lilis.Lilis patuh. Ia masuk ke dalam untuk melaksanakan semua perintah ibunya. Berdua saja duduk bersama ibunya, Uzy memutuskan untuk langsung mengungkapkan maksud kepulangannya.“Ibu, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting. Begini, Bu … aku akan melamar seorang gadis bernama Naura.”Mata Ibu membulat lantaran tak menduga kabar penting yang disampaikan secara mendadak. Namun, Uzy menangkap nada senang ketika ibunya bertanya, &ldqu
Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan Uzy saja belum sempat untuk berpikir matang. Tahu-tahu saja, ia sudah dipaksa untuk menikahi gadis secantik Naura. Kalau mau jujur, sebetulnya Uzy tidak merasa terpaksa. Gadis secantik Naura, siapa yang bisa menolak? Paling-paling Uzy hanya bisa berlari ke pelukan gadis itu.“Jadi, kapan kamu mau mengajak keluargamu melamar Naura, Mas Uzy?” desak ibunya Naura, Sofia.Saat ini, Uzy dan Pak Chandra sudah berada di rumah Naura. Selepas kejadian memalukan di pantai itu, Uzy dan Pak Chandra terpaksa pulang mendahului teman-temannya. Mereka berdua memutuskan buat tidak ikut acara menyaksikan matahari terbenam. Keluarga Naura mendesak Uzy untuk ikut pulang bersama mereka.“Secepatnya, Bu. Saya harus mengabari ibu saya dulu di Klaten.” Uzy menjawab takzim, seperti dia apa adanya.“Coba ceritakan tentang keluarga Nak Uzy,” pinta Sofia p
Uzy terus berteriak-teriak, namun anehnya sosok wanita di depannya seperti tidak mendengar. Sosok itu mengenakan gaun putih panjang hingga sebetis. Sebuah topi anyaman menutupi kepala dan menyisakan rambut hitam panjang sepunggung pemiliknya.Jarak Uzy dan wanita itu hanya lima meter lagi. Wanita itu terus berjalan pelan menuju ke kedalaman lautan di depannya. Ombak memecah pantai, membuat air laut menyapu tubuh wanita itu hingga selutut.“Mbak, jangaaan!” Uzy tak mengurangi kecepatan, ia terus berlari cepat demi dapat mencapai wanita itu.Setelah dekat, dengan penuh rasa heroik, Uzy melompat dan menangkap tubuh si wanita, mencegahnya untuk terus melarungkan diri ke laut dalam.“Aaah!” jerit melengking terdengar membelah langit siang. Suara si wanita bergema hingga ke sudut pantai yang kebetulan sepi.Uzy dan wanita itu terjatuh ke atas pasir basah, tepat
"Well, itu tadi sedikit cerita tentang pengalamanku naik ojek online. Seperti yang kalian tahu, hidup ini seperti lelucon, dan setiap perjalanan selalu penuh dengan kejutan. Jadi, mari kita nikmati perjalanan ini dengan senyum dan tawa. Terima kasih, semuanya!" Rudi melayangkan cium jauh buat semua orang di dalam bus, membuat sebagian besar rekan-rekannya tertawa melihat tingkahnya.“Ikut stand up comedy aja kamu, Rud. Dijamin, kamu pasti kalah!” teriak Ratih dari kursi paling belakang sambil mengacungkan jempol terbalik. Beberapa teman wanita Ratih terkikik mendengar ejekan Ratih.Rudi yang hendak duduk di kursinya, menoleh mendengar perkataan Ratih.“Apa sih, Rat? Dari kemarin kamu kok sentimen banget sama aku? Ah, pasti kamu naksir berat sama aku, deh!” balas Rudi santai.Tawa menggema di dalam bus, sementara wajah Ratih merah padam mendapatkan balasan telak dari R
Uzy berusaha untuk menolak posisi ketua panitia, namun sepertinya semua rekannya justru menganggap dirinya pilihan terbaik. Wajah Uzy mulai terlihat panik. Di tengah kebingungan Uzy, tiba-tiba sebuah suara mengatasi semua suara yang berdengung di sekitar Uzy.“Mendingan jangan Pak Uzy, deh!”Serentak, seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara. Pendapat anti mainstreamitu dianggap aneh dan mencengangkan oleh kebanyakan para karyawan. Suasana mendadak senyap.“Memangnya kenapa, Rud?” tanya Rani, akhirnya ada yang angkat suara.“Yaaa, Pak Uzy kan atasan kita. Masak sih kalian mau ngerjain atasan sendiri? Namanya acara, panitia-panitiaan itu ya dari kita-kita para staf biasa atau SPG,” dalih Rudi, meyakinkan.Semua karyawan tampak mengangguk-angguk. Mereka mulai termakan oleh persuasi yang Rudi lakuka
Uzy meneruskan perjalanannya ke kantor. Sepanjang jalan, Uzy sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Uzy melajukan motornya dengan kecepatan pelan, khawatir terjadi kecelakaan seperti yang baru dialaminya. Akhirnya, Uzy sampai di kantornya dengan fisik yang selamat meskipun hatinya remuk redam. Uzy duduk di belakang mejanya dengan tatapan kosong. Dia tampak terlihat melamun dan sedih. Ia tak sanggup mengerjakan apapun selama setengah jam setelahnya. Uzy mematung, sibuk dengan kecamuk di dalam dadanya. Pada akhirnya, bunyi ketukan di pintu yang berhasil membawa Uzy kembali pada kenyataan. Uzy mengangkat kepala, lalu menyahut, “Masuk!” Pintu terbuka dan Rudi masuk ke dalam ruangan Uzy. “Saya bawa laporan penjualan kemarin, Pak,” lapor Rudi sambil melangkah mendekati meja Uzy. “Oh, iya. Letakkan saja di meja.” Uzy menanggapi tanpa nada antusias sama sekali. Rudi meletakkan sebuah map pada meja di hadapan Uzy. Ia bermaksud untuk pergi, namun raut wajah sedih Uzy mengusiknya. Walaup
Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali ke arah Uzy dengan gaya yang genit. Bibirnya yang berpoles lipstik merah menyala, tersenyum genit. “Hai, Mas ngganteng. Kamu butuh hiburan?”Uzy begitu syok, sampai ia tak menepis tangan si gadis yang mampir di pundaknya, berusaha meraih Uzy ke dalam pelukan.“Kamu Mariska?” tanya Uzy spontan.Gadis itu kembali mengerjapkan matanya dengan gaya yang lebih genit. Bau alkohol menguar dari bibirnya yang sedikit terbuka sensual.“Kita pernah kencan ya, Mas? Mau lagi?” Gadis itu terus meracau.Uzy menatap nanar pada sosok gadis di depannya. Gadis yang wajahnya ia lihat bersama Lilis kemarin di pusat perbelanjaan. Tak salah lagi, gadis muda di depannya pastilah Mariska. Hanya saja, Mariska yang ini lebih menor dandanannya daripada kemarin.Sementara itu, orang-orang yang lewat di jalan
“Mas, ayo kita sapa Mariska.” Lilis mendadak menjawil lengan Uzy. Uzy tersentak. “Jangan, Lis. Mendingan kita keluar saja dari sini. Jangan sampai Mariska melihatmu ada di sini juga.” “Lho, kenapa, Mas?” Lilis menatap Uzy dengan tatapan tak mengerti. “Kayaknya Mariska enggak akan suka kalau tahu kamu melihatnya di sini,” sahut Uzy spontan. Lagi-lagi, Lilis mengernyitkan dahi. “Kok, gitu? Seharusnya dia senang melihatku.” “Sudah, Lis. Ayo kita cari toko lain saja.” Enggan menjelaskan keadaan yang diduganya, Uzy langsung menarik tangan Lilis untuk keluar dari toko sepatu. “Kamu mau ke toko sepatu tempat Mas kerja, enggak? Kalau di sana, mungkin kamu bisa beli sepatu. Biar Mas yang bayarin.” Uzy membujuk Lilis. “Wah, beneran nih, Mas? Aku mau, dong.” Lilis melebarkan senyum mendengar janji Uzy. Akhirnya, mereka berdua keluar da
“Kenapa kamu bilang begitu, Lis? Memangnya kamu berpikir kalau Mas punya pacar?” tanya Uzy hati-hati.Lilis mengedikkan bahu. “Siapa tahu, Mas? Mas Uzy kan sudah cukup umur. Sudah punya kerjaan mapan juga. Kalau melamar anak orang, pasti enggak akan ditolak.”Uzy menarik napas lega. Sepertinya Lilis tidak tahu soal Candy. Maka, Uzy menjawab ujaran Lilis dengan suara dan ekspresi yang tenang. “Ah, mana ada cewek yang mau sama Masmu ini.”“Eh, Mas Uzy kok minder? Padahal Mas kan tampangnya lumayan. Sudah ada kerjaan lagi. Sudah dua kelebihan Mas dibanding cowok-cowok lainnya.” Lilis bersikeras.Uzy tertawa. Ia mengacak lembut ubun-ubun Lilis, hingga rambut gadis yang beranjak remaja itu teracak dan kusut. Lilis spontan menghindar.“Jangan, Mas. Penampilanku jadi enggak keren lagi nanti,” keluh Lilis.