"Sudah, jangan banyak bicara. Ayo hadapi aku sekarang," tantang Arya geram.
Selalu diperlakukan sebagai si nomor dua sejak kecil, membuat segala kekesalan yang lama terpendam jadi bangun. Detik ini, Arya sudah siap jika salah satu dari mereka harus meregang nyawa.Bukankah, sejak dulu sang kakak memang menginginkan kematiannya?"Arrggghhhh... ." Raungan Aryo terdengar kencang pada saat dia bergerak bagai kilat.Sayangnya, tepat pada saat ini pintu ruangan terkuak diiringi dengan munculnya dua pria yang rupanya sudah berjaga-jaga di depan pintu sejak tadi."Bos, jangan terbawa emosi." Bram mencetus seraya menarik lengan Arya.Tak berbeda jauh, asisten Aryo pun menarik lengan majikannya sekuat tenaga. "Bos, tenanglah. Jangan buang-buang energi untuk hal yang tidak perlu."Tentu saja Aryo yang blangsakan meronta sepenuh hati. Matanya melotot seperti hewan buas yang mengamuk. "Lepaskan aku sialan! Jongos sepertimu tak pSesuai rencana, syuting iklan pariwisata pun dilakukan di lokasi yang sudah disepakati. Putri nampak siap dengan peralatan snorkel terpasang di wajah. Untuk mempersingkat waktu, mereka cuma snorkeling di lautan dangkal. Beberapa kamera underwater yang terhubung ke layar monitor sudah siaga di tangan kameramen. "Action!"Begitu sutradara memberi aba-aba, Putri langsung menyelam ke bawah permukaan air diiringi tiga kameramen yang dengan sigap mengikuti semua pergerakannya. Pada layar monitor, tampak Putri bergerak luwes di dalam air dengan kostum mermaid bermotif tenun setempat. Pada kepalanya tersemat mahkota bunga anggrek hitam yang juga flora endemik lokal. Sutradara dan produser mengangguk puas melihat gerakannya yang lincah hingga di penghujung menit pertama, Putri meliuk indah lalu melakukan gerak menyerupai salto dalam air dan "cut!" teriak sutradara lewat pengeras suara. Setelah memastikan kualitas video dan eksekusi a
Usai kepergian Dirga, rasa tak berdaya mulai menyergap hati Putri, terlebih saat menyadari jika dirinya ada di basecamp Marion.Entah apa yang diceritakan sang aktris tentang dia, yang jelas mata orang-orang yang duduk berkelompok tadi mulai menyorot tajam padanya. Dia merasa seperti si terdakwa yang sedang diadili sekarang."Kenapa diam saja? Apa mulutmu yang culas ini tak bisa berbicara?" pancing Marion lagi. Perlahan, Putri mengarahkan tatapannya pada sang aktris. Dengan ekspresi yang sukar ditebak, dia mulai bertanya, "apa yang harus kukatakan? Bahkan masalah apa yang kakak bicarakan pun aku tak paham.""Hahaha, kau dengar itu?" toleh Marion pada asistennya. Setelah itu dia menatap tajam sang rival hingga wajah cantiknya berubah menakutkan. "Jangan mengelak, aku tahu dirimu sedang mengincar Arya."Tudingan tak berdasar ini sukses bikin Putri kehilangan kata-kata. Entah bagaimana caranya menjelaskan pada sekelilingnya jika dia tak ber
Besoknya, seluruh tim yang bertugas dalam pengambilan gambar bergerak menuju daerah pedesaan yang jadi lokasi pendakian gunung. Berangkat sekitar pukul lima pagi, mereka akhirnya tiba di sana sekitar empat jam kemudian. Rombongan yang terdiri dari sepuluh orang itu langsung disambut dengan ramah oleh kepala dusun dan beberapa warga yang dituakan. "Kami sudah menyediakan tiga rumah yang akan menampung semua anggota rombongan," ujar kepala dusun kepada sutradara yang merangkap sebagai kepala rombongan. "Terima kasih atas keramahannya, Pak. Kami sangat senang atas sambutannya."Usai ramah-tamah singkat di rumah kepala dusun, rombongan yang terdiri atas enam pria dan empat wanita dipecah dalam tiga kelompok. Para wanita tinggal di rumah kepala dusun, sedangkan kaum pria menginap di rumah dua penduduk lainnya. "Aduh, sederhana betul tempatnya," gerutu salah seorang rekan Putri yang turut menginap di rumah kepala dusun. Ucapannya
Putri dan Claudia yang sejak tadi begitu serius menyantap makanan mereka, sontak angkat kepala dan menatap tajam kedua gadis yang baru datang itu. Satu diantaranya berambut ombre sedang yang satu lagi berpotongan bob. "Kenapa? Ada yang salah dengan omonganku?" si gadis ombre kembali menimpali. Baik Putri maupun Claudia tidak menyahut. Mereka kembali menyantap nasi yang sudah hampir habis di atas piring. "Geser dong, gimana mau duduk kalau tempatnya kamu embat semua." Gadis berambut ombre lagi-lagi mencetus kasar seraya menyenggol tubuh Putri. Tak mau cari masalah, Putri langsung menggeser duduknya dan berpura-pura tak ada yang terjadi. Bukannya diam, gadis itu mulai lagi berkata pedas. "Hmm, santapan macam apa ini? Bahkan anjingku bisa makan lebih enak."Gadis berpotongan bob tak ketinggalan. Dengan bibir dimanyun-manyunkan, dia menyahuti perkataan temannya. "Kau benar. Dasar udik tak tahu etika. Memang dikira kita
Tepat pukul tujuh, ketika matahari sudah sepenuhnya terbenam, rombongan berangkat menuju pendakian. Mendampingi mereka adalah dua pemuda setempat yang sudah terbiasa jadi ranger kalau ada tamu luar kota yang ingin menikmati indahnya pemandangan dari puncak gunung. "Putri, kamu baik-baik saja?" Terdengar suara sutradara yang berjalan beberapa langkah di depan. "Ya Pak, aman semua." Putri menyahut singkat lalu melanjutkan percakapannya dengan Claudia. Berhubung pengambilan gambar di puncak gunung hanya menyorot dirinya, maka yang turut serta dalam pendakian cuma kameramen, sutradara, beserta produser. Sementara Claudia ikut secara sukarela untuk menemani Putri. "Makasih ya, udah bersusah-susah mendaki bareng aku," ujar Putri seraya berpegangan pada tali tambang besar yang dipasang di kiri-kanan jalur pendakian. "It's okay. Lebih baik ngos-ngosan mendaki daripada mendengar ocehan dua perempuan itu. Nanti aku mati mengenaskan lagi."
Seraya memandang ke kiri dan kanan untuk memastikan situasi, dia pun menyahut lirih, "kamu? Kenapa meneleponku?"[Memangnya tak bisa? Kita kan teman]'Teman, jidatmu!' nyaris Putri meneriakkan kata ini sebelum dia ingat sosok di seberang sana adalah atasannya. [Kenapa diam? Kamu baik-baik aja, kan?]"Hm, ya aku baik. Kamu gimana?"[Tentu saja aku baik. Tolong jangan terlalu capek ya. Kalau tak sanggup lagi, kamu hanya perlu bilang sama aku. Nanti aku minta sutradara menggantinya dengan stuntman]Putri memutar bola matanya jengah. Entah dimana otak jenius Arya bisa mencari stuntman yang mau menari tarian tradisional."Snorkeling sama climbing sudah selesai. Tinggal menari. Kamu mau jadi stunt- nya?"[Apa? Kurang ajar! Mereka benar-benar memaksamu bekerja tanpa henti. Aku perlu bicara dengan David]"Maaf Bos, kita sudah membahasnya kemarin. Tolong biarkan aku bekerja dengan profesional. Kalau sudah tak s
Keesokan harinya, rombongan dengan dibantu oleh warga dusun, ramai-ramai bekerja sama menyiapkan santap siang. Ada lima belas ekor ayam serta belasan kilo ikan yang dikorbankan untuk hajatan ini. Tepat pukul sebelas seperempat, seluruh penduduk dusun yang jumlahnya hanya seratusan orang berkumpul di balai pertemuan. Acara makan siang didahului oleh kata sambutan. " ... saya berterima kasih atas keramahan semua warga menyambut kami. Saya harap ke depannya, wisata di desa ini semakin mendapat perhatian," pungkas sutradara menutup sambutannya. Sebagaimana lazim dalam budaya masyarakat, kata-kata sutradara ini mesti dibalas oleh tuan rumah yang dalam hal ini diwakili oleh kepala dusun. "... Kami senang kalian bersedia mampir di dusun kami. Semoga ke depannya akan semakin banyak yang berkunjung kemari... ." Kepala dusun menyampaikan sambutannya yang sedikit agak panjang hingga beberapa orang mulai kasak-kusuk. Pukul dua belas lewat, akhir
Kenapa buru-buru? Santai saja jalannya," tegur Arya ketika mereka sudah di luar gedung. "Aku tak mau ada orang yang mengenali kita. Bisa bikin salah paham.""Salah paham apanya? Kita sama-sama pakai baju dan berjalan di ruang publik."Entah pikiran Putri yang kelewat maju, namun perkataan Arya cukup menggelitik hatinya. Mulut pria bermata tajam ini selalu bisa membungkamnya dengan berbagai cara. "Kita makan dulu ya, aku yakin kamu pasti lapar," cetus Arya sembari memasukkan koper Putri dalam bagasi mobil. Sebab dirinya terlalu lapar, Putri tak lagi punya niat menolak, walau sekedar basa-basi. Dengan sigap dia duduk di sebelah Arya dan mobil pun meluncur memecah padatnya jalanan. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah restoran Jepang yang cozy namun tidak terlalu ramai. Arya langsung menghelanya ke sebuah private room yang nyaman, lengkap dengan meja rendah dan tatami. "Kamu mau pesan apa?" tanya Arya seraya mengangsu
"Sebaiknya, si Putri jangan tinggal bersama kita."Duarr! Kata-kata ini seperti geledek yang menyambar di siang bolong bagi telinga gadis kecil yang tengah meringkuk ketakutan dalam kamar tidurnya. "Tapi Pa, dia masih kecil. SD saja belum tamat.""Dia kan sudah sepuluh tahun, harusnya sudah bisa mengurus diri sendiri."Gadis kecil itu mengusap air matanya yang jatuh berderai. Percakapan antara ibu dan ayah tirinya bagai godam yang memukul telinganya bertalu-talu. Sejak ibunya menikah lagi, dia sudah seperti orang asing di rumah sendiri. Padahal rumah yang mereka tempati ini, ibunya yang beli. Ayah dan kedua saudara tirinya yang menumpang tinggal. Tapi kenapa sekarang... "Lantas kemana Putri mesti pergi, Pa?"Suara ibunya terdengar sendu, meragu. Namun dia yakin satu hal. Sebentar lagi beliau bakal mengambil keputusan yang berpihak pada ayah tirinya. Sudah setahun belakangan, situasi mereka selalu b
Sementara itu Marion yang sudah lama menghilang dari sorotan kamera, kini sedang duduk berhadapan dengan seseorang di sebuah kafe kecil di bandara. Wanita yang duduk di depannya tak lain Marion Shelby, yang sekejap lagi akan terbang ke Amerika karena dideportasi akibat skandal penipuan saham yang dia lakukan bersama Aryo. "Mion, you shouldn't leave me here. Bring me along with you," pintanya untuk kesekian kali. "Mereka semua sudah membuangku... bahkan... bahkan perempuan jalang itu konon akan menikah dengan Arya, Mom."Wajah cantik Shelby menatap puterinya datar. "Why should I? Kamu tak akan bertahan di sana dengan sikap manja itu. That bitch has taught you so well," geramnya. Marion terkesima. Kata bitch pada kalimat ibunya jelas mengacu pada nyonya Mahendra. "Kenapa Mion bilang begitu? Beliau selalu baik dan memberi semua keinginanku.""Stupid lass. Gara-gara itulah kamu tumbuh jadi gadis manja dan sombong. Selalu merasa d
Besoknya, setelah pengumuman resmi kembalinya puteri yang hilang, Dewa langsung membawa Putri menuju perusahaan kosmetik milik keluarga Mahendra. "Kamu siap untuk tugas pertamamu?" selidiknya ketika mereka sudah mencapai ambang pintu. "Siap, Papa."Jawaban Putri yang mantap membuat Dewa tersenyum puas. Rasanya, semakin mengenal Putri, dia makin bangga. Meski lahir dan dibesarkan ditengah kaum jelata, puterinya bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Dewa tak tahu saja bila semua yang diraih Putri saat ini merupakan hasil kerja keras selama bertahun-tahun, termasuklah didalamnya pelatihan etika dan kepribadian. Ruang pertemuan sudah dihadiri semua petinggi perusahaan, hingga Putri yang tadinya sudah siap nyaris gugup. " .... untuk selanjutnya Putri Maharani akan menjabat sebagai presiden direktur yang baru dari Mayapada Beauty." Dewa Mahendra menutup sambutannya dan tepukan riuh langsung bergema memenuhi ruangan. Perbe
Satu minggu kemudian, keluarga Mahendra mengumumkan kembalinya puteri kandung mereka yang hilang. "... seperti yang kalian tahu selama ini kami mengadopsi Putri Marion dari mantan istri almarhum adikku, Marion Shelby. Sebabnya tak lain karena puteri kandung kami hilang akibat tipu muslihat yang keji ... waktu itu dia masih orok yang baru keluar dari rahim istriku. Gara-gara ini pula, istriku tak berani lagi mengandung. Kehilangan puteri bungsu membuatnya trauma. Siapa sangka, pertemuan tak disengaja akhirnya membuat kami bisa bertemu lagi ... ."Sambutan ini diucapkan dengan penuh haru bahkan sampai menitikkan air mata. Putri yang diminta berdiri di salah satu sudut tersembunyi hanya bisa menatap takjub kemampuan akting kedua manusia di depan sana. Puteri yang hilang katanya? Padahal untuk memaksa nyonya Mahendra agar mau mengangkat dirinya sebagai puteri yang hilang itu, Dewa harus memberi kompensasi. Deva akan tetap jadi satu-satunya pewaris
Walau suaranya terdengar mantap, sejujurnya Putri sangat hancur di dalam. Kalau bukan karena memaksa diri agar kuat, dia sudah pasti menangis detik ini. Dewa menarik nafas panjang dan menatap Putri serius, "sesudah itu apa? Kamu mau kembali hidup luntang-lantung sendirian? Jadi objek hinaan semua orang? Putri, aku tak akan membiarkan darah Mahendra diinjak-injak begitu saja."Putri tertawa sangat keras. Ya! Apa yang penting bagi Dewa bukanlah dirinya atau ibunya atau siapapun melainkan nama keluarganya, Mahendra. "Persetan dengan namamu! Aku bahkan jijik harus memiliki DNA-mu dalam tubuhku," sahutnya begitu tawa pahit itu usai. "Kalau begitu, manfaatkan aku. Kamu membenciku, kan? Kenapa harus membiarkan aku hidup tanpa beban setelah menghadirkanmu ke dunia?"Sekarang Putri makin bingung. Sejak tadi dirinya sudah bertindak sangat kurang ajar namun Dewa tidak murka sedikit pun. Dia justru memberikan persuasi yang masuk akal. La
"Kamu yakin mau pergi begitu saja, Putri?"Suara Claudia menarik Putri kembali ke dunia nyata. Sejak tadi dia memang masih gamang, tapi mau bagaimana lagi? Rasanya sudah terlalu lelah dengan semua masalahnya di sini. "Ya, Kak. Mungkin saja, suasana kampung bakal bikin hidupku lebih happy. Aku sudah muak dengan kekejaman ibu kota. Sepertinya, takdirku memang jadi orang desa," sahut Putri dengan seulas senyum getir di bibirnya. Claudia hanya bisa mendesah pasrah. Setelah memastikan semua bawaan Putri siap, dia pun memeluk wanita yang sudah dianggapnya seperti adik itu. "Jaga dirimu baik-baik, ya. Kamu orang baik, hidup tak akan selamanya kejam."Air mata Putri kembali menitik. Dengan rasa haru dia merangkul sahabatnya dan berpamitan. Sejurus kemudian, dia sudah duduk di dalam taksi menuju stasiun bus. Semalam, setelah melarikan diri dari Arya, Putri langsung menuju kontrakan Claudia. Usai menghabiskan waktu berpikir s
Akhirnya, hari yang mendebarkan itu pun tiba. Arya mengajak Putri bertandang ke kediaman utama keluarga Bharata yang terletak di bilangan elit ibu kota. Begitu mereka sudah di ambang pintu, nyonya Bharata beserta Andini menyambut mereka. "Wah, akhirnya bisa ketemu langsung dengan aktris tenar kita," nyonya Bharata berkata sambil menempelkan pipinya ke wajah Putri. Tak jauh berbeda, Andini juga menyambut ramah mantan mahasiswanya itu. Segera, setelah basa-basi singkat usai, nyonya Bharata langsung menghela mereka semua ke ruang makan. Kesan pertama yang didapat Putri soal nyonya Bharata adalah beliau pribadi yang hangat dan cerdas, persis puterinya, Andini. Sementara tuan Bharata sendiri adalah pengamat yang baik. Sejak tadi beliau tak banyak bicara, namun matanya kedapatan menyorot Putri beberapa kali. Bukan tatapan genit melainkan meneliti. "Jadi, bagaimana perasaanmu setelah memenangkan award di festival film Asia?" Andini yang dud
Kontan idenya ini ditolak Johan mentah-mentah. "Mengapa jadi begitu? Ada lima aktris yang akan audisi untuk peran ini dan kita harus menyaksikan kemampuan mereka berlima."Meski agak cemberut, pria muda itu akhirnya menuruti perkataan sang paman. Ketika Marion sudah selesai dengan aktingnya, Putri yang didaulat untuk maju. Berbeda dengan Marion, Putri memulai adegannya dengan merapikan rok dan seragam, lalu mengusap mata. Setelahnya, dia membuka pintu seolah di tangannya ada anak kunci, lalu menyapa seseorang yang dipanggilnya ibu. Setelah itu, dia membuka pintu yang lain dan berpura-pura menyalakan keran, lalu mengusap tubuhnya berulang-ulang. Matanya dipenuhi keputus-asaan namun tak bisa bercerita pada siapapun. Sebagai gantinya, dia cuma terisak sambil menutup mulut agar ibunya yang sedang duduk di luar ruangan, tidak mendengar apa-apa. Hebatnya, semua lakon Putri ini hanya bermodal imajinasi. Didepannya tak ada pintu, tak ada Ibu, tak ada a
Sesuai janjinya pada Arya mengenai konsep setara, Putri mulai berbenah. Untuk langkah awal, dia mendirikan perusahaan akuntan publik pertamanya, dan sebagai bentuk dukungan, Arya merelakan Arda Pictures sebagai klien pertama. Bila itu belum cukup, dia juga mempengaruhi rekan-rekannya agar mempercayakan laporan keuangan dan masalah perpajakan mereka ke perusahaan pacarnya. Hal ini membuat perusahaan milik Putri langsung mencicip laba di bulan pertama setelah launching. "Wah, ternyata ini enaknya punya kenalan orang dalam," gurau Putri ketika Arya tengah bertandang ke ruang kerjanya. "Itu sudah pasti. Silakan manfaatkan aku sesukamu, Sweetheart." Seperti biasa, Arya langsung menyahut dengan mulut manisnya. Putri mencibir dan tetap fokus menekuni laporan di atas mejanya. Sebagai perusahaan baru, dia belum berani mempercayakan masalah finansial sepenuhnya pada orang lain. "Putri, sekarang bagaimana? Kamu sudah merasa 'sejajar' belum sam