Kenapa buru-buru? Santai saja jalannya," tegur Arya ketika mereka sudah di luar gedung.
"Aku tak mau ada orang yang mengenali kita. Bisa bikin salah paham.""Salah paham apanya? Kita sama-sama pakai baju dan berjalan di ruang publik."Entah pikiran Putri yang kelewat maju, namun perkataan Arya cukup menggelitik hatinya. Mulut pria bermata tajam ini selalu bisa membungkamnya dengan berbagai cara."Kita makan dulu ya, aku yakin kamu pasti lapar," cetus Arya sembari memasukkan koper Putri dalam bagasi mobil.Sebab dirinya terlalu lapar, Putri tak lagi punya niat menolak, walau sekedar basa-basi. Dengan sigap dia duduk di sebelah Arya dan mobil pun meluncur memecah padatnya jalanan.Tak berapa lama mereka tiba di sebuah restoran Jepang yang cozy namun tidak terlalu ramai. Arya langsung menghelanya ke sebuah private room yang nyaman, lengkap dengan meja rendah dan tatami."Kamu mau pesan apa?" tanya Arya seraya mengangsu"Makanan sebanyak ini cuma untuk kita?" selidik Putri begitu pelayan meletakkan aneka makanan dalam jumlah melimpah. Arya mengedikkan bahu tak acuh. "Habis, aku nggak tahu kamu suka yang mana. Jadi kupesan saja yang kira-kira cocok di lidahmu."Meski dalam hatinya kesal melihat sikap ceroboh Arya dalam memperlakukan makanan, namun didorong rasa lapar yang kian menyiksa, Putri tak banyak protes. Segera dia bergabung dengan Arya dalam mencomot setiap sajian. Bedanya, pria muda di depannya memakai sumpit, sedangkan dirinya lebih suka pakai sendok dan garpu. Meskipun pernah jadi karyawan di restoran oriental, tetap saja Putri tak mahir menggunakan alat makan yang satu ini. "Makan yang banyak, nasi di restoran Jepang punya rasa yang khas," ujar Arya seraya meletakkan satu tusuk yakitori ke dalam mangkuknya. Perhatian kecil ini sukses bikin Putri berhenti mengunyah walau cuma sesaat. Susah payah dia menelan ludah yang tercekat di tenggoroka
"Kakak, ngapain di sini?" Putri berucap kaget waktu melihat Heru turun dari mobil masih dengan pakaian kerjanya. "Emang nggak boleh? Kamu kemana aja sih? Kangen tahu."Jantung Putri berdegup kencang, terlebih saat Heru mendekatinya perlahan hingga tubuh mereka sejajar. "Ah, kakak bisa aja. Baru juga nggak ketemu satu minggu," kilahnya seraya mengusap puncak hidungnya yang tiba-tiba saja terasa gatal. "Kamu kemana aja sih? Kok sampai izin nggak masuk? Terus dari tadi dihubungi, pun nggak aktif nomornya."Pertanyaan Heru yang beruntun bikin Putri makin kikuk. Rasanya seperti sedang diinterogasi pacar padahal dia tak punya hubungan apa-apa dengan pria di depannya. "Hmm, aku ada kerjaan Kak di luar kota. Tadi ponselku low batt makanya dimatiin."Heru tampak mengangguk namun masih bertanya lagi, "kerjaan apa kok sampai keluar kota?"Seraya menyandarkan tubuh rampingnya di sisi gerbang, Putri bercerita tentang pro
Besok paginya, Putri berangkat ke kantor Arda Pictures. Hari ini, para talent baru akan menemui manajer yang ditugaskan perusahaan untuk membimbing mereka. Janji temu yang sejatinya pukul sepuluh, ternyata diundur hingga pukul sebelas.Sembari menunggu gilirannya dipanggil, Putri berbalas pesan dengan Heru yang kebetulan hendak mengajaknya makan siang. Sayang, belum sempat dia menyatakan kesediaannya, seorang staff wanita memanggil untuk segera menemui calon manajernya di lantai dua. "Halo, perkenalkan saya Mira manajer kamu yang baru," ujar wanita berkemeja hijau sage itu begitu Putri sudah duduk di depannya. "Halo juga Kak, saya Putri Maharani. Senang berkenalan dengan kakak," balas Putri seraya mengulurkan tangan. Usai berjabat tangan, wanita bernama Mira mengamatinya sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Baiklah, saya akan menjelaskan secara singkat bentuk kerja sama kita. Bila ada yang kurang dipahami, kamu bisa bertanya langsung.""Baik Kak."Mendapat persetujuan Putri,
Cepat-cepat Putri membuka pesan Heru yang tadi lalu membalas singkat. [Maaf Kak, barusan ada kerjaan bentar. Kayaknya kita makan siangnya kapan-kapan aja ya Kak]Pesan pun terkirim namun sayang, Heru sama sekali tidak menggubris. Hati Putri jadi agak galau. Tak biasanya koordinator tingkat ini lama merespon. Untuk memastikan semuanya baik-baik saja, dia kembali mengirim pesan lain. [Kak, jangan marah ya. Aku benar-benar nggak sengaja balasnya lambat]Pesan ini pun bernasib sama dengan yang tadi. Sebab bingung harus bagaimana, akhirnya Putri melangkah ke cafetaria kecil yang letaknya di sayap kanan lantai satu, dekat pintu masuk. Tempat itu hanya berupa ruangan yang dilengkapi beberapa stan serta kursi dan meja ukuran minimalis. Sebagaimana ruangan lain di kantor ini, cafenya pun tertutup dinding kaca separuhnya agar memberi kesan lega sekaligus terang. Begitu Putri masuk ke dalam, tampak beberapa orang sedang sibuk menikmati
Rupanya tawa mereka yang kelewat renyah jadi mengundang masalah baru. "Kalian kok ketawa-ketawa, hah? Lagi mengejek aku, ya?"Suara Davinka sudah keburu terdengar sebelum tubuhnya sampai di meja tempat Putri dan Claudia bersantap. "Lah, memangnya kamu siapa? Orang penting? FYI, namamu aja aku nggak tahu lho." Claudia yang memang ceplas-ceplos memulai serangannya. "Hei, tutup mulutmu. Aku nggak bicara sama kamu."Putri menarik nafas lelah. Dimana-mana selalu saja ada hal yang membuat harinya buruk. "Hei Putri, kamu dengar nggak? Kalian lagi mengejek aku, ya?" tuntut Davinka lagi. "Maaf Kak, kami bukan orang kurang kerjaan." Putri menyahut tak sabar. Setelah itu dia langsung bangkit dan menarik tangan Claudia. "Kalau begitu, kami pamit ya, Kak. Maaf mengganggu telinganya."Tak menunggu respon selebgram, Putri segera beranjak bersama Claudia yang terseok-seok mengikuti langkahnya. Begitu tiba di hala
Nyess! Rasa nyeri menghunjam ulu hati Putri. Tindakan Cindy yang menjebaknya di Mon Troser dulu masih membekas hingga kini. "Dia pernah kerja di toko barang bermerk sebelumnya?" selidik Putri harap-harap cemas. Bagaimanapun, dia lebih suka tak punya hubungan apa-apa dengan orang yang sudah menyakitinya. "Wah, kok kamu bisa tahu? Dia memang pernah kerja di Mon Troser. Itu lho ... toko barang branded yang pusatnya di Angkasa Plaza. Kamu tahu, kan?"Putri kehabisan kata-kata. Jujur, dia bingung mengambil sikap. Di satu sisi, tak ingin kehilangan teman macam Claudia namun dia juga takut bakal berhubungan lagi dengan Cindy gara-gara Claudia. "Kamu nampak bingung, Putri? Kamu kenal adikku?"Putri menelan ludah susah payah. "Nggak kok, pangling aja. Kamu ternyata punya adik secantik ini," kilahnya hambar. Claudia yang tadi sibuk dengan gawainya, tiba-tiba menatap Putri semangat. Dengan senyum lebar di wajah, dia mulai berc
Sepertinya panggilan yang dadakan ini bikin supir juga kelabakan. Cepat-cepat dia merapikan celana dan pura-pura mengemudi dengan santun. "Kamu di mana? Makan malam bareng, ya?" terdengar suara Arya dari seberang sana. Alih-alih mengiyakan, Putri malah menyahut cepat. "Baik Bos, saya turun sekarang."Dengan telepon masih tersambung, Putri nanar menatap sekeliling. Ketika melihat ada mobil yang parkir di sisi jalan, berjarak beberapa meter di depan, dia segera berseru dengan suara lantang. "Stop Pak, saya turun di sini. Itu abang saya udah nunggu."Meski agak heran, sopir tetap menghentikan mobil mendadak hingga bannya berdecit nyaring. Tanpa mempedulikan raut wajah pengemudi, Putri melempar selembar uang dua puluh ribu lalu turun. Langkah yang tergesa nyaris membuatnya terjerembab. Saat kakinya sudah menjejak tanah, Putri terduduk lemas. Kaki yang sejak tadi berusaha keras menopang berat tubuhnya, mendadak lunglai.
Dengan jawaban acuh tak acuh itu, akhirnya Arya lanjut mengemudi hingga mereka tiba di sebuah restoran yang lagi-lagi masuk dalam kategori elit. Sama seperti restoran sejenisnya, pengunjung yang datang tidak terlalu ramai namun kaum mendang-mending langsung terintimidasi begitu sampai di ambang pintu. Dua resepsionis menyambut ramah lalu menuntun mereka ke meja yang belum di reservasi. "Berhubung dadakan, kita nggak sempat reservasi dulu." Arya menukas waktu mereka sudah duduk berhadapan. Putri cuma tersenyum kecil tetapi batinnya meringis. Dia bingung bagaimana cara mengatakan pada Arya bahwa makan dalam suasana hening mencekam sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Mungkin saja, pria berwajah menawan itu tak pernah antri demi menikmati seporsi junkfood, mustahil menikmati makanan sembari tertawa keras, atau menguping obrolan pengunjung lain yang suaranya berisik saat bersantap di rumah makan Padang. Pendek kata, mereka
"Sebaiknya, si Putri jangan tinggal bersama kita."Duarr! Kata-kata ini seperti geledek yang menyambar di siang bolong bagi telinga gadis kecil yang tengah meringkuk ketakutan dalam kamar tidurnya. "Tapi Pa, dia masih kecil. SD saja belum tamat.""Dia kan sudah sepuluh tahun, harusnya sudah bisa mengurus diri sendiri."Gadis kecil itu mengusap air matanya yang jatuh berderai. Percakapan antara ibu dan ayah tirinya bagai godam yang memukul telinganya bertalu-talu. Sejak ibunya menikah lagi, dia sudah seperti orang asing di rumah sendiri. Padahal rumah yang mereka tempati ini, ibunya yang beli. Ayah dan kedua saudara tirinya yang menumpang tinggal. Tapi kenapa sekarang... "Lantas kemana Putri mesti pergi, Pa?"Suara ibunya terdengar sendu, meragu. Namun dia yakin satu hal. Sebentar lagi beliau bakal mengambil keputusan yang berpihak pada ayah tirinya. Sudah setahun belakangan, situasi mereka selalu b
Sementara itu Marion yang sudah lama menghilang dari sorotan kamera, kini sedang duduk berhadapan dengan seseorang di sebuah kafe kecil di bandara. Wanita yang duduk di depannya tak lain Marion Shelby, yang sekejap lagi akan terbang ke Amerika karena dideportasi akibat skandal penipuan saham yang dia lakukan bersama Aryo. "Mion, you shouldn't leave me here. Bring me along with you," pintanya untuk kesekian kali. "Mereka semua sudah membuangku... bahkan... bahkan perempuan jalang itu konon akan menikah dengan Arya, Mom."Wajah cantik Shelby menatap puterinya datar. "Why should I? Kamu tak akan bertahan di sana dengan sikap manja itu. That bitch has taught you so well," geramnya. Marion terkesima. Kata bitch pada kalimat ibunya jelas mengacu pada nyonya Mahendra. "Kenapa Mion bilang begitu? Beliau selalu baik dan memberi semua keinginanku.""Stupid lass. Gara-gara itulah kamu tumbuh jadi gadis manja dan sombong. Selalu merasa d
Besoknya, setelah pengumuman resmi kembalinya puteri yang hilang, Dewa langsung membawa Putri menuju perusahaan kosmetik milik keluarga Mahendra. "Kamu siap untuk tugas pertamamu?" selidiknya ketika mereka sudah mencapai ambang pintu. "Siap, Papa."Jawaban Putri yang mantap membuat Dewa tersenyum puas. Rasanya, semakin mengenal Putri, dia makin bangga. Meski lahir dan dibesarkan ditengah kaum jelata, puterinya bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Dewa tak tahu saja bila semua yang diraih Putri saat ini merupakan hasil kerja keras selama bertahun-tahun, termasuklah didalamnya pelatihan etika dan kepribadian. Ruang pertemuan sudah dihadiri semua petinggi perusahaan, hingga Putri yang tadinya sudah siap nyaris gugup. " .... untuk selanjutnya Putri Maharani akan menjabat sebagai presiden direktur yang baru dari Mayapada Beauty." Dewa Mahendra menutup sambutannya dan tepukan riuh langsung bergema memenuhi ruangan. Perbe
Satu minggu kemudian, keluarga Mahendra mengumumkan kembalinya puteri kandung mereka yang hilang. "... seperti yang kalian tahu selama ini kami mengadopsi Putri Marion dari mantan istri almarhum adikku, Marion Shelby. Sebabnya tak lain karena puteri kandung kami hilang akibat tipu muslihat yang keji ... waktu itu dia masih orok yang baru keluar dari rahim istriku. Gara-gara ini pula, istriku tak berani lagi mengandung. Kehilangan puteri bungsu membuatnya trauma. Siapa sangka, pertemuan tak disengaja akhirnya membuat kami bisa bertemu lagi ... ."Sambutan ini diucapkan dengan penuh haru bahkan sampai menitikkan air mata. Putri yang diminta berdiri di salah satu sudut tersembunyi hanya bisa menatap takjub kemampuan akting kedua manusia di depan sana. Puteri yang hilang katanya? Padahal untuk memaksa nyonya Mahendra agar mau mengangkat dirinya sebagai puteri yang hilang itu, Dewa harus memberi kompensasi. Deva akan tetap jadi satu-satunya pewaris
Walau suaranya terdengar mantap, sejujurnya Putri sangat hancur di dalam. Kalau bukan karena memaksa diri agar kuat, dia sudah pasti menangis detik ini. Dewa menarik nafas panjang dan menatap Putri serius, "sesudah itu apa? Kamu mau kembali hidup luntang-lantung sendirian? Jadi objek hinaan semua orang? Putri, aku tak akan membiarkan darah Mahendra diinjak-injak begitu saja."Putri tertawa sangat keras. Ya! Apa yang penting bagi Dewa bukanlah dirinya atau ibunya atau siapapun melainkan nama keluarganya, Mahendra. "Persetan dengan namamu! Aku bahkan jijik harus memiliki DNA-mu dalam tubuhku," sahutnya begitu tawa pahit itu usai. "Kalau begitu, manfaatkan aku. Kamu membenciku, kan? Kenapa harus membiarkan aku hidup tanpa beban setelah menghadirkanmu ke dunia?"Sekarang Putri makin bingung. Sejak tadi dirinya sudah bertindak sangat kurang ajar namun Dewa tidak murka sedikit pun. Dia justru memberikan persuasi yang masuk akal. La
"Kamu yakin mau pergi begitu saja, Putri?"Suara Claudia menarik Putri kembali ke dunia nyata. Sejak tadi dia memang masih gamang, tapi mau bagaimana lagi? Rasanya sudah terlalu lelah dengan semua masalahnya di sini. "Ya, Kak. Mungkin saja, suasana kampung bakal bikin hidupku lebih happy. Aku sudah muak dengan kekejaman ibu kota. Sepertinya, takdirku memang jadi orang desa," sahut Putri dengan seulas senyum getir di bibirnya. Claudia hanya bisa mendesah pasrah. Setelah memastikan semua bawaan Putri siap, dia pun memeluk wanita yang sudah dianggapnya seperti adik itu. "Jaga dirimu baik-baik, ya. Kamu orang baik, hidup tak akan selamanya kejam."Air mata Putri kembali menitik. Dengan rasa haru dia merangkul sahabatnya dan berpamitan. Sejurus kemudian, dia sudah duduk di dalam taksi menuju stasiun bus. Semalam, setelah melarikan diri dari Arya, Putri langsung menuju kontrakan Claudia. Usai menghabiskan waktu berpikir s
Akhirnya, hari yang mendebarkan itu pun tiba. Arya mengajak Putri bertandang ke kediaman utama keluarga Bharata yang terletak di bilangan elit ibu kota. Begitu mereka sudah di ambang pintu, nyonya Bharata beserta Andini menyambut mereka. "Wah, akhirnya bisa ketemu langsung dengan aktris tenar kita," nyonya Bharata berkata sambil menempelkan pipinya ke wajah Putri. Tak jauh berbeda, Andini juga menyambut ramah mantan mahasiswanya itu. Segera, setelah basa-basi singkat usai, nyonya Bharata langsung menghela mereka semua ke ruang makan. Kesan pertama yang didapat Putri soal nyonya Bharata adalah beliau pribadi yang hangat dan cerdas, persis puterinya, Andini. Sementara tuan Bharata sendiri adalah pengamat yang baik. Sejak tadi beliau tak banyak bicara, namun matanya kedapatan menyorot Putri beberapa kali. Bukan tatapan genit melainkan meneliti. "Jadi, bagaimana perasaanmu setelah memenangkan award di festival film Asia?" Andini yang dud
Kontan idenya ini ditolak Johan mentah-mentah. "Mengapa jadi begitu? Ada lima aktris yang akan audisi untuk peran ini dan kita harus menyaksikan kemampuan mereka berlima."Meski agak cemberut, pria muda itu akhirnya menuruti perkataan sang paman. Ketika Marion sudah selesai dengan aktingnya, Putri yang didaulat untuk maju. Berbeda dengan Marion, Putri memulai adegannya dengan merapikan rok dan seragam, lalu mengusap mata. Setelahnya, dia membuka pintu seolah di tangannya ada anak kunci, lalu menyapa seseorang yang dipanggilnya ibu. Setelah itu, dia membuka pintu yang lain dan berpura-pura menyalakan keran, lalu mengusap tubuhnya berulang-ulang. Matanya dipenuhi keputus-asaan namun tak bisa bercerita pada siapapun. Sebagai gantinya, dia cuma terisak sambil menutup mulut agar ibunya yang sedang duduk di luar ruangan, tidak mendengar apa-apa. Hebatnya, semua lakon Putri ini hanya bermodal imajinasi. Didepannya tak ada pintu, tak ada Ibu, tak ada a
Sesuai janjinya pada Arya mengenai konsep setara, Putri mulai berbenah. Untuk langkah awal, dia mendirikan perusahaan akuntan publik pertamanya, dan sebagai bentuk dukungan, Arya merelakan Arda Pictures sebagai klien pertama. Bila itu belum cukup, dia juga mempengaruhi rekan-rekannya agar mempercayakan laporan keuangan dan masalah perpajakan mereka ke perusahaan pacarnya. Hal ini membuat perusahaan milik Putri langsung mencicip laba di bulan pertama setelah launching. "Wah, ternyata ini enaknya punya kenalan orang dalam," gurau Putri ketika Arya tengah bertandang ke ruang kerjanya. "Itu sudah pasti. Silakan manfaatkan aku sesukamu, Sweetheart." Seperti biasa, Arya langsung menyahut dengan mulut manisnya. Putri mencibir dan tetap fokus menekuni laporan di atas mejanya. Sebagai perusahaan baru, dia belum berani mempercayakan masalah finansial sepenuhnya pada orang lain. "Putri, sekarang bagaimana? Kamu sudah merasa 'sejajar' belum sam