"Saya mengerti. Bagaimanapun juga bekerja di sekolah lebih menguntungkan bagi anda," ucap Theo pelan lalu mengambil kopi yang sudah selesai dibuat dan menyerahkan salah satunya kepada Sarah. "Terima kasih untuk pengertian anda," jawab Sarah lembut sambil menerima kopi yang diberikan Theo. Mereka berdua lalu berjalan masuk. Theo sangat kecewa karena sangat berharap Sarah akan terus datang ke rumahnya. Dia tidak mengerti mengapa dia merasa seperti ini. Padahal Sarah bukan siapa-siapa. Mereka bahkan tidak begitu dekat, tapi Theo merasa seperti akan berpisah dengan seseorang yang sangat dia sayangi. Nadine dan ibunya, Angel ternyata sudah menunggu di kantor notaris dengan tidak sabar. Sarah masuk dan sama sekali tidak menyapa mereka. "Sarah, anakku. Bagaimana kabarmu, nak?" sapa Angel seakan-akan sangat merindukan Sarah. Sarah diam saja. Dia tahu ibu tirinya sedang bersandiwara di depan Theo, tapi dia tidak ingin terlibat. Dia muak melihat wajah munafik ibu tirinya. "Sepertinya kit
"Kenapa dia tidak mengangkat teleponku?" tanya Theo khawatir. Dia sangat kesal dengan dua pengawal yang dia tugaskan. Bagaimana mungkin mereka ketahuan mengawasi Sarah, setelah Theo jelas-jelas memberi instruksi agar mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Theo sangat cemas sesuatu akan terjadi dengan Sarah. Apalagi karena Sarah tidak mengangkat teleponnya. Theo memutuskan untuk meminta bantuan Rachel. "Apakah kau bisa membantuku menghubungi Sarah?" "Ada apa? Kau bahkan tidak menjawab sapaanku dan langsung mencari Sarah." jawab Rachel berpura-pura kesal. "Dia sama sekali tidak menjawab teleponku. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan kepadanya." "Jadi?" "Tolong hubungi dia dan tanyakan dimana dia berada," pinta Theo. "Dia pasti sedang bekerja di kafe kofee. Aku tidak mau dimarahi karena mengganggunya. Lagipula ... hari ini dia memutuskan untuk keluar dari sekolah musik ini." "Apa? Kenapa?" tanya Theo bingung. "Dia tidak menjelaskan apa-apa. Tapi sepertinya dampak dari m
"Tiga tahun yang lalu?" tanya Theo kaget."Iya Tuan," jawab asistennya dengan yakin. Theo hanya menganggukkan kepalanya lalu masuk ke mobilnya."Tiga tahun yang lalu, bukankah itu saat dia pindah ke Pasaigi dan ... Itu dia! Aku baru ingat!" seru Theo dengan mata terbelalak.Dia baru ingat kalau Sarah pernah memintanya untuk menunda atau membatalkan pembelian rumah itu. Entah mengapa saat itu dia tidak menganggapnya serius dan merasa Sarah hanya bersandiwara."Nadine, dia yang waktu itu membuatku yakin Sarah adalah orang yang menginginkan rumah ini dijual," guman Theo pelan.Kemampuan analisisnya yang bagus, ditambah dengan intuisinya yang kuat membuat Theo yakin rumah ini adalah alasan Sarah meninggalkan semuanya.***"Nadine, masuk ke ruangan saya!" perintah Theo begitu dia tiba di kantor pagi ini.Nadine segera mengikuti Theo masuk ke ruangan bos nya itu."Duduk!" "Baik Pak."Melihat raut wajah Theo, Nadine tahu dia sedang menghadapi masalah."Jawab saya dengan jujur. Apakah benar
"Kirimkan alamat lengkapnya!" perintah Theo kepada anak buahnya yang tadi mengirimkan foto Sarah.Perjalanan ke tempat Sarah berada saat ini, cukup jauh. Mereka harus berkendara selama 2 jam, bila tidak ada kemacetan. Karena itu, Theo sudah membawa banyak persiapan, apabila Grace membutuhkan sesuatu selama perjalanan.Entah Grace atau Theo yang lebih bersemangat untuk menemui Sarah. Tapi yang pasti wajah mereka berdua sangat bahagia. Senyuman terus tersungging di bibir mereka.Theo mencoba mengarang kalimat-kalimat yang akan dia katakan bila bertemu Sarah nanti di dalam kepalanya. Dia sangat berharap Sarah mau pulang bersamanya. Theo melirik Grace yang sudah mulai tertidur. Dia kelelahan setelah tadi mengamuk cukup lama.Mereka tiba di penginapan milik keluarga ibu Sarah setelah matahari terbenam. Maranet Tops adalah dataran tinggi yang terkenal dengan pemandangannya yang indah. Udaranya juga sangat sejuk dan segar. Theo juga memiliki sebuah penginapan di daerah ini, namun dia jarang
"Enak Grace?" tanya Sarah sambil memperhatikan Grace yang makan dengan lahap."Dia pasti makan lahap karena kelaparan," sahut Theo dengan kesal."Tuan tidak makan?""Tidak usah!"Theo tidak menutupi kekesalannya karena Sarah bersikap tegas kepada putrinya dan Sarah menyadarinya."Tambah?" tanya Sarah tersenyum begitu Grace menganggukkan kepalanya.Sarah kembali memotong-motong kentang dan menyuwir ayam untuk Grace. Theo melirik Grace yang tampak tidak sabar menunggu makanannya. Begitu Sarah menyerahkan piring yang sudah diisi ulang, Grace langsung menghabiskannya dengan cepat.Setelah Grace selesai makan, dia langsung membersihkan diri dan mengganti baju dengan pakaian rumah yang memang dibawa oleh Theo untuk jaga-jaga, kalau bajunya kotor atau basah."Grace, kita pulang ya. Kapan-kapan kita main ke sini lagi," ajak Theo dengan lembut."Grace tidur disini!" bentak Grace lalu langsung masuk ke kamar yang tadi Sarah tunjukkan kepadanya.Sarah segera mengikuti Grace masuk ke dalam kamar.
"Aku tidak tahan lagi!" Theo masuk ke dalam rumah Sarah lalu menutup pintunya dengan satu tangan tanpa melepaskan tatapannya dari Sarah. Langkahnya semakin lebar, sehingga dia menjadi semakin dekat dengan Sarah. Sarah terus mundur tapi kakinya tidak sepanjang Theo. Tiba-tiba Theo menarik lengan Sarah dan mendekatkan tubuh Sarah ke tubuhnya."Saya minta maaf kalau sudah membuat anda marah," guman Sarah yang dadanya terasa mau meledak dan napasnya yang tersengal-sengal.Bukan karena takut atau sungguh-sungguh merasa bersalah. Namun karena tatapan mata Theo menyiratkan keinginan terpendamnya. "Tuan Theo, saya hanya-""Panggil aku Theo.""Tapi Tuan-""Panggil aku Theo," desak Theo yang wajahnya semakin dekat dengan Sarah. "Theo," panggil Sarah dengan suara bergetar.Dia mungkin salah menduga maksud pria pujaannya itu, namun cara Theo memandangnya dan mendekap pinggangnya membuat Sarah percaya bahwa pria itu menginginkannya."Apakah kau selalu suka ikut campur urusan orang lain?" bisik
"Ada apa Tuan?" tanya Sarah bingung. "Sarah, bisakah kau berhenti memanggilku Tuan?" Hari Sarah berbunga-bunga, mendengar Theo menyebutkan namanya tanpa menggunakan panggilan nona. Dia tersenyum malu sambil mengangguk. Dia akan berlatih memanggil nama Theo tanpa tambahan lain. "Grace mengamuk, sepertinya dia kaget menyadari bahwa dia sudah di rumah. Pelayan mengatakan dia terus memanggil namamu. Aku takut kepulanganku tidak akan membawa dampak apapun, tapi kalau kau ikut denganku dia pasti akan menjadi lebih tenang. Jadi, aku mohon. Hari ini saja, tolong aku," pinta Theo memohon. "Baiklah. Aku akan mengganti bajuku sebentar." Theo menarik napas dan membuangnya perlahan karena lega dan bahagia. Dia lega karena yakin Grace akan senang bertemu dengan Sarah. Bahagia, karena paling tidak malam ini hingga besok dia akan bersama Sarah. Sarah mengunci rumah dengan terburu-buru, lalu menyerahkan kuncinya kepada penjaga penginapan. Theo menunggu Sarah dengan sabar, lalu membukakan pintu m
"Selamat pagi," jawab Sarah lembut.Ini adalah momen yang tidak pernah ada dalam kepala Sarah. Bahkan membayangkannya pun tidak. Bagi Sarah ini hanya ada dalam adegan film atau novel romantis tapi tidak di kehidupan nyata."Mana Grace?" tanya Sarah mencoba mengalihkan rasa gugupnya."Dia sudah tidak sabar menunggumu. Ayo," ajak Theo.Mereka berjalan menyusuri lorong dengan banyak pintu, yang dindingnya dihiasi dengan berbagai lukisan mahal. Semalam Sarah sudah terlalu lelah sehingga tidak bersemangat untuk memperhatikan sekitarnya.Ternyata lorong itu langsung menuju ke ruang makan. Grace sedang duduk tenang sambil menikmati sarapannya, beberapa potong roti dengan selai stroberi. Grace menyadari kedatangan Sarah dan Theo."Miss Sarah! Miss Sarah!" teriak Grace kegirangan. Dia segera berlari ke arah Sarah lalu melompat-lompat sambil bertepuk tangan. "Selamat pagi Grace," sapa Sarah dengan senyuman tulus."Selamat pagi! Selamat pagi!" seru Grace bersemangat sambil terus melompat."Grac