Theo memandang Sarah tanpa berkedip. Gairah yang tidak pada tempatnya mengaliri pembuluh darahnya. Baru kali ini ada perempuan yang membela dan menyebut Grace anaknya tanpa keraguan sedikitpun. Dia bahkan tidak peduli ayah anak itu sudah menyakiti hatinya. Mendadak, Theo merasa yakin Sarah tulus menyayangi Grace."Ada apa tadi?" tanya Theo berpura-pura tidak mendengar semua pertengkaran tadi, setelah Sarah kembali duduk di kursinya."Tidak ada apa-apa, hanya segerombolan anak muda yang perlu diberi pelajaran sopan santun," jawab Sarah yang merasa lega karena Theo tidak mendengar perkataannya tadi.Dia takut Theo akan salah sangka bila mengetahui Sarah menyebut Grace sebagai anaknya."Croissant datang. Croissant garing tapi lembut. Baru dibakar dan dikeluarkan dari oven sehingga masih hangat dan lezat. Croissant tampak seperti bulan sabit. Bulan yang hanya terkena sedikit cahaya sehingga tidak tampak seluruh bagiannya." Sarah tersenyum mendengar penjelasan Grace. Beberapa hari yang la
"Tapi-" Sarah tidak sanggup meneruskan kata-katanya begitu tatapan mata Theo menunjukkan bahwa dia tidak menerima penolakkan. Sarah masuk ke dalam mobil dengan jantung yang berdegup sangat cepat karena telapak tangan Theo yang menyentuh kulitnya."Miss Sarah dan Papa sudah masuk ke mobil. Sekarang kita pulang!" seru Grace senang, karena akhirnya dia bisa pulang dan menonton acara kesukaannya.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Theo, mobil itu senyap. Supir Theo tidak berani menyalakan musik tanpa perintah Theo. Suhu dingin dari mesin pendingin mobil menusuk hingga ke hati Sarah. Dia tidak tahu suasana apa ini, tapi dia merasa takut, bahagia dan waswas secara bersamaan.Grace langsung membuka pintu mobil dan berlari ke dalam rumah, begitu mereka tiba di halaman kediaman Theo. Sarah yang tidak tahu harus berbuat apa, tetap diam di dalam mobil. 'Tadi kan dia sudah berjanji akan mengantarkan aku pulang,' batin Sarah yang melihat Theo dan supirnya juga ikut keluar dari mobil. "Apa ini
"Nona Sarah! Nona Sarah!" panggil Theo setelah membuka jendela mobilnya. Sarah berjalan semakin cepat, seakan-akan dia dikejar oleh seseorang. "Kenapa dia berjalan begitu cepat? Dia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal," guman Theo bingung. "Aku memang setuju! Tapi bukan berarti kau langsung membeli rumah itu Tuan Theo yang kaya raya. Apa kau tidak tersentuh mendengar ceritaku. Betapa berartinya rumah itu bagiku, betapa menderitanya hidupku demi bisa membeli rumah itu. Dasar laki-laki tidak berperasaan!" sungut Sarah yang tidak menyangka Theo akan langsung membeli rumah orangtuanya di hadapannya. Sarah berjalan sangat cepat, begitu sampai di depan apartemennya dia kehabisan napas. Sarah memandang gedung tidak terawat yang lebih tepat disebut rumah susun atau flat itu. Apartemen terdengar terlalu mewah. Tapi Sarah menghindari rasa iba yang akan muncul kalau mengatakan dia tinggal di sebuah rumah susun tua di daerah Pasaigi, daerah terkumuh di kota itu. Sarah masuk ke dalam tanp
"Siapa aku ini, hingga mengharapkan pria seperti dia," cibir Sarah kepada dirinya sendiri.Sarah sempat berpikir bahwa Theo setidaknya akan menyapanya, setelah pagi tadi mereka menghabiskan waktu bersama. Apalagi Theo mengantarkannya pulang jadi Sarah memiliki harapan terhadap pria itu.Sarah begitu kesal, kali ini bukan kepada Theo. Sarah kesal kepada dirinya sendiri karena bersikap seperti orang bodoh."Dia tidak menyukaimu Sarah. Dia bahkan membeli rumah orangtuamu tanpa memedulikanmu. Berhentilah berharap!" perintah Sarah kepada hatinya.Sarah melirik jam tangannya dan baru sadar bahwa dia harus segera pergi ke stasiun kereta. Dia tidak ingin terlambat tiba di kafe tempatnya bekerja.Sarah segera berlari keluar dari sekolah musik itu. Dia tidak peduli dengan orang-orang yang memperhatikannya dengan heran, dia terus berlari agar tidak ketinggalan kereta."Bukannya itu Nona Sarah?" tanya Theo yang melihat seorang wanita berlari melewati mobilnya yang sedang berhenti karena lampu mer
"Bapak mau duduk di mana?" tanya Nadine dengan suara lembut."Kamu datang sendirian Nadine?" sahut Theo tanpa menjawab pertanyaan Nadine."Dengan teman-teman Pak," jawab Nadine ragu.Dia memang sengaja datang bersama teman-temannya untuk memberitahu Sarah bahwa tadi siang Theo sudah setuju untuk membeli rumah ayah Sarah. Dia benar-benar penasaran dengan reaksi Sarah mendengar kabar itu. Siapa sangka dia malah bertemu Theo di sini. Rasanya seperti mendapat hadiah berlipat ganda."Kalau begitu, silakan bergabung dengan teman-temanmu. Jangan biarkan mereka menunggu," pinta Theo dengan dingin."Mereka tidak menunggu saya Pak. Saya bisa menemani bapak," rayu Nadine, membuat Theo menghela napas sambil menjorokkan bibirnya. "Saya mau makan sendirian," tegas Theo. Raut muka Nadine berubah. Dia tidak menyangka Theo akan mengusirnya seperti itu."Baik Pak," jawab Nadine sopan.Sarah terus memainkan keyboardnya sambil memandangi tuts hitam putih yang ada di hadapannya. Dia sangat terkejut ket
"Tuan Theo?" seru Sarah kaget.Bagaimana bisa laki-laki yang tadi melarikan diri dengan mobil mewahnya itu, tiba-tiba muncul di hadapan Sarah."Bukannya tadi anda sudah pulang?" tanya Sarah bingung."Siapa yang bilang saya pulang. Saya mencari tempat aman untuk memarkirkan mobil saya agar saya bisa mengantarkan anda pulang ke rumah dengan selamat," jawab Theo sambil menatap mata Sarah yang masih terbelalak."Lalu bagaimana anda tahu saya ada disini? Saya sudah berjalan cukup jauh dari jalan raya," sahut Sarah sambil memandang ke belakang. Terlalu banyak jalan dan lorong jadi Theo pasti kesulitan menemukan Sarah di sini."Saya sudah mengikuti dari tadi. Anda berjalan sangat pelan, sehingga saya bisa menemukan anda di ujung jalan itu setelah saya selesai memarkir mobil," jawab Theo sambil menunjuk sebuah jalan. "Saya hanya mengikuti dari belakang dan mengamati kalau-kalau Nona Sarah butuh dibantu," lanjut Theo sambil mengulurkan tangannya.Sarah menghela napas. Kali ini dia tidak puny
Theo merasakan panas tubuh Sarah. Ketika matanya beralih ke leher jenjang Sarah, dia menelan ludah karena kemeja Sarah sedikit tersibak sehingga memperlihatkan belahan dada yang selalu dia tutupi. Jantungnya berdetak sangat cepat dan salah satu bagian tubuh vitalnya mulai menegang.Theo menginginkan Sarah, tapi bukan hanya tubuhnya dan bukan dengan cara seperti ini. Theo ingin Sarah menjadi miliknya seutuhnya, hanya miliknya.Theo segera berdiri dengan sedikit melompat. Dia tidak boleh berlama-lama berada dalam posisi seperti tadi, karena terlambat semenit saja, bisa-bisa dia kehilangan pengendalian dirinya."Maaf, saya tidak sengaja menarik tubuh Tuan," ucap Sarah dengan suara bergetar."Tidak apa-apa. Nona Sarah tidak perlu mengantar saya keluar, saya bisa sendiri." Theo segera berjalan ke pintu dan keluar dari rumah Sarah tanpa menoleh."Apa tadi? Apa yang terjadi denganku tadi?" tanya Theo tidak percaya.Dia bergegas keluar dari gedung tempat Sarah tinggal. Supir dan seorang penga
"Apa aku mengatakan Pasaigi?" tanya Theo berpura-pura salah bicara."Maksudku rumah sakit," lanjutnya mencoba mengkoreksi perkataannya semula. Theo lega karena sepertinya Rachel dan Nadine mempercayainya karena mereka tidak bertanya lebih jauh lagi.Namun Sarah cukup kaget karena Theo menutupi kenyataan bahwa dia tinggal di Pasaigi. 'Kenapa? Apa dia ingin menyelamatkanku dari cibiran Rachel dan Nadine? Atau dia tidak ingin orang-orang tau kalau dia ke Pasaigi bersamaku demi menyelamatkan mukanya?' batin Sarah."Baik, jadi mari kita mulai pertemuannya," sahut Rachel yang tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi sebelumnya..Theo mengangguk lalu mempersilakan Nadine untuk menjelaskan. Nadine menyerahkan proposal yang sudah disiapkan kepada Theo dan Rachel, lalu meletakkan milik Sarah yang masih melamun di atas meja."Sarah!" panggil Rachel sambil menyikut tangannya. Sarah langsung tersadar dan mengambil proposalnya."Jadi dalam rangka ulang tahun perusahaan, kami akan mengadakan lo