Pameran lukisan Kaluna sukses berjalan selama satu pekan. Pameran itu tidak pernah sepi pengunjung, bahkan kian ramai di hari-hari terakhir. Menyusul kesuksesan pamerannya, buku baru Kaluna juga tak kalah ramai peminat, bahkan buku tersebut kini sudah masuk dalam jajaran bukubest sellerdi toko-toko buku.Damian juga sudah mulai kembali masuk sekolah sejak kemarin, setelah Kaluna berjanji akan selalu mengantar dan menjemputnya. Edgar sendiri masih sibuk dengan urusan masalah proyeknya yang belum juga selesai. Pria itu selalu pulang larut dan nyaris tidak bertemu Kaluna kalau wanita itu tidak bangun pagi-pagi sekali setiap harinya.Kaluna sengaja bangun lebih pagi dari biasanya untuk menemani Edgar sejenak sebelum berangkat ke kantor. Terkadang Kaluna meminta Chef Hardy menyiapkan bekal sederhana untuk Edgar, karena tahu pria itu tidak akan sarapan apapun kecuali secangkir kopi hitam pekat yang dibawakan Daniel.Seperti pagi ini, pukul enam, s
"Gimana, Kal? Ini mau langsung gue salurin aja atau lo mau pilih-pilih dulu lembaga mana yang mau lodonate?""Kal?""Kaluna?""Woy, Kal!"Kaluna tersentak dari lamunannya setelah Cintya menyeru namanya sambil menepuk lengannya kencang. Wanita itu mengerjap perlahan sebelum membawa pandangannya pada Cintya yang menatap penuh raut heran."Gimana, Cin?" tanya Kaluna linglung."Lo lagi banyak pikiran apa gimana, Kal? Gue hitung-hitung udah tiga kali lo ngelamun dari gue dateng tadi," Cintya sampai mengerutkan alisnya, meneliti Kaluna yang pikirannya entah berada di mana."Maaf, Cin. Aku emang lagi kepikiran beberapa urusan jadi nggak fokus," Kaluna mengusap wajahnya dan memijat pangkal hidung. "Sorry, tadi kita lagi bahas apa, Cin?" lanjutnya bertanya.Cintya menghela napas, tapi tetap mengulangi apa yang tadi dibicarakannya, yaitu soal hasil lelang lukisan Kaluna di pameran kemarin yang direncanakan u
Damian kembali demam. Anak itu terus mengigau dalam tidurnya, memanggil-manggil sang mami. Tubuhnya penuh keringat dingin, tapi badannya sangat panas. Sudah sejak selesai makan malam tadi Kaluna menemani Damian tidur di kamar anak itu. Tangan kanannya memegang sebuah handuk kecil untuk mengusap keringat di dahi dan leher Damian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Kaluna belum bisa memejamkan matanya untuk istirahat, padahal tubuhnya sudah terasa lelah. Sedari tadi otaknya terus berputar, memikirkan alasan mengapa Liliana menjadikan Damian sebagai target kekerasan.Getar ponsel di pangkuannya menyadarkan Kaluna dari pikiran yang ruwet. Sebuah pesan masuk dari Edgar ia dapati di layar ponselnya. Kaluna membuka pesan itu dan membacanya.Mas Edgar:Malam ini saya nggak pulang.Me:Mas tidur di kantor?Mas Edgar:Nggak, saya tidur di hotel dekat kant
Sejauh ini perkembangan kasus tuntutan Kaluna pada Liliana berjalan lancar. Ia sedikit beruntung karena urusan perusahaan Edgar yang cukup berlarut-larut bisa menjauhkan pria itu dari kabar tentang kasus anak-anaknya untuk sementara waktu.Sudah sejak kemarin, pihak kejaksaan mengirimkan surat panggilan untuk Liliana. Gadis belia itu diminta untuk hadir pada pemeriksaan pertama siang ini. Tapi, entah mengapa sudah lewat tiga puluh menit, gadis itu belum juga memunculkan batang hidungnya di kantor kejaksaan.Kaluna sengaja datang untuk memastikan Liliana benar-benar muncul, tapi orang yang ditunggunya tidak kunjung terlihat. Kaluna melirik pada Sarah yang hari ini menemaninya."Kamu yakin dia udah nerima surat panggilan itu?" tanya Kaluna sangsi.Sarah mengangguk cepat. "Sudah, Bu. Liliana sendiri bahkan yang menerima surat itu. Saya yakin dia sudah baca isinya."Kaluna menghela napas. Entah Liliana memang sedang ada urusan sehingga tidak bisa datan
"Lo udah ajuin judul proposal emangnya?""Hhh, udah, tapi dari tiga judul yang aku ajuin nggak ada satu pun yang di-acc.""Emang lo ambil topik tentang apa?""Pinginnya sih, tentangbrand imageatau employee's mental condition. Tapi aku belum dapet judul yang pas menurut dosbim-dosbim aku.""Kamu udah coba konsultasi sama kakak tingkat yang pernah bimbingan sama dosbim yang sekarang belum, Na?"Baik Lana dan Briana sama-sama menoleh pada wajah tenang Liliana yang sedari tadi memperhatikan percakapan mereka sambil menyantap baksonya. Mereka bertiga sedang makan siang di kantin fakultas setelah selesai dengan bimbingan proposal skripsi masing-masing. Kebetulan ketiganya hari ini memiliki jadwal jam bimbingan yang berdekatan."Belum, Li. Aku nggak tau gimana cara kontak mereka," untuk yang kesekian kalinya Lana menghela napas."Gue ada kenalan beberapa kating dari UKM, mau gue tanyain tentang kating y
Bunyiliftyang berdenting dan pintu yang terbuka tidak membuat Edgar keluar dari ruang balok tersebut. Dua mahasiswa yang tadi naikliftbersamanya sudah lebih dulu keluar, menyisakan Edgar sendiri yang dengan tidak sabar menekan tombol lantai dasar.Liftkembali bergerak turun bersama Edgar yang berusaha terlihat tenang meski pikirannya lebih ruwet dan ramai dari sebelumnya. Begitu sampai di lantai tujuan, Edgar tidak membuang waktu lebih lama lagi untuk berjalan dengan langkah lebar menuju kantin. Tempat keributan yang disebutkan oleh dua mahasiswa tadi.Edgar bisa melihat area kantin yang mulai ramai karena sedang jam makan siang. Pria itu mempercepat langkahnya, nyaris berlari. Mendekati pintu masuk kantin terdekat, samar-samar telinganya menangkap suara isak tangis seorang gadis.Mata Edgar melebar melihat pemandangan tidak menyenangkan beberapa meter dari pintu kantin. Liliana yang sedang terduduk di lan
Sudah lewat satu hari dari kejadian heboh di kantin FEB dan FBSB. Berkat beberapa mahasiswa yang merekam diam-diam dengan ponsel mereka dan mengunggahnya di forum komunitas kampus, kejadian tersebut menjadi viral.Kini tidak hanya penghuni Universitas Aditama saja yang mengetahui drama antara Liliana dan Kaluna. Video saat Kaluna menampar dan menjambak Liliana yang menangis sudah beredar di berbagai aplikasi media sosial.Pandangan orang pada sosok Kaluna terbelah menjadi dua kubu. Ada orang-orang yang masih berpikir positif dan mengatakan mereka tidak berhak memberi penilaian atau penghakiman karena tidak mengerti masalah utama yang terjadi di balik potongan video yang tersebar. Namun sebagian besar sudah lebih dulu menyerang Kaluna, membuat citra wanita itu semakin buruk di mata publik.Nama Liliana yang dulu sempat naik karena kedekatannya dengan Edgar kini kembali menjadi perbincangan panas. Semua orang menjadi lebih penasaran dengan sosok sebenarnya seorang
Kepergian Kaluna memang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari. Tepatnya setelah Kaluna menyadari bahwa beberapa sudut di kediaman Mahawira meninggalkan bekas trauma pada Damian maupun Lavanya.Wanita itu juga sudah berkonsultasi dengan Bu Asma, dan keputusannya untuk membawa anak-anaknya ke tempat baru semakin bulat. Berkat bantuan Bu Asma pula Kaluna sudah menemukan seorang psikolog pengganti di tempat tujuan mereka. Lalu kenapa Kaluna memilih Italia sebagai destinasi kepindahan mereka? Salah satu alasannya adalah karena ayah Edgar saat ini sedang menetap di sana. Kaluna belum pernah bertemu dengan Tuan Besar Mahawira sejak kedatangannya ke dunia ini. Anak-anak Edgar juga sepertinya sudah cukup lama tidak berjumpa dengan kakek mereka.Kaluna tidak berniat menyembunyikan kepergiannya dari siapapun. Sarah, Pak Bastian, dan para pekerja di rumah mengetahui tentang rencana kepergian Kaluna dan anak-anak Edgar. Awalnya ia juga akan memberitahu Edgar tentang rencana kepergiannya secara
"Abang, Kak Lava, tolong bantu Arlo cari sepatu yang udah Mami siapin kemarin, ya. Mami mau urus Adek Sean dulu," Kaluna melongok ke ruang bersantai di lantai dua tempat Damian dan Lavanya berada."Okay, Mam," Damian meninggalkan tabletnya di atas sofa dan menarik tangan Lavanya yang masih asyik menonton tayangan televisi di depan."Abang! Nanggung ini, bentar lagi selesai acaranya!" Lavanya bersungut, berusaha menarik tangannya dari tarikan Damian."Mami udah capek-capek ke sini buat minta tolong, lho, Va," Damian tetap tidak melepaskan tangan sang adik dan semakin berusaha menariknya, meski tidak kuat. "Ayo, ah. Itu tontonan besok juga bisa diulang lagi."Akhirnya dengan ogah-ogahan Lavanya bangkit dari posisi nyamannya dan mengikuti sang abang menuju kamar adik mereka di lantai yang sama."Arlooo," Lavanya memanggil saat Damian membuka pintu kamar Arlo di samping kamar orang tua mereka.Tampak seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sudah rapi dengan setelan tuxedo-nya sedan
"Kau yakin tidak ingin tinggal di sini saja, Dear?" Benedict menatap Kaluna penuh harapan.Sudah beberapa hari berlalu sejak lamaran tidak romantis Edgar pada Kaluna. Setelah itu mereka berdiskusi dengan serius tentang rencana kepulangan Kaluna dan anak-anak. Sebagai seseorang yang paling memahami tentang kondisi Damian juga Lavanya, Kaluna mengajukan beberapa pertimbangan pada Edgar.Meski selama satu tahun ini terapi Damian dan Lavanya berjalan baik di tangan Luca, tapi tidak menutup kemungkinan trauma mereka dapat muncul kembali saat dihadapkan dengan situasi atau lokasi tertentu. Seperti kolam renang di rumah mereka misalnya.Kaluna tidak ingin kepulangan mereka berbalik menjadi hal yang menyulitkan bagi Damian maupun Lavanya. Dengan segala kekhawatiran tersebut, Kaluna jadi banyak berpikir ulang tentang kembalinya mereka.Di tengah dilemma yang melanda, Edgar menggenggam kedua tangan Kaluna dan meyakinkan wanita itu, bahwa semua akan baik-baik saja. Edgar berjanji akan mengurus s
Langit sudah gelap meski jam dinding masih menunjuk pada pukul setengah lima petang. Udara di luar menjadi jauh lebih dingin dari siang tadi. Rumah Kaluna sudah temaram, suasana yang sebelumnya ramai kini berubah tenang.Di kamar utama, Damian juga Lavanya sudah lelap dalam tidur. Bergelung nyaman di balik selimut tebal yang membungkus tubuh keduanya. Sisa hari ini mereka habiskan untuk bermain, bercerita, dan menempel pada sang papa.Selepas menghabiskan makan malam yang Kaluna berikan lebih awal, rasa kantuk langsung menyergap dua anak tersebut dengan cepat. Alhasil, Damian dan Lavanya tidur tiga jam lebih awal dari biasanya.Berbeda dengan suasana kamar yang sudah gelap dan sunyi, lampu di dapur masih menyala terang. Di sana tampak Kaluna yang sedang memasak makan malam sederhana, ditemani Edgar yang betah berlama-lama menatap punggung sang wanita dari kursipantry.Makan malam Damian dan Lavanya tadi hanyalah sisa dari menu makan s
Udara di luar semakin dingin, Damian dan Lavanya sudah berhenti bermain salju sejak beberapa menit yang lalu. Keduanya kini bergabung dengan Luca yang menggantikan Kaluna untuk mengawasi mereka bermain."Kenapa Uncle kemari?" tanya Damian dengan nada kesal setelah menyesap cokelat hangat dari tumblr miliknya."Kenapa? Tentu saja karena aku merindukan kalian," Luca menebar senyuman ramahnya. "Teganya kalian berlibur tanpa mengajakku ikut serta," sambungnya pura-pura merajuk.Damian langsung mengernyitkan dahinya mendengar gaya bicara Luca yang diimut-imutkan. Ekspresi tidak senang kentara sekali terlihat di wajahnya."Kalau Uncle ikut, semuanya jadi nggak seru. Iya, kan, Dek? No Uncle, more fun, right?" Damian menole pada Lavanya, meminta dukungan sang adik.Dan tentunya Lavanya langsung mengangguk setuju tanpa berpikir lebih lama. "No Uncle, more fun!" sahutnya dengan senyuman lebar.Luca seketika mencebik. Susah sekali mengambil dua hati anak itu."Mami mana? Kenapa tidak kembali-kem
Mulut Kaluna terbuka sebelum akhirnya tertutup kembali. Ia terlalu terkejut dengan keberadaan Edgar di balik pintu rumahnya. Kaluna tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.Tidak. Lebih tepatnya, Kaluna bingung harus mengatakan apa pada Edgar.Buongiorno? Halo? Lama tak jumpa?Semuanya tidak ada yang terasa tepat. Terlebih dengan adanya masalah yang belum juga selesai di antara keduanya.Jadi, Kaluna hanya diam, memandangi wajah Edgar lurus-lurus. Pria itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kaluna mengingatnya. Gurat letih tampak jelas di garis-garis wajahnya. Kaluna juga dapat melihat dengan jelas kantung mata Edgar yang menghitam juga tebal.Edgar bahkan membiarkan rambut-rambut tumbuh di sekitar mulut dan dagunya. Pria itu sekarang memiliki brewok tipis yang entah mengapa membuatnya tampak berkali lipat lebih berkharisma.Kaluna buru-buru mengerjap dan berdehem, mengalihkan pandangannya dari wajah Edgar yang masih dipenuhi sen
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu oleh Edgar akhirnya tiba.Pagi tadi, James memberi kabar kalau Benedict akan kembali dan tiba di kediaman sore ini. Jadi begitu mobil pria tua tersebut memasuki halaman, Edgar sudah berdiri di samping James, siap menyambut kedatangan Benedict di teras."Oho! Lihat siapa yang menyambutku di sini!" sahut Benedict terkesan, begitu dirinya keluar dari mobil dan mendapati putranya bersandar di pilar teras dengan kedua tangan bersedekap di dada."You've really tested my patience these past few days," Edgar menyorot Benedict dengan tatapan tidak bersahabat.Benedict hanya tertawa sambil menepuk-nepuk pundak sang anak, lalu dirinya melenggang masuk begitu saja. Edgar menghembuskan napas lelah sebelum menyusul sang ayah ke dalam."Di mana Kaluna sama anak-anak saya?" tanya Edgar tidak sabar."Seriously, Son?" masih tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar utama, Benedict menanggapi sang ana
Meskipun merasa luar biasa lelah setelah terbang lebih dari dua puluh jam menuju Italia, Edgar tidak mau membuang waktunya lebih banyak lagi. Pria itu memilih langsung memesan taksi di bandara, bergegas untuk menyambangi rumah sang ayah.Harusnya dulu Edgar mempercayai instingnya saja dan mengabaikan amarah Benedict. Kalau begitu, kan, sudah lama ia bertemu dengan Kaluna, Damian, juga Lavanya. Ia tidak perlu susah payah mencari keberadaan mereka di seluruh dunia.Hari sudah sore saat Edgar sampai di kediaman Benedict. James, kepala pelayan rumah ayahnya, menyambut kedatangan Edgar."Di mana ayahku?" tanya Edgar tanpa basa-basi, mengabaikan sapaan James.Lelaki pertengahan empat puluh tahun tersebut tidak menjawab segera pertanyaan Edgar, James lebih dulu menginstruksikan dua pelayan yang ikut bersamanya untuk membongkar koper dan tas sang tuan muda dan membawanya ke dalam rumah."Tuan Benedict sedang tidak ada di kediaman saat ini, Tuan Muda," jawab James akhirnya, mengiringi langkah E
Pagi ini Benedict mengajak Kaluna dan cucu-cucunya untuk sarapan bersama di rumahnya. Berbagai macam hidangan yang lebih banyak dan fancy dari biasanya terhidang di meja makan luas itu. Suasanya ramai membuat ruang makan Benedict yang biasanya lengang menjadi terasa lebih hidup."Tell mei, Mio Nipote (Cucuku), kau ingin hadiah apa dari Nonno (Kakek) atas kelulusanmu?" Benedict memandang Damian penuh minat di sela sarapan mereka."Nggak perlu berlebihan, Pa. Lagi pula Damian baru lulus TK," timpal Kaluna sebelum si sulung menjawab pertanyaan kakeknya."No, no. Biarkan aku memberi hadiah. Anggap saja sebagai ganti hadiah ulang tahunnya kemarin yang tidak bisa kuberi karena kalian lupa mengundangku," tangkas Benedict dengan sindiran di akhir ucapannya, membuat Kaluna tidak lagi bisa membalas."Come on, Nipote. Kau ingin apa dari Nonno?" ulang Benedict pada Damian."Aku mau lihat pantai, Nonno! Boleh tidak?" sahut Damian setelah melihat maminya mengangguk."Kau ingin ke pantai?" Benedict
Hari ini menandai satu tahun setelah Kaluna, Damian, dan Lavanya menghilang. Dalam kurun waktu tersebut, Edgar tidak pernah putus dan lelah mencari keberadaan mereka. Sudah ia lakukan berbagai macam cara, tapi orang-orang yang sangat dirindukannya itu tak kunjung ia temukan.Sudah Edgar coba bertanya pada sang ayah yang kebetulan juga sudah lama memilih tinggal di Italia sejak pensiun. Tapi yang pria itu dapat hanya bentakan marah saat Benedict Emiliano Mahawira mengetahui kalau kedua cucu tersayangnya hilang dari pengawasan sang anak.Nada jengkel kentara sekali dari suara Benedict saat mereka bertemu sejenak di salah satu restoranfine diningdi pusat ibukota Italia. Edgar saat itu sedang ada urusan bisnis di sana, berniat memperluas cabang perusahaan.Karena dirinya sudah ada di negara tempat Kaluna dan anak-anaknya pertama menghilang tanpa jejak, Edgar memanfaatkan kedatangannya kali itu untuk mencari sekali lagi dalam waktu yang hanya seb