Edgar pun memikirkan ucapan Sylvia. Tak lama kemudian Edgar pun menoleh ke Sylvia. “Kamu bantuin aku ya, untuk buktikan kemampuan aku ke ibu.”Sylvia langsung menyentuh tangan Edgar. “Pasti, aku pasti akan membantu kamu supaya kamu bisa mendapatkan pengakuan dari ibu.” Mendengar ucapan Sylvia, Edgar langsung tersenyum. Begitu pun dengan Sylvia ia juga tersenyum saat melihat Edgar bisa kembali tersenyum. Lalu tanpa disadari oleh Sylvia, wajah Edgar justru semakin dekat.Sylvia pun kembali gugup saat Edgar menatapnya terlalu dekat. Dengan keringat yang mulai membasahi keningnya, Sylvia pun angkat bicara. “Ka-kamu mau ngapain?” Bukannya menjawab pertanyaan Sylvia, Edgar justru mencium bibir Sylvia. Serangan yang dilakukan oleh Edgar secara tiba-tiba tentu saja membuat Sylvia sangat terkejut. Bahkan tanpa mereka sadari, dari lantai atas Catherine yang baru keluar dari ruang kerjanya, justru tersenyum melihat hal yang dilakukan oleh Edgar dan Sylvia. “Sepertinya tidak lama lagi aku akan
Agar tidak membangunkan Edgar yang sudah tertidur lebih awal, Sylvia naik keatas tempat tidur secara perlahan. Setelah berbaring, ia pun tidak lupa untuk memakai selimut. Lalu, Sylvia mematikan lampu kamar. Namun, baru saja Sylvia mematikan lampu, Edgar justru sudah mendekati dirinya. Sylvia yang terkejut karena Edgar ternyata belum sepenuhnya tertidur, ia langsung mendorong tubuh Edgar. “Aaaaaaa! Edgar! Menjauhlah dariku! Nafas mu bau tau!”Sambil memegang pergelangan tangan Sylvia, Edgar pun menyahut. “Benarkah? Lantas kenapa tadi saat aku mencium mu, kamu gak protes sedikit pun?” Sylvia pun terjebak dengan ucapannya sendiri. Lalu, sambil melirik ke arah lain, Sylvia mencoba mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Edgar. “Tadikan aku gak sadar kalau nafas mu bau. Udah sana geseran tidurnya. Aku sempit tau kalau kamu terlalu mepet ke arah ku.” Lalu Edgar pun melepaskan tangan Sylvia. Sambil kembali ke posisi semula, Edgar pun berucap. “Kamu ini gak peka atau terlalu polos sih. Ki
Setelah Sylvia menyingkir dari depan pintu, Edgar langsung masuk kedalam kamar untuk bergegas mandi. Sambil menunggu Edgar, Sylvia memilih duduk disofa untuk merancang desain gaun terbaru. Ia pun dengan serius mendesain baju mengunakan iPadnya. Setelah 30 menit berlalu, Edgar akhirnya keluar dari kamar. Melihat Edgar sudah keluar dengan berpakaian rapih, Sylvia langsung beranjak dari sofa. Sambil berjalan menghampiri Edgar, Sylvia pun berucap. “Aku pikir, kamu gak paham bagaimana cara berpakaian yang rapih.”“Aku berpakaian seperti ini, supaya aktingku lebih meyakinkan aja. Edward kan gaya berpakaiannya rapih dan terlalu formal,” sahut Edgar.“Terserah kamu lah, ayo kita sarapan dulu,” ucap Sylvia.Edgar langsung menganggukkan kepalanya untuk merespon ucapan Sylvia. Lalu, mereka pun berjalan ke lantai bawah untuk pergi ke meja makan. Tak lama kemudian mereka pun sampai di meja makan. Sementara itu Catherine yang sudah lebih dulu berada di meja makan, ia langsung tersenyum saat melih
“Calon suamimu kabur!”Kaki Sylvia lemas, hingga akhirnya jatuh terduduk. Matanya beralih pada sang mami yang sedang menenangkan calon ibu mertuanya, Catherine. Suara tangisan wanita paruh baya itu pun ikut bersahutan. Wanita itu tampak sangat terpuruk.“L-lantas… pernikahan kami bagaimana?!”Sylvia dan Edward memang akan menikah karena dijodohkan oleh ibu mereka yang sudah kenal sejak lama. Selain itu, ada kerja sama dan kesepakatan antara dua keluarga itu yang mempengaruhi bisnis masing-masing.Namun, Sylvia sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Ia sudah mengetahui semua biodata Edward dan berpikir bahwa dirinya bisa bersanding dengan pria tampan, hebat, kaya, dan secerdas Edward dalam membangun bisnis kedua keluarga. Akan tetapi, kenapa rencana itu semua harus hancur hari ini!?“Edward-ku….” Sang calon ibu mertua berkata sambil terisak. “Tidak mungkin dia mempermalukan keluarga kami seperti ini….”Sekarang, keadaan menjadi kacau. Catherine, ibu Edward, menjelaskan sambil ter
Dengan raut wajah yang kesal, Edgar sudah berdiri di depan altar, di aula tempat pernikahan akan dilangsungkan. Tidak lama kemudian, Sylvia pun muncul dengan didampingi oleh ayahnya. Setelah berada di depan altar, ayahnya Sylvia menyerahkan Sylvia kepada Edgar. Lalu, Edgar pun naik ke altar pernikahan bersama Sylvia.“Sebelum sumpah sucinya diucapkan, silahkan kalian saling berhadapan satu sama lain. Dan saudara Edgar, silahkan pegang tangan calon pengantin perempuan untuk mengucapkan sumpah suci pernikahannya,” ucap pendeta.Edgar mulai memegang tangannya Sylvia seperti yang diperintahkan oleh pendeta. Sylvia bisa merasakan bagaimana rasa benci Edgar yang terpaksa ditarik ke altar, begitu juga dirinya. “Di hadapan Tuhan serta para tamu undangan yang hadir di sini, saya Edga–!”Edgar meringis sambil memejamkan matanya ketika Sylvia meremas tangan Edgar, memperingatkannya tentang nama yang ia sebutkan. Ia bisa melihat pria itu menatapnya tajam, sebelum berdeham dan mengulang sumpah.
Setelah persetujuan itu, Edgar menyuruh Sylvia untuk merapikan pakaiannya di lemari sebelah kanan. Pria itu sama sekali tidak mau membantu, bahkan hanya untuk mengangkat koper Sylvia. Wanita itu terus bergumam kesal sambil memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Di tengah kesibukannya memindahkan pakaian, Sylvia tidak sadar kalau Edgar sudah membuka kemejanya di depan kamar mandi. Lantas, ketika menoleh dan Sylvia melihat hal itu, tentu saja ia langsung berteriak. “Aaaaaaa!” “Kamu kenapa?” tanya Edgar bingung. Dengan menutup matanya menggunakan kedua tangannya, Sylvia memekik, “Seharusnya aku yang bertanya sama kamu! Kamu ngapain buka baju di sini? Mau pamer dada di depan aku, hah?!” Edgar terdiam, lalu tampak menyunggingkan bibirnya. “Kalau iya, kenapa?” “Sialan!” Sylvia mulai melempari barang-barang di dekatnya ke arah Edgar sambil menutup mata. Sudah pasti semua itu meleset dari sasaran. Sedetik kemudian, bisa didengar kekehan dari pria itu. Tentu saja Sylvia semakin kesal.
Bugh! Tanpa Sylvia duga, Edgar melepaskan pelukannya begitu saja, dan membuatnya jatuh terduduk di lantai. Sylvia lantas memekik keras, lalu langsung melemparkan tatapan tajam ke arah pria itu. Sia-sia saja debaran aneh yang tadi ia rasakan. Sambil mengusap pinggangnya Sylvia berucap, “Heh! Kamu itu punya perasaan sedikit gak sih? Aku ini manusia, bukan karung beras! Seenaknya aja menjatuhkan aku begitu aja.” “Kamu lupa ya dengan kesepakatan kita? Tidak boleh terjadi sentuhan fisik,” ucap Edgar sambil menepuk-nepuk tangannya sendiri, seolah sedang membersihkan kotoran. Sylvia semakin geram melihat sikap pria itu. Dengan cepat, Sylvia bangkit dan merapikan pakaiannya sambil masih menggerutu, “Dasar pria arogan!” “Setidaknya kamu bantuin aku berdiri,” sambung Sylvia dengan suara yang lebih pelan. Ia tidak mau membuat Edgar besar kepala kalau dirinya mengharapkan bantuannya. Apalagi setelah melihat pria itu keluar begitu saja dari kamar, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sylvia
“Kamu sedang apa di tangga?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Catherine saat Sylvia berbalik untuk pergi ke kamarnya. Sylvia berbalik badan lagi dan mengulaskan senyum kaku. Dengan gugup, Sylvia berusaha menjawab pertanyaan ibu mertuanya. “I-itu, Bu… A-aku mau ambil air minum di dapur.” Sylvia meneguk air liurnya ketika Catherine tidak menjawab. Pasalnya, di lantai atas juga ada dispenser air. Mungkin saja Catherine curiga. ‘Apakah aku ketahuan?’ pikirnya. “Kalau air dispensernya habis, kamu suruh pelayan untuk mengisinya.” Ibu mertuanya berucap sambil menepuk pundaknya Sylvia, lalu menaiki anak tangga. Sylvia hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Iya, Bu.” Saat melihat ibu mertuanya sudah menjauh, Sylvia langsung menghela napasnya. Ia pun memutuskan kembali ke kamarnya Edgar dengan cepat. Ceklek! Sylvia bersandar di pintu. “Kira-kira Edgar pergi ke mana ya?” Meskipun Edgar sangat menyebalkan baginya, Sylvia sedikit merasa khawatir. Pria itu bukan pria jahat