Setelah berkata seperti itu, Andi menarik Amel dan Dimas untuk pergi.Begitu mereka keluar dari pintu, Lidya langsung mengentak-entakkan kakinya karena merasa sangat marah....Barang-barang Andi memang tidak banyak. Mereka bertiga hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk berkemas dan juga mengangkutnya ke mobil.Mobil itu merupakan mobil pengangkut barang yang dipanggil oleh Andi. Sebenarnya, barang-barang Andi tidak banyak, jadi tidak memerlukan mobil sebesar itu. Namun, Andi tidak ingin terus-menerus merepotkan Amel. Itu sebabnya, dia memanggil mobil pengangkut barang tersebut. Andi juga menyuruh mereka berdua untuk pulang dan beristirahat, tidak perlu mengikutinya ke kawasan bisnis timur."Sebaiknya aku tetap ikut denganmu." Amel berpikir sebentar, tetapi masih merasa agak cemas.Andi melompat masuk ke dalam mobil pengangkut barang itu, lalu melambaikan tangannya seraya berkata, "Nggak perlu. Terlalu jauh. Bolak-balik hanya akan membuang-buang waktu. Kakak masih harus bekerja
Melihat Dimas tidak kunjung duduk, Amel pun mendongak dan bertanya dengan bingung, "Ada apa?"Dimas mengerutkan kening. Setelah merasa ragu-ragu untuk waktu yang lama, Dimas akhirnya duduk juga. Dia langsung mengambil tisu dari meja dan membentangkannya di atas meja. Setelah tisu yang tampak sedikit lebih bersih itu menutupi meja, Dimas baru menghela napas lega."Nggak ada apa-apa."Baru saja Dimas selesai bicara, nenek tua itu datang sambil membawa dua mangkuk mi ayam ke atas meja.Amel dengan cekatan langsung menuangkan saus dan sambal. Sekali lihat saja, sudah jelas bahwa dia sering datang ke tempat itu."Dulu, ayahku biasa pergi ke sekolah untuk rapat. Aku dan adikku sering datang ke rumah Nenek untuk makan mi ayam setelah selesai belajar di malam hari."Dimas tanpa sadar mengikuti gerakan Amel. Dia menggenggam sendok di tangannya dan mengayun-ayunkannya sedikit sebanyak beberapa kali.Meskipun tatapan matanya tertuju pada mi ayam, perhatian Dimas selalu tertuju pada Amel.Dimas be
"Cari toko yang cocok untuk menjual makanan penutup dan beli toko itu."...Keesokan harinya ketika Amel bangun tidur, sisi lain dari tempat tidurnya sudah kosong.Amel mengulurkan tangannya dan meraba-raba bantal Dimas. Bantal itu tidak lagi terasa hangat. Amel berpikir, Dimas pasti sudah bangun pagi-pagi sekali.Ketika bangun dan berjalan menuju dapur, Amel menemukan Dimas sudah menyiapkan sarapan untuknya.Di samping segelas susu, terdapat secarik kertas yang tertempel di sana, "Ada urusan penting di lokasi proyek. Aku pergi dulu."Amel merobek kertas itu dengan hati-hati. Kemudian, dia meminum segelas susu hangat tersebut. Hatinya terasa hangat, sehangat susu itu.Setelah sarapan, Amel pergi ke toko.Sejak manajer toko memberi komisi kepada Amel, dia tidak lagi mengganggu Amel. Akhir-akhir ini, hari-hari yang dijalani Amel di toko juga menjadi lebih baik.Satu-satunya hal yang buruk adalah hampir semua pesanan kue berikutnya di toko diserahkan kepada pembuat kue lain.Yang lainnya
"Saya bertanggung jawab untuk mengatur orang-orang di toko. Hanya saja, pembuat makanan penutup yang satu ini agak berbeda. Saya ... saya benar-benar nggak bisa mengaturnya."Manajer toko menghentikan kata-kata yang ingin diucapkannya, membuat orang lain bertanya-tanya mengenai alasan di baliknya.Petugas inspeksi itu mendengus. "Apanya yang beda? Semua orang datang untuk bekerja. Ganti saja kalau dia nggak mau bekerja. Bagaimana kalau toko nggak bisa menangani pesanan pelanggan? Siapa yang akan menanggung kerugian toko? Siapa yang harus bertanggung jawab? Kamu atau dia?""Saya akan segera meneleponnya dan memintanya kembali."Manajer toko itu menelepon Amel dengan wajah ketakutan. Namun, dia merasa sangat senang dalam hati.Setiap empat bulan sekali, tim inspeksi akan datang untuk melakukan pemeriksaan sebanyak dua sampai tiga kali. Jadwal inspeksi tersebut tidak pasti. Tentu saja, setiap inspeksi yang dilakukan akan diberitahukan kepada manajer toko. Oleh karena itu, ketika tim inspe
Melihat kembali ke belakang, Amel baru menyadarinya. Pantas saja manajer toko tidak melarangnya saat dia keluar untuk membagikan selebaran. Amel selalu merasa ada yang aneh. Ternyata ada sesuatu yang menunggunya di sini.Pelayan toko menatap Amel dengan penuh simpati. "Amel, sepertinya gajimu bulan ini akan berkurang. Kepala inspeksi nggak mudah untuk diajak berbicara."Amel menundukkan kepalanya dan terdiam. Memikirkan hal ini, Amel merasa agak marah. Hanya saja, meskipun marah, Amel juga tidak punya solusi yang baik. Namun, apakah dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus menanggung kerugian ini?Dengan kesal, Amel masuk ke dalam ruang untuk membuat makanan penutup. Memikirkan kata-kata manajer toko, Amel pun menggertakkan giginya karena marah. Dia tidak bisa menunggu sampai pulang kerja.Siang itu, Dimas dan Amel membuat janji untuk makan siang bersama.Begitu keluar dari toko, Amel melihat Dimas yang bertubuh tegap itu tengah berdiri di luar pintu. Dimas sedang duduk dengan
"Aku ... aku jawab telepon dulu."Melihat tulisan 'Ibu' yang menyala di layar ponselnya, Amel buru-buru mengangkat sambungan tanpa memedulikan apa-apa lagi."Amel, kamu dan Dimas sudah pindah selama beberapa hari dan belum kembali menemui kami. Kudengar adikmu datang ke tempatmu kemarin. Bocah nakal ini nggak membuat masalah untuk Dimas, 'kan?" Suara lembut Lili terdengar dari ujung sambungan.Amel buru-buru menjelaskan kejadian kemarin malam ketika Andi datang. Dia berkata, "Bagaimana mungkin Andi menyusahkan kami? Mereka berdua berhubungan dengan baik."Berhubungan dengan baik?Dimas hanya tersenyum. Dia tidak punya komplain terhadap adik iparnya ini. Bagaimanapun juga, Andi hanyalah seorang anak kecil. Hanya saja, adik iparnya ini tampak memiliki kebencian yang dalam terhadapnya.Namun, jika dilihat dari sudut pandang Andi, Dimas bisa memahami kebenciannya.Bagaimanapun juga, Dimas sudah menikahi kakaknya dengan terburu-buru.Lili berkata dengan nada puas, "Baguslah, baguslah. Aku d
Begitu Irfan selesai menjelaskan, tak tahu kenapa Irfan merasa ada aura dingin meski tak ada suara apa pun yang terdengar dari ujung lain telepon.Memecat Amel? Sulit dipercaya bahwa ketua tim inspeksi itu bisa memikirkan hal ini. Dimas bisa membeli toko kue kecil mereka kapan saja dia mau. Memang mereka pikir siapa bosnya? Sungguh tidak masuk akal.Dimas bertanya, "Bagaimana dengan toko yang aku suruh kamu cari?""Jalan Canggar nomor 29. Tempat itu awalnya adalah sebuah toko kue dengan luas 80 meter persegi. Toko ini memiliki semua peralatan yang dibutuhkan untuk membuat makanan penutup. Di sekitarnya juga banyak orang yang lalu-lalang."Tokonya tidak terlalu besar, cocok sebagai toko awal bagi Amel. Jika Dimas ingin menyembunyikan identitasnya, sebaiknya mereka tidak mencari toko yang terlalu mewah. Toko ini adalah pilihan yang tepat.Irfan, yang sangat pandai memahami apa yang diinginkan oleh bosnya, mendapat pujian dari Dimas."Oke, aku mengerti."Suara telepon yang dimatikan pun d
"Kebetulan sekali? Apakah ada toko yang cocok?"Amel membeku di tempat dengan jantung yang berdebar kencang. Dia jelas merasa bersemangat setelah mendengar kata-kata Dimas.'Tentu saja ini bukan kebetulan. Aku memilih toko ini khusus untukmu,' batin Dimas.Dimas tersenyum diam-diam di dalam hatinya, tapi wajahnya masih menunjukkan ekspresi tenang. Dia berkata, "Sebenarnya ini bukan kebetulan. Dia sudah lama berpikir untuk menjual toko ini, tapi dia belum menemukan pembeli yang cocok. Dia sangat suka membuat kue, tapi pacarnya nggak tinggal di sini. Jadi, dia ingin menjual tokonya, lalu membuka toko di Kota Cipusa. Selain itu, dia sudah membuka toko di Kota Cipusa untuk beberapa waktu, jadi ingin menjual toko yang ada di sini."Dimas menceritakan kisah itu dengan wajah serius. Dia bahkan menceritakan dengan sangat detail dan jelas hingga Amel sama sekali tidak meragukan keaslian cerita tersebut.Jika Irfan mendengar apa yang dikatakan bosnya ini, mungkin matanya akan terbelalak lebar.S